top of page

Search Results

165 results found with an empty search

  • Sunset yang Berbeda di Pantai Suwuk

    SETELAH mampir ke Pantai Laguna dan Pantai Bopong, kami bergeser ke pantai lainnya, masih di hari yang sama. Jaraknya sekitar 15 menit dengan sepeda motor. Kami menuju Pantai Suwuk. Lanskap di batas mata memandang sudah berbeda. Berupa perbukitan dan hamparan sawah di bawahnya. Jalanan yang kami lewati tidak terlalu ramai. Jadi bisa lebih bersantai. Tidak perlu terburu-buru atau salip kanan salip kiri. Jauh berbeda dengan dua pantai sebelumnya, secara infrastruktur Pantai Suwuk sudah dikelola dengan profesional. Sebelum menjangkau bibir pantai, kami harus melewati gerbang pintu masuk yang lumayan megah. Kami perlu membayar tiket masuk di sana. Kami membayar Rp 15 ribu. Untuk berdua dan karcis parkir motor. Di pantai ini wisatawan cukup ramai meski weekdays . Ada beberapa bus besar di area parkir. Bus pariwisata. Banyak juga warung yang buka, tidak sebanyak di Laguna dan Bopong. Kami memarkir motor di bawah naungan pohon kelapa yang banyak tumbuh di sana. Suasana itu mengingatkan saya pada Pantai Kelapa di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang juga pernah kami kunjungi. Kami kemudian berjalan menyusuri jalan setapak menuju pantai. Jalan berpasir, tentu saja. Dari tempat parkir, garis pantai belum bisa terlihat karena tertutup deretan warung-warung. Kami masih harus berjalan puluhan langkah dan melipir di antara warung-warung untuk menjumpai pantainya. Saat itu matahari mulai sedikit merebah ke arah barat. Mengambang di atas perbukitan. Pantai ini memiliki primadona yang tidak dipunyai panti lain di Kebumen. Spot yang sempurna untuk melihat matahari terbenam. Kebumen memang memiliki banyak pantai yang enak untuk menikmati sunset . Salah satu yang sering kami sambangi adalah Pantai Setrojenar (atau kondang disebut Pantai Bocor). Sunset di sana menawan. Namun, Pantai Suwuk memiliki pesonanya sendiri. Hamparan pasir hitam dengan batas perbukitan yang menjorok ke pantai di ujung barat. Matahari terbenam di antaranya. Kami ingin menunggu dan menikmati sunset  di sana. Masih ada waktu sekitar satu jam untuk menunggu matahari pulang ke peraduannya. Kami duduk-duduk saja di tepi pantai sambil melahap kacang rebus dan telur puyuh. Banyak yang menjajakannya. Wisatawan lain hilir-mudik di depan kami. Di segaris pantai. Bercengkerama. Bergurau. Bersenang-senang. Mengusir penat yang mungkin sudah menumpuk. Di tengah teror pandemi yang merisaukan di media masa. Ya, mungkin bagi mereka pemberitaan media lebih menakutkan daripada virus itu sendiri. Namun, itu mungkin juga tidak terlalu ngefek bagi mereka. Tidak ada yang memakai masker. Tidak ada raut ketakutan. Pandemi tidak ada. Itu hanya cerita horor media. Mungkin begitulah pemikiran mereka. Yang pasti, saat masyarakat kota ketar-ketir diteror pandemi, masyarakat di sini tak ada yang khawatir. Hidup normal seperti biasanya. Apa itu new normal ? Tak terasa matahari sudah jauh turun. Panas yang sesiang tadi membuat gerah berubah menjadi teduh. Rona jingga menyelimuti bukit-bukit yang kini tampak menjadi siluet. Hitam saja. Ombak semakin kencang menerjang bukit karang. Semakin jauh mengalir ke tepian. Permukaan laut berubah menjadi keemasan di beberapa bagian. Kabut mulai menebal. Pohon-pohon kelapa di kejauhan menari pelan. Rona jingga yang menawan. (*) Kebumen, 16 September 2020

  • Pantai Laguna Kebumen, Spot Indah yang Terbengkalai

    BERADA di pinggir garis pantai selatan membuat Kota Kebumen dilimpahi kekayaan destinasi wisata berupa pantai. Dengan hamparan pasir hitam dengan debur ombak yang ganas. Itulah daya tarik pantai selatan. Meski secara sekilas pantai-pantai di kota The Agrocity of Java ini seakan mirip, sebenarnya mereka memiliki keunikan tersendiri. Sebut saja Pantai Setrojenar dengan hamparan pasir hitam saja, Pantai Menganti dengan tebing-tebing karangnya, Pantai Suwuk dengan bukit-bukit yang indah, hingga Pantai Laguna dengan perpaduan danaunya. Pantai-pantai di kota dengan julukan lain Kota Walet ini tidak pernah sepi pengunjung. Ada saja yang datang. Di sini, pandemi Covid-19 seakan hanya legenda masa lalu. Orang-orang di sini masih hidup normal. Tidak ada new normal yang terasa tak normal seperti di kota-kota besar. Orang-orang di sini bisa tidur nyenyak tanpa rasa takut dan cemas diteror virus dari Negeri China itu. Maka, saya dan istri (selanjutnya ditulis kami) pun bisa dengan leluasa memilih destinasi wisata yang ingin kami tuju. Bagi kami yang sama-sama bekerja di Jakarta, pagebluk Covid-19 mendatangkan musibah sekaligus berkah. Ada sisi negatif dan positifnya. Kantor-kantor di ibu kota diliburkan. Pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Work from home , istilahnya. Kami pun memiliki waktu yang lebih lama untuk pulang kampung. Kami bisa pergi ke mana pun tanpa diburu waktu untuk kembali ngantor. Kembali ke pantai. Kami lalu mencari referensi pantai tidak biasa di Kebumen yang menarik untuk dikunjungi. Carinya tentu lewat Google . Lebih mudah. Di antara pantai-pantai yang direkomendasikan, ada nama Pantai Laguna. Saat kami telusuri di Google Images , pantai itu cukup unik. Perpaduan pantai dan danau. Laguna. Sesuai dengan namanya, pantai di Desa Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, ini memiliki danau kecil yang dipisahkan hamparan pasir hitam dengan lautan lepas. Rerumputan yang tumbuh mengelilingi danau, ditambah gundukan pasir dengan pohon-pohon kelapa menambah cantik Pantai Laguna. Pengelola pun menambahkan perahu angsa dan jembatan kayu yang semakin menarik bagi muda-mudi yang ingin berburu foto untuk memenuhi feed Instagram. Berbekal Google Maps, kami memacu motor dari rumah ke Pantai Laguna dengan menempuh waktu sekitar 20 menit. Di jalan raya, perjalanan kami lancar-lancar saja. Masalah mulai muncul saat kami memasuki area desa. Akses menuju laguna. Jalan menuju Pantai Laguna ternyata di luar bayangan kami. Dari jalan raya, kami diarahkan melalui jalan utama desa, lalu memasuki area tambak udang yang bagi kami tidak mencerminkan akses menuju kawasan wisata andalan. Jalanannya berupa pasir padat yang tetap mudah ambles saat dihantam roda motor. Motor harus digas pelan agar tidak nyungsep . Di sini Google Maps tidak banyak membantu. Kami diarahkan ke ujung jalan sempit berupa semak belukar yang mustahil bisa dilewati motor. Untuk benar-benar mencapai destinasi tujuan, kami harus bertanya kepada petani udang di sana. Lokasinya sudah tidak jauh. Namun, untuk sampai ke pantai, jalannya lebih parah. Kami harus melintasi pasir lembut kering. Bisa dibayangkan kan ? Roda motor lebih sering berputar di tempat. Menghamburkan pasir ke udara. Kami harus menuntun motor sambil terus memacu gas untuk sampai ke lokasi. Begitu sampai, kami benar-benar terkejut. Pantai indah dan penuh orang yang tampak di Google Maps tak terlihat lagi. Kami hanya disambut deburan ombak, angin yang bertiup kencang, dan tarian pohon-pohon kelapa. Untuk mencapai bibir pantai, kami melewati sisa-sisa kios pedagang dan toilet umum yang telah rusak. Ditinggalkan dan terbengkalai. Di tepi laguna yang kotor dan berair hijau, satu dua perahu angsa terendam sebagian. Karam. Kotor dan berlumut. Jembatan-jembatan kayu yang masih berdiri tampak kusam dan rapuh. Namun, sisa-sisa keindahannya masih terlihat. Gundukan pasir seperti bukit yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa tampak indah. Di bawahnya, terhampar laguna yang mulai tertutup tumbuhan-tumbuhan air. Kami tidak bisa mencapai bukit pasir itu. Jembatan kecil yang dulu rebahan di atas danau sudah tidak ada. Kalau mau ke sana, kami harus nyebur ke danau. Tidak dalam dan juga tidak luas memang, tapi kami malas basah-basahan. Hanya kami berdua di tengah luasnya hamparan pasir di Pantai Laguna. Pantai indah yang terbengkalai. Tidak dirawat dan ditinggalkan. (*) Kebumen, 16 September 2020

  • Main-Main ke Pantai Bopong Kebumen

    TIDAK jauh dari Pantai Laguna, hanya sekitar 5 menit dengan motor, ada Pantai Bopong. Sebenarnya pantai ini masih segaris dengan Laguna, tetanggaan, tetapi sudah berbeda desa. Pantai Bopong berada di Desa Surorejan, Puring, Kebumen. Objek wisata ini tergolong masih baru. Dibuka sekitar dua tahun terakhir. Pengelolaannya juga sudah lumayan baik. Saya katakan lumayan karena memang tidak seluruhnya baik. Masih ada beberapa toilet yang airnya macet dan banyak sampah dan kotoran manusia. Namun, ada juga toilet yang bersih dan dikelola dengan baik. Hati-hati saja saat memilih toilet jika berkunjung ke pantai ini. Tidak ada biaya tiket masuk ke pantai ini. Saya awalnya mengira tidak ada penjaga loket tiket karena weekdays . Beberapa pantai di Kebumen memang hanya ditiketkan saat weekend . Saat banyak-banyaknya wisatawan. Tapi, ternyata masuk ke pantai ini memang tidak perlu membayar tiket. Masuk-masuk aja . Cukup bayar parkir 2.000. Itu pun kalau ada penjaganya. Sebelum bermain di pantai, kami mampir dulu ke salah satu warung di sana. Istirahat sebentar setelah lelah bermain di Pantai Laguna. Menu utama yang disajikan di warung pantai-pantai Kebumen hampir sama. Pecel lontong. Untuk lauk, kebanyakan menyajikan rempeyek yutuk, khas Kebumen. Namun, kali ini kami memesan tempe mendoan. Sembari makan, saya penasaran untuk menanyakan perihal Pantai Laguna yang kini terbengkalai kepada penjualnya. Menurut beliau, awalnya Laguna memang ramai dikunjungi wisatawan karena keindahannya. Itu dua tahun lalu. Saat itu, Pantai Laguna masih dikelola pihak desa. Banyak warung yang berdiri di sana. Nah, penjual yang saya tanyai itu ternyata dulunya juga berjualan di sana. Awalnya semua berjalan baik-baik saja. Namun, semua berubah saat pengelolaan dipegang alih oleh karang taruna desa itu. Pengelolaan menjadi amburadul. Banyak penjual yang kehilangan barang dagangan yang ditinggal di warung saat malam. Lambat laun, banyak pedagang yang memilih pindah. Pantai Laguna semakin tak terurus dan ditinggalkan wisatawan. Wajar saja, saat kami berkunjung, warung-warung di sana hanya tinggal kerangka kayu tak terurus. Saat itu hanya ada kami berdua di pantai seluas itu. Setelah kenyang dan melepas dahaga, kami mulai jalan-jalan di tepi Pantai Bopong. Di bawah terik matahari siang itu. Saat weekdays , sebagian warung di tepi pantai tidak buka. Warung-warung itu bisa dimanfaatkan untuk berteduh dengan menikmati pemandangan ombak yang bergulung-gulung. Sambil menikmati kacang rebus yang banyak dijajakan keliling di sana. Tidak banyak wisatawan saat itu. Bisa dihitung jari. Kami memang sengaja berwisata di luar weekend agar tidak terlalu ramai. Karena sejatinya saat berwisata, ke pantai atau ke gunung, kami ingin menikmati pemandangan alam. Bukan pemandangan kerumunan manusia-manusia juga. Karena itu, kami menyebut diri kami wisatawan weekdays . Hehe… Pasir hitam Pantai Bopong terhampar luas. Bersih. Di hadapan kami, ombak tak henti-henti bergulung. Angin selalu berdesir kencang. Membawa hawa panas dan adem bersama-sama. Saat berwisata di pantai, memang tidak banyak hal yang ingin kami lakukan. Kami hanya perlu duduk di tepiannya. Merasakan angin yang bertiup, mendengarkan ombak yang bergemuruh yang diiringi cericit burung-burung. Di situ ada ketenangan yang dalam. Dalam sejenak diam, saya melamunkan singgasana Ratu Pantai Selatan yang begitu megah. Dengan segala gemuruh dan misterinya. Kami berjalan-jalan sebentar di pantainya. Ada sedikit pemandangan yang berbeda di sini. Beberapa perahu disandarkan di tepi pantai. Di bawah rindang pohon-pohon cemara. Di kejauhan sana, di arah barat, bukit karang yang menjorok ke pantai terlihat kecil. Terselimuti semacam kabut yang terbentuk dari butiran air ombak yang tersapu angin. Bukit itu akan terlihat sempurna saat dinikmati dari Pantai Suwuk. (*) Kebumen, 17 September 2020

  • Batu Pandang Ratapan Angin, Bertransformasi Jadi Tempat Wisata Mainstream

    BATU Pandang Ratapan Angin sudah banyak berubah saat saya dan istri mengunjunginya September 2020. Jauh berbeda saat saya dan saudara main ke sana pada 2017 silam. Kini, lokasi itu menjadi tempat wisata yang mainstream, agak berbeda dengan yang dulu. Saat sampai di area parkir dekat Dieng Plateau Theater, saya tidak merasa pangling. Masih sama seperti dulu. Tapi, begitu melewati loket tiket masuk, saya merasa ’wah’. Oh iya, untuk masuk lokasi ini, bayar tiketnya Rp 10 ribu per orang. Pada 2017 lalu, saya lupa berapa harga tiket masuknya. Saya merasa ’’takjub” karena di lokasi ini banyak sekali warung dan spot-spot foto yang sudah berdiri. Ada spot yang gratis, ada juga spot yang harus bayar untuk foto di sana. Untungnya, untuk berfoto di ikon lokasi ini, wisatawan tidak harus membayar. Batu Pandang Ratapan Angin. Dari titik itu, background fotonya berupa hamparan Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Dan lanskap Dieng yang cantik. Namun, kita harus rela antre untuk berfoto si sana. Terlebih jika berkunjung ke sana saat weekend . Kebetulan, kami ke sana hari Sabtu. Rame. Air telaga bisa berubah-ubah. Kadang hijau tua, kadang abu-abu. Kuning atau berwarna-warni seperti pelangi. Nama Telaga Warna diberikan karena keunikan fenomena alam itu. Fenomena itu terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi. Jadi, saat sinar matahari mengenainya, warna air telaga tampak berwarna-warni. Telaga Warna berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sayang, karena masih dalam masa virus Covid-19, dua telaga itu masih ditutup saat kami main ke Dieng. Padahal, di telaga itu, banyak juga lokasi yang bisa dieksplorasi. Misalnya, beberapa gua seperti Gua Semar, Pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati. Di depan gua itu, terdapat arca wanita membawa kendi. Gua itu juga memiliki kolam kecil yang airnya dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat kulit jadi lebih cantik. Mitosnya begitu. Ada juga Gua Sumur Eyang Kumalasari dan Gua Jaran Resi Kendaliseto. Selain itu, ada pula Batu Tulis Eyang Purbo Waseso. Gua-gua di sekitar Telaga Warna itu sering dijadikan sebagai tempat meditasi. Itulah yang saya baca di internet. Saya belum sempat mampir ke sana. Batu Pandang Ratapan Angin merupakan satu titik berupa tebing batu menonjol yang eksotis yang terbentuk dari peninggalan aktivitas vulkanis. Kini, tempat itu sudah dibangun sehingga mirip gardu pandang. Selain Batu Ratapan Angin, di sekitarnya banyak batu-batu superbesar yang seakan membentuk perbukitan. Di sanalah banyak spot yang dibangun. Spot jembatan kayu dan gardu pandang. Yang berbayar adalah gardu pandang. Salah satunya adalah gardu pandang tertinggi di sana. Di atasnya tumbuh pohon yang diberi nama pohon jodoh. Tidak ada lagi Jembatan Merah Putih yang keren dan menantang adrenalin saat menitinya. Mungkin karena terlalu berbahaya, jembatan itu sudah tidak ada lagi. Diganti jembatan-jembatan lain yang lebih aman dan kokoh. Maklum, lokasi ini memang bukan tempat wisata petualangan, tetapi wisata keluarga. Keamanan lebih diutamakan, daripada yang menantang. (*) Dieng, 19 September 2020

  • Bukit Skuter, Spot Lain di Dieng untuk Menikmati Sunrise dan Sunset

    SAAT ingin pergi ke Dieng dan mencari referensi spot-spot terbaik melalui internet, maka Bukit Skuter (kadang ditulis Scooter) akan masuk dalam daftar tempat yang direkomendasikan. Bukit Skuter memang bukan spot primadona seperti Bukit Sikunir. Namun, keindahannya tak kalah memesona. Bukit Skuter atau biasa dikenal dengan nama Bukit Sidengkeng, kalau tidak salah, mulai diperkenalkan kepada wisatawan saat Dieng Culture Festival (DCF) VII/2016. Bukit itu berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur. Tidak jauh dari homestay tempat kami menginap. Lokasinya juga tidak jauh dari base camp pendakian Gunung Prau via Candi Dwarawati. Kami tidak sedang berburu sunrise , jadi kami nanjak ke Skuter saat matahari pagi mulai tinggi. Bareng sama petani setempat yang pergi ke ladang. Bukit Skuter memang berada di antara ladang sayur warga. Kami nanjak ke Bukit Skuter dengan motor matik. Ada sedikit tantangan di sana. Kami harus melalui jalan yang menanjak tajam. Lebih ngeri kalau pas turun. Pastikan rem pakem dan prima. Kalau sampai rem blong, sudah pasti motor akan menggelinding kencang. Tak bisa dikendalikan. Akibatnya ngeri untuk dibayangkan. Gas motor matik tidak mampu mengangkat motor jika dinaiki dua orang. Jadi, istri harus turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan. Jalannya tidak panjang memang. Tapi cukup menantang. Sebenarnya gampang-gampang susah untuk menemukan spot ini. Penunjuk namanya juga hanya berupa papan kayu kecil yang dipasang di pohon. Tertutup dahan sehingga sulit ditemukan. Kami perlu bertanya kepada petani setempat untuk bisa menemukannya. Lokasinya tidak tampak seperti spot wisata. Tidak ada tempat parkir khusus untuk kendaraan. Motor kami parkir di tepi jalan berdebu. Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan sedikit menanjak di antara ladang-ladang warga. Menyusuri jalan kecil yang di kanan dan kirinya ditumbuhi rimbun pepohonan. Tidak sampai lima menit, kami sudah sampai. Ternyata spot Bukit Skuter tidak terlalu luas. Tidak lebih luas dari lapangan basket. Tapi sedikit agak luas dari lapangan badminton. Sisanya adalah hamparan perkebunan warga. Di sana juga terdapat kubangan yang terbuat dari terpal seperti danau buatan. Sudah tidak ada airnya. Entah itu awalnya bagian dari wisata atau tempat penampungan air warga. Ada juga satu gardu pandang kecil yang hanya cukup untuk dua hingga tiga orang. Untuk spot berfoto. Untuk menikmati lanskap perkampungan warga di bawahnya dan perbukitan di sekelilingnya. Indah memang. Saat itu yang datang ke sana hanya kami berdua dan sepasang muda-mudi. Hanya empat orang. Wajah Bukit Skuter tidak sama seperti apa yang saya lihat di Google Images. Bagus-bagus. Karena saat kami datang, bukit itu ternyata sudah terbengkalai. Tidak diurus. Mungkin karena tidak mendatangkan profit seperti yang diharapkan. Tidak banyak hal yang bisa kami eksplor di sana. Angin pagi itu juga bertiup kencang. Dingin. Kami tidak berlama-lama di sana. Kami kembali turun, mencari sarapan. (*) Dieng, 19 September 2020

  • Menikmati Pagi di Bukit Sikunir

    TURUN dari Gunung Kembang, rasanya sayang sekali kalau tidak sekalian bertandang ke Dieng. Jaraknya tidak lebih dari satu jam. Di Dieng, rasanya tidak afdal kalau belum mengunjungi Bukit Sikunir. Pagi habis subuh, 15 Maret 2020, saya bersama istri dan kawan-kawan yang lain berangkat dari homestay. Jaraknya tidak lebih dari setengah jam. Sampai di sana, area parkir sudah penuh mobil dan motor. Banyak wisatawan yang datang. Maklum, kala itu hari minggu. Lokasi parkir itu berada di dekat Danau Cebong, Desa Sembungan. Di pinggir danau itu, ada beberapa tenda yang didirikan. Telaga seluas sekitar 12 hektare itu merupakan bekas kawah purba. Telaga ini berada di kaki Bukit Sikunir. Telaga Cebong terlihat cantik saat disaksikan dari atas bukit. Sembungan merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Desa itu terletak di ketinggian 2.306 mdpl. Awalnya kami ada opsi untuk nge-camp di kaki Bukit Sikunir itu. Namun, kami memutuskan untuk menyewa homestay saja. Sekitar jam 04.30 pagi kami mulai berjalan menanjak ke Bukit Sikunir. Kami melalui jalur setapak di tengah perkampungan. Di sisi kanan dan kiri banyak yang membuka usaha seperti berjualan makanan, aksesori, makanan khas Wonosobo, hingga WC umum. Kami membeli gorengan yang masih hangat untuk dibawa ke puncak bukit. Apalagi kami hanya sarapan mi instan. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit–1 jam untuk mencapai Bukit Sikunir. Kontur treknya adalah perpaduan jalan setapak dan anak-anak tangga. Di atas sana, kami disuguhi pemandangan berupa gunung-gunung. Ada Gunung Sindoro yang bersanding dengan Gunung Kembang dan Gunung Sumbing. Tidak jauh dari tiga puncak itu, bisa juga dilihat Gunung Merbabu, Gunung Merapi, dan Gunung Ungaran. Puncak gunung-gunung itu menjulang. Berselimut awan berkabut. Ya, cuaca saat itu berkabut. Kami tidak mendapatkan golden sunrise Sikunir. Namun, view yang terhampar sudah membuat kami takjub. Wisatawan yang ingin mendapatkan golden sunrise dengan jelas disarankan untuk datang pada musim kemarau. Antara bulan Juli sampai Oktober. Cuaca jarang mendung pada bulan-bulan itu. Kabut juga tidak terlalu tebal. Bukit Sikunir memiliki ketinggian 2.463 mdpl. Objek wisata ini baru ramai dikunjungi traveler sekitar tahun 2009. Konon, asal usul nama Bukit Sikunir berasal dari bumbu dapur. Kunir merupakan salah satu jenis rempah. Atau orang modern menyebutnya kunyit. Alasannya, saat matahari muncul dari balik bukit itu, tempat-tempat di sekitarnya menjadi berwarna kuning sebagaimana warna kunir. (*) Dieng, 15 Maret 2020

  • Misteri Tenda Goyang di Gunung Gede via Gunung Putri

    SAYA baru turun dari Gunung Gede, Bogor. Sebagaimana pendakian-pendakian sebelumnya, pendakian kali ini juga melelahkan. Tapi tentu saja menyenangkan. Namun, kali ini ada sedikit perbedaan. Sejak pertama kali mendaki pada tahun 2009, saya tidak pernah mengalami kejadian mistis. Baru kali ini saya mengalami suatu hal yang ’’mengganggu’’. Kami berlima (bersama istri dan tiga teman lain –satu cewek dan dua cowok) mendaki Gunung Gede melalui jalur Gunung Putri. Start sekitar jam 10 pagi. Kami ngetrek santai. Sampai pos 3, jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah 5 sore. Di perjalanan antara pos 3 dan pos 4, hujan tiba-tiba turun. Setelah berjalan sekitar 40 menit, kami berhenti di tanah yang sedikit lapang. Saat itu sudah maghrib. Hujan sudah reda. Jalur pendakian sudah pasti licin. Sementara waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pos 4 masih sekitar satu setengah jam lagi. Dengan beberapa pertimbangan, kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda dan bermalam di sana. Dua tenda sudah berdiri. Saya berdua bersama istri. Tenda satunya lagi untuk kawan bertiga. Sekitar jam setengah 8 malam, saya dan istri sudah ganti pakaian bersih. Siap-siap tidur. Saya pun cepat tidur lelap. Maklum, badan sudah capek. Begitu juga istri saya. Saya berpikir pasti bisa tidur nyenyak. Dan bangun-bangun sudah pagi. Badan segar kembali. Sampai akhirnya ada yang membangunkan saya (saat menulis ini kok saya merinding lagi ya). Seperti ada kelebatan di atas wajah saya. Seketika itu saya terbangun. Saya membuka mata. Di kegelapan itu, saya merasa atap tenda bergoyang-goyang kencang. ’’Tendanya goyang,’’ kata saya lumayan keras. ’’Siapa yang nggoyang!’’ kata saya lagi. Saya pun menyadari istri saya terbangun karena suara keras saya. Dia bertanya kenapa, saya jawab, ’’Seperti ada yang menggoyang tenda.’’ Saya pun menyalakan headlamp untuk memastikan keadaan. Dalam sorotan cahaya terang, tenda kami terlihat diam dengan tenang. Pun tak ada angin kencang di luar. Tenang-tenang saja. Saya berusaha menenangkan diri. Headlamp saya matikan lagi. Mengajak istri untuk berusaha tidur kembali. Namun, semalaman itu saya tidak bisa tidur lagi. Bayangan-bayangan random seperti menghantui pikiran saya. Saya baca semua doa dan ayat-ayat yang saya hafal. Namun, kesadaran saya masih utuh meskipun mata saya pejamkan. Tengkuk saya merinding semalaman. Saya tidak berani melihat jam tangan. Bayangkan kalau sadar waktu itu masih jam 10 atau 11 malam, misalnya. Dan setelah itu tidak bisa tidur lagi semalaman. Pikiran akan semakin kacau. Terus menghitung jam sambil menunggu pagi datang. Dalam ketakutan. Suara hewan malam sedikit saja atau ranting yang berderit tertiup angin sudah bisa membuat merinding. Karena pada dasarnya saya penakut. Nonton film horor saya ogah-ogahan. Saya tidak berani nonton film Pengabdi Setan yang katanya bagus itu. Setelah berjam-jam gagal tidur, tenda mulai terang. Mungkin jam 6 pagi. Setelah itu saya mulai terlelap. Tapi tidak lama. Karena jam 7 sekian saya harus bangun. Siap-siap, masak-masak. Ngopi-ngopi . Packing kembali untuk melanjutkan pendakian. (*) Gede via Jalur Gunung Putri, 28 Agustus 2019

  • Gunung Lawu, Pendakian yang Belum Usai

    BERAWAL dari keinginan yang kuat untuk segera melakukan pendakian, musim hujan pun tidak kami pedulikan. Awal Desember 2018 kami sudah memesan tiket kereta untuk pendakian tanggal 15–17 Januari 2019. Dari Stasiun Senen ke Solo Jebres. Tujuan awal kami adalah Gunung Merbabu via Gancik, Selo. Namun, akhir Desember sampai awal Januari 2019 kami dibuat galau. Musim sedang pilek. Gunung-gunung diselimuti kabut tebal dan angin badai. Merbabu dan beberapa gunung lain pun ditutup hingga waktu yang tidak ditentukan. Kami pun harus mencari gunung alternatif. Pilihan jatuh pada Gunung Lawu yang bisa ditempuh sekitar 2 jam dari Stasiun Solo Jebres. Sebentar lega, kabar buruk datang lagi. Semua jalur pendakian Lawu ditutup karena akhir Desember seorang pendaki hilang di gunung setinggi 3.265 mdpl tersebut. Sebelum hari keberangkatan, kabar baik datang. Jalur pendakian Lawu resmi dibuka. Kami pun memantapkan niat. Mendaki Lawu via Candi Ceto. Dari stasiun ke pos pendakian Lawu, kami naik mobil sewaan yang sudah kami ­booking . Sebenarnya mobil itu kami pesan untuk naik ke pos perizinan Gunung Merbabu. Namun, karena Merbabu tutup, pemilik mobil bersedia mengantarkan kami ke pos perizinan Gunung Lawu. Hanya perlu menambah ongkos sedikit. Pagi tanggal 15 Januari, kami memulai pendakian. Setelah mengisi data diri dan membayar biaya Rp 15 ribu per orang, kami memulai pendakian. Jika dibandingkan dengan jalur Cemoro Sewu dan Cemoro Kandang, jalur Candi Ceto dikenal memiliki view yang indah. Itulah alasan kami memilih jalur Candi Ceto. Tanggal 15 Januari 2019 kami memulai pendakian. Saat menuju pos perizinan, kami melewati beberapa anak tangga untuk akses menuju Candi Ceto. Setelah beberapa meter meninggalkan pos perizinan, kami disambut Candi Kethek. Setelah itu, pendakian sudah benar-benar dimulai. Perjalanan dari pos perizinan menuju Pos 1 (Mbah Ranti/1.600 mdpl) normal-normal saja. Kami tempuh sekitar 1 jam. Trek belum terlalu menyiksa, apalagi tenaga masih bisa dibilang full . Jalur dari Pos 1 menuju Pos 2 (Brakseng/2.250 mdpl) tetap menanjak, bahkan minim trek bonus. Hanya, cuaca yang mendung ditambah rerimbun vegetasi membuat perjalanan kami tidak terlalu sulit. Kami membutuhkan waktu satu jam lebih untuk mencapai Pos Brakseng. Setelah beristirahat di Pos 2 untuk mengembalikan tenaga, kami harus bersiap menempuh trek yang agak panjang untuk menuju Pos 3 (Comoro Dowo). Di sini motivasi kami semakin bertambah. Karena di Pos 3 ada sumber air yang berlimpah. Setelah 2 jam perjalanan, kami pun sampai di pos sumber air tersebut. Kami menambah persediaan air untuk melanjutkan pendakian. Yang pasti, kami menyisakan sedikit waktu untuk beristirahat sambil menikmati perbekalan yang ada. Tidak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Botol-botol yang mulai berkurang isinya mulai penuh lagi. Otomatis beban di punggung bertambah kembali. Namun, itu tidak menyurutkan semangat kami untuk terus menanjak. Misi untuk mencapai Pos 4 (Penggik/Ondorante, 2.500 mdpl) dimulai. Awalnya, perjalanan lancar-lancar saja. Namun, belum sampai setengah jalan, hujan mengguyur. Ya, inilah risiko mendaki pada musim hujan seperti sekarang. Jalur pendakian yang berupa tanah menjadi licin. Dan percayalah, mendaki di trek yang licin bisa menguras tenaga berkali-kali lipat. Estimasi waktu 2 jam menuju Pos 4 pun molor berjam-jam. Di tengah jalan kami harus membongkar kompor dan nesting . Masak mi instan. Kami harus mengisi perut yang kosong. Kalau tidak begitu, terpaan angin kencang saat perut kosong akan menumbangkanmu. Setelah makan beberapa sendok mi instan, kami kembali melangkahkan kaki. Tertatih-tatih. Napas tersengal-sengal. Habis isya kami baru sampai di Pos 4. Kami pun mendirikan tenda di bawah gerimis malam di Gunung Lawu. Malam itu, hujan terus mengguyur sampai pagi tanggal 17 Januari 2019. Musuh utama pendaki adalah mager, males gerak. Beranjak dari tenda terasa begitu berat. Apalagi di luar hujan terus turun. Angin berdesir kencang. Hawa dingin menjelma seperti teror hingga membuat kami hanya ingin bersembunyi di kehangatan sleeping bag , di dalam tenda, kembali tidur. Kami pun diombang-ambing kebimbangan. Antara membongkar tenda untuk melanjutkan pendakian, tetap tidur sampai esok kembali turun, atau meninggalkan tenda dan melipir ke puncak dengan hanya membawa daypack dengan logistik secukupnya. Opsi yang terakhirlah yang kami pilih. Setelah makan, habis duhur, kami baru naik menuju Pos 5 (Bulak Peperangan). Trek yang licin sehabis diguyur hujan semalaman hingga siang menghambat laju kami melambat. Sepanjang perjalanan, angin kencang dan gerimis menemani. Tenaga pun semakin cepat terkuras. Setelah melewati punggungan, kami sampai di Pos 5. Jalur di pos ini merupakan area terbuka dengan hamparan sabana yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Setelah beristirahat sebentar dan foto-foto di pos dengan ketinggian 2.850 mdpl ini, kami melanjutkan niat untuk menuju puncak dan mampir sebentar di warung legendaris Mbok Yem di Hargo Dalem. Namun, begitu tiba di Gupak Menjangan, saat kami berusaha mencari sumber air berupa kubangan, badai menerjang. Kabut tebal bak tembok putih seperti bangkit dari tanah. Kami pun menyiapkan beberapa botol kosong untuk mengambil air di kubangan Gupak Menjangan. Sayang, air di sana keruh. Niat mengambil air pun kami urungkan. Setelah turun, kami baru tahu bahwa di samping kubangan itu ada cekungan yang airnya bersih. Namun, saat itu kami tidak bisa melihatnya karena kabut begitu tebal. Karena kabut semakin tebal dan badai semakin menggila, kami pun membatalkan niat untuk mendaki ke puncak Hargo Dumila hari itu. Apalagi, tanpa kami sadari, saat itu jam sudah menunjukkan pukul 3 sore lebih. Kami sepakat jangan sampai ngetrek malam. Belum lagi esok paginya kami harus turun untuk kembali ke Jakarta sore harinya. Kami balik kanan, kembali berjalan menuju Pos 4 di mana tenda kami masih berdiri. Kami tidak menyesal gagal mencicipi nasi pecel di warung Mbok Yem. Kami tidak sedih gagal mencapai puncak Hargo Dumilah. Tak lari ke mana gunung dikejar. Nanti kami akan kembali. (*) Karanganyar, 15–17 Januari 2019

  • Gunung Lawu, Pengalaman Pertama Mendaki

    SAAT suami menawarkan rencana untuk mendaki Gunung Lawu, saya begitu antusias sekaligus waswas. Sesungguhnya, dari kecil hingga kuliah, kerja, dan akhirnya menikah, saya belum pernah sekali pun menjelajah alam liar. Apalagi mendaki gunung, boro-boro. Bisa dibilang saya merupakan anak rumahan yang sangat jarang main-main ke tempat jauh. Saya berpikir, mendapatkan jodoh seorang yang menyukai alam merupakan cara Tuhan untuk memberi kesempatan kepada saya agar bisa sedikit lebih dekat dengan-Nya. Ya, dengan segala persiapan, termasuk olahraga rutin, saya dan suami melakukan perjalanan bersama beberapa teman menuju Gunung Lawu. Dari berbagai tulisan dan ulasan beberapa orang, Gunung Lawu termasuk dalam Seven Summits of Java atau jajaran gunung tertinggi di Jawa. Selain keindahan alamnya, beragam cerita mistis menjadi daya tarik tersendiri dari gunung ini. Bahkan, Gunung Lawu dipercaya sebagai episentrum kekuatan gaib yang sangat kuat di Jawa. Tidak heran jika banyak orang yang datang untuk memberi sesaji atau bertapa. Saat itu pertengahan Januari, masih musim hujan. Di pagi yang dingin dan berkabut, rombongan kami memulai pendakian via Candi Ceto. Kekompakan rombongan harus selalu dijaga agar pendakian dapat berjalan lancar. Di sini saya benar-benar belajar artinya saling mengerti di tengah-tengah segala keterbatasan. Di tengah kesunyian hutan, saya menyadari satu hal: gunung (alam) selalu memiliki cara untuk mengajari kita berbagai sifat dasar manusia. Bahkan, sempat tebersit di pikiran saya bahwa jika ingin mengetahui sifat asli teman atau sahabat kita, mungkin mengajaknya mendaki gunung bisa menjadi salah satu alternatif pilihan. Ada satu hal yang membuat perjalanan kami sedikit unik. Seekor anjing yang biasa dipanggil Zero oleh warga setempat dan para pendaki dengan setia mengiringi perjalanan kami. Dia seperti menjadi pemandu kami dalam mendaki. Namanya juga sudah sangat dikenal di kalangan para pendaki. Setiap kami istirahat, dia juga turut serta. Menurut saya, Zero merupakan anjing yang sangat unik. Meskipun berperawakan besar dan terlihat sangar, dia bisa dibilang sangat jinak dan patuh. Zero juga tidak memilih-milih makanan. Dia mau saja menyantap mi hingga cokelat yang diberikan pendaki. Sangat jauh dari kesan anjing besar pada umumnya yang memakan daging. Begitulah Zero mengiringi perjalanan kami dari Pos 1 dan seterusnya. Saat hari mulai sore, kami sampai di Pos 3, tempat sumber air. Kami istirahat beberapa saat, kemudian mengisi ulang tempat air untuk persediaan di perjalanan selanjutnya. Dari Pos 3, kami melanjutkan pendakian menuju Pos 4. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan malam. Hujan yang cukup lebat mengiringi pergantian hari. Trek yang kami lewati pun terasa semakin berat karena diguyur hujan. Waswas dan sedikit rasa khawatir tentu menggelayuti pikiran saya. Bagaimana tidak, ini adalah pengalaman pertama saya mendaki. Sekali mendaki, saya harus melewati trek yang berat, hujan, dan gelap. Dalam keadaan seperti ini, keyakinan dan kehati-hatian sangat diperlukan. Meski sempat merasa sedikit horor dalam perjalanan, rombongan kami pun sampai di Pos 4. Karena hari sudah malam, sekitar pukul 21.00, kami pun langsung mendirikan tenda. Pagi hari kami masih diiringi oleh rintik-rintik hujan. Udara begitu dingin dan berkabut. Kami menunggu hujan reda, kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak. Namun, sampai di Pos 5, hujan kembali turun. Waktu pun sudah cukup sore. Awalnya kami berencana berteduh di bawah deretan pohon cemara di pinggir jalur pendakian. Namun, saat kami sedang berusaha memasang flysheet , angin tiba-tiba bertiup kencang. Kabut semakin tebal. Cuitan burung-burung pun bersahutan. Deritan cabang cemara semakin memekakkan telinga. Kehadiran kami seperti tak diinginkan. Karena suasana yang sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri, kami pun akhirnya mengurungkan niat dan memutuskan untuk kembali ke Pos 4. Kami bermalam sekali lagi. Paginya baru turun dan kembali ke base camp . Sampai di bawah, barulah setiap anak berani menceritakan segala apa yang dirasakan selama pendakian. (*) *Nury

  • Meresapi Pesona Teh Geulis Gunung Papandayan

    JAKARTA belum benar-benar mengantuk pagi itu. Di kota ini, setiap orang hidup dalam kecurigaan. Subversif individualisme. Kota ini ibarat sangkar yang mengurung setiap burung dan terjebak di dalamnya. Setelah itu, sangkar bernama Jakarta itu hanya akan menawarkan dua hal: kebahagiaan dan penderitaan. Tersesatlah mereka yang hidup di antara keduanya: yang tidak berbahagia sekaligus yang tak menderita. Hidup di kota ini seperti jalur kereta, telentang, dan membosankan. Maka, hanya sedikit perjalanan yang bisa menyelamatkan. Pagi itu, 19 April 2015, sekitar pukul 24.30, perjalanan kecil dimulai. Gas motor kami geber dari Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menuju Terminal Kampung Rambutan. Kami lewati jalan-jalan yang sedikit lengang dan lampu-lampu jalan yang murung. Gedung-gedung di sisi kanan-kiri jalan juga tampak beku. Tidak lama, sekitar pukul 01.19, kami pun sampai di terminal di kawasan Jakarta Timur tersebut. Hiruk-pikuk terminal yang biasanya bising dan semrawut tampak lengang di pagi buta itu. Hanya ada satu-dua bus yang mengaspal. Angkot juga tidak banyak yang beroperasi. Tapi, kami yakin tetap ada bus yang akan membawa kami melakukan perjalanan singkat ini. Sekitar pukul 01.45, kami pun naik bus Saluyu Prima AC. Kami bersandar pada kursi, mencari posisi paling nyaman untuk melakukan perjalanan sekitar 4–5 jam menuju Garut. Tapi apa daya, seperti biasa, bus ngetem begitu lama di sekitar Terminal Pasar Rebo. Dan pukul 03.00 kami baru berangkat ke Garut via tol Cipularang. Lalu lintas pagi itu padat lancar sehingga kami yakin estimasi 4–5 jam kami sudah sampai di Garut. Harga tiket bus Saluyu Prima tujuan Terminal Guntur dibanderol Rp 55.000. Kami kira perjalanan akan aman-aman saja sampai akhirnya bus macet di tengah jalan. Setelah diperbaiki, bus memang masih bisa jalan, tapi tersendat-sendat. Akhirnya, bus benar-benar mogok dan tidak bisa diperbaiki lagi di Km 99 tol Cipularang. Waktu itu jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Bus terpaksa diderek dan para penumpang dioper ke bus lain, termasuk kami. Semakin siang, lalu lintas menuju Garut semakin padat. Karena penumpang penuh, kami pun terpaksa duduk berimpitan di ruang bus paling belakang yang biasanya dipakai untuk menaruh barang-barang penumpang. Dalam posisi tidak nyaman itu, kami upayakan bisa tidur untuk menghemat tenaga. Meskipun tidak pernah bisa nyenyak, syukurlah masih bisa tidur beberapa menit. Kami akhirnya sampai di Terminal Guntur, Garut, sekitar pukul 08.32. Waktu yang seharusnya bisa ditempuh selama 5 jam pun akhirnya molor menjadi sekitar 8 jam! Sampai di terminal, kami memerlukan sarapan dulu di warung sederhana di sekitar terminal. Setelah perut terisi dan tenaga sedikit pulih, kami siap-siap berangkat. Saat itu sudah ada sopir angkot yang memang sudah menunggu kami makan sampai selesai. Tawar-menawar harga pun terjadi dan kesepakatan harga Rp 20.000 per orang pun tercapai sampai ke Camp David (pos pertama pendakian). Kami berangkat sekitar pukul 09.30. Namun, apa daya. Ternyata sopir angkot menurunkan kami di pertigaan Cisurupan. Kami sempat protes karena sopir itu mengatakan kita bisa langsung diantar ke Camp David. Jadi, untuk kalian yang baru pertama mendaki ke Gunung Papandayan harus berhati-hati terkena tipuan calo semi sopir angkot seperti itu. Kami sampai di pertigaan Cisurupan sekitar pukul 10.27. Untuk sampai ke Camp David, kami harus naik ojek atau pikap. Tukang ojek di sana menawarkan harga Rp 25.000 untuk sampai ke Camp David, sedangkan pikap Rp 20.000 dengan syarat minimal 15 orang. Karena udara panas siang itu, sopir pikap sepertinya merasa kasihan kepada kami yang sempat ditipu calo angkot sehingga mau bernegosiasi untuk harga naik pikap. Harga Rp 17.000 per orang pun menjadi penawaran yang tidak bisa diturunkan lagi. Saat itu kami berlima, ketambahan lima pendaki lain yang juga dari Jakarta. Mesin pikap meraung, roda berputar, perjalanan singkat ke kaki Gunung Papandayan dimulai. Mobil melewati jalan berkelok dan menanjak. Pemandangan ladang hijau dan hutan rimbun memang sedikit menyejukkan mata. Pemandangan yang tak bisa ditemui di Jakarta. Sekitar pukul 11.30, kami sampai ke gerbang sekaligus menjadi tempat registrasi pendakian. Di sini, kami tidak perlu menunjukkan identitas diri (KTP) atau surat keterangan sehat dokter. Kami cukup menyebutkan nama pimpinan kelompok pendakian dan berapa jumlah anggotanya. Setelah membayar Rp 2.000 per orang, kami bisa langsung menuju area parkir pos pertama pendakian. Memulai Pendakian di Switzerland from Java Kota Garut mendapat julukan sebagai Switzerland from Java. Gunung Papandayan yang berada di Garut memiliki ketinggian 2.665 mdpl dan terletak di Kecamatan Cisurupan. Gunung ini memiliki beberapa kawah terkenal seperti Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk yang aktif mengeluarkan uap. Siang itu, sekitar pukul 12.00, Camp David riuh akan pendaki-pendaki maupun wisatawan. Kebanyakan mereka berasal dari Garut sendiri dan sekitar Jabodetabek. Area parkir pun penuh kendaraan sehingga view -nya tidak cukup bagus untuk foto. Karena itu, kami memutuskan langsung mendaki tanpa mengambil gambar. Rimbun vegetasi menyambut kami di sisi kanan dan kiri jalan. Tetapi, itu tidak lama. Setelah itu, tanah dan bebatuan kapur memberikan ucapan selamat datang kepada kami. Sebagai gunung aktif, kawah Papandayan selalu menyemburkan asap belerang dengan bau menyengat. Gelegar kecil atau desis kawah menyambut kami. Inilah pesona alam Papandayan karena erupsi dahsyat puluhan dan ratusan tahun silam. Letusan itu memang dahsyat hingga meruntuhkan sebagian besar badan gunung. Bahkan, Lee Davis dalam tulisannya berjudul Natural Disaster menggambarkan bahwa Gunung Papandayan hancur hingga berkeping-keping. Di sini, saya tidak memedulikan jarum jam yang terus berputar. Kami tidak ingin disandera waktu. Kami ingin menikmati alam senikmat-nikmatnya. Kami pun mendaki dengan santai hingga sampailah kami di Hutan Mati. Hutan Mati bisa disebut sebagai hutan paling eksotis di Papandayan, atau mungkin di kota-kota lain di Indonesia. Di sini semua pohon meranggas hitam dan berdiri di atas tanah kapur yang penuh kandungan belerang. Hutan ini terbentuk karena erupsi Gunung Papandayan pada tahun 2002. Lokasi ini sering dijadikan hunting foto oleh fotografer profesional maupun amatir. Cocok juga untuk lokasi foto prewed . Dari Hutan Mati, pendaki yang ingin nge-camp bisa mengambil jalur ke kanan menuju Pondok Salada. Lokasi ini bisa ditempuh sekitar 2–3 jam dari Hutan Mati. Di Pondok Salada ada sumber air sehingga pendaki tidak perlu khawatir kehabisan air untuk menyeduh kopi atau memasak mi instan. Tapi, kami tidak berniat nge-camp sehingga kami mengambil jalur lurus sedikit ke kiri dan menanjak. Kami langsung menuju Tegal Alun. Di sini, kita bisa menjumpai ladang terhampar luas sekitar 35 hektare yang ditumbuhi edelweiss atau bunga abadi, atau yang memiliki nama latin Anaphalis Javanica . Untuk menjaga kelestarian edelweiss di sini, agar kita masih bisa menikmatinya beberapa tahun ke depan, supaya kita bisa menunjukkan kepada istri dan anak kita kelak, jangan tergoda untuk memetiknya. Kami sampai di Tegal Alun sekitar pukul 14.00, setelah melewati tanjakan yang cukup terjal di antara vegetasi yang rimbun. Kami pun tidak terlalu tergesa-gesa meninggalkan secuil surga di atas Papandayan. Kami lalu membongkar keril, mengeluarkan kompor, nesting , dan kopi. Seduhan yang sempurna. Kami menikmati kopi hitam di tengah ladang edelweiss . Setelah puas berfoto-foto dan menikmati secangkir kopi, gerimis pun turun, kabut juga mulai menyelimuti bagai tirai putih yang menjulur-julur. Kami memutuskan turun lewat jalur yang sama saat kami naik. Udara siang tadi yang agak panas berubah drastis menjadi dingin. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Papandayan termasuk dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun, kelembapan udara 70–80 persen, dan bertemperatur 10 derajat Celsius. Karena hujan, jalan terjal menurun menjadi sedikit berlumpur dan licin. Dalam kondisi seperti ini, kondisi fisik dan mental harus dijaga. Konsentrasi harus diutamakan. Jika tidak, tergelincir adalah efek paling fatal karena jalan menurun cukup curam. Tidak sampai satu jam, kami pun sampai di Hutan Mati lagi sekitar pukul 03.00. Kami sengaja berlama-lama nongkrong di sini sambil menikmati Hutan Mati. Kami menghabiskan logistik yang sedari tadi memberati punggung kami. Mi goreng/rebus, snack , dan kopi kami binasakan di situ. Pemandangan semakin indah dan udara semakin dingin saat hari mulai sore dan kabut mulai turun. Dalam kondisi seperti itu, Hutan Mati seperti negeri anta berantah, seperti negeri misteri di alam dongeng. Tonggak-tonggak pohon kering terlihat samar di balik kabut. Beberapa pendaki di kejauhan juga terlihat seperti makhluk-makhluk astral yang berminat menampakkan diri. Super sekali. Sekitar pukul 17.00, kami memutuskan turun ke Camp David. Di area parkir, kondisinya sudah sepi jika dibandingkan dengan saat kami mulai mendaki siang tadi. Sayang sekali, lokasi Camp David begitu gelap, tidak ada penerangan sedikit pun, kecuali lampu sorot mobil pikap yang sengaja menunggu pendaki yang ingin turun. Setelah membersihkan kaki dari lumpur, kami pun siap turun. Kami membayar pikap Rp 20.000 per orang untuk sampai ke pertigaan Cisurupan. Sebelum benar-benar meninggalkan Gunung Papandayan, kami harus melapor di pos. Cukup menyebutkan nama pemimpin kelompok pada awal pendakian, dan kami pun turun melewati jalan gelap berliku. Di kejauhan di bahwa sana, lampu kota terhampar luas seperti seribu kunang-kunang yang beterbangan. Sampai di pertigaan Cisurupan, sudah ada beberapa angkot yang menunggu. Nggak pake lama, kami pun mengiyakan membayar Rp 20.000 per orang untuk sampai ke Terminal Guntur. Perjalanan tidak sampai satu jam. Sampai di terminal, kami menyempatkan istirahat sejenak sambil mengisi perut yang mulai kosong. Tepat pukul 21.00, bus berangkat menuju Jakarta. Sama dengan saat berangkat, kami pun membayar tiket bus Rp 55.000 per orang. Sampai di Terminal Kampung Rambutan, waktu menunjukkan sekitar pukul 02.00 dini hari. Dari sana, kami pun berpisah untuk kembali ke tempat kos masing-masing. Kami hanya mendaki Papandayan satu hari, tanpa nge-camp. Kami pun kembali ke realitas Kota Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya. Sampai jumpa di one day trip selanjutnya. Salam lestari. (*) Jakarta–Garut, 18–19 April 2015

  • Pendakian Gunung Gede

    SETELAH vakum sekitar tujuh bulan dari dunia pendakian gunung, ada keinginan untuk kembali mendaki. Dan, Gunung Gede menjadi pilihan. Letaknya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta memang menjadi pertimbangan (terlepas dari memang ada keinginan mendaki Gunung Gede saat masih tinggal di Surabaya). Jadi, anggap saja ini seperti peribahasa ’’pucuk dicinta, ulam pun tiba”. Jika dibandingkan dengan pendakian Gunung Welirang, Semeru, atau Rinjani, perizinan untuk mendaki Gunung Gede memang rumit alias ribet. Setelah melakukan booking via online, calon pendaki masih harus menunggu validasi setelah mentransfer biaya Rp 7.000 per orang. Namun, prosesnya belum selesai sampai di situ. Calon pendaki masih harus mengurus SIMAKSI di kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Jalan Raya Cibodas, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat. Jika tidak ingin waktu terbuang sia-sia, calon pendaki memang sebaiknya mengurus SIMAKSI beberapa hari sebelum hari H pendakian. Sebab, antrean panjang akan terjadi, baik pendaki yang mengurus SIMAKSI untuk pendakian hari itu atau untuk hari-hari berikutnya. Antrean akan bertambah panjang saat weekend. Itu ditambah dengan hanya ada dua tenaga pelayanan, sedangkan jumlah pendaki membeludak. Di situ, calon pendaki masih harus membayar tiket masuk dan uang asuransi. Untuk informasi lebih lengkap kunjungi website resmi TNGGP. Sabtu, 07 Juni 2014 Sabtu pagi Jakarta tampak cerah, hangatnya belum begitu terasa mesra. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 saya sudah harus rela meninggalkan kasur untuk segera bergegas. Padahal, biasanya saya masih tertidur sampai sore tiba. Karena sudah ada janji bertemu di sebuah warung kopi dengan rekan pendakian, saya pun bersiap. Saya baru sampai di warung kopi sekitar pukul 07.30. Dari tempat kos di Gang Salam Nomor 7, Rawa Belong, Jakarta Barat, saya harus naik angkot untuk menuju warung kopi di Jalan Kebayoran Lama No 12, Jakarta Selatan. Setelah memakan waktu setengah jam, saya pun sampai dan memesan kopi hitam panas. Rokok saya sulut. Sementara teman saya belum tampak ujung giginya, Adn. Saya menunggu dengan terus menikmati kopi dan rokok Mild. Setelah rokok habis sebatang, Adn datang. Namun, kami tidak langsung berangkat. Ngopi menjadi ibadah yang memang sulit ditinggalkan. Jadi, kami masih terus nongkrong di warung kopi sampai pukul 09.00. Setelah itu, kami pun memutuskan berangkat dengan naik angkot 09 ke Pasar Kebayoran Lama (Rp 3.000 per orang). Dari situ, kami naik angkot lagi menuju Terminal Kampung Rambutan (Rp 7.000 per orang). Saya dan Adn sampai di terminal sekitar pukul 10.00. Dari Terminal Kampung Rambutan, kami naik bus ekonomi Karunia Bakti jurusan Cianjur via Puncak Bogor (Rp 20.000 per orang). Dalam keadaan normal, Jakarta–Cibodas bisa ditempuh dalam waktu 3–4 jam. Tetapi, saat itu weekend dan jalur menuju atau dari Puncak Bogor diberlakukan sistem buka-tutup jalan. Alhasil, kami baru sampai di Cibodas sekitar pukul 16.30. Kami pun turun di pertigaan Cibodas, kemudian naik angkot kuning ke pos perizinan (Rp 5.000 per orang). Rencana mengurus SIMAKSI hari ini untuk pendakian esok harinya pun gagal karena kantor sudah tutup. Jadi, kami harus menunggu esok pagi. Lagi pula kami juga masih harus menunggu dua kawan lagi yang datang menyusul dari Jakarta, Mud dan Sah. Sambil menunggu, kami mencari tempat yang asyik buat ngopi . Kami pun menemukan tempat yang asyik di sekitar tempat parkir Air Terjun Cibeureum, masih berdekatan dengan pos perizinan. Warung kopi itu menyediakan segala macam minuman, dari kopi hingga bandrek. Penginapan juga disediakan, semalam Rp 50.000 untuk berapa pun orang, asal muat. Sekitar pukul 03.30 pagi, Mud dan Sah baru datang. Ya, meskipun sedikit ngantuk , ibadah ngopi dan isap rokok harus dijalankan dulu sebelum tidur. Minggu, 08 Juni 2014 Pagi menjelma kabut dingin. Saya terbangun pada pagi yang tidak biasa. Selimut dan dingin berebut mendekap tubuh. Saat itu pukul 06.00 dan pos perizinan belum buka. Pelayanan pengurusan SIMAKSI dan booking pendakian baru dibuka pukul 09.00. Maka, sarapan, ngopi , dan ngrokok adalah hidangan pagi yang sederhana, namun terasa istimewa. Waktu berjalan seperti biasa, sampai akhirnya saya, Adn, Mud, dan Sah bersiap untuk bergegas. Sebab, waktu cepat berjalan dan tahu-tahu sudah pukul 09.00 saja. Saat itu di kantor perizinan belum terlalu banyak orang. Baru menjelang pukul 10.30 mulai banyak pendaki. Baik yang mengurus izin untuk pendakian hari ini atau booking untuk pendakian pada hari selanjutnya. Selama waktu itu, kami masih harus antre untuk mendapat izin. Selain perizinan yang ribet, pelayanannya juga lemot. Sebab, dari pukul 09.00, kami baru bisa mendapat izin pukul 12.00. (Bayar booking per orang Rp 7.000, tiket masuk Rp 10.000 per orang, dan asuransi 2.000 per orang). Setiap satu rombongan harus ada surat pernyataan pakai meterai 6.000. Nah, saking ribet dan lemotnya pelayanan, meterai akhirnya dijual Rp 10.000 dengan alasan tidak ada kembalian. Dan, ini berlaku untuk semua pengantre. *Ngumpat*! Kami pun baru mendaki sekitar pukul 12.30. Setelah jalan beberapa meter, kami melewati Pos I atau pos pemeriksaan. Di situ barang bawaan apa saja yang sekiranya menghasilkan sampah dicek. Setelah beres, kami melanjutkan berjalan mendaki dengan melewati jalan berbatu atau makadam. Hari itu sangat ramai pengunjung karena weekend . Karena jalan menuju puncak dan Air Terjun Cibeureum satu jalur. Air terjun ini memang dikunjungi banyak wisatawan lokal maupun mancanegara pada weekend. Setelah berjalan sekitar 1,5 km melintasi hutan tropis, kami tiba di Telaga Biru. Letaknya berada di ketinggian 1.500 mdpl. Konon, warna air di telaga ini bisa berubah-ubah karena ada tanaman ganggang yang hidup di dasar sungai. Namun sayang, saat itu air sungai sedang surut sehingga kami tidak bisa menjumpai keindahannya. Kami pun tak berhenti lama dan segera melanjutkan pendakian. Tidak jauh dari Telaga Biru, kami bisa menjumpai trek bonus berupa jembatan datar yang cukup panjang, sekitar 1 km. Jembatan berbahan dasar semen itu melintang di atas sebuah rawa luas dengan tumbuhan-tumbuhan yang subur. Daerah ini diberi nama Pos Rawa Gayang Agung. Lokasinya terletak di ketinggian 1.600 mdpl. Tempatnya yang indah dan tidak tertutup pohon-pohon tinggi menjadikan lokasi ini pas untuk berfoto-foto ria. Setelah bersantai di trek lurus, kami kembali disambut trek berbatu dan menanjak hingga sampai di Pos Panyancangan Kuda dengan ketinggian 1.628 mdpl. Pos ini berada di jalur pertigaan. Jalan lurus dan menurun adalah arah ke wisata Air Terjun Cibeureum, sedangkan belok kiri menanjak adalah arah puncak Gunung Gede dan Pangrango. Karena mengejar waktu, kami pun langsung belok kiri dan terus menanjak. Jalurnya semakin menanjak dengan jalan yang masih berbatu dan berliku-liku. Sepanjang perjalanan gemuruh air terjun terdengar menggiurkan. Ada keinginan untuk sejenak mampir, tetapi tekad yang ada adalah terus menanjak dan menanjak. Waktu terus berjalan, kaki terus menapak, napas tersengal-sengal, sampailah di Pos Batu Kukus di ketinggian 1.820 mdpl. Istirahat menjadi pilihan yang paling menolong sebelum menuju Pos Pondok Pemandangan (2.150 mdpl) sambil menunggu antrean melewati air panas yang jatuh dari lereng-lereng terjal. Sepanjang jalur pendakian, bisa dikatakan trek air panas ini adalah jalur yang paling berbahaya. Sebab, medannya licin dan sempit. Sementara di sisi kanan (arah naik) adalah lereng curam. Pendaki harus berhati-hati melewati air dengan suhu yang mencapai 70° Celsius itu dengan berpegangan pada tali atau pasak yang sudah terpasang. Setelah melewati medan yang curam, pendaki bisa beristirahat sejenak, bisa mandi di aliran air panas sambil menikmati pemandangan yang indah. Atau, mungkin cuma mencuci muka dan merendam kaki untuk mencari sedikit kesegaran. Setelah puas, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos Kandang Batu di ketinggian 2.220 mdpl. Sepanjang jalan menuju pos ini terdengar suara gemericik sungai yang dialiri air panas di sepanjang sisi jalan. Kami sampai di Pos Kandang Batu sekitar pukul 05.45. Sambil menunggu magrib selesai, kami beristirahat. Sempat ada keinginan untuk membangun tenda di pos ini. Tapi, sesuai dengan kesepakatan, kami pun melanjutkan perjalanan pada malam hari menuju Pos Kandang Badak di ketinggian 2.395 mdpl. Di pos ini tersedia air bersih yang melimpah. Pendaki bisa saja terus naik dan nge-camp di dekat puncak, atau bahkan di puncak Gunung Gede. Namun, kami memutuskan untuk bermalam di Pos Kandang Badak. Sampai sekitar pukul 20.00, kami pun membongkar keril, membangun tenda, mengeluarkan segala macam peralatan, makanan, minuman, dan apa saja yang diperlukan. Sebelum tidur, masak adalah sebuah kebutuhan yang mendesak, dan tiga mi instan rasa kari ayam sudah menjadi makanan istimewa. Setelah makan dan minum teh panas, kami memutuskan tidur sekitar pukul 21.30 untuk mengembalikan energi, untuk persiapan menuju puncak paginya. Senin, 09 Juni 2014 Sesuai kesepakatan, kami bangun pukul 02.00 dini hari. Setelah membuat teh dan makanan, sekitar pukul 02.45 kami mulai jalan menuju puncak. Namun sayang, Adn tiba-tiba drop sehingga dia harus kembali ke tenda. Jadi, hanya saya, Mud, dan Sah yang melanjutkan ke puncak. Dalam perjalanan ke puncak, pendaki akan menemui pertigaan. Nah, jika mau ke puncak Gunung Gede, pendaki harus mengambil jalan lurus menanjak, sedangkan arah kanan adalah arah menuju puncak Gunung Pangrango. Kami pun mengambil arah lurus menanjak. Di sini fisik dan mental benar-benar diuji. Jalur menanjak dan berliku, serta udara dingin dan tipis, semakin menguras energi. Beberapa kali kami berhenti untuk istirahat. Jalur semakin terasa berat ketika melewati Tanjakan Setan. Setelah tiga jam perjalanan, sampailah kami di puncak Gunung Gede. Sesampainya di puncak, rasa lelah akan terbayar dengan pemandangan yang indah. Sunrise dengan rona jingganya menyambut semringah tubuh yang lelah, yang berubah menjadi segar setelah menikmati keindahan semesta. Puncak Gunung Gede berada di ketinggian 2.958 mdpl. Puncaknya berupa lereng curam yang di bawahnya adalah kawah menganga. Kawah Gunung Gede ini terdiri atas Kawah Ratu dan Kawah Wadon. Meski berada di sisi kawah, pendaki tidak perlu khawatir. Sebab, di sepanjang bibir kawah sudah terpasang tali pembatas. Dari puncak Gunung Gede, pendaki bisa melihat Puncak Gunung Pangrango yang mengerucut hijau. Dari puncak sini juga pendaki bisa melihat Alun-Alun Surya Kencana. Areal terbuka seluas 5 hektare itu dipenuhi tumbuhan bunga edelweiss . Lagi-lagi karena mengejar waktu, kami tidak turun ke Alun-Alun Surya Kencana. Jadi, sekitar pukul 08.00, kami memutuskan kembali turun menuju Pos Kandang Badak. Sepanjang perjalanan, kami melewati jalur menurun yang rindang oleh tumbuhan-tumbuhan tropis. Saat turun inilah terlihat keindahan jalur menuju puncak Gunung Gede. Tidak butuh waktu lama, hanya sekitar dua jam, kami sudah sampai di tenda sekitar pukul 10.00. Kami tidur sejenak untuk memulihkan kondisi fisik untuk bersiap turun sekitar pukul 12.00. Pukul 11.00 kami bangun untuk mulai bersiap masak dan membuat teh hangat. Menunya pun tetap sama, mi goreng spesial. Setelah makan, bersantai-santai sejenak, berkemas, membongkar tenda, kami pun turun sekitar pukul 12.00, kembali lewat jalur Cibodas. Jalur menurun memang juga melelahkan, tetapi bisa ditempuh dalam waktu yang lebih cepat. Sekitar pukul 16.30, kami sudah sampai di pos perizinan pertama untuk melapor. Akhirnya, kami sampai di warung kopi, tempat kemarin kami menginap, sekitar pukul 05.30. Kami istirahat sejenak, mandi, kemudian memesan teh hangat dan nasi goreng spesial. Kami bersantai cukup lama sebelum akhirnya kembali ke Jakarta sekitar pukul 20.00. Kami sampai di Ibu Kota Jakarta sekitar pukul 23.00. Sampai jumpa di pendakian selanjutnya. (*) Bogor, 7–9 Juni 2014

  • Gunung Welirang, Pendakian Perdana

    TAHUN 2012. Beberapa bulan setelah lulus kuliah, ada tantangan di level selanjutnya: mencari pekerjaan. Namun, karena ada ’’pagebluk’’ menjelang akhir kelulusan, saya pun ingin santai-santai dulu. Kerja nanti-nanti saja. Tawaran itu pun datang. Bukan pekerjaan, tapi pendakian. Mendaki Gunung Welirang. Bagi saya, ini akan menjadi pendakian yang pertama. Gunung Welirang merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 3.156 mdpl. Secara administratif, gunung ini terletak di perbatasan Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Gunung Welirang berada dalam pengelolaan Taman Hutan Raya Raden Soerjo. Di sebelah Gunung Welirang, berdiri gagah Gunung Arjuno, Gunung Kembar I, dan Gunung Kembar II. Puncak Gunung Welirang terletak pada satu punggungan yang sama dengan puncak gunung Arjuno, sehingga kompleks ini sering disebut juga dengan Arjuno-Welirang. Mirip Gunung Gede-Pangrango di Bogor, Jawa Barat. Welirang atau walirang (nama kuno) dalam bahasa Jawa berarti belerang. Nama itu diambil karena di sekitar puncak memang terdapat penambangan belerang. Mirip penambangan belerang di Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur. Hampir setiap hari ada aktivitas penambangan di Gunung Welirang. Dari puncak, penambang mengangkut belerang ke Pos Pondokan dengan menggunakan gerobak. Berkarung-karung belerang dikumpulkan di sana. Nah, dari Pos Pondokan, belerang-belerang itu diangkut ke bawah dengan menggunakan mobil Jeep. Jadi jangan heran kalau Anda sering berpapasan dengan mobil pengangkut belerang saat mendaki Arjuna-Welirang via jalur Tretes. Untuk pendakian, Welirang bisa didaki melalui lima jalur. Yakni, jalur Cangar, Tretes, Batu, Pacet, dan Claket. Namun, kebanyakan pendaki memilih jalur via Tretes. Termasuk saya dan dua kawan saat itu. Selasa pagi, 10 Juli 2012, dari Surabaya menuju Tretes di Prigen, Kabupaten Pasuruan, kami bertiga naik dua motor. Ganti-gantian. Ada yang sendirian, ada yang berboncengan. Jarak kedua sekitar 57 kilometer atau bisa ditempuh dengan motor kurang dari 2 jam. Sebelum melakukan pendakian, kami mendaftar di Pos Tretes. Seingat saya, waktu itu tidak ada tarif pasti untuk mendaki. Tidak ada tiket pendakian. Hanya memberi uang seikhlasnya untuk penjaga pos. Pendaki hanya perlu mengisi data diri. Sebagai pendaki pemula, outfit dan gears pendakian saya saat itu ala kadarnya dan minim. Celana pendek jins hasil pemotongan celana jins, daypack , dan sepatu futsal! Ini tidak untuk dicontoh. Jalur pendakian dari Pos Tretes menuju Selter I masih enak. Jalurnya berupa tanah landai dengan perpaduan jalan beton. Selter I dikenal juga dengan nama Pos Pet Bocor. Waktu tempuhnya sekitar 30 menit saja. Di pos ini, ada satu warung. Kita bisa santai sejenak sambil ngopi , ngeteh , atau apa lah untuk melepas lelah. Sambil ngudut tentunya. Setelah bosan bersantai dan sadar perjalanan masih cukup panjang, kami pun beranjak. Kami berjalan menuju Selter II (Pos Kokopan). Pos ini berada di ketinggian kurang lebih 1.400–1.500 mdpl. Jarak tempuhnya sekitar 2–4 jam. Jalur antar kedua pos ini sudah berupa makadam, terjal berbatu. Jalur seperti ini akan kita temui sampai ke Pos Pondokan. Di Kokopan, terdapat sumber air yang selalu mengalir. Sudah dipasang pancuran untuk memudahkan pendaki. Ada juga bangunan kayu bekas warung. Gunung Welirang sebenarnya memiliki banyak potensi dan keindahan alam. Misalnya, mata air yang tidak pernah berhenti mengalir sepanjang musim, beraneka jenis pepohonan, serta sunset dan sunrise (jika beruntung). Di gunung ini juga terdapat berbagai macam jenis flora dan fauna yang menarik untuk dilihat para pendaki. Berhubung kami memulai pendakian siang sekitar jam 1, saat sampai di Kokopan, hari sudah sore. Kami pun sepakat untuk bermalam di pos ini. Bangun pagi-pagi dalam pendakian seperti hanya menjadi mitos. Maka, esoknya kami bangun menjelang siang. Sekitar jam 11. Setelah makan dan packing , habis duhur kami baru melanjutkan perjalanan menuju Selter III (Pos Pondokan) di ketinggian sekitar 2.250 mdpl). Jarak tempuhnya antara 3–5 jam. Berat. Di tengah perjalanan, saat napas mulai terengah-engah, saat lutut mulai bergetar kecapekan, terdengar deru aneh dari kejauhan. Suara itu perlahan-lahan menjadi semakin keras. Di antara gundukan jalur, dari arah bawah muncul mobil Jeep yang akan naik ke Pos Pondokan. Saat itu muncul ide brilian. Nebeng mobil itu. Hehe… Karena mobil tidak membawa muatan saat naik, kami bertiga diperbolehkan nebeng . Syaratnya satu, per orang bayar Rp 5.000. Tak apa lah . Tidak sampai satu jam kami sudah sampai di Pos Pondokan. Posnya para penambang belerang. Di sini terdapat bangunan seperti gubuk yang terbuat dari batu dan kayu dengan atap berupa jerami kering. Ini juga menjadi pos persimpangan untuk menuju puncak Welirang dan puncak Arjuna. Kalau menuju Arjuna, kita akan melewati Lembah Kijang. Areanya luas untuk kamping. Kami sempatkan sebentar untuk menyambanginya sebentar. Kami bermalam di Pos Pondokan untuk summit esok paginya. Jumat pagi, 13 Juli 2012, kami memulai summit attack . Karena tidak memburu sunset, kami baru mulai mendaki sekitar jam 10. Pendakian dari Pondokan menuju puncak sekitar 2–4 jam. Di perjalanan, kita bisa menjumpai penambang yang mengangkut belerang dengan gerobak. Gerakan mereka lincah, tangkas, bertenaga, dan pasti. Puncak Welirang sangat gersang. Wajar. Itu adalah kawasan kawah belerang. Di sekitarnya hanya berupa tanah dan bebatuan putih. Jangan lupa bawa masker. Bau belerangnya sangat menyengat. Kami tidak bisa berlama-lama di puncak. Bau belerang susah dibendung. Tidak sampai satu jam, kami pun kembali turun ke Pondokan. Setelah istirahat dan mengisi perut, kami packing dan turun. Kami sampai di Pos Tretes saat hari sudah malam. Habis isya. Kami mendaki untuk kembali pulang. Pendakian perdana yang berkesan. (*) Tretes, 10–13 Juli 2012

  • Temu Kangen dengan Gunung Gede

    PENDAKIAN Gunung Gede pertama kali saya terjadi sekitar lima tahun lalu. Kali ini saya naik lagi ke Gede. Temu kangen. Bersama bojo. Dan tiga teman lain. Tidak seperti yang sudah-sudah, pendakian kali ini adalah inisiatif sang bojo. Setelah merasakan keindahan Lembah Mandalawangi sebulan lalu, bulan ini sang bojo ingin melihat keindahan Alun-Alun Suryakencana di gunung tetangga, Gunung Gede. Via jalur Gunung Putri, Bogor. Tanggal 27 Agustus dini hari kami bergegas menuju Base Camp Gunung Putri. Dari Jakarta Selatan. engan naik mobil kawan. Berangkat sekitar jam 2 pagi. Jam 4 pagi kami sudah memarkir mobil di depan base camp . Sayang, jam segitu pintu base camp sudah ditutup rapat. Base camp di Putri tidak sebanyak di Cibodas. Yang juga buka 24 jam. Menyewa homestay juga percuma. Karena paginya kami sudah harus mulai mendaki. Jadilah kami berlima tidur di dalam mobil. Oh iya, di jalur Gunung Putri, ada base camp yang asyik. Base Camp Abah Anwar namanya. Menu makanannya pun bermacam-macam. Prasmanan pula. Ambil sendiri. Makan dulu, bayar kemudian. Dan yang paling penting, harganya ramah kantong pendaki. Setelah beres-beres dan packing , kami makan di warung Abah Anwar. Tak perlu mandi. Mandi saat mendaki gunung adalah sebuah keniscayaan yang hakiki. Kami juga perlu melengkapi kekurangan logistik di sana. Terutama air. Untuk air, kami juga tidak membawa terlalu banyak. Sekiranya cukup untuk minum waktu naik dan turun. Karena di Suryakencana ada sumber air yang cukup berlimpah untuk masak-masak. Tapi tidak cukup enak kalau langsung diminum. Kami mulai mendaki sekitar jam 10 siang. Mirip pendakian Gunung Lawu via Candi Cheto, untuk menuju pos perizinan pendaki harus nanjak dulu. Cuma di Putri treknya lebih panjang. Melewati perkebunan sayur milik penduduk. Sesekali harus berbagi jalan dengan motor-motor pengangkut sayur. Sekadar info, meskipun naik via jalur Putri, pendaki harus mengurus simaksi di Base Camp Cibodas. Bisa diurus sebelum atau pada hari H pendakian. Tergantung Anda suka yang mana. Berbeda dengan jalur Cibodas yang didominasi batu, trek Putri berupa tanah dan akar-akaran. Melewati jalur ini, saya pun teringat dengan jalur Linggarjati di Gunung Ciremai. Hampir mirip. Tidak lama berjalan dari kantor Perhutani, kami menjumpai pedagang. Lumayan lah jajan dulu. Semangka satu iris Rp 5 ribu. Saya pun teringat semangka Semeru. Dengan uang segitu di Semeru, saya dapat dua iris semangka. Nggak tahu lagi kalau sekarang. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Pos 1. Biasa dikenal dengan gerbang selamat datang di Gunung Gede. Ada gapura yang ikonik. Kami rehat. Sebatdul dan ngopi-ngopi . Kami baru kembali berjalan setelah setengah jam kemudian. Kami berjalan santai. Pos 2 (Legok Leunca) dan Pos 3 (Buntut Lutung) pun terlewati. Perjalanan kami nikmati. Rehat-rehat cantik di setiap pos bayangan dan pos bukan bayangan. Tidak lama setelah jalan dari Pos 3, hujan tiba-tiba turun. Saat itu sekitar jam setengah 4 sore. Jalur pendakian tentu saja menjadi licin. Perjalanan kami semakin santai. Keril semakin berat karena basah. Hari berubah gelap dengan cepat. Kami akhirnya memutuskan untuk nge-camp di area antara Pos 3 dan Pos 4. Tanggal 28 Agustus pagi cuaca cerah. Sebelum siang kami sudah kembali berjalan. Jarak Pos 3 ke Pos 4 sekitar 2 jam. Untuk ukuran pendaki santai seperti kami. Di Pos 4 (Simpang Maleber), kami ngopi-ngopi lagi. Jarak antar kedua pos ini lumayan panjang. Jadi, ada pos bayangan (Lawang Sekateng) di antaranya. Setelah rehat sekitar 30 menit, kami kembali jalan. Menuju Pos 5. Alun-Alun Suryakencana Timur. Di pintu gerbang pos mahaluas itu, beberapa lapak penjual menyambut kami. Tapi, kali ini kami tidak berhenti untuk jajan. Kami terus berjalan. Mencari tempat untuk mendirikan tenda. Kami berjalan lebih dari 30 menit untuk mencari tempat mendirikan tenda di alun-alun seluas 50 hektare di ketinggian 2.750 mdpl itu. Yang dekat dari sumber air. Dekat pula dengan pintu gerbang menuju puncak Gede. Jam 4 sore tenda sudah berdiri. Masak-masak dan istirahat menjadi pilihan yang tak bisa ditawar lagi. Setelah kenyang, kami merebahkan tubuh. Melawan lelah. Kabut mulai turun di Suryakencana. Diikuti malam yang jatuh. Sejauh mata melihat hanya gelap. Dan remang-remang lampu pendaki lain. Cuaca semakin dingin. Namun, di dalam tenda cukup hangat. Mata yang dari tadi protes ingin dipejamkan kini justru susah diajak tidur. Jam 8 malam tetangga-tetangga tenda masih asyik bersenda gurau. Sampai jam 11 malam. Setelah itu hening. Tapi, mata tetap enggan terkatup. Tidur, bangun, tidur, bangun. Tidak bisa nyenyak. Begitu terlelap, alarm handphone berbunyi. Jam 3 pagi. Rencananya kami akan naik ke puncak saat hari masih gelap. Menunggu sunset di puncak Gede. Naik jam 4 pagi, rencananya. Tapi, setelah masak-masak, makan-makan, saya dan bojo malas bergerak buru-buru. Apalagi kami juga harus menunggu satu rekan lagi untuk naik. Kami menata sedikit persediaan untuk menuju puncak. Snack dan air minum secukupnya. Akhirnya kami bertiga mulai nanjak sekitar jam 5 pagi. Di tengah trek, si jingga sudah merekah di balik rerimbun pohon. Trek nanjak berbatu. Kami semakin santai mendaki. Kurang dari satu jam kami sudah sampai di puncak dengan ketinggian 2.958 mdpl. Langit sudah terang. Pendaki masih sepi. Di belakang tugu puncak Gede, masih ada lapak penjual. Gokil! Hampir dua jam kami berada di puncak. Menikmati keindahan. Foto-foto juga tentunya. Kabut masih menyelimuti puncak Pangrango di depan mata dan perbukitan di sisi-sisinya. Saat pertama kali saya muncak Gede, plang penanda masih berupa satu tiang besi kecil dengan pelat besi bertulisan puncak Gede. Kini, sudah dibangun tugu di situ. Mirip dengan tugu di puncak Pangrango. Kami turun begitu puncak mulai ramai pendaki. Dan bau belerang dari kawah Gede mulai menusuk hidung. Tidak sampai setengah jam, kami sudah sampai di tenda. Di bawah, di gerbang jalur menuju puncak, pun ada dua lapak pedagang yang berdiri berhadapan. Sedap! Kami istirahat, makan-makan, sebelum packing dan kembali turun gunung. Tetap tidak lupa membawa sampah-sampah logistik yang kami hasilkan. Tetap cintai alam. Kalau mau nyampah , jangan jauh-jauh naik gunung. (*) Bogor via Gunung Putri, 27–29 Agustus 2019

bottom of page