Search Results
165 results found with an empty search
- Setigi, Wisata Viral yang Sudah Tak Terurus
OBJEK wisata Setigi di Desa Sekapuk, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik, tidak jauh dari rumaha saya. Tidak lebih dari 10 menit. Tapi, sejak pertama kali main ke sana pada tahun 2019 bersama istri, saya tidak tertarik untuk datang ke sana lagi. Saat itu masih berjalan penyelesaian pembangunan beberapa fasilitas di tempat itu. Belum sempurna. Meski begitu, Setigi sudah dibuka untuk kunjungan umum. Saya tidak ingin balik ke sana bukan karena tidak bagus. Cuma masalah selera saja. Bagi orang di luar daerah Sekapuk dan sekitarnya, termasuk desa saya, Setigi mungkin menarik dengan perbukitan kapur berupa ceruk-ceruk seperti gua. Tapi, bagi orang sekitar, termasuk saya, pemandangan seperti itu sudah biasa kami lihat sejak kecil. Itu sebenarnya area penambangan batu kapur yang sudah berlangsung entah berapa puluh atau ratus tahun yang lalu. Kemudian disulap menjadi objek wisata dengan ditambah spot lain untuk penyempurnaan. Empat tahun berlalu, saat sudah ada si bocil, keinginan untuk mengajaknya ke Setigi saya munculkan kembali. Semangatnya cuma satu: kami ingin mengajak si bocil ke tempat-tempat yang pernah didatangi ayah-ibunya. Begitu tiba di Setigi, saya pangling dengan kondisinya. Sepi pengunjung. Rumput liar tumbuh di mana-mana. Area permainannya banyak yang rusak. Dan pujasera yang dulunya rame kini sepi, bahkan terbengkalai. Tidak ada tanda-tanda masih ada aktivitas jual beli di sana. Perkiraan kami, salah satu faktor sepinya Setigi adalah harga masuk. Per orang dipatok tarif Rp 20.000. Tergolong mahal untuk tempat wisata di desa. Karena sudah kadung ke sana, kami berusaha menikamati saja. Apalagi si bocil senang bermain di sana. Bermain di taman tepi danau, melatih ketangkasan dengan permainan panjat dinding, dan mencoba ayunan. Semoga lekas pulih, Setigi. Tapi maaf, kami gak akan kembali lagi. (*)
- Ada Jembatan Kayu di Kawah Sikidang
SETELAH dari Candi Arjuna, kami kembali ke penginapan untuk istrirahat dulu sebelum mengunjungi tempat wisata lainnya di Dieng. List kami selanjutnya adalah Kawah Sikidang. Sama seperti Candi Arjuna, ini adalah kesempatan ketiga saya bermain ke Kawah Sikidang. Pertama tahun 2017 dan kedua tahun 2020. Kali ini kami mengajak anak yang selalu semangat saat diajak jalan-jalan. Kali ini wajah Kawah Sikidang sangat berbeda dengan tahun 2020 lalu. Saat itu banyak sekali spot-spot foto yang dibangun di kawasan itu. Mulai ayunan, kursi estetik, sampai spot love-love sebagaimana umumnya di lokasi wisata mainstream. Tapi, kali ini spot-spot foto itu sudah tidak ada. Mungkin tidak diminati pengunjung. Karena siapa saja yang ingin berfoto di sana harus bayar lagi. Setiap spot. Perbedaan lain yang sangat mencolok adalah dibangunnya jembatan kayu memanjang sebagai rute satu-satunya untuk melihat kawah utama. Mulai pintu masuk hingga pintu keluar. Di setiap berapa meter, ada gazebo yang sudah dibangun dengan proper. Layak untuk tempat beristirahat dan berteduh dari sengatan panas matahari siang. Namun, ada beberapa gazebo yang justru dipasangi atap transparan. Jadi, tempat itu tidak banyak membantu jika pengunjung ingin berteduh dari panas matahari. Namun, bagian yang paling menyiksa di Kawah Sikidang bukan objek wisata utamanya yang berupa kawah. Melainkan jalan ke pintu keluarnya. Pengunjung dipaksa diarahkan berputar-putar melewati stan-stan pedagang yang sudah dipusatkan di satu titik. Berjalan sendiri saja sudah capek, apalagi harus menggendong anak. (*)
- Soe Hok Gie, Idhan Lubis, dan Mahameru dalam Kenangan (Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya)
“Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad kedua tersebut sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.” Dikutip dari buku: Soe Hok-Gie…Sekali Lagi Tentang Gie APA hubungan antara Soe Hok Gie dan Puncak Mahameru? Dan apa yang berkaitan antara keduanya? Soe Hok Gie dan Mahameru adalah dua legenda Indonesia, sedangkan hubungan antara keduanya? Soe Hok Gie wafat di Mahameru saat melakukan pendakian pada 18 Desember 1969 karena menghirup asap beracun gunung tersebut. Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942. Dia adalah sosok aktivis yang sangat aktif pada masanya. Sebuah karya catatan hariannya yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1983. Soe Hok Gie tercatat sebagai mahasiswa Universitas Indonesia dan juga merupakan salah satu pendiri Mapala UI yang salah satu kegiatan terpenting dalam organisasi pecinta alam tersebut adalah mendaki gunung. Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet, 3.442 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kemudian pada tanggal 16 Desember 1969, Gie bersama Mapala UI berencana melakukan misi pendakian ke Gunung Mahameru (Semeru) yang mempunyai ketinggian 3.676 mdpl. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya: “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” Sebelum berangkat, Gie sepertinya mempunyai firasat tentang dirinya dan karena itu dia menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku harian Gie yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran (CSD) (LP3ES, 1983), berikut beberapa kisah yang mewarnai tragedi tersebut seperti dikutip Intisari : Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di G. Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru (puncaknya G. Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan. Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs Recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru). Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas. Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali. Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco . Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil. “Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang. Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih. Soe Hok Gie telah menjadi salah satu Dewa yang memuncaki Mahameru, Puncak Abadi Para Dewa. Sekilas Tentang Idhan Lubis ” Aku tidak pernah berniat menaklukan gunung! Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian… … pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa! “ Idhan Lubis, 10 Maret 1969 Dalam masa peralihan kekuasaan yang penuh konflik di awal tahun 1949, pada tanggal 19 April lahir Dhanvantary di kota Yogyakarta dari kandungan Kusrahaeni turunan Jawa dan berayahkan Bachtar Lubis berdarah Mandailing. Idhan Lubis, sebagaimana panggilan akrabnya, tumbuh dewasa di Jakarta sebagai anak kedua dari keluarga wiraswasta, adik dari Idhat Lubis (pendiri Indonesian Green Ranger), kakak dari Piet Bachtari Lubis dan Poeng Wiyata Indra Lubis, dan juga keponakan dari seorang jurnalis dan pengarang terkenal di Indonesia yaitu Mochtar Lubis. Ditempa oleh dua kultur, kehalusan pekerti ibu dan keberanian yang lugas seorang bapak membentuk sosok intelektual tegas dengan keakraban emosional, sehingga menjadikan dirinya dilibatkan dalam banyak aktivitas, baik kegiatan akademis maupun ekstra kampus, salah satunya adalah Kelompok Pecinta Alam. Mengapa Idhan Lubis ke Semeru? Mendaki Puncak Gunung Semeru adalah obsesi yang dipicu oleh bacaan favorit masa kecilnya, yakni hikayat Mahabaratha, terutama episode akhir yaitu saat perang Bharata, dimana Pandawa Lima pulang ke Swarga Loka melalui Arcopodo, sebuah gerbang yang dikawal Dewa Kembar, pintu masuk surga di langit Mahameru. Saat segalanya dimungkinkan, di pertengahan tahun 1968 Idhan bersahabat dengan Herman O Lantang seorang anggota Mapala Universitas Indonesia. Dengan Herman itulah Idhan diajak mendaki gunung Semeru bersama-sama dengan anggota Mapala UI yang di sana juga ada Soe Hok Gie. Saat pendakian itu Idhan baru berusia 20 tahun dan masih menjadi mahasiswa di Universitas Tarumanegara. Tak dinyana, pendakian yang direncanakan dengan landasan pemikiran emosional & intelektual, merupakan capaian sakral tertinggi dan terakhir dari seorang anak manusia bernama Idhan Lubis. Tepat pada tanggal 16 Desember 1969, dia melangkah bersama Soe Hok Gie melewati gerbang langit Mahameru, pergi meninggalkan kita selamanya. Puisi perpisahan menjelang maut Mahameru Kompas, 24 Desember 1969 Idhan Dhanvantari Lubis, pemuda tampan yang tenang dan serius itu seakan-akan telah mempunyai firasat akan ajalnya yang sudah dekat. Sebelum melakukan perjalanan mendaki puncak gunung Semeru, almarhum Idhan Lubis pergi ke Bandung. Selain mengucapkan “Selamat Lebaran”, Idhan Lubis juga minta diri, menyampaikan salam ‘berpamitan’ kepada semua keluarganya di Bandung itu. Hal semacam itu tak pernah dilakukan Idhan sebelumnya, bahkan orangtua Idhan biasanya jarang diberitahukan bila akan mendaki gunung. Hari-hari menjelang keberangkatan ke Jawa Timur tanggal 13 Desember, jalan telah dipenuhi ’isyarat-isyarat’ Idhan tentang puncak Semeru tersebut. Sampai-sampai dalam tidur pun, Idhan mengigau tentang gunung Semeru. Idhan menyebut ’Rocopodo’ dalam mimpinya. Hal ini didengar oleh saudaranya suatu malam dengan keheranan. Sehari-hari, Idhan tak hentinya menulis-nulis dan mencoret nama ’Mahameru’, ’puncak Semeru’, dan sebagainya dimana saja ada kesempatan. Pada suatu petang tanggal 8 Desember 1969 di rumahnya di Polonia, Idhan Lubis menulis sebuah sajak yang ditujukan kepada sahabatnya Herman O Lantang. Puisi Idhan Lubis yang ditulisnya delapan hari sebelum meninggal dunia itu berjudul ”Djika Berpisah”, yang selengkapnya sbb: Puisi Idhan Lubis Pro: Herman O. Lantang Djika Berpisah Di sini kita bertemu, satu irama di antara wadjah2 perkasa… tergores duka dan nestapa, tiada putus asa tudjuan esa puntjak mendjulang di sana Bersama djatuh dan bangun di bawah langit biru pusaka… antara dua samudra… Bersama harapanku djuga kau satu nafas kita jang terhempas pengabdian… dan… kebebasan… Bila kita berpisah kemana kau aku tak tahu sahabat atau turuti kelok2 djalan atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan hanja bila kau lupa ingat… Pernah aku dan kau sama-sama daki gunung-gunung tinggi hampir kaki kita patah-patah nafas kita putus-putus tudjuan esa, tudjuan satu: Pengabdian dan pengabdian kepada…. …Jang Maha Kuasa … Dari : Idhan Lubis Polonia, 8 Desember 1969 IN MEMORIAM SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS di Puncak MAHAMERU INDONESIAN GREEN RANGER MAHAMERU Yang mencintai udara jernih Yang mencintai terbang burung-burung Yang mencintai keleluasaan & kebebasan Yang mencintai bumi Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung Mereka tengadah & berkata, kesana-lah Soe Hok Gie & Idhan Lubis pergi Kembali ke pangkuan bintang-bintang Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi Sementara saputangan menahan tangis Sementara Desember menabur gerimis 24 Desember 1969 Sanento Yuliman
- Cermin Kejayaan Hindu pada Candi Prambanan
MASA -masa akhir kuliah bagi saya saat menjadi mahasiswa biasa-biasa saja. Banyak yang stres saat dihadapkan pada skripsi. Tapi, saya santai saja. Saking santainya, saya menyempatkan diri untuk mbolang ke Jogjakarta. Tidak banyak yang saya datangi. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah Candi Prambanan: sebuah monumen cinta abadi. Candi Hindu terbesar di Indonesia ini juga biasa disebut Candi Roro Jonggrang. Kompleks candi yang dibangun pada abad ke-9 masehi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu. Yaitu, Brahma (Dewa Pencipta), Wishnu (Dewa Pemelihara), dan Siwa (Dewa Pemusnah). Menurut prasasti Siwagrha, nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (Rumah Siwa). Memang, di ruang utama candi ini, terdapat arca Siwa Mahadewa setinggi 3 meter. Hal itu menunjukkan bahwa Dewa Siwa lebih diutamakan di candi ini. Candi Prambanan memiliki tiga keistimewaan. Pertama, ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan dunia. Kedua, candi Hindu terbesar di Indonesia. Ketiga, menjadi salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, Candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia. Sebagaimana candi atau bangunan bersejarah lain, Candi Prambanan juga tidak luput dari kisah, legenda, dan mitos. Candi Prambanan juga memiliki kisah di balik nama lainnya, yakni Candi Loro Jonggrang. Ini berkaitan dengan legenda putri Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Alkisah, zaman dulu terjadi peperangan antardua kerajaan Hindu di Pulau Jawa. Lokasinya berada di daerah yang sekarang disebut Prambanan. Dua kerajaan itu adalah Kerajaan Pengging dan Keraton Boko. Kerajaan Pengging dipimpin raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo. Ia memiliki putra yang sakti mandraguna bernama Bandung Bondowoso. Sementara itu, Kerajaan Pengging diperintah raja yang kejam berwujud raksasa bernama Prabu Boko. Ia suka makan daging manusia. Meski berwujud raksasa, Prabu Boko –yang selalu dikawal seorang patih setia bernama Gupolo– memiliki putri manusia bernama Loro Jonggrang yang cantik bak seorang dewi dari kayangan. Singkat cerita, peperangan dahsyat itu dimenangi Kerajaan Pengging setelah Bandung Bondowoso yang maju ke medan pertempuran berhasil mengalahkan Prabu Boko. Sementara Patih Gupolo melarikan diri. Ketika mencari Gupolo di Kraton Boko, Bandung bertemu dengan Loro Jonggrang. Ia tertarik dengan sang putri dan berniat untuk memperistrinya. Namun, sang putri tidak mau karena pemuda itulah yang membunuh ayahnya. Jadi, Loro Jonggrang membuat siasat untuk balas dendam. Ia mau dipersunting Bandung asal bisa memenuhi dua syarat. Pertama, Loro Jonggrang meminta Bandung membuat sumur yang dalam. Namun, syarat itu sangat mudah dipenuhi Bandung. Sang putri tak habis akal. Dia kemudian meminta Bandung masuk ke sumur yang diberi nama Jala Tunda itu. Begitu berada di dalam sumur, Loro Jonggrang beserta Patih Gupolo menimbun sumur tersebut dengan batu supaya Bandung mati. Berkat kesaktiannya, Bandung bisa lolos dari maut. Sadar hendak dibunuh sang putri, Bandung pun murka. Namun, ia luruh juga dengan bujuk dan rayu sang putri. Amarahnya reda seketika. Loro Jonggrang kemudian mengajukan syarat kedua. Ia meminta dibuatkan 1.000 candi dalam semalam. Sang putri yakin kali ini Bandung akan gagal. Bandung setuju dengan permintaan sang putri. Karena memang sakti, Bandung bisa memerintahkan ribuan jin untuk mengerjakan candi tersebut. Menjelang tengah malam, ketika pembangunan sudah hampir selesai, Loro Jonggrang panik. Ia pun kembali membuat siasat. Ia menyuruh para gadis untuk membakar jerami sehingga langit menjadi lebih terang. Ayam-ayam pun berkokok. Mendengar kokok ayam, sebagai pertanda pagi segera datang, para jin pun melarikan diri. Saat itu, candi yang dibangun sudah mencapai 999 candi. Mengetahui usahanya gagal lagi karena ulah Loro Jonggrang, Bandung yang murka berat mengutuk Loro Jonggrang menjadi candi yang keseribu. Bandung juga mengutuk para gadis yang membantu membakar jerami menjadi perawan tua. Kisah ini akhirnya menciptakan mitos bahwa sepasang kekasih akan putus jika berkunjung ke Candi Prambanan. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Yang pasti, setelah mengunjungi candi ini bersama pacar, beberapa bulan kemudian kami menikah. Arsitektur dan Relief Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya. Candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter. Menjulang di tengah kompleks candi-candi yang lebih kecil. Menurut Prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan dan terus dikembangkan dan diperluas Balitung Maha Sambu pada masa kerajaan Medang Mataram. Pintu masuk kompleks bangunan ini berada di empat penjuru mata angin. Namun, pintu utamanya berada di gerbang timur. Kompleks Candi Prambanan terdiri atas 3 Candi Trimurti (Candi Siwa, Wisnu, Brahma); 3 Candi Wahana (Candi Nandi, Garuda, Angsa); serta 2 Candi Apit (terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi utara dan selatan). Kemudian, 4 Candi Kelir (terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau zona inti); 4 Candi Patok (terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti); serta 224 Candi Perwara (tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68). Aslinya ada 240 candi besar dan kecil di Kompleks Candi Prambanan. Namun, yang tersisa hanya 18 candi. Kompleks Candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama zona luar, kedua zona tengah yang terdiri atas ratusan candi, serta ketiga zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat delapan candi utama dan delapan kuil kecil. Dari segi relief, candi ini dihiasi relief naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana. Relif berkisah ini diukir pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong galeri yang mengelilingi tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan searah jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina , ritual mengelilingi bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Di seberang panel naratif relief, di atas tembok candi di sepanjang galeri dihiasi arca-arca dan relief yang menggambarkan para dewata dan resi brahmana. Arca dewa-dewa lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di Candi Siwa. Sementara arca para brahmana penyusun kitab Weda terdapat di Candi Brahma. Di Candi Wishnu, terdapat arca dewata yang diapit dua apsara atau bidadari kayangan. Kemudian, di dinding luar sebelah bawah candi dihiasi barisan relung (ceruk) yang menyimpan arca singa diapit dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini dalam mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan manusia. Kaki pohon Kalpataru ini diapit pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib bertubuh burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya seperti burung, kijang, domba, monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Singa diapit kalpataru adalah pola khas yang hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut Panil Prambanan. Kompleks Candi Prambanan terletak di Kecamatan Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta dan kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Buka setiap hari, tiket masuk candi ini sebesar Rp 40.000 untuk dewasa dan Rp 30.000 untuk anak-anak. Waktu terbaik untuk mengunjungi candi ini adalah pagi dan sore. Karena kalau siang-siang panas banget. Untuk mengambil foto juga lebih bagus pada pagi atau sore hari. Candi ini beroperasi pada pukul 06.00–17.00. (*) Jogja, Medio 2011
- Mereguk Kesegaran Istana Air Taman Sari, Yogyakarta
MASA -masa akhir kuliah bagi saya saat menjadi mahasiswa biasa-biasa saja. Banyak yang stres saat dihadapkan pada skripsi. Tapi, saya santai saja. Saking santainya, saya menyempatkan diri untuk mbolang ke Jogjakarta. Tidak banyak yang saya datangi. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah Taman Sari Yogyakarta. Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Taman ini fungsinya mirip dengan Kebun Raya Bogor sebagai kebun Istana Bogor. Taman Sari dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758–1765/9. Awalnya, taman berjuluk The Fragrant Garden ini memiliki luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan. Baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Kebun yang digunakan secara efektif antara 1765–1812. Konon, Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati, yang didirikan Susuhunan Paku Buwono II sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke Imogiri. Proyek pembangunan Taman Sari dipimpin Tumenggung Mangundipuro. Seluruh biayanya ditanggung Bupati Madiun Tumenggung Prawirosentiko beserta seluruh rakyatnya. Meski secara resmi sebagai kebun kerajaan, beberapa bangunan mengindikasikan bahwa Taman Sari juga berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika istana diserang musuh. Kompleks Taman Sari dapat dibagi menjadi empat bagian. Bagian Pertama Bagian pertama merupakan bagian utama Taman Sari pada masanya. Dulu, tempat ini merupakan tempat yang paling eksotis. Bagian ini terdiri dari danau buatan yang disebut Segaran (laut buatan) serta bangunan di tengahnya. Ada pula bangunan serta taman dan kebun di sekitar danau. Selain untuk memelihara ikan, Segaran juga difungsikan sebagai tempat bersampan sultan dan keluarga kerajaan. Sekarang danau buatan ini menjadi permukiman padat yang dikenal dengan Kampung Taman. Pulo Kenongo Di tengah-tengah Segaran, terdapat pulau buatan Pulo Kenongo yang ditanami pohon kenanga. Di atas pulau itu didirikan Gedhong Kenongo berlantai dua. Konon, Gedhong Kenongo terdiri atas beberapa ruangan dengan fungsi berbeda. Dari jauh, gedung ini seperti mengambang di atas air. Karena itu, Taman Sari kemudian dijuluki sebagai Istana Air (Water Castle). Kini, gedung ini hanya menyisakan puing-puing. Pulo Cemethi dan Sumur Gumuling Di sebelah selatan Pulo Kenongo, ada pulau buatan lagi yang disebut Pulo Cemethi. Bangunan berlantai dua ini juga disebut sebagai Pulo Panembung. Di tempat inilah konon sultan bermeditasi. Ada juga yang menyebutnya Sumur Gumantung. Sebab, di sebelah selatannya terdapat sumur yang menggantung di atas permukaan tanah. Untuk sampai ke tempat ini, konon caranya adalah melalui terowongan bawah air. Saat ini, bangunan tersebut sedang direnovasi. Sementara itu, di sebelah barat Pulo Kenongo, ada bangunan berbentuk lingkaran seperti cincin yang disebut Sumur Gumuling. Bangunan berlantai dua ini hanya dapat dimasuki melalui terowongan bawah air. Sumur Gumuling pada masanya juga difungsikan sebagai masjid. Di kedua lantainya ditemukan ceruk di dinding yang konon digunakan sebagai mihrab, tempat imam memimpin salat. Di bagian tengah bangunan yang terbuka, terdapat empat buah jenjang naik dan bertemu di bagian tengah. Dari pertemuan keempat jenjang tersebut terdapat satu jenjang lagi yang menuju lantai dua. Di bawah pertemuan empat jenjang tersebut terdapat kolam kecil yang konon digunakan untuk berwudu. Bagian Kedua Bagian kedua terletak di sebelah selatan danau buatan Segaran. Ini merupakan bagian yang relatif paling utuh. Bagian yang tetap terpelihara adalah bangunan. Taman dan kebun tidak tersisa lagi. Sekarang bagian ini merupakan bagian utama yang banyak dikunjungi wisatawan. Gedhong Gapura Hageng Ini merupakan pintu gerbang utama taman raja-raja pada zamannya. Kala itu, Taman Sari menghadap ke barat. Gerbang ini terdapat di bagian paling barat dari situs istana air yang tersisa. Gerbang yang mempunyai beberapa ruang dan dua jenjang ini berhias relief burung dan bunga-bungaan yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Taman Sari pada tahun 1691 Jawa (kira-kira tahun 1765 Masehi). Gedhong Lopak-Lopak Di sebelah timur gerbang utama kuno Taman Sari, terdapat halaman persegi delapan. Dulu, di tengah halaman ini, berdiri menara berlantai dua bernama Gedhong Lopak-Lopak. Per Januari 2008, gedung ini sudah tidak ada lagi. Di halaman ini hanya tersisa deretan pot bunga raksasa serta pintu-pintu yang menghubungkan tempat ini dengan tempat lain. Pintu di sisi timur halaman persegi delapan tersebut merupakan salah satu gerbang menuju Umbul Binangun. Umbul Pasiraman Umbul Pasiraman atau Umbul Binangun (baca: Umbul Winangun) merupakan kolam pemandian bagi sultan, permaisuri, para istri ( garwo ampil ), serta para putri raja. Kompleks ini dikelilingi tembok yang tinggi. Di kompleks Umbul Pasiraman, terdapat tiga kolam yang dihiasi dengan mata air yang berbentuk jamur. Di sekeliling kolam terdapat pot bunga raksasa. Di sisi paling utara, ada bangunan untuk istirahat dan berganti pakaian bagi para putri dan istri (selir). Di sebelah selatannya, terdapat kolam bernama Umbul Muncar. Sebuah jalan mirip dermaga menjadi batas antara kolam ini dengan kolam di selatannya yang disebut Blumbang Kuras. Di selatan Blumbang Kuras, terdapat bangunan dengan menara di bagian tengahnya. Bangunan sayap barat merupakan tempat berganti pakaian dan sayap timur untuk istirahat sultan. Menara di bagian tengah, konon digunakan sultan untuk melihat istri dan puterinya yang sedang mandi. Di selatan bangunan tersebut, terdapat sebuah kolam yang disebut dengan Umbul Binangun, sebuah kolam pemandian yang dikhususkan untuk sultan dan permaisurinya. Gedhong Sekawan Di timur Umbul Pasiraman, ada halaman persegi delapan yang dihiasi deretan pot bunga raksasa. Di sini, berdiri empat bangunan yang serupa. Bangunan ini bernama Gedhong Sekawan. Tempat ini digunakan sultan dan keluarganya untuk beristirahat. Di setiap sisi halaman, terdapat pintu yang menghubungkan dengan halaman lain. Gedhong Gapuro Panggung Di sebelah timur halaman persegi delapan tersebut, terdapat bangunan bernama Gedhong Gapura Panggung. Bangunan ini memiliki empat jenjang, dua di sisi barat dan dua di sisi timur. Dulu, di bangunan ini, terdapat empat patung naga. Namun, sekarang hanya tersisa dua patung. Gedhong Gapura Panggung melambangkan tahun dibangunnya Taman Sari, yaitu tahun 1684 Jawa (kira-kira tahun 1758 Masehi). Sisi timur bangunan ini sekarang menjadi pintu masuk situs Taman Sari. Gedhong Temanten Di tenggara dan timur laut Gedhong Gapuro Panggung, terdapat bangunan yang disebut Gedhong Temanten. Dulu, bangunan ini digunakan sebagai tempat penjaga keamanan bertugas dan tempat istirahat. Menurut sebuah rekonstruksi Taman Sari, di selatan bangunan ini, terdapat bangunan lagi yang sekarang tidak ada bekasnya. Sedangkan di sisi utaranya terdapat kebun yang juga telah berubah menjadi permukiman penduduk. Bagian Ketiga Bagian ini tidak banyak meninggalkan bekas yang dapat dilihat. Karena itu, deskripsi di bagian ini sebagian besar berasal dari rekonstruksi. Dulu, bagian ini meliputi Kompleks Pasarean Dalem Ledok Sari dan Kompleks Kolam Garjitawati serta beberapa bangunan lain dan taman. Pasarean Dalem Ledok Sari merupakan sisa dari bagian ini yang tetap terjaga. Kono, pasarean ini merupakan tempat tidur sultan bersama pemaisurinya. Versi lain mengatakan sebagai tempat meditasi. Bangunannya berbentuk seperti huruf U. Di tengah bangunan, terdapat tempat tidur sultan yang di bawahnya mengalir aliran air. Di sebelah baratnya, dulu terdapat Kompleks Kolam Garjitawati. Jika hal itu benar, kompleks ini merupakan sisa pesanggrahan Garjitawati dan kemungkinan besar juga merupakan Umbul Pacethokan yang pernah digunakan Panembahan Senopati. Bagian Keempat Bagian terakhir ini merupakan bagian Taman Sari yang praktis tidak tersisa lagi kecuali bekas jembatan gantung dan sisa dermaga. Deskripsi di bagian ini hampir seluruhnya merupakan hasil rekonstruksi sketsa serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812. Bagian ini terdiri atas danau buatan beserta bangunan di tengahnya, taman di sekitar danau buatan, kanal besar yang menghubungkan danau buatan ini dengan danau buatan di bagian pertama, serta kebun. Danau buatan terletak di sebelah tenggara kompleks Magangan sampai timur laut Siti Hinggil Kidul. Di tengahnya terdapat pulau buatan yang konon disebut Pulo Kinupeng. Di atas pulau tersebut, berdiri bangunan yang konon disebut Gedhong Gading. Bangunan yang menjulang tinggi ini disebut sebagai menara kota (Cittadel Tower). Kanal besar terdapat di sisi barat laut dari danau buatan dan memanjang ke arah barat serta berakhir di sisi tenggara danau buatan di bagian pertama. Di kanal ini, terdapat dua penyempitan yang diduga keras merupakan letak jembatan gantung. Salah satu jembatan tersebut berada di jalan yang menghubungkan kompleks Magangan dengan Kamandhungan Kidul. Bekas-bekas dari jembatan ini masih dapat disaksikan walaupun jembatannya telah lenyap. Di sebelah barat jembatan gantung, terdapat dermaga. Dermaga ini konon digunakan sultan sebagai titik awal perjalanan masuk Taman Sari. Konon, sultan masuk ke Taman Sari dengan bersampan. Di sebelah selatan kanal terdapat kebun. Kebun ini berlokasi di sebelah barat kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul. Kini, semua tempat itu telah menjadi permukiman penduduk. Kebunnya telah berubah menjadi Kampung Ngadisuryan, sedangkan danau buatan berubah menjadi Kampung Segaran. Mitos Ada mitos yang beredar di masyarakat Yogyakarta bahwa konon katanya lorong di Taman Sari bisa tembus sampai pantai selatan. Ada dua lorong bawah tanah di kawasan Taman Sari. Urung-Urung Timur dan Urung-Urung Sumur Gumuling. Lorong timur sepanjang 45 meter menghubungkan Pulo Panembung dan Pulo Kenanga. Sedangkan Urung-Urung Sumur Gumuling memiliki panjang 39 meter. Di bagian yang hampir mencapai ujung lorong, ada mata air bernama Sumur Gumuling yang dikelilingi lima anak tangga. Tepat di atas mata air ini adalah masjid bawah tanah. Konon, menurut cerita turun-temurun, Lorong Sumur Gumuling dapat tembus hingga ke pantai laut selatan. Bahkan mitos lainnya menyebutkan bahwa Sumur Gumuling adalah tempat pertemuan Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul dengan Sultan Yogyakarta. Sedangkan, menurut salah seorang pengawas Taman Sari (yang diwawancarai detik.com ) mengatakan, Sri Sultan Hamengkubuwono I membangun keraton dalam satu sumbu lurus imajiner, yang terhubung dengan Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Sultan berharap ketiganya dapat bersinergi. Lokasi dan Tiket Secara administrasi, Kampung Wisata Taman Sari berada di Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Untuk tiket masuk Taman Sari dikenai Rp 5.000. Kalau membawa kamera profesional, ada biaya tiket kamera sekitar Rp 2.000. Untuk tarif parkir kendaraan Rp 2 000 untuk motor, dan Rp 5.000 untuk mobil. Harga tiket masuk dan lainnya dapat berubah sewaktu-waktu. Kawasan wisata ini buka setiap hari mulai pukul 09.00–15.00 WIB. (*) Jogja, Medio 2010
- Mengagumi Arsitektur Candi Borobudur
MASA -masa akhir kuliah bagi saya saat menjadi mahasiswa biasa-biasa saja. Banyak yang stres saat dihadapkan pada skripsi. Tapi, saya santai saja. Saking santainya, saya menyempatkan diri untuk mbolang ke Jogjakarta. Tidak banyak yang saya datangi. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah Candi Borobudur. Borobudur merupakan candi Buddha. Candi berbentuk stupa ini didirikan para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia. Sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar. Dindingnya dihiasi 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar terletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini. Stupa ini dikelilingi tiga barisan melingkar yang terdiri atas 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila. Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah. Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Tiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Kāmadhātu: Bagian kaki Borobudur yang melambangkan dunia masih dikuasai kama atau nafsu rendah. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Rupadhatu: Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri atas empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Tingkatan ini melambangkan alam, yakni antara alam bawah dan alam atas. Di bagian ini, patung-patung Buddha berada di cerukan atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Arupadhatu: Lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamai Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Dalam perjalanannya, para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan. Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan pada 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles yang saat itu menjabat Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu, Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975–1982 atas upaya pemerintah Indonesia dan UNESCO. Situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di candi ini untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Misteri Asal Usul Nama Borobudur Nama asli kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Begitu juga asal mula nama Borobudur yang belum jelas. Meskipun nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku Sejarah Pulau Jawa karya Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama Borobudur. Tetapi, tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk pada Borobudur adalah Nagarakretagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1365. Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis Borobudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu, yaitu Desa Bore (Boro). Raffles juga menduga istilah Budur mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti purba (Boropurba). Namun, arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung. Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasar prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta berarti ’’Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa’’ adalah nama asli Borobudur. Sejarah Pembangunan Hampir sama dengan Candi Ratu Boko, Candi Borobudur dibangun di atas bukit. Yakni di ketinggian 265 mdpl dan 15 m di atas dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20. Anggapan itu terbantah karena di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba. Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Diperkirakan, Borobudur dibangun sekitar tahun 800 M. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Terkait tahap pembangunan Borobudur, para ahli arkeologi menduga rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar di puncaknya. Diduga, masa stupa raksasa yang berat ini membahayakan fondasi candi sehingga arsitek Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Pada tahap pertama, Borobudur dibangun di atas bukit alami. Bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Pada awalnya, dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak. Pada tahap kedua, ada penambahan dua undakan persegi, pagar langkan, dan satu undak melingkar yang di atasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar. Pada tahap ketiga, ada perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu, fondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Pada tahap keempat, dilakukan perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki. Borobudur pernah tersembunyi dan telantar selama berabad-abad. Terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan belum diketahui. Ada juga yang mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan ke Islam pada abad ke-15. Candi ini ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles yang ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan Pulau Jawa, Jawa di bawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Dia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Dia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno. Pada masa itulah Borobudur ditemukan kembali. Arsitektur dan Relief Borobudur merupakan contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India. Pada dinding candi di setiap tingkatan –kecuali pada teras-teras Arupadhatu– dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya timur. Secara runtutan, cerita pada relief candi secara singkat bermakna Karmawibhangga (mengenai hukum karma), Lalitawistara (menggambarkan riwayat Sang Buddha), Jataka dan Awadana (cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta), serta Gandawyuha (cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana). Mitos Di Candi Borobudur, ada beberapa mitos yang berkembang. Salah satunya adalah Kunto Bimo. Kunto Bimo merupakan patung Buddha dalam posisi Dharmachakra di dalam stupa dengan penutup belah ketupat. Stupa ini berada pada tingkat dasar dari tiga undak-undak stupa. Berkembang anggapan bahwa jika bisa menyentuh arca di dalam stupa, harapan yang bersangkutan bisa terkabul. Patung atau arca di dalam stupa sudah lama dianggap sebagai pemberi harapan atau pengabul impian. Jika berniat memegang sang Buddha, yang laki-laki disarankan memegang kelingking atau jari manisnya, sedangkan yang perempuan memegang jari kaki Buddha. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak berhasil melakukan hal itu. Ada juga mitos mengenai Singa Urung. Mitos ini berkembang cukup menyeramkan. Sebab, jika memegang arca harimau di sebelah kiri dan kanan tangga masuk candi, Anda bakal tertimpa sial. Alasannya, makna arca ini merupakan harimau gagal. Jadi, siapa saja yang memegang arca ini, maka kehidupannya tidak akan beruntung seperti nasib kedua arca. Ada mitos lain di Candi Borobudur. Yakni, mengenai pemanfaatan candi sebagai jam raksasa di masanya. Hal ini didukung dengan adanya ukiran relief yang menggambarkan bulan, bintang, dan matahari. Candi Borobudur beralamat di Jalan Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini buka setiap hari mulai pukul 06.00–17.00 WIB. (*) Jogja, Medio 2010
- Jelajah Santai di Museum Sejarah Benteng Vredeburg
MASA -masa akhir kuliah bagi saya saat menjadi mahasiswa biasa-biasa saja. Banyak yang stres saat dihadapkan pada skripsi. Tapi, saya santai saja. Saking santainya, saya menyempatkan diri untuk mbolang ke Jogjakarta. Tidak banyak yang saya datangi. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah Benteng Vredeburg. Berdirinya Benteng Vredeburg Yogyakarta berkaitan erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Belanda mulai khawatir saat melihat pesatnya kemajuan keraton yang didirikan Sultan Hamengku Buwono I. Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan agar diizinkan membangun benteng di dekat keraton. Belanda berdalih agar dapat menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Namun, niat sebenarnya Belanda ingin lebih mudah dalam mengontrol segala perkembangan di dalam keraton. Dapat dikatakan bahwa benteng tersebut didirikan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka dan memusuhi Belanda. Pembangunan benteng ini (1760) dikerjakan di bawah pengawasan ahli ilmu bangunan Belanda bernama Ir. Frans Haak. Awalnya, status tanahnya merupakan milik kasultanan. Tetapi, dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC). Benteng ini disempurnakan pada tahun 1767 dan baru selesai pada 1787. Setelah selesai, benteng ini diberi nama Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan. Pada periode ini, secara yuridis formal, status tanah tetap milik kasultanan. Namun, secara de facto , penguasaan benteng dan tanahnya dipegang Belanda. Saat VOC bangkrut pada tahun 1799, penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga, secara de facto , menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda. Ketika Inggris berkuasa di Indonesia (1811–1816), untuk sementara benteng ini dikuasai Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat, Belanda dapat mengambil alih. Pada tahun 1867, benteng ini runtuh karena gempa. Setelah selesai bangunan ulang, nama benteng diganti menjadi Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu. Sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Akhirnya, benteng ini dikuasai tentara Jepang pada tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang yang ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei, yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam. Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942–1945. Benteng ini juga difungsikan sebagai gudang mesiu, senjata, dan rumah tahanan musuh. Masa Kemerdekaan Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan pelucutan senjata Jepang. Karena Jepang masih kuat, terjadi kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Setelah benteng dikuasai RI, penanganannya diserahkan kepada militer untuk asrama dan markas pasukan. Pada 15 Juli 1981, Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Hal itu dipertegas pada 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan nasional. Pada 23 November 1992, Benteng Vredeburg diresmikan menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta. Pada tahun 2014, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan buku berisi koleksi unggulan museum di Yogyakarta. Salah satunya adalah Museum Benteng Vredeburg. Koleksi unggulan museum ini, antara lain, Diorama pelantikan Soedirman sebagai panglima besar TNI, minirama Kongres Boedi Oetomo, dan mesin ketik Surjopranoto. Ada juga tiga kendil yang konon pernah digunakan Soedirman ketika tinggal di rumah Ibu Mertoprawira. Kemudian, dokumen Soetomo, dan bangku militer akademi. Arsitektur Benteng ini dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu. Bangunan ini dikelilingi parit (jagang) yang sebagian bekas-bekasnya telah direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai bastion (menara pantau) di keempat sudutnya. Lokasi dan Tiket Museum Benteng Vredeburg terletak di depan Gedung Agung dan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Secara administrasi, museum ini berada di Jalan Margo Mulyo No.6, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana museum pada umumnya, Museum Benteng Vredeburg beroperasi setiap hari kecuali hari Senin pada pukul 07.30–16.00 WIB. Harga tiket masuk ke kawasan ini antara Rp 2.000 sampai Rp 10.000 tergantung kategorinya. Untuk anak dikenai Rp 2.000, dewasa Rp 3.000, dan turis asing Rp 10.000. (*) Jogja, Medio 2010
- Kamping Merinding di Pulau Tidung Kecil
SETELAH tiga tahun tinggal di Jakarta, hati saya baru tergerak untuk berwisata ke Kepulauan Seribu. Padahal, sudah sejak lama saya punya mimpi untuk menginjakkan kaki setidaknya di beberapa pulau di antara gugusan pulau-pulau itu. Keinginan itu terpendam sejak saya masih kuliah di Surabaya. Tujuan pertama saya adalah Pulau Tidung. Apalagi di sana ada area untuk kamping. Saya ingin bermalam di sana. Menuju Pulau Tidung dari dataran Jakarta bisa ditempuh melalui beberapa dermaga. Saya memilih Dermaga Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara. Tiket untuk menuju Pulau Tidung seharga Rp 50 ribu per orang dengan speed boat . Berarti saya perlu mengeluarkan Rp 100.000 untuk sekali perjalanan berdua. Saya ajak saudara saya yang sengaja datang dari Surabaya untuk berwisata ke sana. Perjalanan bisa ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Kapal sesekali berhenti di tengah laut karena baling-baling mesin tersangkut sampah. Ya, jangan tanya, laut Jakarta memang seperti tempat sampah. Sebagai salah satu tujuan wisata, Pulau Tidung memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Mengingat pulau ini memang berpenghuni sehingga banyak warga yang menyewakan homestay dan sepeda. Tapi, bagi Anda yang suka kamping seperti saya, bisa membawa tenda sendiri. Andalan utama pulau ini adalah Jembatan Cinta. Selain indah, jembatan ini memiliki mitosnya sendiri, boleh percaya boleh tidak. Yang pasti bisa dipercaya adalah, jembatannya memang indah. Wisata lain di pulau ini adalah banana boat dan snorkeling. Tapi, kalau mau yang hemat biaya, mandi saja di pantai atau ngopi di warung yang banyak tersedia. Hehehe… Karena memang niat traveling murah, saya pun membawa tenda untuk bermalam di Pulau Tidung. Ada beberapa pilihan tempat untuk ngekamp . Pertama, Pulau Tidung Kecil. Pulau ini berdekatan dengan Pulau Tidung utama yang dihubungkan oleh Jembatan Cinta. Karena bukan permukiman warga, Tidung Kecil gelap gulita ketika malam. Kalau memang ingin mendirikan tenda di sana, bulatkan tekad dan keberanian. Karena hampir tidak ada yang mendirikan tenda di sana, ditambah pepohonan yang rindang. Namun, setelah pulang, saya baru tahu kalau lokasi ngekamp kami salah. Kami mendirikan tenda di tepi pulau dekat ujung jembatan. Di sana ada bangunan kayu seperti bekas warung. Nah, lokasi untuk mendirikan tenda sebenarnya masih agak jauh masuk ke pulau. Tidak jauh dari lokasi konservasi penyu dan museum kerangka paus susu. Saat itu kami ngekamp di tempat yang salah. Gelap dan membuat bulu kuduk berdiri. Ditambah gerimis pula. Karena itu, saya dan saudara pun sepakat untuk membongkar tenda malam-malam dan kembali nyeberang ke Tidung Besar. Kami akhirnya mencari tempat yang lebih aman. Kami mendirikan tenda di balai SAR di dekat Jembatan Cinta. Hehe… Agar aman dari hujan. Karena tenda saya murah, gerimis saja sudah bocor. Kalau malam lokasi itu memang sepi. Tutup semua. Kami bisa tidur dengan nyaman dan pulang esok paginya. (*) Jakarta, 2016
- Melipir ke Candi Arjuna
KEINGINAN untuk traveling kadang bisa muncul dengan tiba-tiba. Dan seringnya, kalau sudah muncul keinginan seperti itu, saya berangkat. Kali ini saya tidak ingin mendaki gunung. Yang pendek-pendek saja. Bukit dan destinasi wisata menarik lainnya. Tujuan saya adalah Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Kalau sudah di Dieng, Bukit Sikunir tentu saja ’haram’ untuk dilewatkan. Bukit itu menjadi tujuan pertama dalam perjalanan kami berdua. Dari sana, kami bebas menentukan destinasi wisata lainnya. Termasuk Candi Arjuna. Candi Arjuna diperkirakan dibangun Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno pada abad ke-8 Masehi. Di kompleks ini, ada juga Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi Arjuna terletak paling utara dari deretan percandian di kompleks ini. Sementara itu, Candi Semar adalah candi perwara atau pelengkap dari Candi Arjuna. Kedua bangunan candi ini saling berhadapan. Seperti umumnya candi-candi di Dieng, masyarakat mengambil nama tokoh pewayangan Mahabarata sebagai nama candi. Secara arsitektur, Candi Arjuna menghadap ke barat. Ada tangga menuju pintu masuk candi yang berada di bagian barat candi. Terdapat delapan anak tangga menuju bagian pintu candi di mana di bagian pinggir tangga terdapat penil dengan ujung berkepala naga. Bagian pintu candi terdapat bilik penampil selebar 1 meter. Di atas pintu, terdapat ukiran kalamakara. Dan di bagian atap dari ruang penampil berbentuk lancip seperti rumah limasan pada umumnya. Bagian atap Candi Arjuna memiliki bentuk seperti piramida yang mengerucut, tetapi lebih tinggi. Semakin ke atas, ukurannya semakin kecil. Terdapat tiga tingkat, di mana setiap tingkat memiliki bilik penampil dengan ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan bilik penampil di bagian dinding candi. Semakin ke atas, bilik penampil juga semakin kecil, yang berada tepat di tengah-tengah setiap sisi candi. Di setiap sudut bagian atap candi terdapat hiasan yang memiliki bentuk mahkota bulat dengan ujung runcing. Di bagian dalam candi ini terdapat ruang untuk menaruh sesaji atau yang biasa disebut dengan yoni. Di bagian atas terdapat lubang berbentuk segi empat. Lubang ini berfungsi untuk menampung air dari atap candi. Apabila air di lubang ini sudah penuh, air akan mengalir melalui jalur yang sudah disediakan, lalu dialirkan menuju bagian lingga yang kemudian dialirkan menuju bagian luar candi. Saat ini, para wisatawan yang mengunjungi Candi Arjuna atau candi-candi lainnya tak akan menjumpai arca atau patung yang biasa dijumpai di dalam candi. Sebagian besar arca-arca tersebut disimpan di Museum Kailasa. Mulai tahun 2010, Kompleks Candi Arjuna mulai digunakan untuk pengembangan wisata. Perayaan pembukaan wisata ini dinamai Dieng Culture Festival. Selain, itu acara tahunan lainnya yang dilaksanakan bersamaan dengan perayaan ini adalah Jazz Atas Awan. Dieng, 17 Januari 2017
- Telaga Menjer, Keindahan Wisata dan Denyut Nadi Warga
KEINGINAN untuk traveling kadang bisa muncul dengan tiba-tiba. Dan seringnya, kalau sudah muncul keinginan seperti itu, saya berangkat. Kali ini saya tidak ingin mendaki gunung. Yang pendek-pendek saja. Bukit dan destinasi wisata menarik lainnya. Tujuan saya adalah Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Kalau sudah di Dieng, banyak tempat yang bisa dieksplorasi. Mulai wisata alam hingga wisata sejarah. Dari wisata kawah sampai telaga. Berbicara soal telaga, selain Telaga Cebong di kaki Bukit Sikunir, di kawasan Wonosobo ada juga telaga yang tak kalah indah. Telaga Menjer namanya. Telaga Menjer terletak di Desa Maron, kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Telaga ini berjarak sekitar 2 km dari ibu kota kecamatan. Dinamakan Telaga Menjer karena Desa Maron sebenarnya merupakan desa baru yang dulunya merupakan wilayah Desa Menjer. Telaga Menjer terbentuk dari letusan vulkanis di kaki Gunung Pakuwaja. Dulunya air di telaga itu hanyalah beberapa mata air kecil. Pada zaman penjajahan Belanda, dengan akan dibangunnya PLTA Garung di bawah telaga tersebut, maka dibendunglah sebagian Sungai Serayu yang berada di sebelah utara Desa Jengkol. Airnya kemudian dialirkan melalui terowongan bawah tanah. Karena terbentuk dari letusan vulkanis, telaga ini mirip kawah yang terisi air. Telaga yang memiliki kedalaman sekitar 45 meter ini dikelilingi tebing dan perbukitan dengan pepohonan hijau. Kalau kurang puas menikmati telaga hanya dari satu titik di pinggir, Anda bisa ’jalan-jalan’ ke tengah-tengah telaga, atau menjelajahi setiap areanya. Sebab, di sana sudah disediakan perahu bambu atau mirip sampan yang bisa disewa. Ya, disewa. Mana ada yang gratis. Kencing saja 2 ribu rupiah. Kecuali kencing di semak-semak. Gratis. Selain main perahu-perahuan, Anda bisa mancing di sana. Eh, tapi tidak tau juga sih dibuka bagi pemancing umum atau hanya untuk warga setempat dan sekitarnya saja. Kalau pengen mancing , jangan lupa izin dulu. Dan yang lebih penting, bawa pancingan sendiri. Tidak ada yang menyewakan. Saat memasuki kawasan telaga yang sedikit menurun dari tempat parkir, kami tidak dikenai biaya tiket masuk. Kami hanya perlu membayar parkir. Hanya 3 ribu rupiah. Standar lah . Terletak di ketinggian 1.300 mdpl, udara di sekitar telaga ini cukup sejuk. Namun, karena lokasinya yang cukup tersembunyi dan berada di jalur menuju Dieng, tidak banyak traveler yang mengunjunginya. Kebanyakan wisatawan langsung tancap gas menuju Dieng dan melewatkan telaga yang cantik ini. Jangan lupa traveling. (*) Dieng, 19 Januari 2017
- Kawah Sikidang, Antara Keindahan dan Mitos yang Melegenda
KEINGINAN untuk traveling kadang bisa muncul dengan tiba-tiba. Dan seringnya, kalau sudah muncul keinginan seperti itu, saya berangkat. Kali ini saya tidak ingin mendaki gunung. Yang pendek-pendek saja. Bukit dan destinasi wisata menarik lainnya. Tujuan saya adalah Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Kalau sudah di Dieng, Bukit Sikunir tentu saja ’haram’ untuk dilewatkan. Bukit itu menjadi tujuan pertama dalam perjalanan kami berdua. Dari sana, kami bebas menentukan destinasi wisata lainnya. Termasuk Kawah Sikidang. Kawah Sikidang berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Kawah ini dipercaya selalu berpindah-pindah tempat. Konon, pemberian nama Sikidang berasal dari karakter kawah di mana letupan-letupan lumpur panas selalu berpindah-pindah. Seperti melompat-lompat. Kawah Sikidang masih aktif dan mengeluarkan gas, uap air, dan material vulkanis lainnya. Meski begitu, lokasi ini cukup aman untuk dikunjungi karena kadar belerangnya rendah. Di kawah ini, ada satu kawah besar dengan suhu 80-90 derajat Celsius. Selain itu, terdapat juga kawah-kawah kecil di sekitarnya. Di dekat kawah besar tersebut, ada penjual telur rebus. Uniknya, telur itu direbus langsung dari kawah itu. Sebagaimana objek wisata lain, di Kawah Sikidang juga banyak spot berfoto. Ada juga wahana motorcross . Selain fakta ilmiah, objek wisata ini juga diselimuti mitos dan legenda. Yaitu kisah mengenai Pangeran Kidang dan Anak Gimbal. Zaman dulu kala, di sekitar kawasan Dieng, hiduplah gadis cantik bernama Shinta Dewi. Kabar tentang kecantikannya tersebar ke penjuru daerah. Sehingga banyak pemuda yang ingin meminangnya menjadi istri. Namun, tidak ada yang berhasil meminangnya karena maskawin yang disyaratkan tidak murah. Kidang Garungan pun mendengar kisah tentang Shinta Dewi itu. Pria kaya itu akhirnya mengutus pengawalnya untuk menyampaikan lamarannya kepada Shinta Dewi. Dia pun menerima pinangan Kidang Garungan yang menyanggupi syaratnya. Tetapi, Shinta Dewi sangat terkejut ketika melihat perwujudan Pangeran Kidang. Dia memiliki wujud seperti manusia, tetapi berkepala Kijang (Kidang) atau rusa. Shinta Dewi pun mencari akal untuk membatalkan lamaran sang pangeran. Ada persyaratan tambahan yang diminta Shinta Dewi. Berat. Pangeran Kidang harus membuat sumur besar karena masyarakat sekitar sangat kesulitan mendapatkan air. Sang pangeran harus membuatnya sendiri dalam satu hari. Pangeran pun menyanggupinya. Karena khawatir sang pangeran berhasil menyelesaikan sumur itu, Shinta Dewi lalu meminta pengawal dan dayang-dayangnya menimbun sumur beserta sang pangeran di dalamnya. Amarah sang pangeran membuncah. Amarah itulah, sumur itu kemudian membentuk sebuah kawah yang saat ini diberi nama Kawah Sikidang. Kidang Garungan tewas. Sebelum mengembuskan napas terakhir, dia bersumpah bahwa seluruh keturunan Shinta Dewi akan berambut gembel (gimbal). (*) Dieng, 18 Januari 2017
- Batu Ratapan Angin Telaga Warna yang Bikin Meratap Takjub
KEINGINAN untuk traveling kadang bisa muncul dengan tiba-tiba. Dan seringnya, kalau sudah muncul keinginan seperti itu, saya berangkat. Kali ini saya tidak ingin mendaki gunung. Yang pendek-pendek saja. Bukit dan destinasi wisata menarik lainnya. Tujuan saya adalah Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Kalau sudah di Dieng, Bukit Sikunir tentu saja ’haram’ untuk dilewatkan. Bukit itu menjadi tujuan pertama dalam perjalanan kami berdua. Dari sana, kami bebas menentukan destinasi wisata lainnya. Termasuk Batu Ratapan Angin. Bisa dibilang, lokasi itu menjadi primadona kedua di Dieng setelah Bukit Sikunir. Dari atas batu itu, telaga warna terhampar cantik di bawah sana. Lokasi Batu Ratapan Angin merupakan satu titik berupa tebing batu menonjol yang eksotis peninggalan aktivitas vulkanis. Karena lokasinya tidak jauh dari Dieng Plateau Theater, spot tersebut bisa dengan mudah ditemukan. Untuk mencapai Batu Ratapan Angin, kami harus menapaki beberapa anak tangga dari semen. Kalau mau bisa menikmatinya tanpa keriuhan yang berlebihan, jangan datang saat weekend. Sebab, untuk foto di Batu Ratapan Angin, Anda harus antre. Bayangkan kalau pengunjungnya membeludak, butuh antre berapa lama untuk bisa berfoto di atas batu itu dengan background lanskap sudut lain Dieng yang menakjubkan. Di bawah sana, terhampar dua telaga: Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Warnanya hijau tua dan abu-abu. Nama Telaga Warna diberikan karena keunikan fenomena alam yang terjadi di tempat ini. Earna air telaga tersebut sering berubah-ubah. Terkadang berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena itu terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi. Jadi, saat sinar matahari mengenainya, warna air telaga tampak berwarna-warni. Telaga Warna berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di sekitarnya, ada beberapa gua yang bisa dikunjungi seperti Gua Semar Pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati. Di depan gua itu, terdapat arca wanita membawa kendi. Gua itu juga memiliki kolam kecil yang airnya dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat kulit jadi lebih cantik. Ada juga Gua Sumur Eyang Kumalasari dan Gua Jaran Resi Kendaliseto. Selain itu, ada pula Batu Tulis Eyang Purbo Waseso. Gua-gua di sekitar Telaga Warna itu sering dijadikan sebagai tempat meditasi. Kami tidak mengetahui keberadaan gua-gua itu, jadi kami tidak mampir. Tahunya dari Google. Hehe… Selain Batu Ratapan Angin, di sekitarnya banyak batu-batu superbesar yang seakan membentuk perbukitan. Di sana juga cukup banyak spot lain untuk berfoto. Satu lainnya yang lokasinya lumayan lebih tinggi adalah Jembatan Merah Putih. Untuk mencapainya cukup menantang. Sayang, saat kami datang ke sana, jembatan tersebut ditutup. Mungkin sedang ada kerusakan di beberapa sisi sehingga harus menunggu perbaikan sebelum digunakan kembali. Demi keamanan. Kalau mau wahana yang lebih ekstrem, kalian bisa mencoba flying fox . Saya tidak mencobanya. Bukannya takut lho, malas saja. (*) Dieng, 19 Januari 2017
- Menikmati Perpaduan Seni Alam dan Seniman di Tebing Breksi
DALAM misi traveling tipis-tipis di Jogjakarta, Tebing Breksi rasanya wajib masuk list destinasi. Jadilah kami mampir ke tebing yang menawarkan perpaduan keindahan seni alam dan seniman. Tebing Breksi. Sebelum menjadi tempat wisata, lokasi Taman Tebing Breksi yang sekarang sebelumnya adalah tempat penambangan batuan alam. Penambangan itu dilakukan masyarakat sekitar. Di sekitar lokasi penambangan, terdapat tempat-tempat pemotongan batuan untuk dijadikan bahan dekorasi bangunan. Tebing Breksi merupakan endapan abu vulkanik letusan gunung api purba yang sekarang dikenal sebagai Gunung Api Purba Nglanggeran di Gunung Kidul. Karena itu, tebing tersebut masuk dalam salah satu situs geoheritage , yakni situs atau area geologi yang memiliki nilai-nilai penting di bidang keilmuan, pendidikan, budaya, dan nilai estetika. Dalam laporan penelitian (2014) dijelaskan, masa kejayaan Gunung Api Purba berlangsung selama Oligosen Miosen Tengah (16-36 juta tahun lalu). Pulau Jawa yang tadinya merupakan penyatuan antara lempeng paparan Sunda dan lempeng kecil Jawa Timur ditabrak dari selatan oleh lempeng Indo-Australia yang beringsut ke utara dan menghunjam di zona palung di selatan Pulau Jawa. Kejadian ini merupakan peristiwa utama sejarah pembentukan Pulau Jawa. Di Yogyakarta, ada sembilan geotapak yang sudah teridentifikasi. Salah satunya adalah Tebing Breksi. Sejak tahun 2014, penambangan di lokasi ini ditutup pemerintah. Kemudian, lokasi penambangan ini ditetapkan sebagai tempat yang dilindungi dan tidak diperkenankan untuk kegiatan penambangan. Setelah itu, masyarakat mendekorasi lokasi bekas pertambangan ini menjadi tempat wisata yang layak untuk dikunjungi. Tepatnya pada bulan Mei 2015, Tebing Breksi diresmikan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai tempat wisata baru di Jogja. Keindahan Tebing Breksi Tebing Breksi adalah wisata alam. Sesuai dengan namanya, tempat wisata ini merupakan perbukitan batuan breksi. Tebing batuan breksi dengan corak yang indah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kehadiran tebing yang sekaligus dijadikan sebagai salah satu lokasi wisata ini menawarkan banyak hal yang sayang untuk dilewatkan. Di antaranya, pemandangan dinding tebing dengan ornamen patahan yang terlihat begitu artistik. Sebab, dasar tebing ini sudah terbentuk jutaan tahun lalu. Sisa-sisa penambangan juga mampu menghadirkan ornamen pahatan yang membuat tebing ini tampak seperti kue lapis. Berfoto dengan latar tebing menjadi salah satu hal yang dilakukan setiap pengunjung. Hal yang paling istimewa di atas tebing ini adalah para wisatawan bisa melihat keseluruhan Kota Jogja. Bahkan, aktivitas masyarakat pun dapat terlihat seperti pesawat yang lepas landas dan kendaraan yang hilir mudik. Dari atas tebing, pengunjung juga bisa melihat pemandangan berupa Candi Barong, Gunung Merapi, Candi Prambanan, dan Candi Sojiwan. Bicara soal fasilitas, kawasan ini memiliki fasilitas standar seperti tempat parkir, musala, toilet, dan stan makanan atau kafe. Selain itu, ada spot permainan seperti arena off-road . Nah, yang menarik, di bawah tebing, ada teater pertunjukan yang cukup luas. Lokasi outdoor ini biasa digunakan untuk pertunjukan seni dan konser musik. Momen yang tak kalah asyik dan romantis adalah makan malam atau sekadar ngopi di kafe bareng pasangan. Udara yang dingin dengan pemandangan tebing yang berpendar oleh lampu akan membuat malammu menjadi istimewa. Coba saja. Lokasi dan Tiket Secara administrasi, Tebing Breksi berada di wilayah Kabupaten Sleman. Lokasinya berada di sebelah selatan Candi Prambanan dan berdekatan dengan Candi Ijo serta Kompleks Keraton Boko. Wisata Tebing Breksi tepatnya berada di Desa Sambirejo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tebing Breksi buka pada pukul 05.00-18.00 WIB. Jadi, waktu terbaik untuk mengunjungi kawasan wisata ini adalah pagi atau sore. Pagi-pagi, jika beruntung, Anda bisa menikmati sunrise atau menikmati sunset saat sore. Untuk masuk kawasan wisata ini tidak ada biaya tiket alias gratis. Pengunjung hanya dikenai biaya parkir Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil. (*) Jogja, 19 Januari 2017












