top of page

Gunung Lawu, Pengalaman Pertama Mendaki

Updated: Oct 7

ree

SAAT suami menawarkan rencana untuk mendaki Gunung Lawu, saya begitu antusias sekaligus waswas. Sesungguhnya, dari kecil hingga kuliah, kerja, dan akhirnya menikah, saya belum pernah sekali pun menjelajah alam liar. Apalagi mendaki gunung, boro-boro.


Bisa dibilang saya merupakan anak rumahan yang sangat jarang main-main ke tempat jauh. Saya berpikir, mendapatkan jodoh seorang yang menyukai alam merupakan cara Tuhan untuk memberi kesempatan kepada saya agar bisa sedikit lebih dekat dengan-Nya.


Ya, dengan segala persiapan, termasuk olahraga rutin, saya dan suami melakukan perjalanan bersama beberapa teman menuju Gunung Lawu. Dari berbagai tulisan dan ulasan beberapa orang, Gunung Lawu termasuk dalam Seven Summits of Java atau jajaran gunung tertinggi di Jawa. Selain keindahan alamnya, beragam cerita mistis menjadi daya tarik tersendiri dari gunung ini. Bahkan, Gunung Lawu dipercaya sebagai episentrum kekuatan gaib yang sangat kuat di Jawa. Tidak heran jika banyak orang yang datang untuk memberi sesaji atau bertapa.


Saat itu pertengahan Januari, masih musim hujan. Di pagi yang dingin dan berkabut, rombongan kami memulai pendakian via Candi Ceto. Kekompakan rombongan harus selalu dijaga agar pendakian dapat berjalan lancar. Di sini saya benar-benar belajar artinya saling mengerti di tengah-tengah segala keterbatasan.


Di tengah kesunyian hutan, saya menyadari satu hal: gunung (alam) selalu memiliki cara untuk mengajari kita berbagai sifat dasar manusia. Bahkan, sempat tebersit di pikiran saya bahwa jika ingin mengetahui sifat asli teman atau sahabat kita, mungkin mengajaknya mendaki gunung bisa menjadi salah satu alternatif pilihan.


Ada satu hal yang membuat perjalanan kami sedikit unik. Seekor anjing yang biasa dipanggil Zero oleh warga setempat dan para pendaki dengan setia mengiringi perjalanan kami. Dia seperti menjadi pemandu kami dalam mendaki. Namanya juga sudah sangat dikenal di kalangan para pendaki. Setiap kami istirahat, dia juga turut serta.


Menurut saya, Zero merupakan anjing yang sangat unik. Meskipun berperawakan besar dan terlihat sangar, dia bisa dibilang sangat jinak dan patuh. Zero juga tidak memilih-milih makanan. Dia mau saja menyantap mi hingga cokelat yang diberikan pendaki. Sangat jauh dari kesan anjing besar pada umumnya yang memakan daging. Begitulah Zero mengiringi perjalanan kami dari Pos 1 dan seterusnya.


ree

Saat hari mulai sore, kami sampai di Pos 3, tempat sumber air. Kami istirahat beberapa saat, kemudian mengisi ulang tempat air untuk persediaan di perjalanan selanjutnya. Dari Pos 3, kami melanjutkan pendakian menuju Pos 4. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan malam. Hujan yang cukup lebat mengiringi pergantian hari. Trek yang kami lewati pun terasa semakin berat karena diguyur hujan. Waswas dan sedikit rasa khawatir tentu menggelayuti pikiran saya. Bagaimana tidak, ini adalah pengalaman pertama saya mendaki. Sekali mendaki, saya harus melewati trek yang berat, hujan, dan gelap. Dalam keadaan seperti ini, keyakinan dan kehati-hatian sangat diperlukan. Meski sempat merasa sedikit horor dalam perjalanan, rombongan kami pun sampai di Pos 4. Karena hari sudah malam, sekitar pukul 21.00, kami pun langsung mendirikan tenda.


Pagi hari kami masih diiringi oleh rintik-rintik hujan. Udara begitu dingin dan berkabut. Kami menunggu hujan reda, kemudian melanjutkan perjalanan menuju puncak. Namun, sampai di Pos 5, hujan kembali turun. Waktu pun sudah cukup sore.


Awalnya kami berencana berteduh di bawah deretan pohon cemara di pinggir jalur pendakian. Namun, saat kami sedang berusaha memasang flysheet, angin tiba-tiba bertiup kencang. Kabut semakin tebal. Cuitan burung-burung pun bersahutan. Deritan cabang cemara semakin memekakkan telinga. Kehadiran kami seperti tak diinginkan.


Karena suasana yang sudah cukup membuat bulu kuduk berdiri, kami pun akhirnya mengurungkan niat dan memutuskan untuk kembali ke Pos 4. Kami bermalam sekali lagi. Paginya baru turun dan kembali ke base camp. Sampai di bawah, barulah setiap anak berani menceritakan segala apa yang dirasakan selama pendakian. (*)


*Nury

Comments


bottom of page