top of page

Sunset yang Berbeda di Pantai Suwuk



SETELAH mampir ke Pantai Laguna dan Pantai Bopong, kami bergeser ke pantai lainnya, masih di hari yang sama. Jaraknya sekitar 15 menit dengan sepeda motor. Kami menuju Pantai Suwuk.


Lanskap di batas mata memandang sudah berbeda. Berupa perbukitan dan hamparan sawah di bawahnya. Jalanan yang kami lewati tidak terlalu ramai. Jadi bisa lebih bersantai. Tidak perlu terburu-buru atau salip kanan salip kiri.


Jauh berbeda dengan dua pantai sebelumnya, secara infrastruktur Pantai Suwuk sudah dikelola dengan profesional. Sebelum menjangkau bibir pantai, kami harus melewati gerbang pintu masuk yang lumayan megah. Kami perlu membayar tiket masuk di sana.


Kami membayar Rp 15 ribu. Untuk berdua dan karcis parkir motor. Di pantai ini wisatawan cukup ramai meski weekdays. Ada beberapa bus besar di area parkir. Bus pariwisata. Banyak juga warung yang buka, tidak sebanyak di Laguna dan Bopong.


Kami memarkir motor di bawah naungan pohon kelapa yang banyak tumbuh di sana. Suasana itu mengingatkan saya pada Pantai Kelapa di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang juga pernah kami kunjungi.


Kami kemudian berjalan menyusuri jalan setapak menuju pantai. Jalan berpasir, tentu saja. Dari tempat parkir, garis pantai belum bisa terlihat karena tertutup deretan warung-warung. Kami masih harus berjalan puluhan langkah dan melipir di antara warung-warung untuk menjumpai pantainya.


Saat itu matahari mulai sedikit merebah ke arah barat. Mengambang di atas perbukitan. Pantai ini memiliki primadona yang tidak dipunyai panti lain di Kebumen. Spot yang sempurna untuk melihat matahari terbenam.


Kebumen memang memiliki banyak pantai yang enak untuk menikmati sunset. Salah satu yang sering kami sambangi adalah Pantai Setrojenar (atau kondang disebut Pantai Bocor). Sunset di sana menawan.


Namun, Pantai Suwuk memiliki pesonanya sendiri. Hamparan pasir hitam dengan batas perbukitan yang menjorok ke pantai di ujung barat. Matahari terbenam di antaranya. Kami ingin menunggu dan menikmati sunset di sana.


Masih ada waktu sekitar satu jam untuk menunggu matahari pulang ke peraduannya. Kami duduk-duduk saja di tepi pantai sambil melahap kacang rebus dan telur puyuh. Banyak yang menjajakannya.


Wisatawan lain hilir-mudik di depan kami. Di segaris pantai. Bercengkerama. Bergurau. Bersenang-senang. Mengusir penat yang mungkin sudah menumpuk. Di tengah teror pandemi yang merisaukan di media masa.


Ya, mungkin bagi mereka pemberitaan media lebih menakutkan daripada virus itu sendiri. Namun, itu mungkin juga tidak terlalu ngefek bagi mereka. Tidak ada yang memakai masker. Tidak ada raut ketakutan. Pandemi tidak ada. Itu hanya cerita horor media. Mungkin begitulah pemikiran mereka.


Yang pasti, saat masyarakat kota ketar-ketir diteror pandemi, masyarakat di sini tak ada yang khawatir. Hidup normal seperti biasanya. Apa itu new normal?


Tak terasa matahari sudah jauh turun. Panas yang sesiang tadi membuat gerah berubah menjadi teduh. Rona jingga menyelimuti bukit-bukit yang kini tampak menjadi siluet. Hitam saja.


Ombak semakin kencang menerjang bukit karang. Semakin jauh mengalir ke tepian. Permukaan laut berubah menjadi keemasan di beberapa bagian. Kabut mulai menebal. Pohon-pohon kelapa di kejauhan menari pelan. Rona jingga yang menawan. (*)


Kebumen, 16 September 2020

Comentarios


bottom of page