Pendakian Gunung Gede
- budiawanagus
- Jun 9, 2014
- 7 min read

SETELAH vakum sekitar tujuh bulan dari dunia pendakian gunung, ada keinginan untuk kembali mendaki. Dan, Gunung Gede menjadi pilihan. Letaknya yang tidak terlalu jauh dari Jakarta memang menjadi pertimbangan (terlepas dari memang ada keinginan mendaki Gunung Gede saat masih tinggal di Surabaya). Jadi, anggap saja ini seperti peribahasa ’’pucuk dicinta, ulam pun tiba”.
Jika dibandingkan dengan pendakian Gunung Welirang, Semeru, atau Rinjani, perizinan untuk mendaki Gunung Gede memang rumit alias ribet. Setelah melakukan booking via online, calon pendaki masih harus menunggu validasi setelah mentransfer biaya Rp 7.000 per orang. Namun, prosesnya belum selesai sampai di situ. Calon pendaki masih harus mengurus SIMAKSI di kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di Jalan Raya Cibodas, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.
Jika tidak ingin waktu terbuang sia-sia, calon pendaki memang sebaiknya mengurus SIMAKSI beberapa hari sebelum hari H pendakian. Sebab, antrean panjang akan terjadi, baik pendaki yang mengurus SIMAKSI untuk pendakian hari itu atau untuk hari-hari berikutnya.
Antrean akan bertambah panjang saat weekend. Itu ditambah dengan hanya ada dua tenaga pelayanan, sedangkan jumlah pendaki membeludak. Di situ, calon pendaki masih harus membayar tiket masuk dan uang asuransi. Untuk informasi lebih lengkap kunjungi website resmi TNGGP.
Sabtu, 07 Juni 2014
Sabtu pagi Jakarta tampak cerah, hangatnya belum begitu terasa mesra. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 saya sudah harus rela meninggalkan kasur untuk segera bergegas. Padahal, biasanya saya masih tertidur sampai sore tiba. Karena sudah ada janji bertemu di sebuah warung kopi dengan rekan pendakian, saya pun bersiap. Saya baru sampai di warung kopi sekitar pukul 07.30.
Dari tempat kos di Gang Salam Nomor 7, Rawa Belong, Jakarta Barat, saya harus naik angkot untuk menuju warung kopi di Jalan Kebayoran Lama No 12, Jakarta Selatan. Setelah memakan waktu setengah jam, saya pun sampai dan memesan kopi hitam panas. Rokok saya sulut. Sementara teman saya belum tampak ujung giginya, Adn. Saya menunggu dengan terus menikmati kopi dan rokok Mild.
Setelah rokok habis sebatang, Adn datang. Namun, kami tidak langsung berangkat. Ngopi menjadi ibadah yang memang sulit ditinggalkan. Jadi, kami masih terus nongkrong di warung kopi sampai pukul 09.00.
Setelah itu, kami pun memutuskan berangkat dengan naik angkot 09 ke Pasar Kebayoran Lama (Rp 3.000 per orang). Dari situ, kami naik angkot lagi menuju Terminal Kampung Rambutan (Rp 7.000 per orang). Saya dan Adn sampai di terminal sekitar pukul 10.00.
Dari Terminal Kampung Rambutan, kami naik bus ekonomi Karunia Bakti jurusan Cianjur via Puncak Bogor (Rp 20.000 per orang). Dalam keadaan normal, Jakarta–Cibodas bisa ditempuh dalam waktu 3–4 jam. Tetapi, saat itu weekend dan jalur menuju atau dari Puncak Bogor diberlakukan sistem buka-tutup jalan. Alhasil, kami baru sampai di Cibodas sekitar pukul 16.30. Kami pun turun di pertigaan Cibodas, kemudian naik angkot kuning ke pos perizinan (Rp 5.000 per orang).
Rencana mengurus SIMAKSI hari ini untuk pendakian esok harinya pun gagal karena kantor sudah tutup. Jadi, kami harus menunggu esok pagi. Lagi pula kami juga masih harus menunggu dua kawan lagi yang datang menyusul dari Jakarta, Mud dan Sah. Sambil menunggu, kami mencari tempat yang asyik buat ngopi.
Kami pun menemukan tempat yang asyik di sekitar tempat parkir Air Terjun Cibeureum, masih berdekatan dengan pos perizinan. Warung kopi itu menyediakan segala macam minuman, dari kopi hingga bandrek. Penginapan juga disediakan, semalam Rp 50.000 untuk berapa pun orang, asal muat.
Sekitar pukul 03.30 pagi, Mud dan Sah baru datang. Ya, meskipun sedikit ngantuk, ibadah ngopi dan isap rokok harus dijalankan dulu sebelum tidur.
Minggu, 08 Juni 2014
Pagi menjelma kabut dingin. Saya terbangun pada pagi yang tidak biasa. Selimut dan dingin berebut mendekap tubuh. Saat itu pukul 06.00 dan pos perizinan belum buka. Pelayanan pengurusan SIMAKSI dan booking pendakian baru dibuka pukul 09.00. Maka, sarapan, ngopi, dan ngrokok adalah hidangan pagi yang sederhana, namun terasa istimewa.
Waktu berjalan seperti biasa, sampai akhirnya saya, Adn, Mud, dan Sah bersiap untuk bergegas. Sebab, waktu cepat berjalan dan tahu-tahu sudah pukul 09.00 saja.
Saat itu di kantor perizinan belum terlalu banyak orang. Baru menjelang pukul 10.30 mulai banyak pendaki. Baik yang mengurus izin untuk pendakian hari ini atau booking untuk pendakian pada hari selanjutnya. Selama waktu itu, kami masih harus antre untuk mendapat izin.
Selain perizinan yang ribet, pelayanannya juga lemot. Sebab, dari pukul 09.00, kami baru bisa mendapat izin pukul 12.00. (Bayar booking per orang Rp 7.000, tiket masuk Rp 10.000 per orang, dan asuransi 2.000 per orang). Setiap satu rombongan harus ada surat pernyataan pakai meterai 6.000. Nah, saking ribet dan lemotnya pelayanan, meterai akhirnya dijual Rp 10.000 dengan alasan tidak ada kembalian. Dan, ini berlaku untuk semua pengantre. *Ngumpat*!
Kami pun baru mendaki sekitar pukul 12.30. Setelah jalan beberapa meter, kami melewati Pos I atau pos pemeriksaan. Di situ barang bawaan apa saja yang sekiranya menghasilkan sampah dicek. Setelah beres, kami melanjutkan berjalan mendaki dengan melewati jalan berbatu atau makadam. Hari itu sangat ramai pengunjung karena weekend. Karena jalan menuju puncak dan Air Terjun Cibeureum satu jalur. Air terjun ini memang dikunjungi banyak wisatawan lokal maupun mancanegara pada weekend.
Setelah berjalan sekitar 1,5 km melintasi hutan tropis, kami tiba di Telaga Biru. Letaknya berada di ketinggian 1.500 mdpl. Konon, warna air di telaga ini bisa berubah-ubah karena ada tanaman ganggang yang hidup di dasar sungai. Namun sayang, saat itu air sungai sedang surut sehingga kami tidak bisa menjumpai keindahannya. Kami pun tak berhenti lama dan segera melanjutkan pendakian.
Tidak jauh dari Telaga Biru, kami bisa menjumpai trek bonus berupa jembatan datar yang cukup panjang, sekitar 1 km. Jembatan berbahan dasar semen itu melintang di atas sebuah rawa luas dengan tumbuhan-tumbuhan yang subur. Daerah ini diberi nama Pos Rawa Gayang Agung. Lokasinya terletak di ketinggian 1.600 mdpl. Tempatnya yang indah dan tidak tertutup pohon-pohon tinggi menjadikan lokasi ini pas untuk berfoto-foto ria.
Setelah bersantai di trek lurus, kami kembali disambut trek berbatu dan menanjak hingga sampai di Pos Panyancangan Kuda dengan ketinggian 1.628 mdpl. Pos ini berada di jalur pertigaan. Jalan lurus dan menurun adalah arah ke wisata Air Terjun Cibeureum, sedangkan belok kiri menanjak adalah arah puncak Gunung Gede dan Pangrango. Karena mengejar waktu, kami pun langsung belok kiri dan terus menanjak.
Jalurnya semakin menanjak dengan jalan yang masih berbatu dan berliku-liku. Sepanjang perjalanan gemuruh air terjun terdengar menggiurkan. Ada keinginan untuk sejenak mampir, tetapi tekad yang ada adalah terus menanjak dan menanjak.
Waktu terus berjalan, kaki terus menapak, napas tersengal-sengal, sampailah di Pos Batu Kukus di ketinggian 1.820 mdpl. Istirahat menjadi pilihan yang paling menolong sebelum menuju Pos Pondok Pemandangan (2.150 mdpl) sambil menunggu antrean melewati air panas yang jatuh dari lereng-lereng terjal.
Sepanjang jalur pendakian, bisa dikatakan trek air panas ini adalah jalur yang paling berbahaya. Sebab, medannya licin dan sempit. Sementara di sisi kanan (arah naik) adalah lereng curam. Pendaki harus berhati-hati melewati air dengan suhu yang mencapai 70° Celsius itu dengan berpegangan pada tali atau pasak yang sudah terpasang.

Setelah melewati medan yang curam, pendaki bisa beristirahat sejenak, bisa mandi di aliran air panas sambil menikmati pemandangan yang indah. Atau, mungkin cuma mencuci muka dan merendam kaki untuk mencari sedikit kesegaran. Setelah puas, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Pos Kandang Batu di ketinggian 2.220 mdpl. Sepanjang jalan menuju pos ini terdengar suara gemericik sungai yang dialiri air panas di sepanjang sisi jalan.
Kami sampai di Pos Kandang Batu sekitar pukul 05.45. Sambil menunggu magrib selesai, kami beristirahat. Sempat ada keinginan untuk membangun tenda di pos ini. Tapi, sesuai dengan kesepakatan, kami pun melanjutkan perjalanan pada malam hari menuju Pos Kandang Badak di ketinggian 2.395 mdpl.
Di pos ini tersedia air bersih yang melimpah. Pendaki bisa saja terus naik dan nge-camp di dekat puncak, atau bahkan di puncak Gunung Gede. Namun, kami memutuskan untuk bermalam di Pos Kandang Badak.
Sampai sekitar pukul 20.00, kami pun membongkar keril, membangun tenda, mengeluarkan segala macam peralatan, makanan, minuman, dan apa saja yang diperlukan. Sebelum tidur, masak adalah sebuah kebutuhan yang mendesak, dan tiga mi instan rasa kari ayam sudah menjadi makanan istimewa. Setelah makan dan minum teh panas, kami memutuskan tidur sekitar pukul 21.30 untuk mengembalikan energi, untuk persiapan menuju puncak paginya.
Senin, 09 Juni 2014
Sesuai kesepakatan, kami bangun pukul 02.00 dini hari. Setelah membuat teh dan makanan, sekitar pukul 02.45 kami mulai jalan menuju puncak. Namun sayang, Adn tiba-tiba drop sehingga dia harus kembali ke tenda. Jadi, hanya saya, Mud, dan Sah yang melanjutkan ke puncak.
Dalam perjalanan ke puncak, pendaki akan menemui pertigaan. Nah, jika mau ke puncak Gunung Gede, pendaki harus mengambil jalan lurus menanjak, sedangkan arah kanan adalah arah menuju puncak Gunung Pangrango. Kami pun mengambil arah lurus menanjak. Di sini fisik dan mental benar-benar diuji. Jalur menanjak dan berliku, serta udara dingin dan tipis, semakin menguras energi. Beberapa kali kami berhenti untuk istirahat. Jalur semakin terasa berat ketika melewati Tanjakan Setan. Setelah tiga jam perjalanan, sampailah kami di puncak Gunung Gede.
Sesampainya di puncak, rasa lelah akan terbayar dengan pemandangan yang indah. Sunrise dengan rona jingganya menyambut semringah tubuh yang lelah, yang berubah menjadi segar setelah menikmati keindahan semesta.
Puncak Gunung Gede berada di ketinggian 2.958 mdpl. Puncaknya berupa lereng curam yang di bawahnya adalah kawah menganga. Kawah Gunung Gede ini terdiri atas Kawah Ratu dan Kawah Wadon. Meski berada di sisi kawah, pendaki tidak perlu khawatir. Sebab, di sepanjang bibir kawah sudah terpasang tali pembatas.
Dari puncak Gunung Gede, pendaki bisa melihat Puncak Gunung Pangrango yang mengerucut hijau. Dari puncak sini juga pendaki bisa melihat Alun-Alun Surya Kencana. Areal terbuka seluas 5 hektare itu dipenuhi tumbuhan bunga edelweiss.
Lagi-lagi karena mengejar waktu, kami tidak turun ke Alun-Alun Surya Kencana. Jadi, sekitar pukul 08.00, kami memutuskan kembali turun menuju Pos Kandang Badak.

Sepanjang perjalanan, kami melewati jalur menurun yang rindang oleh tumbuhan-tumbuhan tropis. Saat turun inilah terlihat keindahan jalur menuju puncak Gunung Gede. Tidak butuh waktu lama, hanya sekitar dua jam, kami sudah sampai di tenda sekitar pukul 10.00. Kami tidur sejenak untuk memulihkan kondisi fisik untuk bersiap turun sekitar pukul 12.00.
Pukul 11.00 kami bangun untuk mulai bersiap masak dan membuat teh hangat. Menunya pun tetap sama, mi goreng spesial. Setelah makan, bersantai-santai sejenak, berkemas, membongkar tenda, kami pun turun sekitar pukul 12.00, kembali lewat jalur Cibodas.
Jalur menurun memang juga melelahkan, tetapi bisa ditempuh dalam waktu yang lebih cepat. Sekitar pukul 16.30, kami sudah sampai di pos perizinan pertama untuk melapor.
Akhirnya, kami sampai di warung kopi, tempat kemarin kami menginap, sekitar pukul 05.30. Kami istirahat sejenak, mandi, kemudian memesan teh hangat dan nasi goreng spesial. Kami bersantai cukup lama sebelum akhirnya kembali ke Jakarta sekitar pukul 20.00. Kami sampai di Ibu Kota Jakarta sekitar pukul 23.00. Sampai jumpa di pendakian selanjutnya. (*)
Bogor, 7–9 Juni 2014
Comments