top of page

Meresapi Pesona Teh Geulis Gunung Papandayan



JAKARTA belum benar-benar mengantuk pagi itu. Di kota ini, setiap orang hidup dalam kecurigaan. Subversif individualisme. Kota ini ibarat sangkar yang mengurung setiap burung dan terjebak di dalamnya. Setelah itu, sangkar bernama Jakarta itu hanya akan menawarkan dua hal: kebahagiaan dan penderitaan.


Tersesatlah mereka yang hidup di antara keduanya: yang tidak berbahagia sekaligus yang tak menderita. Hidup di kota ini seperti jalur kereta, telentang, dan membosankan. Maka, hanya sedikit perjalanan yang bisa menyelamatkan.


Pagi itu, 19 April 2015, sekitar pukul 24.30, perjalanan kecil dimulai. Gas motor kami geber dari Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menuju Terminal Kampung Rambutan. Kami lewati jalan-jalan yang sedikit lengang dan lampu-lampu jalan yang murung. Gedung-gedung di sisi kanan-kiri jalan juga tampak beku. Tidak lama, sekitar pukul 01.19, kami pun sampai di terminal di kawasan Jakarta Timur tersebut.


Hiruk-pikuk terminal yang biasanya bising dan semrawut tampak lengang di pagi buta itu. Hanya ada satu-dua bus yang mengaspal. Angkot juga tidak banyak yang beroperasi. Tapi, kami yakin tetap ada bus yang akan membawa kami melakukan perjalanan singkat ini.


Sekitar pukul 01.45, kami pun naik bus Saluyu Prima AC. Kami bersandar pada kursi, mencari posisi paling nyaman untuk melakukan perjalanan sekitar 4–5 jam menuju Garut. Tapi apa daya, seperti biasa, bus ngetem begitu lama di sekitar Terminal Pasar Rebo. Dan pukul 03.00 kami baru berangkat ke Garut via tol Cipularang.


Lalu lintas pagi itu padat lancar sehingga kami yakin estimasi 4–5 jam kami sudah sampai di Garut. Harga tiket bus Saluyu Prima tujuan Terminal Guntur dibanderol Rp 55.000. Kami kira perjalanan akan aman-aman saja sampai akhirnya bus macet di tengah jalan. Setelah diperbaiki, bus memang masih bisa jalan, tapi tersendat-sendat.


Akhirnya, bus benar-benar mogok dan tidak bisa diperbaiki lagi di Km 99 tol Cipularang. Waktu itu jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Bus terpaksa diderek dan para penumpang dioper ke bus lain, termasuk kami.


Semakin siang, lalu lintas menuju Garut semakin padat. Karena penumpang penuh, kami pun terpaksa duduk berimpitan di ruang bus paling belakang yang biasanya dipakai untuk menaruh barang-barang penumpang.


Dalam posisi tidak nyaman itu, kami upayakan bisa tidur untuk menghemat tenaga. Meskipun tidak pernah bisa nyenyak, syukurlah masih bisa tidur beberapa menit.


Kami akhirnya sampai di Terminal Guntur, Garut, sekitar pukul 08.32. Waktu yang seharusnya bisa ditempuh selama 5 jam pun akhirnya molor menjadi sekitar 8 jam! Sampai di terminal, kami memerlukan sarapan dulu di warung sederhana di sekitar terminal.


Setelah perut terisi dan tenaga sedikit pulih, kami siap-siap berangkat. Saat itu sudah ada sopir angkot yang memang sudah menunggu kami makan sampai selesai. Tawar-menawar harga pun terjadi dan kesepakatan harga Rp 20.000 per orang pun tercapai sampai ke Camp David (pos pertama pendakian). Kami berangkat sekitar pukul 09.30.


Namun, apa daya. Ternyata sopir angkot menurunkan kami di pertigaan Cisurupan. Kami sempat protes karena sopir itu mengatakan kita bisa langsung diantar ke Camp David. Jadi, untuk kalian yang baru pertama mendaki ke Gunung Papandayan harus berhati-hati terkena tipuan calo semi sopir angkot seperti itu.


Kami sampai di pertigaan Cisurupan sekitar pukul 10.27. Untuk sampai ke Camp David, kami harus naik ojek atau pikap. Tukang ojek di sana menawarkan harga Rp 25.000 untuk sampai ke Camp David, sedangkan pikap Rp 20.000 dengan syarat minimal 15 orang.


Karena udara panas siang itu, sopir pikap sepertinya merasa kasihan kepada kami yang sempat ditipu calo angkot sehingga mau bernegosiasi untuk harga naik pikap. Harga Rp 17.000 per orang pun menjadi penawaran yang tidak bisa diturunkan lagi. Saat itu kami berlima, ketambahan lima pendaki lain yang juga dari Jakarta.



Mesin pikap meraung, roda berputar, perjalanan singkat ke kaki Gunung Papandayan dimulai. Mobil melewati jalan berkelok dan menanjak. Pemandangan ladang hijau dan hutan rimbun memang sedikit menyejukkan mata. Pemandangan yang tak bisa ditemui di Jakarta.


Sekitar pukul 11.30, kami sampai ke gerbang sekaligus menjadi tempat registrasi pendakian. Di sini, kami tidak perlu menunjukkan identitas diri (KTP) atau surat keterangan sehat dokter. Kami cukup menyebutkan nama pimpinan kelompok pendakian dan berapa jumlah anggotanya. Setelah membayar Rp 2.000 per orang, kami bisa langsung menuju area parkir pos pertama pendakian.


Memulai Pendakian di Switzerland from Java


Kota Garut mendapat julukan sebagai Switzerland from Java. Gunung Papandayan yang berada di Garut memiliki ketinggian 2.665 mdpl dan terletak di Kecamatan Cisurupan. Gunung ini memiliki beberapa kawah terkenal seperti Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk yang aktif mengeluarkan uap.


Siang itu, sekitar pukul 12.00, Camp David riuh akan pendaki-pendaki maupun wisatawan. Kebanyakan mereka berasal dari Garut sendiri dan sekitar Jabodetabek. Area parkir pun penuh kendaraan sehingga view-nya tidak cukup bagus untuk foto. Karena itu, kami memutuskan langsung mendaki tanpa mengambil gambar.


Rimbun vegetasi menyambut kami di sisi kanan dan kiri jalan. Tetapi, itu tidak lama. Setelah itu, tanah dan bebatuan kapur memberikan ucapan selamat datang kepada kami. Sebagai gunung aktif, kawah Papandayan selalu menyemburkan asap belerang dengan bau menyengat. Gelegar kecil atau desis kawah menyambut kami.


Inilah pesona alam Papandayan karena erupsi dahsyat puluhan dan ratusan tahun silam. Letusan itu memang dahsyat hingga meruntuhkan sebagian besar badan gunung. Bahkan, Lee Davis dalam tulisannya berjudul Natural Disaster menggambarkan bahwa Gunung Papandayan hancur hingga berkeping-keping.

Di sini, saya tidak memedulikan jarum jam yang terus berputar. Kami tidak ingin disandera waktu. Kami ingin menikmati alam senikmat-nikmatnya. Kami pun mendaki dengan santai hingga sampailah kami di Hutan Mati.


Hutan Mati bisa disebut sebagai hutan paling eksotis di Papandayan, atau mungkin di kota-kota lain di Indonesia. Di sini semua pohon meranggas hitam dan berdiri di atas tanah kapur yang penuh kandungan belerang. Hutan ini terbentuk karena erupsi Gunung Papandayan pada tahun 2002. Lokasi ini sering dijadikan hunting foto oleh fotografer profesional maupun amatir. Cocok juga untuk lokasi foto prewed.


Dari Hutan Mati, pendaki yang ingin nge-camp bisa mengambil jalur ke kanan menuju Pondok Salada. Lokasi ini bisa ditempuh sekitar 2–3 jam dari Hutan Mati. Di Pondok Salada ada sumber air sehingga pendaki tidak perlu khawatir kehabisan air untuk menyeduh kopi atau memasak mi instan.


Tapi, kami tidak berniat nge-camp sehingga kami mengambil jalur lurus sedikit ke kiri dan menanjak. Kami langsung menuju Tegal Alun. Di sini, kita bisa menjumpai ladang terhampar luas sekitar 35 hektare yang ditumbuhi edelweiss atau bunga abadi, atau yang memiliki nama latin Anaphalis Javanica.


Untuk menjaga kelestarian edelweiss di sini, agar kita masih bisa menikmatinya beberapa tahun ke depan, supaya kita bisa menunjukkan kepada istri dan anak kita kelak, jangan tergoda untuk memetiknya.


Kami sampai di Tegal Alun sekitar pukul 14.00, setelah melewati tanjakan yang cukup terjal di antara vegetasi yang rimbun. Kami pun tidak terlalu tergesa-gesa meninggalkan secuil surga di atas Papandayan. Kami lalu membongkar keril, mengeluarkan kompor, nesting, dan kopi. Seduhan yang sempurna. Kami menikmati kopi hitam di tengah ladang edelweiss.


Setelah puas berfoto-foto dan menikmati secangkir kopi, gerimis pun turun, kabut juga mulai menyelimuti bagai tirai putih yang menjulur-julur. Kami memutuskan turun lewat jalur yang sama saat kami naik. Udara siang tadi yang agak panas berubah drastis menjadi dingin.



Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Papandayan termasuk dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun, kelembapan udara 70–80 persen, dan bertemperatur 10 derajat Celsius.

Karena hujan, jalan terjal menurun menjadi sedikit berlumpur dan licin. Dalam kondisi seperti ini, kondisi fisik dan mental harus dijaga. Konsentrasi harus diutamakan. Jika tidak, tergelincir adalah efek paling fatal karena jalan menurun cukup curam.


Tidak sampai satu jam, kami pun sampai di Hutan Mati lagi sekitar pukul 03.00. Kami sengaja berlama-lama nongkrong di sini sambil menikmati Hutan Mati. Kami menghabiskan logistik yang sedari tadi memberati punggung kami. Mi goreng/rebus, snack, dan kopi kami binasakan di situ. Pemandangan semakin indah dan udara semakin dingin saat hari mulai sore dan kabut mulai turun.


Dalam kondisi seperti itu, Hutan Mati seperti negeri anta berantah, seperti negeri misteri di alam dongeng. Tonggak-tonggak pohon kering terlihat samar di balik kabut. Beberapa pendaki di kejauhan juga terlihat seperti makhluk-makhluk astral yang berminat menampakkan diri. Super sekali.


Sekitar pukul 17.00, kami memutuskan turun ke Camp David. Di area parkir, kondisinya sudah sepi jika dibandingkan dengan saat kami mulai mendaki siang tadi. Sayang sekali, lokasi Camp David begitu gelap, tidak ada penerangan sedikit pun, kecuali lampu sorot mobil pikap yang sengaja menunggu pendaki yang ingin turun. Setelah membersihkan kaki dari lumpur, kami pun siap turun. Kami membayar pikap Rp 20.000 per orang untuk sampai ke pertigaan Cisurupan.


Sebelum benar-benar meninggalkan Gunung Papandayan, kami harus melapor di pos. Cukup menyebutkan nama pemimpin kelompok pada awal pendakian, dan kami pun turun melewati jalan gelap berliku. Di kejauhan di bahwa sana, lampu kota terhampar luas seperti seribu kunang-kunang yang beterbangan.


Sampai di pertigaan Cisurupan, sudah ada beberapa angkot yang menunggu. Nggak pake lama, kami pun mengiyakan membayar Rp 20.000 per orang untuk sampai ke Terminal Guntur. Perjalanan tidak sampai satu jam. Sampai di terminal, kami menyempatkan istirahat sejenak sambil mengisi perut yang mulai kosong.


Tepat pukul 21.00, bus berangkat menuju Jakarta. Sama dengan saat berangkat, kami pun membayar tiket bus Rp 55.000 per orang. Sampai di Terminal Kampung Rambutan, waktu menunjukkan sekitar pukul 02.00 dini hari. Dari sana, kami pun berpisah untuk kembali ke tempat kos masing-masing.


Kami hanya mendaki Papandayan satu hari, tanpa nge-camp. Kami pun kembali ke realitas Kota Jakarta dengan segala hiruk-pikuknya. Sampai jumpa di one day trip selanjutnya. Salam lestari. (*)



Jakarta–Garut, 18–19 April 2015

Comentarios


bottom of page