Temu Kangen dengan Gunung Gede
- budiawanagus
- Sep 4, 2019
- 4 min read
Updated: Oct 7

PENDAKIAN Gunung Gede pertama kali saya terjadi sekitar lima tahun lalu. Kali ini saya naik lagi ke Gede. Temu kangen. Bersama bojo. Dan tiga teman lain. Tidak seperti yang sudah-sudah, pendakian kali ini adalah inisiatif sang bojo.
Setelah merasakan keindahan Lembah Mandalawangi sebulan lalu, bulan ini sang bojo ingin melihat keindahan Alun-Alun Suryakencana di gunung tetangga, Gunung Gede. Via jalur Gunung Putri, Bogor.
Tanggal 27 Agustus dini hari kami bergegas menuju Base Camp Gunung Putri. Dari Jakarta Selatan.
engan naik mobil kawan. Berangkat sekitar jam 2 pagi. Jam 4 pagi kami sudah memarkir mobil di depan base camp. Sayang, jam segitu pintu base camp sudah ditutup rapat.
Base camp di Putri tidak sebanyak di Cibodas. Yang juga buka 24 jam. Menyewa homestay juga percuma. Karena paginya kami sudah harus mulai mendaki. Jadilah kami berlima tidur di dalam mobil.
Oh iya, di jalur Gunung Putri, ada base camp yang asyik. Base Camp Abah Anwar namanya. Menu makanannya pun bermacam-macam. Prasmanan pula. Ambil sendiri. Makan dulu, bayar kemudian. Dan yang paling penting, harganya ramah kantong pendaki.
Setelah beres-beres dan packing, kami makan di warung Abah Anwar. Tak perlu mandi. Mandi saat mendaki gunung adalah sebuah keniscayaan yang hakiki. Kami juga perlu melengkapi kekurangan logistik di sana. Terutama air.
Untuk air, kami juga tidak membawa terlalu banyak. Sekiranya cukup untuk minum waktu naik dan turun. Karena di Suryakencana ada sumber air yang cukup berlimpah untuk masak-masak. Tapi tidak cukup enak kalau langsung diminum.

Kami mulai mendaki sekitar jam 10 siang. Mirip pendakian Gunung Lawu via Candi Cheto, untuk menuju pos perizinan pendaki harus nanjak dulu. Cuma di Putri treknya lebih panjang. Melewati perkebunan sayur milik penduduk. Sesekali harus berbagi jalan dengan motor-motor pengangkut sayur.
Sekadar info, meskipun naik via jalur Putri, pendaki harus mengurus simaksi di Base Camp Cibodas. Bisa diurus sebelum atau pada hari H pendakian. Tergantung Anda suka yang mana.
Berbeda dengan jalur Cibodas yang didominasi batu, trek Putri berupa tanah dan akar-akaran. Melewati jalur ini, saya pun teringat dengan jalur Linggarjati di Gunung Ciremai. Hampir mirip.
Tidak lama berjalan dari kantor Perhutani, kami menjumpai pedagang. Lumayan lah jajan dulu. Semangka satu iris Rp 5 ribu. Saya pun teringat semangka Semeru. Dengan uang segitu di Semeru, saya dapat dua iris semangka. Nggak tahu lagi kalau sekarang.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke Pos 1. Biasa dikenal dengan gerbang selamat datang di Gunung Gede. Ada gapura yang ikonik. Kami rehat. Sebatdul dan ngopi-ngopi. Kami baru kembali berjalan setelah setengah jam kemudian.
Kami berjalan santai. Pos 2 (Legok Leunca) dan Pos 3 (Buntut Lutung) pun terlewati. Perjalanan kami nikmati. Rehat-rehat cantik di setiap pos bayangan dan pos bukan bayangan.
Tidak lama setelah jalan dari Pos 3, hujan tiba-tiba turun. Saat itu sekitar jam setengah 4 sore. Jalur pendakian tentu saja menjadi licin. Perjalanan kami semakin santai. Keril semakin berat karena basah. Hari berubah gelap dengan cepat. Kami akhirnya memutuskan untuk nge-camp di area antara Pos 3 dan Pos 4.
Tanggal 28 Agustus pagi cuaca cerah. Sebelum siang kami sudah kembali berjalan. Jarak Pos 3 ke Pos 4 sekitar 2 jam. Untuk ukuran pendaki santai seperti kami. Di Pos 4 (Simpang Maleber), kami ngopi-ngopi lagi. Jarak antar kedua pos ini lumayan panjang. Jadi, ada pos bayangan (Lawang Sekateng) di antaranya.
Setelah rehat sekitar 30 menit, kami kembali jalan. Menuju Pos 5. Alun-Alun Suryakencana Timur. Di pintu gerbang pos mahaluas itu, beberapa lapak penjual menyambut kami. Tapi, kali ini kami tidak berhenti untuk jajan.
Kami terus berjalan. Mencari tempat untuk mendirikan tenda. Kami berjalan lebih dari 30 menit untuk mencari tempat mendirikan tenda di alun-alun seluas 50 hektare di ketinggian 2.750 mdpl itu. Yang dekat dari sumber air. Dekat pula dengan pintu gerbang menuju puncak Gede.
Jam 4 sore tenda sudah berdiri. Masak-masak dan istirahat menjadi pilihan yang tak bisa ditawar lagi. Setelah kenyang, kami merebahkan tubuh. Melawan lelah.
Kabut mulai turun di Suryakencana. Diikuti malam yang jatuh. Sejauh mata melihat hanya gelap. Dan remang-remang lampu pendaki lain. Cuaca semakin dingin. Namun, di dalam tenda cukup hangat. Mata yang dari tadi protes ingin dipejamkan kini justru susah diajak tidur.
Jam 8 malam tetangga-tetangga tenda masih asyik bersenda gurau. Sampai jam 11 malam. Setelah itu hening. Tapi, mata tetap enggan terkatup.
Tidur, bangun, tidur, bangun. Tidak bisa nyenyak. Begitu terlelap, alarm handphone berbunyi. Jam 3 pagi. Rencananya kami akan naik ke puncak saat hari masih gelap. Menunggu sunset di puncak Gede. Naik jam 4 pagi, rencananya.
Tapi, setelah masak-masak, makan-makan, saya dan bojo malas bergerak buru-buru. Apalagi kami juga harus menunggu satu rekan lagi untuk naik. Kami menata sedikit persediaan untuk menuju puncak. Snack dan air minum secukupnya.

Akhirnya kami bertiga mulai nanjak sekitar jam 5 pagi. Di tengah trek, si jingga sudah merekah di balik rerimbun pohon. Trek nanjak berbatu. Kami semakin santai mendaki. Kurang dari satu jam kami sudah sampai di puncak dengan ketinggian 2.958 mdpl. Langit sudah terang. Pendaki masih sepi. Di belakang tugu puncak Gede, masih ada lapak penjual. Gokil!
Hampir dua jam kami berada di puncak. Menikmati keindahan. Foto-foto juga tentunya. Kabut masih menyelimuti puncak Pangrango di depan mata dan perbukitan di sisi-sisinya.
Saat pertama kali saya muncak Gede, plang penanda masih berupa satu tiang besi kecil dengan pelat besi bertulisan puncak Gede. Kini, sudah dibangun tugu di situ. Mirip dengan tugu di puncak Pangrango.
Kami turun begitu puncak mulai ramai pendaki. Dan bau belerang dari kawah Gede mulai menusuk hidung. Tidak sampai setengah jam, kami sudah sampai di tenda. Di bawah, di gerbang jalur menuju puncak, pun ada dua lapak pedagang yang berdiri berhadapan. Sedap!
Kami istirahat, makan-makan, sebelum packing dan kembali turun gunung. Tetap tidak lupa membawa sampah-sampah logistik yang kami hasilkan. Tetap cintai alam. Kalau mau nyampah, jangan jauh-jauh naik gunung. (*)
Bogor via Gunung Putri, 27–29 Agustus 2019



Comments