top of page

Search Results

165 results found with an empty search

  • Jangan Meremehkan Gunung Kembang

    GUNUNG Kembang di kawasan Wonosobo sudah tenar dengan keindahannya. Namun, gunung yang dikenal dengan nama lain Anak Gunung Sindoro ini bak gadis cantik yang sulit ditaklukkan. Perlu perjuangan berdarah-darah dan cobaan bertubi-tubi. Cobaan pertama dan terakhir yang paling kentara ada di base camp pendakian via Blembem. Di tengah perkebunan teh yang terhampar indah, di bawah rimbun pohon-pohon tinggi, berdiri sebuah bangunan berwarna dominan oranye yang harus disinggahi setiap pendaki. Pos pendakian via Blembem namanya. Di situ pendaki harus melakukan registrasi untuk memulai pendakian. Dengan biaya 20 ribu rupiah per kepala. Base camp itu tampak artistik. Ada akuarium kecil dengan ikan-ikan yang juga kecil menempel seperti jendela bergelembung. Tepat di atas celah kecil lorong registrasi. Di sekitarnya banyak tempelan-tempelan stiker pendaki. Melengkapi tulisan-tulisan peraturan yang menakutkan dan rute pendakian. Saat memasuki base camp, terlihat jeriken berbaris-baris. Botol puntung rokok tergantung-gantung. Rest area pendaki itu terasa lega. Dilengkapi tikar plastik dan grafiti-grafiti unik. Aktornya dominan celeng atau babi hutan. Semuanya tampak indah dan nyeni . Berhenti di situ dulu. Cobaan pertama datang saat pendaki melakukan registrasi. Tas carrier yang sudah ditata rapi dari rumah harus dibongkar ulang. Setiap perlengkapan dan logistik didata satu per satu. Memakan banyak waktu dan tenaga. Karena harus packing ulang. Masalah air juga begitu. Tidak diperbolehkan menggunakan botol bawaan. Harus dimasukkan jeriken. Atau tempat lain yang tidak sekali pakai. Punya sendiri atau menyewa di base camp . Banyak disediakan, eh disewakan. Jadi jangan heran kalau banyak pendaki yang menenteng jeriken saat naik ke Kembang. Kami membawa tempat air sendiri dari rumah. Demi gunung bebas sampah, saya setuju. Tapi, ada peraturan-peraturan yang dijalankan dengan setengah hati. Parahnya, itu yang krusial. Pengalaman saya kemarin, kami sekelompok disuruh menghitung dan mencatat sendiri semua perlengkapan dan logistik bawaan. Ya, kami disuruh mencatat sendiri! Petugas yang saat itu bertugas terkesan malas-malasan. Hanya duduk-duduk saja sambil memainkan smartphone . Pendaki yang curang bisa dengan mudah memanipulasi jumlah bawaan dan angka yang ditulis di lembar registrasi. Dan selama mendaki bisa saja membuang sampah seenaknya selama jumlah sampah yang tertera sudah sesuai list bawaan. Aturannya memang baik. Tapi, aturan yang baik kalau pelaksananya setengah-setengah, itu hanya menyusahkan! Kesan bermalas-malasan nge-list barang bawaan pendaki tidak tampak lagi saat checking sampah setelah turun gunung. Petugas yang kebagian tugas dengan cekatan dan semangat mengorek-ngorek sampah bawaan. Dicocokkan dengan list registrasi. Dihitung satu per satu. Dicocokkan dengan logistik yang sudah diolah dan yang masih utuh dalam bungkusnya. Jumlahnya harus benar-benar sama dengan yang tertera di list barang bawaan. Meleset satu saja, denda siap bicara. Tak tanggung-tanggung. Mis satu item saja uang Rp 1.025.000 harus diserahkan secara cuma-cuma. Atau, kalau tidak mau keluar uang, bisa kembali naik ke atas untuk mencari sampah yang tanpa sengaja tertinggal atau sengaja dibuang. Kami bukannya tak taat aturan, bukan juga tak sayang alam. Kami bisa patuh. Tapi kalau aturan ditegakkan setengah-setengah, apa bedanya. Satu lagi, ada aturan yang keras soal tisu basah. Tisu basah haram dibawa naik! Dendanya juga tak tanggung-tanggung. Sama, Rp 1.025.000. Apakah aturan atau prosedur itu sudah dilaksanakan petugas dengan benar? Jawabannya tidak. Saya kemarin coba menguji seberapa ketat aturan itu dan seberapa serius petugas melaksanakannya. Hasilnya? Saya bisa membawa tisu basah tanpa ketahuan. Karena pencatatan list barang bawaan diserahkan kepada pendaki, sementara petugasnya hanya berleha-leha saja. Tidak ada pemeriksaan secara detail. Apakah kemudian saya membuang sampah tisu basah itu di atas gunung? Tidak. Sampahnya tetap saya bawa turun dengan dibungkus plastik tersendiri. Apakah dengan begitu saya melanggar aturan? Saya sadar iya, karena itu sudah aturannya. Tapi, saya hanya ingin menguji seberapa serius petugas di sana melaksanakan aturan itu. Terlebih, sebelumnya saya dengar peraturan soal sampah di Gunung Kembang sangat ketat, yang ternyata biasa-biasa saja. Ya, apa pun itu, mari menumbuhkan kesadaran sendiri untuk tidak membuang sampah sembarangan. Di mana pun berada. Tetaplah jaga alam kita biar tetap indah saat ingin mengunjunginya lagi suatu ketika. Sepakat? Setelah kaki melangkah ke luar dari area base camp , jalur yang menyambut adalah hamparan kebun teh. Jalur sempit yang membelah permadani hijau itu bertekstur tanjakan-tanjakan santai. Maklum, tenaga masih full . Pos terindah gunung ini bernama Istana Katak. Berada di tengah kawasan kebun teh. Tidak jauh dari pos ini, sedikit menanjak, Gerbang 290 menanti. Ini adalah daerah perbatasan, gerbang dari kebun teh yang hijau menuju hutan rimba yang penuh marabahaya. Bahkan, saat brifing registrasi, pendaki dilarang mendirikan tenda atau nge-camp di kawasan hutan ini. Pos yang berada di kawasan dilarang mendirikan tenda adalah Pos I Liliput, Pos II Simpang, dan Pos III Akar. Ketiganya masih berada di kawasan hutan. Setelahnya atau di Pos IV Tanjakan Mesra (Sabana), pendaki bisa nge-camp atau lanjut mendaki. Karena puncak sudah menunggu di atasnya. Jalurnya? Tentu saja berupa trek menanjak curam. Kami yang bertemu malam dalam perjalanan menentukan pilihan untuk nge-camp semalam di Pos IV Tanjakan Mesra. Di pos ini bisa didirikan dua hingga tiga tenda ukuran sedang. Namun, kontur tanahnya sedikit miring sehingga kurang nyaman untuk tidur lelap. Tapi, saat tubuh sudah menemui batas lelah, di tanah seperti itu, rebahan nyaman-nyaman saja. Saat malam, view di pos ini tentu hanya gelap. Tapi, tunggu saja sampai gelap tersingkap dan pagi meninggi. Decak kagum rasanya. Gunung Sumbing menjulang tinggi berselimut kabut pagi. Di bawahnya berserak rumah-rumah warga. Berselang-seling dengan perkebunan dan lahan antah berantah. Pagi yang menawan. Tapi, kita tetap perlu waspada. Dalam kegelapan malam, ada makhluk lain yang mengintai. Yang bisa tiba-tiba datang dan pergi. Muncul dari semak belukar. Mengusik tidur lelah. Celeng sigap menggasak apa saja yang tercium. Satu tas carrier teman sependakian diseret kabur oleh celeng. Untung masih terselamatkan. Tapi, tenda sudah kadung menjadi korban. Robek cukup lebar. Disikat tanduknya yang tajam. Siang setelah sarapan kami melanjutkan langkah. Menapaki tanjakan yang namanya mesra. Tanjakan mesra. Tapi tak ada mesra-mesranya. Justru hanya lelah dan siksa. Itulah jalan terakhir yang harus diperjuangkan untuk mencapai tanah tujuan. Puncak Kembang. Di ketinggian 2.340 mdpl. Indahnya tak terdeskripsikan. Gunung dan perbukitan berkolaborasi menciptakan keindahan alam. Bersama awan tebal dan kabut membalut. Saat itu sudah sore. Jingga merona tipis-tipis di batas cakrawala di arah barat. Gunung Sumbing dan Sindoro tampak tenang. Angin membawa dingin. Bersamaan dengan turunnya malam di puncak Kembang. Kembang yang cantik saat terang berubah kejam saat gelap datang. Makhluk-makhluk dari dunia kegelapan berkeliaran. Mencari apa saja yang bisa membuat perut kenyang. Celeng-celeng berkeliaran mencari makan. Tenda-tenda penuh makanan tentu saja menjadi sasaran. Tidur menjadi tidak tenang. Kami seakan sedang berebut makanan. Terlelap sebentar, mereka sudah merangsek tanpa gentar. Tenda saya kini yang menjadi sasaran. Makanan memang aman. Tapi tenda robek lumayan lebar. Malam itu kami tidur dengan kecemasan. Untunglah sampai pagi tak ada lagi babi yang datang. Mereka seakan sudah puas dengan membuat kerusakan. Lapar masih bisa diatasi dengan menenggak air banyak-banyak. Barangkali mereka jengkel. Orang kota ngapain ke hutan gunung belantara yang bisanya merusak saja. Kami juga butuh privasi, bukan manusia semata. Kejengkelan seakan terobati saat matahari pagi perlahan merekah di balik pegunungan. Cuaca sedang senang. Cerah. Sunrise kala itu indah. Untuk itulah kami mendaki. Menikmati keindahannya. Terima kasih Kembang atas keindahanmu. (*) Wonosobo, 11-13 Maret 2020

  • Mendaki Gunung Prau via Dieng

    JIKA bumi ini adalah sebuah mega pameran karya seni, Dataran Tinggi Dieng adalah salah satu mahakarya fenomenal yang pernah tercipta. Adiluhung. Keindahannya bisa dinikmati dari segala sudut. Kisahnya bisa dikurasi dari segala sisi. Sudah sejak lama saya diperdengarkan dongeng tentang negeri di atas awan. Negeri kahyangan. Negeri yang seakan-akan sulit dijamah kaum kelas biasa yang tanpa ilmu kanuragan menembus langit. Jauh di angan. Tapi, saat singgah di Dieng, saya seperti menemukan negeri dongeng itu. Gambarannya tak jauh dari sana. Negeri seperti itu ada di kehidupan nyata. Dieng adalah negeri yang tak pernah habis untuk dikisahkan. Negeri makmur yang dikelilingi perbukitan. Tanahnya bisa menumbuhkan segala benih. Diselimuti kabut dingin yang mengekalkan segalanya. Memori, ingatan, kenangan. Salah satu karya terindah di Dieng adalah Gunung Prau. Konon, di puncaknya, kita bisa menjumpai hamparan taman bunga. Mirip gambaran surga, katanya. Juga menyaksikan golden sunrise . Kisah-kisah itu sudah masyhur di penjuru tanah Jawa. Mungkin juga seluruh negeri. Di kalangan pendaki. Kami betah berlama-lama di Dieng. Enam hari lima malam. Tapi, tidak lengkap rasanya kalau tidak sekalian mendaki Gunung Prau. Kali ini, Prau memang jadi tujuan utama kami ke Dieng. Kami mendaki Prau dari pintu Dieng. Karena negeri sedang tidak baik-baik saja, ada syarat dan biaya ekstra untuk registrasi. Kami harus menunjukkan surat keterangan sehat dan membayar “biaya pencegahan pandemi”. Saat itu hanya kami berdua di base camp Dieng. Itulah yang kami cari. Mendaki dengan tenang tanpa keramaian. Puncak Prau bisa digapai dalam 3-4 jam tanpa istirahat, kata penjaga base camp . Tapi kami tidak sedang buru-buru. Kami ingin menikmati pendakian dengan santai. Trek Prau via Dieng memang penuh dengan bonus. Minim tanjakan. Jadi, semakin santai lah kami. Tanjakan tercuram di jalur ini adalah trek pos pemancar. Memang tinggi menjulang. Tapi, saat kami mendaki, sudah ada trek bypass yang dibuat khusus di bawahnya. Telah dibuat jalan pintas tanpa harus capek-capek melewati pos itu. Setelah melewati tiga pos, kami sampai di puncak Prau via Dieng. Kami menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam. Kami istirahat cukup lama di puncak. Selain kami, ada satu rombongan besar yang menyusul. Sambil menunggu mereka foto-foto dan melanjutkan perjalanan, kami duduk-duduk santai. Ngopi , ngudut . Puncak Prau via Dieng memang bukan akhir dari perjalanan. Kami masih harus berjalan sekitar 30 menit lagi. Naik turun bukit Teletubbies. Menuju sunrise camp . Di sana lah nantinya kami akan mendirikan tenda dan menjemput sunrise pagi harinya. Setelah foto-foto sebentar, kami melanjutkan langkah. Turun naik bukit. Kalau kawan tidak mau susah-susah naik turun bukit, kalian bisa mengambil jalan pintas. Begitu sampai di camping ground Telaga Wurung, kawan perlu belok kiri dan ikuti saja jalur yang sudah ada. Satu lagi, kalau tidak mau jalan lama-lama dan ingin mencapai puncak sekaligus sunrise camp , kawan bisa naik via base camp Patak Banteng. Waktunya juga lebih singkat, tapi konon treknya lebih menantang. Setelah setengah jam lebih, kami sampai di sunrise camp . Kami langsung mencari tempat yang nyaman dan mendirikan tenda. Di bawah pohon pinus. Biar aman. Untuk mengantisipasi hujan badai. Kami menyewa tenda di base camp . Jadi, kami tidak tau sama sekali kemampuan si tenda saat ada badai. Pilih amannya saja. Di area puncak Prau, sudah berdiri emergency shelter dan musala yang baru selesai dibangun oleh salah satu brand outdoor . Tapi ingat, jangan dipakai untuk tidur ya. Itu untuk keadaan darurat dan untuk beribadah saja. Malam itu hujan turun. Tidak terlalu deras. Tanpa badai. Tenda masih aman. Tapi kami khawatir kalau-kalau hujan tak kunjung berhenti sampai pagi. Kami tidur dengan membawa harapan: semoga pagi kembali cerah. Jam setengah lima pagi kami terbangun. Lebih tepatnya dibangunkan alarm yang sudah kami set sebelum tidur. Di luar masih gelap. Langit sudah cerah. Alhamdulillah. Angin pagi langsung menerpa saat kami keluar tenda. Dingin. Kami berjalan sedikit menjauh dari tenda untuk mencari spot terbaik untuk menyambut matahari terbit. Banyak juga pendaki lain yang muncul dari balik kabut. Cukup ramai. Matahari muncul perlahan. Sayang, kabut tipis masih menyelimuti puncak Prau. Sunrise tidak tampak sempurna. Puncak-puncak di sekitarnya sesekali menyembul sebelum tertutup awan tebal. Bunga-bunga daisy di pagi hari tampak segar. Tumbuh liar di hampir seluruh perbukitan di sana. Embun bening menggelantung dan jatuh satu per satu seiring semakin hangatnya matahari pagi. Itulah taman bunga yang digambarkan layaknya surga. Mungkin itu taman bunga terindah yang pernah kami kunjungi. Di ketinggian. Kami kembali ke tenda saat matahari perlahan hilang di balik kabut. Kami perlu bersiap-siap untuk membongkar tenda dan kembali turun. (*) Gunung Prau, 21-22 September 2020

  • Baru Dapat Golden Sunrise setelah Empat Kali Mendaki Bukit Sikunir

    SAYA perlu empat kali mendaki Bukit Sikunir untuk bisa mendapati dan menikmati golden sunrise yang fenomenal itu. Bagi siapa saja yang sering mencari referensi tempat-tempat indah, golden sunrise di Bukit Sikunir dan Gunung Prau termasuk di dalamnya. Bahkan, ada artikel yang berani mengklaim bahwa dua lokasi itu adalah tempat terindah di Jawa untuk melihat golden sunrise . Menurut saya, klaim itu tidak berlebihan. Pada kunjungan pertama, saya kesiangan saat naik ke Sikunir. Alhasil, begitu tiba di puncak, saya hanya dapat dinginnya saja. Tentu selain keindahannya. Langit sudah keburu terang. Itu tahun 2014 lalu. Pada kesempatan kedua, Maret 2020, saya masih penasaran pada Sikunir. Saya pun bertekad bangun sebelum subuh agar bisa sampai di Sikunir sebelum hari terang lagi. Waktu itu saya dan kawan-kawan habis turun dari Gunung Kembang. Tapi, seperti biasa, bangun pagi adalah sebuah pertarungan yang berat. Meski alarm sudah membangunkan, saya toh tetap tidak kuasa melawan kantuk yang kembali meninabobokkan. Kami terlelap dan baru bangun lagi habis subuh. Duh… Kami tetap berangkat saja. Dari penginapan, kami melaju dengan terburu-buru. Begitu sampai di parkiran, kami bergegas mendaki. Hari masih cukup gelap. Kami menanjak dengan kaki yang lemah karena habis turun dari Gunung Kembang. Alhasil, di tengah perjalanan, matahari sudah merekah jingga di timur sana. Yah, gagal lagi. Tak apa lah , kami tetap melanjutkan langkah sampai ke puncak. Dari situ, saya masih penasaran dengan golden sunrise Sikunir. Dan berharap bisa kembali suatu saat nanti. Pada September kemudian, saya dan istri kembali ke Dieng. Bukit Sikunir tentu saja masih masuk agenda kunjungan. Sehari sebelum mendaki Gunung Prau, kami pergi ke Sikunir. Kami sudah siap sebelum subuh untuk berangkat menjemput golden sunrise . Karena tidak hafal jalan, kami mengandalkan Google Maps. Kami memacu motor mengikuti aplikasi penunjuk jalan itu. Kami memacu motor membela kegelapan Dieng yang dingin. Lama-lama kami curiga. Kami menyusuri jalan turun dari Dieng. Arah menuju pulang. Tapi, kami masih berusaha mempercayai Google Maps. Karena tujuan akhir di ujung jalan dalam aplikasi itu sudah benar. Bukit Sikunir. Kami baru sadar diarahkan ke lokasi yang salah saat kami dituntun ke arah tanjakan sempit yang curam nan berbatu. Mustahil untuk dilewati motor. Memangnya kami mau langsung dibawah ke puncak Sikunir dengan motor? Kami putar arah. Mode motor di Google Maps kami ganti dengan mode mobil. Wui, kami ternyata dibawa menjauh dari lokasi tujuan. Jaraknya lebih dari setengah jam titik kami sadar sudah disesatkan. Itulah kebodohan kami. Hehe… Saat kami kembali ke jalanan beraspal, azan subuh sudah berkumandang. Kami terus berburu dengan waktu. Tapi, mustahil bisa sampai di Sikunir sesuai rencana. Meskipun sudah yakin tidak akan bisa melihat sunrise dari puncak, kami tetap ngegas motor ke sana. Namun, kami lupa pada satu hal, saat itu hari Sabtu. Pengunjung pasti membeludak. Sampai di sana, hari sudah sedikit terang. Ya, benar. Kami naik beramai-ramai dengan pengunjung lain. Kami terus saja naik. Matahari sudah gagah-gagahnya. Panasnya sudah terasa. Bercampur dingin udara. Tidak lama di sana, kami kembali turun dan pulang ke penginapan. Sudah tidak mood. Terlalu ramai. Dua hari kemudian, setelah turun dari Gunung Prau, kami kembali ke Sikunir. Kali ini semua berjalan sesuai rencana. Kami mendaki dengan bahagia sambil berharap cuaca cerah. Sampai di puncak, hari masih gelap. Pengunjung yang datang tidak sebanyak saat weekend . Semuanya mendukung. Tinggal duduk-duduk di bebatuan di sana. Menunggu sunrise . Tidak lama kemudian, kami akhirnya bertemu dengan golden sunrise itu. Primadona yang saya tunggu-tunggu. Keindahan yang dibutuhkan empat kali mendaki Sikunir untuk bisa menikmatinya. Matahari muda. Menyala jingga. Di bawahnya, hamparan perbukitan dan gunung-gunung di sampingnya ikut merona. Awan terbatang seperti karpet tebal yang lembut. Merona juga. Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Indah. (*) Sikunir, 23 September 2020

  • Gunung Pangrango saat Musim Hujan dan Ngekamp di Mandalawangi

    KURANG dari satu bulan setelah mendaki Gunung Prau di Dieng, kami mendaki gunung lagi. Setelah kami kembali ke Jakarta, ajakan untuk mendaki datang dari kawan dalam pendakian sebelum-sebelumnya. Ke mana saja. Asalkan mendaki gunung. Sudah sumpek dengan Jakarta dan korona, katanya. Saya dan istri sebenarnya sudah fresh setelah pulang kampung, menjelajah Dieng, dan mendaki Prau. Tidak ada keinginan untuk mendaki lagi dalam waktu dekat. Tapi, kalau ada ajakan untuk mendaki gunung lagi, itu selalu sulit ditolak. Gaskeun…! Terpilihlah gunung yang dekat dari Jakarta. Gede-Pangrango. Kali ini kami memilih ke Pangrango saja. Sebenarnya kami paling malas mendaki Gede-Pangrango. Karena simaksinya terkenal ribet dan memakan banyak waktu. Tapi, kami kemudian bersemangat karena semuanya bisa diatur lewat jalur samping. Lebih mudah. Cukup japri dan kita tinggal berangkat saja. Saya hanya satu kali mendaki Gede-Pangrango dengan prosedur jalur tengah. Selebihnya lewat jalur samping. Pendaki yang sering ke Gede-Pangrango pasti sudah tahu apa yang saya maksud. Hehe… Kami memilih Pangrango untuk menuntaskan keinginan yang dulu sempat terucapkan saat pertama kali mendaki Pangrango: suatu saat ingin ngekamp di Lembah Mandalawangi. Jalur menuju puncak Pangrango memang sulit, apalagi dengan membawa keril sarat di punggung. Tapi, kita tak pernah tahu sesulit apa sebelum benar-benar mencoba. Tengah malam kami berangkat dari Jakarta. Kurang dari tiga jam kami sampai di Warung Bu Ani di kawasan base camp Gede-Pangrango via Cibodas. Ini adalah warung langganan kami kalau naik dari Cibodas. Bisa tidur dan mandi di sana dengan sumbangan rupiah secara sukarela. Nggak ngasih juga nggak masalah. Tapi kok kebangetan. Warung lain juga menyediakan servis serupa. Tapi, kami sudah kadung memiliki chemistry dan punya sejarah kecil dengan Warung Bu Ani. Historinya seperti ini. Suatu ketika setelah kami turun dari Pangrango, saat mobil sudah menjauh dari warung, kami dikejar pengendara motor. Kami disuruh menepi dan berhenti. Tepatnya sebelum gerbang menuju jalan raya. Kami bingung kenapa dikejar orang. Kami merasa tidak berbuat apa-apa. Mobil kami juga tidak menyenggol motor atau kendaraan lain. Kami sudah siap dengan segala kemungkinan terburuknya. Pengendara motor itu kemudian berjalan ke arah jendela ruang kemudi. Kawan yang nyetir mobil membuka kaca. Orang itu kemudian menghunuskan trekking pole sambil bertanya, ’’A’, trek polenya ketinggalan ya?” Ealaa… Ternyata trekking pole salah satu kawan kami ketinggalan. Orang itu ternyata orangnya Warung Bu Ani yang rela mengejar kami untuk mengembalikannya. Salut. Ya, sejak itulah kami selalu singgah di Warung Bu Ani jika mendaki via Cibodas. Oke, malamnya kami tidur nyenyak di Warung Bu Ani. Selasa pagi mulai mendaki. Kami tidak peduli meski musim hujan. Yang jelas, kami sudah mempersiapkan semuanya untuk safety . Di pos perizinan, kami harus mengikuti prosedur pandemi. Menjalani cek suhu tubuh dan tensi darah. Ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan. Setelah semuanya beres, kami melanjutkan langkah. Jalur Cibodas tidak berubah. Ya masih seperti itu. Masih berupa makadam yang menyiksa untuk dilalui. Tapi, nikmati saja. Sebelum pos telaga biru, gerimis mulai turun. Belum lama kami beristirahat di pos, hujan semakin deras. Jadilah kami berlama-lama di pos itu. Meneguk kopi, mengisap rokok. Menikmati hujan di jalur pendakian. Hampir setengah jam hujan mulai reda. Tinggal menyisakan gerimis. Kami kembali bergerak. Berjalan di bawah guyuran rintik hujan. Beban tas keril lama-kelamaan bertambah berat. Langkah kami semakin pelan. Sudah kepalang begini, jalani saja pendakian ini dengan sesantai mungkin. Jalan, istirahat, ngopi, ngudut, jalan, istirahat, ngopi, ngudut, jalan, istirahat, ngopi, ngudut. Sering seperti itu. Alhasil, setelah sekitar 7 jam perjalanan, kami sampai di pos Kandang Batu. Langit masih mendung. Gerimis masih turun. Jam tangan menunjukkan pukul 5 sore. Kami membentangkan flysheet untuk masak. Makan siang kala sore-sore. Gerimis masih turun. Selesai makan, kami istirahat sebentar. Kami berusaha mengumpulkan tenaga lagi. Kami sudah tahu jalur seperti apa yang akan kami lalui untuk sampai ke pos Kandang Badak. Penuh tanjakan. Paling cepat satu jam sampai. Dengan kondisi yang sudah capek, waktu yang kami butuhkan tentu lebih lama dari itu. Setelah menimbang-nimbang situasi dan kondisi, kami sepakat untuk tidak langsung lanjut. Sebaiknya bermalam dulu. Jadilah kami mendirikan tenda di Kandang Batu. Rabu siang, kami baru bersiap untuk melanjutkan langkah. Badan sudah sedikit lebih enteng. Apalagi perut sudah diisi logistik. Sekitar dua jam kami kemudian sampai di Kandang Badak. Itulah camping ground utama sebelum jalur bercabang menuju Gede dan Pangrango. Kandang Badak hampir penuh tenda. Kalau kata orang mirip pasar. Kami berhenti untuk menyeduh kopi dan menikmati sebatang dua batang rokok. Ada juga gorengan yang bisa dibeli. Untuk penambah stamina dan camilan di jalan. Lama beristirahat dan santai-santai di sana, timbullah kegamangan. Antara mendirikan tenda di Kandang Badak saja dan naik ke puncak tanpa membawa apa-apa atau tetap pada rencana awal, kamping di Mandalawangi. Satu kesepakatan akhirnya diambil: tetap pada rencana awal. Dari jalur makadam berbatu, kami beralih ke jalur tanah yang sedikit becek. Dari jalur lebar dan lega berubah menjadi jalur sempit dengan vegetasi yang rapat-rapat. Belum lagi halang rintang berupa sisa tumbangan pohon-pohon besar. Kadang merangkak, kadang bergelantungan. Itulah seninya jalur Pangrango. Tenaga terkuras habis di jalur itu. Saya sempat drop dua hingga tiga kali. Syukurlah, saya masih bisa pulih dan sanggup untuk melanjutkan pendakian. Apalagi setengah perjalanan kemudian kami bertemu malam. Setelah berjam-jam tertatih-tatih merangkaki jalur liat penuh akar-akaran di kegelapan malam, dengan sedikit tenaga yang tersisa, di bawah gerimis yang ritmis, kami sampai di tugu puncak Pangrango. Ditemani derik serangga-serangga malam. Di antara rimbun pepohonan. Kami bersyukur. Kami bahagia. Setelah mengabadikan momen di sana sebentar, kami lanjut untuk sedikit turun lagi, ke Lembah Mandalawangi. Malam itu kabut cukub tebal. Jarak pandang dari lampu senter tidak lebih dari dua meter. Kami bergegas mencari lokasi yang enak untuk mendirikan tenda dan beristirahat dengan nyaman. Keinginan kami untuk ngekamp di Mandalawangi telah tercapai. Perjuangan dengan hasil yang menggembirakan. Tidur di antara rimbunnya pohon-pohon Mandalawangi. Berselimut kabut dingin yang datang dan pergi. Menyaksikan sungai kecil dengan air bersih yang mengalir membelah lembah. Air jernih yang bisa diambil sesuka hati. Kami ngekamp dua malam di Mandalawangi. Menikmati alam, mengamini kalam. Mensyukuri segala yang ada. Tak ada nikmat Tuhan yang patut diingkari. Tak ada alam yang layak dikotori. Mari kita terus mendaki, tapi jangan lupa tahu diri. (*) Pangrango, 27-30 Oktober 2020

  • Kelinci dan Ingatan Masa Kecil yang Isinya Main-Main Saja

    ADA  rentang waktu tertentu di masa kanak-kanak kami memiliki kelinci. Kami, teman sekelas sewaktu SMP, sudah lama tahu kalau ada peternak kelinci di desa seberang. Info dari mulut ke telinga. Dari satu orang ke banyak orang. Dan sampailah info itu ke telinga kami. Menjadi obrolan ringan dan singkat di kelas atau saat jam istirahat sekolah. Yuk, kita beli. Kami pun kompak janjian pergi ke desa itu dengan mengayuh sepeda. Untuk membeli kelinci. Jaraknya tidak sampai 10 menit ditempuh dengan sepeda. Wush… Dulu kami tidak tahu jenis kelincinya. Penampilannya putih bersih. Kecil. Imut. Harga anakannya sekitar Rp 5.000 sampai Rp 15.000. Dulu sekali. Setelah dewasa saya baru tahu jenisnya New Zealand. Dan harganya saat ini sekitar Rp 50 ribu-Rp 65 ribu. Yang kecil. Yang indukan bisa seharga Rp 170 ribu-Rp 400 ribu. Sekarang saya juga sedikit banyak tahu jenis kelinci. Dari yang lokal di harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah untuk kelinci ras. Dulu, kelinci bermata merah yang masih seharga seporsi nasi pecel ayam itu sudah sangat berharga. Masing-masing dari kami biasanya memiliki satu kelinci. Paling banyak dua kelinci. Punya satu atau dua tidak menandakan strata ekonomi atau apa pun. Karena rata-rata kami berasal dari keluarga dengan background yang mirip-mirip. Punya satu, dua, atau lebih kelinci hanya menunjukkan kamu telaten memeliharanya atau tidak. Itu saja. Setiap pulang sekolah kami janjian untuk menggembala kelinci ke ladang. Atau ke lahan tak produktif yang ditumbuhi rerumputan dan gulma. Makanan kesukaan kelinci adalah rumput kate mas ( Euphorbia heterophylla ). Rumput liar yang banyak tumbuh di ladang atau pekarangan rumah. Kelinci-kelinci kami mengunyah rumput yang memiliki banyak getah itu dengan lahap. Nah, salah satu yang menarik, bagi saya, dari kelinci adalah saat makan. Mereka mengunyah dengan cepat dengan gerakan rahang yang konstan. Tampak nikmat sekali. Meski begitu, kelinci yang kami pelihara tidak pernah bertahan lama. Mati kurang dari sebulan. Atau paling lama dua bulan. Kekebalan tubuh kelinci anakan tidak terlalu bagus. Sangat rentan terserang penyakit. Dari flu sampai kembung/diare. Dua penyakit mematikan di dunia perkelincian. Bahkan untuk kelinci dewasa sekalipun. Salah satu pemicu kembung atau mencret pada kelinci adalah pakan yang segar plus memiliki banyak getah. Kelinci memang akan makan rumput segar dengan lahap. Tapi, saya baru tahu kalau hal itu terlarang. Pakan, baik rerumputan atau dedaunan, harus didiamkan atau dilayukan dulu sebelum diberikan ke kelinci. Itu saya baru tahu sekarang. Karena itu kelinci kami tidak pernah bertahan lama. Lantaran kami sering memberi makan pakai rumput kate mas. Rumput/tanaman yang memiliki banyak getah. Dalam kondisi masih segar. Pengetahuan itu saya dapat setelah keinginan untuk memelihara kelinci tumbuh lagi. Mengulang masa kecil dulu. Tapi, saat dewasa, kebahagiaan saat memelihara kelinci tidak sama lagi. Waktu kecil, motivasi kami hanya untuk senang-senang. Melihat kelinci bermain-main dengan lincah dan makan dengan lahap, kami bahagia. Begitu kelinci sakit, ya sudah. Anggap saja takdir. Kematian pun begitu. Tidak ada sedih- sedihnya ketika kelinci mati. Hanya sedikit bergumam, “yah”, lalu sudah. Kini, begitu tahu kelinci sakit, sedikit kikuk dalam memberikan penanganan. Meskipun sebelum membeli kelinci sudah belajar segala hal tentang si telinga besar lewat video-video di YouTube para peternak dan penghobi , toh saat dihadapkan pada situasi saya harus menanganinya secara langsung berbeda ceritanya. Alhasil, satu kelinci saya wassalam. Seminggu lebih flu, ditambah diare yang akhirnya menutup usianya. Mungkin arwahnya sekarang sibuk bekerja mengaduk moci di bulan. Hehe… Sewaktu kecil dulu, setelah kelinci mati, kami biasanya beli lagi. Minimal sekali lagi. Begitu mati lagi, kami beli peliharaan jenis lain. Ikan kipas atau ikan cupang, misalnya. Tren hewan peliharaan kami ciptakan sendiri. Silih berganti. Tidak ada kesedihan. Tidak ada pikiran untuk balik modal beli. Ya, namanya anak-anak. Isinya hanya main-main saja. (*)

  • Capek Muter-Muter di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta

    SAYA tinggal di Jakarta hampir sepuluh tahun. Tapi, belum pernah satu kali pun main ke kebun binatang atau Taman Margasatwa (TMR) Ragunan, Jakarta. Nggak kepengen. Namun, saat istri dan anak main ke Jakarta, TMR Ragunan masuk dalam daftar kunjungan kami. Kebun binatang menjadi tujuan yang pas untuk keluarga dan anak-anak. TMR Ragunan berada di Jalan Harsono RM, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Lokasinya strategis dan mudah diakses dengan moda transportasi apa saja karena berada di pusat Kota Jakarta. Perjalanan dari kos kami di Kebayoran Lama ke Ragunan sebenarnya bisa ditempu dalam waktu 30-40 menit. Tapi, karena jalanan Jakarta macet, kami sampai di parkiran motor Ragunan hampir 1 jam. Perlu diketahui, pengunjung yang ingin masuk TMR Ragunan harus memiliki Jackcard. Sudah tidak ada tiket manual. Jika tidak punya, kita bisa membelinya di loket tiket plus isi saldo. Kami membeli satu kartu yang bisa dipakai untuk bertiga. Setelah memasuki pintu gerbang otomatis, kami sedikit bingung. Selain karena belum pernah ke sini, TMR Ragunan luas banget. Jadi, kami tidak ada target pengen melihat apa. Apa-apa yang duluan terlihat, itulah yang kami datangi. Kami mendatangi dari satu kandang ke kandang lain, istirahat, jalan lagi, istirahat lagi, jalan. Terus begitu sampai capek dan gerah. Siang itu memang agak terik. Pepohonan besar yang banyak tumbuh di sana belum bisa melindungi sepenuhnya dari panas. Ragunan memiliki area seluas 127 hektare dengan koleksi satwa lebih dari 2.281 ekor. Jadi, jalan kaki untuk mengelilingi kebun binatang ini gak mungkin. Sudah pasti capek. Untuk itu, pengelola menyediakan penyewaan sepeda biasa, sepeda listrik, dan mobil golf. Bisa juga naik kereta gandeng bersama pengunjung lainnya. Fakta TMR Ragunan Tahu tidak? TMR Ragunan ternyata sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Kebun binatang ini didirikan pada 19 September 1864 di Batavia dengan nama Planten en Dierentuin di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1949, namanya diubah menjadi Kebun Binatang Cikini. Karena lahan terlalu sempit, pemerintah Indonesia memindahkan kebun binatang ini ke Ragunan, Pasar Minggu, sampai saat ini. Taman Margasatwa Ragunan diresmikan Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada 22 Juni 1966. Hingga kini, TMR Ragunan tetap menjadi salah satu tujuan favorit keluarga untuk mengisi waktu libur bersama keluarga dan orang tersayang. (*)

  • Belajar Sejarah Ondel-Ondel Langsung di Museum Betawi Setu Babakan

    ANAK kami sangat menyukai ondel-ondel. Awalnya dia takut saat pertama kali kami kenalkan dengan patung ondel-ondel di Monas. Tidak lama kemudian, dia mulai suka sampai akhirnya suka banget. Dia selalu minta nonton ondel-ondel di YouTube. Pengennya ketemu langsung. Tapi jarang sekali momen itu terjadi. Biasanya di jalanan banyak pengamen ondel-ondel. Tapi, selama main di Jakarta, dia belum pernah ketemu ondel-ondel di jalanan. Anak kami hanya satu kali bertemu dengan ondel-ondel secara langsung. Saat kami CFD-an di Bundaran HI. Setelah itu, dia selalu bertanya kapan bisa ketemu ondel-ondel lagi secara langsung. Semakin mendekati waktu pulang ke Gresik, anak kami belum ketemu ondel-ondel. Jadi, kami ajak saja dia ke tempat yang bisa menemukan ondel-ondel. Yaitu di Museum Betawi Setu Babakan, Jl. Moh. Kahfi II, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Museum ini menampilkan koleksi terkait kegiatan yang dilakukan masyarakat Betawi. Termasuk kesenian ondel-ondel. Museum Betawi dibangun selama tiga tahun sejak 2012 hingga 2015 yang pada awalnya diperuntukkan sebagai unit pengelola kawasan Perkampungan Budaya Betawi. Pada 30 Juli 2017, museum itu dibuka secara resmi dan dibuka untuk kunjungan umum pada pelaksanaan Lebaran Betawi ke-11. Bangunan tiga lantai ini menyimpan beragam koleksi di beberapa galeri. Misalnya, 8 ikon budaya Betawi dan galeri pengantin budaya Betawi. Galeri ikon di lantai pertama menampilkan rumah kebaya (rumah adat Betawi) dengan ornamen gigi balang, serta kembang kelapa warna-warni yang menjadi hiasan pada ondel-ondel dan pakaian pengantin Betawi. Ada pula baju Abang dan None, kebaya, serta baju Sadariah. Selain pakaian, makanan juga menjadi ikon, yaitu kerak telor dan bir pletok. Batik Betawi identik dengan warna cerah seperti kebaya kerancang dan baju sadariah yang dipakai oleh laki-laki yang biasanya digunakan bersama dengan peci dan kain cukin. Galeri pengantin Betawi menyajikan segala perlengkapan penganti seperti pakaian pengantin serta hantaran, peralatan musik, dan roti buaya. Lantai dua terdiri dari galeri rumah orang betawi berisi beragam perabot rumah khas Betawi, seperti kukusan, alu, pane (bakul nasi kayu), meja kanjengan, dan sepeda ontel. Lalu, lantai tiga adalah galeri komedi betawi yang menyajikan alat musik khas Betawi dan potret para seniman Betawi seperti Benyamin Sueb dan Mpok Nori. Nah, galeri yang menampilkan ondel-ondel adalah Galeri 8 Ikon Budaya Betawi di lantai 1. Di sana terdapat informasi terkait sejarah ondel-ondel dari awal hingga saat ini. Anak kami ogah-ogahan diajak keliling museum. Dia hanya ingin berlama-lama berada di situ. Mengamati hal-hal yang berkaitan dengan ondel-ondel dengan mata berbinar. (*)

  • Kamping di Ranca Upas, Penantian Hampir 9 Tahun!

    SEJAK keinginan untuk kamping di Ranca Upas muncul, hampir sembilan tahun kemudian saya baru bisa mewujudkannya. Bersama istri dan anak yang sama-sama semangat jika diajak jalan-jalan. Terutama naik gunung atau kamping. Setelah turun dari Kawah Putih di Desa Alam Endah, Kecamatan Rancabali, tujuan kami berikutnya adalah camping ground Ranca Upas yang juga berada di kawasan Ciwidey. Namun, kami masih perlu menempuh perjalanan hampir setengah jam. Tidak terlalu jauh. Kami tiba di gerbang kasawasan sekaligus loket tiket sekitar jam 5 sore. Kawasan perkemahan Ranca Upas yang cukup luas –sekitar 215 hektare– tampak lengang karena weekdays . Tepatnya hari Jumat. Tenda yang berdiri di kawasan itu tidak sampai sepuluh titik. Inilah yang memang kami cari. Sepi. Tidak terlalu ramai. Sehingga bisa menikmati lanskap alam dengan perbukitan di sekelilingnya. Setelah memarkir motor dan menitipkan helm, kami mencari spot yang enak untuk mendirikan tenda. Kami memilih lokasi dengan lanskap yang luas. Area terbuka. Agak jauh dari pepohonan dan lebih jauh lagi dari  tenant-tenant  jajanan dan warung di dekat parkir motor. Pilihan lokasi yang pas. Tapi, efeknya baru bisa kami rasakan malam harinya. Tenda sudah berdiri sebelum hari gelap. Perlengkapan tidur sudah ditata agar nyaman. Makan malam juga sudah aman. Beli nasi dibungkus dari Kawah Putih. Malam itu kami makan malam dengan udara dingin yang membelai. Perut kenyang. Lelah. Niat hati pengen langsung tidur. Mengembalikan tenaga agar segar bugar menatap esok hari. Tapi, bukan bocil namanya kalau gak ada gebrakannya. Dia gak mau tidur. Pengennya main dulu di luar tenda. Dingin, iya. Tapi dia suka. Ya sudah, saya dan si bocil main keluar. Main api unggun ala-ala. Di warung banyak yang jual kayu bakar untuk membuat api unggun. Itu seru kalau datang rombongan. Buat si boci, saya cukup mencari sisa-sisa kayu bakar di sekitar tenda. Asal melihat api, si bocil sudah senang. Bisa dikondisikan. Gak lama-lama. Hehe… Kami masuk tenda setelah titik api terakhir mati dan udara semakin dingin. Kami tidur. Menjelang tengah malam saya terbangun. Kedinginan. Selama saya mendaki gunung, justru di Ranca Upas inilah saya merasa sangat kedinginan. Sulit tidur. Istri dan anak juga menggigil. Untungnya saya membawa foil blanket . Tapi cuma satu. Cukup untuk si bocil dan ibunya. Malam itu saya susah tidur. Kedinginan. Di situ saya sedikit menyesali pilihan spot kamping di area terbuka. Angin dengan leluasa menggempur tenda kami. Menembus dua layer tenda dan satu lapis tambahan flaysheet . Saya pun akhirnya tertidur karena kecapekan gak bisa tidur. *** Saya dibangunkan alarm  handphone  di pagi hari. Kabut masih menyembunyikan apa saja yang sebelumnya tampat di kejauhan. Perbukitan, pepohonan, dan tenda-tenda hanya terlihat seperti bayang-bayang. Matahari naik perlahan dari balik bukit. Menawarkan sedikit kehangatan dalam dingin yang masih enggan beranjak. Begitu hari semakin terang, ternyata sudah banyak tenda yang berdiri di kejauhan. Ya, ini hari Sabtu. Mulai banyak yang datang. Kami sedikit bersantai sebelum memulai hari. Bersambung… 26-27 Juli 2024

  • Bercengkerama dengan Rusa di Bumi Ranca

    SEMAKIN hangat sinar matahari membelai kulit, semakin ramai bumi Ranca Upas. Semakin banyak orang yang berdatangan. Satu per satu tenda berdiri di dekat tenda kami. Bukan satu-satunya lagi tenda di situ. Kami memulai hari dengan semangat. Terutama si bocil. Apalagi setelah diberi tahu setelah ini kita akan melihat rusa. Ranca Upas memang terkenal dengan rusanya. Fotonya sering berseliweran di media sosial. Rusa di Ranca Upas jadi primadonanya. Ibarat kata, belum afdol kalau ke Ranca Upas gak foto dengan rusanya. Rusa-rusa itu juga biasa diajak untuk foto prewed  dengan biaya tertentu. Area kandang ini dikelilingi pagar yang cukup tinggi. Pintu masuk sekaligus loket tiketnya berada di atas seperti geladak yang seluruhnya terbuat dari kayu. Perlu menaiki beberapa anak tangga untuk mencapainya. Kami membeli tiket masuk dan wortel untuk memberi makan rusa. Di area kandang sudah cukup banyak pengunjung. Pintu masuk dan area kandang dihubungkan jembatan kayu yang berderit saat diinjak. Tapi masih aman. Demi keamanan, pengunjung dilarang memasuki area kandang terbuka tanpa pendampingan petugas. Diimbau tetap berada di area jembatan saat memberi makan rusa. Imbauan yang cukup beralasan. Karena rusa-rusa di sana cukup agresif saat melihat wortel-wortel dalam keranjang yang ditenteng pengunjung. Sudah terbiasa. Niat si rusa memang tidak melukai. Tapi kalau sedang mengejar makanannya, rusa tentu gak sadar tanduknya yang runcing dan bercabang-cabang itu bisa saja membahayakan. Setelah puas memberi makan rusa dari jembatan, saya tertarik untuk mencoba hal lain. Masuk ke kandang rusa. Turun dari jembatan. Sebelum itu saya perlu memastikan ada tidak petugas di area kandang. Ketemu. Di sisi lain kandang, ada petugas yang sibuk memberi makan rusa. Kami kemudian turun ke kandang. Tapi, gak ada satu pun rusa yang mendekat ke arah kami. Bahkan cenderung menjauh saat coba kami dekati. Terutama rusa-rusa yang masih kecil. Karena kami tidak membawa wortel. Haha… Jadilah kami ambil wortel yang masih tersisa. Benar saja. Rusa dewasa dengan mahkota tanduknya yang kokoh mengejar kami. Tadinya kami ingin mengambil foto dengan pose memberi makan rusa. Seperti foto-foto di media sosial. Hehe… Tapi, rencana itu urung kami lakukan karena menakar situasinya. Saat melihat wortel di tangan kami, rusa-rusa dewasa yang awalnya kalem spontan mengeluarkan naluri liarnya. Rusa-rusa bocil juga ikut-ikutan. Mengejar seperti ingin menanduk. Wortel yang masih tersisa kami lempar ke arah rusa secara cuma-cuma sebelum jaraknya semakin dekat. Biarlah kami berfoto dari kejauhan saja. Kandang Kelinci   dan Playground Selain rusa, ada kandang kelinci di kawasan Ranca Upas. Lagi-lagi yang paling bersemangat adalah si bocil. Dia sampai berkali-kali membeli wortel untuk memberi makan kelinci-kelinci itu sampai kekenyangan. Gak mau makan lagi. Barulah si bocil gak minta beli wortel lagi. Dia selanjutnya asyik mengejar kelinci. Menggendong hingga menentengnya. Dia bermain seperti tak punya rasa lelah. Tenaga toddler memang oke. Berbeda dengan orang tuanya yang mulai menua dan seret tenaga. Hehehe… Setelah bosan bermain dengan kelinci, ternyata tenaga si bocil belum juga low batteray. Padahal, napas orang tuanya sudah ngos-ngosan mengimbangi setiap pergerakannya. Apalagi hari mulai siang. Tidak tersisa lagi hawa dingin pagi tadi. Berganti panas yang menyengat. Spot lain yang ingin dikunjungi bocil adalah area permainan. Tapi, sayang permainannya banyak yang gak terurus. Seperti terbengkalai. Banyak yang rusak dan karatan sehingga tidak aman untuk anak-anak. Padahal masuk area itu harus membeli tiket lagi. Si bocil tidak lama bermain di area playground . Raut mukanya tampak lelah dan mengantuk. Kami kembali ke tenda dalam kondisi si bocil sudah tertidur lelap di gendongan. Kami beristirahat sambil menunggu si bocil bangun sebelum kembali ke Jakarta. Terima kasih, Ranca Upas. 27 Juli 2024

  • Kawah Putih, Sebelumnya Cuma Lihat di Televisi

    TANGGAL 26 Juli pagi saya terbangun. Masih dingin. Tapi tentu bukan karena udara Kota Bandung yang dingin. Hawa dingin itu mengalir dari mesin pendingin yang selalu on selama kami menempati kamar penginapan ini. Lagipula, Kota Bandung, kata warga lokal, sudah tidak sedingin beberapa tahun lalu. Konon katanya akibat pemanasan gobal. Pagi itu kami sarapan tidak di kafe penginapan. Kami pengen mencoba makanan di warung di sekitar penginapan. Biar kenyang sekali makan. Warungnya gak jauh. Cukup di depan penginapan di seberang jalan. Setelah sarapan, kami mandi, packing , lalu check-out . Saat menuruni tangga untuk menuju lobi, ternyata ada satu pengunjung tante-tante dengan anjingnya yang besar. Saya gak tahu jeni anjing itu. Perawakannya besar langsing. Bulunya agak panjang berwarna putih kecokelatan. Lidahnya terus menjulur dengan napas konstan layaknya anjing lainnya. Yang membuat saya sedikit tercengang, anjing itu santai tiduran dan naik turun di sofa yang sehari sebelumnya dipakai anak saya untuk guling-guling karena kecapekan setelah perjalanan jauh. Astaga! Artinya sofa itu sudah sering dinaiki anjing. Dan saya gak tau apakah sofa itu rutin dibersihkan atau tidak. Saya tidak protes. Tidak pada tempatnya juga kalau protes. Karena penginapan itu sudah punya aturan ramah hewan peliharaan. Pengunjung mau bawa dinosaurus juga gak masalah asal muat dan tidak merusak fasilitas. Saya hanya melempar senyum ke tante-tante keturunan Tionghoa itu. Beliau juga tersenyum balik. Tapi seperti ada pesan dalam senyum beliau sambil sesekali melihat anjingnya yang masih main di atas sofa. Beliau seperti merasa gak enak karena melihat istri saya yang mengenakan hijab. Dan tentu paham posisi anjing dalam kepercayaan agama kami. Yasudahlah. Ini pelajaran bagi saya untuk berhati-hati dalam memilih tempat menginap. Tapi aplikasi penyedia jasa penginapan juga harus fair dengan mencantumkan informasi yang lengkap mengenai jasa yang ditawarkan. Biar sama-sama enak. Setelah check-out , kami langsung menuju Rancabali. Tujuan kami adalah Kawah Putih. Kami masih harus menempuh perjalanan satu jam lebih untuk sampai di salah satu objek wisata andalan Bandung itu. Kami sampai di parkiran kawasan Kawah Putih sekitar jam 1 siang. Tempatnya dikelilingi pohon-pohon pinus yang teduh. Tapi di area parkir yang terbuka terasa panas. Matahari masih nangkring di atas kepala kami. Motor harus diparkir. Tidak boleh naik sampai ke lokasi kawah yang berada di ketinggian 2.430 mdpl. Sama dengan ketinggian Ranu Kumbolo (2.400 mdpl) di Gunung Semeru. Sebagai gantinya, pengelola sudah menyiapkan angkot yang telah dimodifikasi untuk mengangkut penumpang. Jalurnya menanjak tajam. Berkelok-kelok. Agak sulit kalau bukan sopir berpengalaman. Sekitar 5 menit kemudian kami sampai di lokasi tujuan. Kawah Putih. Namun, kawahnya belum kelihatan saat kami turun dari mobil. Kami masih perlu berjalan memasuki gerbang, lalu menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di pinggir danau Kawah Putih. Di sisi kanan dan kiri tangga banyak penjual jasa foto. Mungkin mereka adalah fotografer yang sama saat teknologi kamera pada handphone belum secanggih sekarang. Mereka memilih bertahan meski mungkin pelanggannya tak sebanyak dulu. Pengunjung kebanyakan lebih memilih berfoto menggunakan handphone sendiri dan langsung diunggah di media sosial. Sewa jasa foto dan langsung dicetak sudah jarang peminatnya. Air danaunya tidak benar-benar putih, tapi agak kehijauan karena pengaruh belerang. Di beberapa titik, asap belerang masih mengepul dan baunya menyengat. Di sekelilingnya bayak pohon yang meranggas. Kering. Kontras dengan warna tanah dan bebatuan di sekitarnya yang tampak putih kecokelatan. Di situlah keindahannya. Di area itu tidak banyak yang bisa dilakukan selain foto-foto. Setiap pengunjung berlomba mencari spot yang bagus untuk diabadikan di frame kamera. Kami pun tertarik pada satu spot yang bagus, tapi tidak banyak pengunjungnya. Jembatan apung di tengah danau. Ternyata alasan tidak banyak pengunjung di lokasi itu cuma satu: bayar tiket. Setiap orang harus mengeluarkan uang lagi Rp 10 ribu untuk melintasi jembatan itu. Setelah puas mengamati dan menikmati kawah, dan tentu saja karena sudah capek juga, kami sudahi wisata ini. Kami kembali ke area tunggu angkot lalu turun ke area parkir. Di sana, kami makan dan ngopi santai sebelum melanjutkan perjalanan ke lokasi selanjutnya: Ranca Upas. Bersambung… 26 Juli 2024

  • Akhirnya Main ke Bandung

    SEBELUM menikah, saya hitung baru tiga kali saya pergi ke Bandung. Pertama, saat awal-awal bekerja di Jakarta. Kebetulan teman kantor saya asli Bandung. Saya diajak, lebih tepatnya pengen diajak, main ke rumahnya. Rumah teman saya itu di dekat Gedung Sate. Kedua, saat menghadiri pernikahan teman kantor saya. Ketiga, saat outing atau kegiatan akhir tahunan kantor. Namun, masih ada ''urusan'' saya dengan Bandung yang belum selesai: nge-camp di Ranca Upas, Ciwidey. Jarak Jakarta-Bandung memang gak begitu jauh. Sekitar 4 jam naik motor. Tapi ini bukan hanya soal jarak. Saya tidak ingin ke Ranca Upas sendirian atau dengan teman kantor. Saya sudah cukup sering naik gunung dengan teman kantor. Tapi, untuk yang satu ini, saya ingin menjadikannya sedikit spesial. Nge-camp bareng pacar? Bisa iya, bisa juga tidak. Nyatanya setelah punya pacar dan menikah, keinginan untuk pergi ke Ranca Upas belum begitu kuat. Saya perlu menunggu hampir sembilan tahun untuk menuntaskannya. Mulai awal-awal saya bekerja di Jakarta sampai menjelang akhir-akhir akan meninggalkan Jakarta. Saat saya telah menikah dengan pacar dan anak sudah berusia sekitar 2 tahun. Inilah waktu yang pas: camping bersama keluarga kecil saya. Segeralah kami susun rencana-rencana kecil. Mencari penginapan di Bandung kota sebelum melipir ke Ciwidey. Kami ingin menginap semalam di kotanya, meskipun gak ke mana-mana. Santai-santai saja di penginapan. Bersambung... 25 Juli 2024

  • Stay Semalam di "Penginapan Anjing" di Bandung

    PAGI hari tanggal 25 Juli 2024 perlengkapan untuk kamping sudah ter- packing . Tidak bisa lengkap. Cukup yang sekiranya diperlukan dan dibutuhkan. Kapasitas barang yang dibawa harus disesuaikan dengan kemampuan motor untuk mengangkutnya. Dan kenyamanan kami bertiga selama perjalanan. Matahari belum terlalu tinggi saat kami mulai narik gas motor dari kos-kosan di Jakarta Barat. Bertiga. Menuju penginapan di Bandung kota yang sudah kami pesan sehari sebelumnya. Kami motoran santai saja. Tidak ada waktu yang perlu diburu. Kami menempuh perjalanan Jakarta ke penginapan sekitar 6 jam. Sampai di sana sudah masuk waktu check-in, jadi kami langsung mengonfirmasi pesanan dan naik ke kamar di lantai 2. Penginapannya bagus meski tidak megah. Kebersihannya juga terjaga. Namun, ada hal yang sedikit mengusik. Ada poster yang terpampang di area lobi. Bunyinya kira-kira begini: Penginapan ramah hewan peliharaan. Dengan menampilkan gambar anjing besar. Info itu tidak ada pada aplikasi booking penginapan yang saya akses. Saya tidak benci anjing. Bahkan, jika dibanding kucing, saya lebih memilih anjing jika ditanya hewan apa yang ingin dipelihara di antara keduanya. Hanya saja, sebagai muslim --meskipun gak taat-taat amat-- kami tetap khawatir akan najisnya. Tapi, saat itu saya slow saja karena tidak ada anjing yang wira-wiri saat itu. Penginapan memang agak sepi karena weekdays.  Saya juga berpikir mungkin disediakan area khusus untuk hewan peliharaan saat tuannya menginap di sana. Jadi aman saja. Malamnya kami nongkrong  santai di kafe penginapan. Tempatnya bagus dan estetik seperti kafe-kafe zaman sekarang. Menunya juga enak, meskipun porsinya tidak sesuai harapan. Tapi okelah untuk pengganjal lambung. Hehe... Setelah makan-makan, si bocil pengen main di area kecil yang dia tunjuk di samping kafe. Tempatnya kayaknya nyaman untuk anak-anak. Ukurannya tidak luas. Mungkin cuma sekitar 2x2 meter. Alasnya berupa karpet hijau dengan dikelilingi pagar besi yang tidak terlalu tinggi. Wah, ini aman banget untuk anak bermain saat orang tuanya makan. Pikirku. Kami turuti si bocil main di situ. Dia tempak senang. Loncat-loncat dengan senyum lebar. Gak lama kemudian, istri menyadari ada yang tidak beres. Dia melihat banyak bulu halus yang menempel di karpet. Fix ! Itu area bermain kucing/anjing. Tapi, mlihat jarak antar teralis besi yang agak renggang, saya yakin itu untuk anjing! Biar hati tenang, anggap aja itu bulu kucing. Hehe... Malam itu kami istirahat tidak terlalu larut malam karena keesokan harinya kami akan melipir ke Ciwidey, ke Kawah Putih. Bersambung... 25 Juli 2024

  • Menghirup Udara Segar di Taman Lapangan Banteng Jakarta

    TAMAN Lapangan Banteng sebagai salah satu area terbuka hijau di Jakarta tentu akan menjadi jujukan bagi siapa saja yang ingin mencari ketedukan dan ketenangan. Banyaknya pohon rindang bisa menyelamatkan kita dari panasnya ibu kota. Lapangan Banteng terletak di Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar, jakarta Pusat,. Lokasinya sangat strategis karena berada di daerah Jakarta Pusat. Berdekatan dengan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Taman ini menjadi salah satu spot menarik bagi masyarakat, baik untuk rekreasi, wisata edukasi, atau sekadar menikmati waktu luang. Setelah direvitalisasi pada tahun 2018, Taman Lapangan Banteng semakin bagus sehingga ramai dikunjungi warga Jakarta dan sekitarnya. Taman publik ini bisa dikunjungi siapa saja tanpa biaya tiket alias gratis. Lapangan Banteng sering dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti olahraga, nongkrong, kulineran, tempat bermain, dan event tertentu. Pada weekend, di taman ini ada pertunjukan air mancur menari yang dilangsungkan pada malam hari. Dipadukan dengan permainan cahaya warna-warni. Selain itu, ada event tahunan Pameran Flora dan Fauna (Flona). Pameran itu biasanya dilaksanakan pada pertengahan tahun atau menjelang peringatan hari ulang tahun kota Jakarta. Taman ini ditanami berbagai jenis tanaman, mulai pohon peneduh, pengarah, penghias, berbagai jenis palem dan tanaman hias lainnya. Jenis pohon di taman ini seperti mahoni, angsana, salam, asem, dan kupu-kupu. Taman Lapangan Banteng buka 24 jam sehingga bisa kapan saja disinggahi. (*)

bottom of page