top of page

Gunung Pangrango saat Musim Hujan dan Ngekamp di Mandalawangi



KURANG dari satu bulan setelah mendaki Gunung Prau di Dieng, kami mendaki gunung lagi. Setelah kami kembali ke Jakarta, ajakan untuk mendaki datang dari kawan dalam pendakian sebelum-sebelumnya. Ke mana saja. Asalkan mendaki gunung. Sudah sumpek dengan Jakarta dan korona, katanya.


Saya dan istri sebenarnya sudah fresh setelah pulang kampung, menjelajah Dieng, dan mendaki Prau. Tidak ada keinginan untuk mendaki lagi dalam waktu dekat. Tapi, kalau ada ajakan untuk mendaki gunung lagi, itu selalu sulit ditolak. Gaskeun…!


Terpilihlah gunung yang dekat dari Jakarta. Gede-Pangrango. Kali ini kami memilih ke Pangrango saja. Sebenarnya kami paling malas mendaki Gede-Pangrango. Karena simaksinya terkenal ribet dan memakan banyak waktu.


Tapi, kami kemudian bersemangat karena semuanya bisa diatur lewat jalur samping. Lebih mudah. Cukup japri dan kita tinggal berangkat saja. Saya hanya satu kali mendaki Gede-Pangrango dengan prosedur jalur tengah. Selebihnya lewat jalur samping. Pendaki yang sering ke Gede-Pangrango pasti sudah tahu apa yang saya maksud. Hehe…


Kami memilih Pangrango untuk menuntaskan keinginan yang dulu sempat terucapkan saat pertama kali mendaki Pangrango: suatu saat ingin ngekamp di Lembah Mandalawangi. Jalur menuju puncak Pangrango memang sulit, apalagi dengan membawa keril sarat di punggung. Tapi, kita tak pernah tahu sesulit apa sebelum benar-benar mencoba.


Tengah malam kami berangkat dari Jakarta. Kurang dari tiga jam kami sampai di Warung Bu Ani di kawasan base camp Gede-Pangrango via Cibodas. Ini adalah warung langganan kami kalau naik dari Cibodas. Bisa tidur dan mandi di sana dengan sumbangan rupiah secara sukarela. Nggak ngasih juga nggak masalah. Tapi kok kebangetan.


Warung lain juga menyediakan servis serupa. Tapi, kami sudah kadung memiliki chemistry dan punya sejarah kecil dengan Warung Bu Ani. Historinya seperti ini. Suatu ketika setelah kami turun dari Pangrango, saat mobil sudah menjauh dari warung, kami dikejar pengendara motor. Kami disuruh menepi dan berhenti. Tepatnya sebelum gerbang menuju jalan raya.


Kami bingung kenapa dikejar orang. Kami merasa tidak berbuat apa-apa. Mobil kami juga tidak menyenggol motor atau kendaraan lain. Kami sudah siap dengan segala kemungkinan terburuknya.


Pengendara motor itu kemudian berjalan ke arah jendela ruang kemudi. Kawan yang nyetir mobil membuka kaca. Orang itu kemudian menghunuskan trekking pole sambil bertanya, ’’A’, trek polenya ketinggalan ya?”


Ealaa… Ternyata trekking pole salah satu kawan kami ketinggalan. Orang itu ternyata orangnya Warung Bu Ani yang rela mengejar kami untuk mengembalikannya. Salut. Ya, sejak itulah kami selalu singgah di Warung Bu Ani jika mendaki via Cibodas.


Oke, malamnya kami tidur nyenyak di Warung Bu Ani. Selasa pagi mulai mendaki. Kami tidak peduli meski musim hujan. Yang jelas, kami sudah mempersiapkan semuanya untuk safety. Di pos perizinan, kami harus mengikuti prosedur pandemi. Menjalani cek suhu tubuh dan tensi darah. Ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.


Setelah semuanya beres, kami melanjutkan langkah. Jalur Cibodas tidak berubah. Ya masih seperti itu. Masih berupa makadam yang menyiksa untuk dilalui. Tapi, nikmati saja.


Sebelum pos telaga biru, gerimis mulai turun. Belum lama kami beristirahat di pos, hujan semakin deras. Jadilah kami berlama-lama di pos itu. Meneguk kopi, mengisap rokok. Menikmati hujan di jalur pendakian.


Hampir setengah jam hujan mulai reda. Tinggal menyisakan gerimis. Kami kembali bergerak. Berjalan di bawah guyuran rintik hujan. Beban tas keril lama-kelamaan bertambah berat. Langkah kami semakin pelan. Sudah kepalang begini, jalani saja pendakian ini dengan sesantai mungkin. Jalan, istirahat, ngopi, ngudut, jalan, istirahat, ngopi, ngudut, jalan, istirahat, ngopi, ngudut. Sering seperti itu.


Alhasil, setelah sekitar 7 jam perjalanan, kami sampai di pos Kandang Batu. Langit masih mendung. Gerimis masih turun. Jam tangan menunjukkan pukul 5 sore. Kami membentangkan flysheet untuk masak. Makan siang kala sore-sore.


Gerimis masih turun. Selesai makan, kami istirahat sebentar. Kami berusaha mengumpulkan tenaga lagi. Kami sudah tahu jalur seperti apa yang akan kami lalui untuk sampai ke pos Kandang Badak. Penuh tanjakan. Paling cepat satu jam sampai. Dengan kondisi yang sudah capek, waktu yang kami butuhkan tentu lebih lama dari itu.


Setelah menimbang-nimbang situasi dan kondisi, kami sepakat untuk tidak langsung lanjut. Sebaiknya bermalam dulu. Jadilah kami mendirikan tenda di Kandang Batu.


Rabu siang, kami baru bersiap untuk melanjutkan langkah. Badan sudah sedikit lebih enteng. Apalagi perut sudah diisi logistik. Sekitar dua jam kami kemudian sampai di Kandang Badak.


Itulah camping ground utama sebelum jalur bercabang menuju Gede dan Pangrango. Kandang Badak hampir penuh tenda. Kalau kata orang mirip pasar. Kami berhenti untuk menyeduh kopi dan menikmati sebatang dua batang rokok. Ada juga gorengan yang bisa dibeli. Untuk penambah stamina dan camilan di jalan.


Lama beristirahat dan santai-santai di sana, timbullah kegamangan. Antara mendirikan tenda di Kandang Badak saja dan naik ke puncak tanpa membawa apa-apa atau tetap pada rencana awal, kamping di Mandalawangi.


Satu kesepakatan akhirnya diambil: tetap pada rencana awal.


Dari jalur makadam berbatu, kami beralih ke jalur tanah yang sedikit becek. Dari jalur lebar dan lega berubah menjadi jalur sempit dengan vegetasi yang rapat-rapat. Belum lagi halang rintang berupa sisa tumbangan pohon-pohon besar. Kadang merangkak, kadang bergelantungan. Itulah seninya jalur Pangrango.


Tenaga terkuras habis di jalur itu. Saya sempat drop dua hingga tiga kali. Syukurlah, saya masih bisa pulih dan sanggup untuk melanjutkan pendakian. Apalagi setengah perjalanan kemudian kami bertemu malam.


Setelah berjam-jam tertatih-tatih merangkaki jalur liat penuh akar-akaran di kegelapan malam, dengan sedikit tenaga yang tersisa, di bawah gerimis yang ritmis, kami sampai di tugu puncak Pangrango. Ditemani derik serangga-serangga malam. Di antara rimbun pepohonan. Kami bersyukur. Kami bahagia.


Setelah mengabadikan momen di sana sebentar, kami lanjut untuk sedikit turun lagi, ke Lembah Mandalawangi. Malam itu kabut cukub tebal. Jarak pandang dari lampu senter tidak lebih dari dua meter. Kami bergegas mencari lokasi yang enak untuk mendirikan tenda dan beristirahat dengan nyaman.


Keinginan kami untuk ngekamp di Mandalawangi telah tercapai. Perjuangan dengan hasil yang menggembirakan. Tidur di antara rimbunnya pohon-pohon Mandalawangi. Berselimut kabut dingin yang datang dan pergi. Menyaksikan sungai kecil dengan air bersih yang mengalir membelah lembah. Air jernih yang bisa diambil sesuka hati.


Kami ngekamp dua malam di Mandalawangi. Menikmati alam, mengamini kalam. Mensyukuri segala yang ada. Tak ada nikmat Tuhan yang patut diingkari. Tak ada alam yang layak dikotori.


Mari kita terus mendaki, tapi jangan lupa tahu diri. (*)


Pangrango, 27-30 Oktober 2020

25 views0 comments
bottom of page