top of page

Mendaki Gunung Prau via Dieng



JIKA bumi ini adalah sebuah mega pameran karya seni, Dataran Tinggi Dieng adalah salah satu mahakarya fenomenal yang pernah tercipta. Adiluhung. Keindahannya bisa dinikmati dari segala sudut. Kisahnya bisa dikurasi dari segala sisi.


Sudah sejak lama saya diperdengarkan dongeng tentang negeri di atas awan. Negeri kahyangan. Negeri yang seakan-akan sulit dijamah kaum kelas biasa yang tanpa ilmu kanuragan menembus langit. Jauh di angan.


Tapi, saat singgah di Dieng, saya seperti menemukan negeri dongeng itu. Gambarannya tak jauh dari sana. Negeri seperti itu ada di kehidupan nyata.


Dieng adalah negeri yang tak pernah habis untuk dikisahkan. Negeri makmur yang dikelilingi perbukitan. Tanahnya bisa menumbuhkan segala benih. Diselimuti kabut dingin yang mengekalkan segalanya. Memori, ingatan, kenangan.


Salah satu karya terindah di Dieng adalah Gunung Prau. Konon, di puncaknya, kita bisa menjumpai hamparan taman bunga. Mirip gambaran surga, katanya. Juga menyaksikan golden sunrise. Kisah-kisah itu sudah masyhur di penjuru tanah Jawa. Mungkin juga seluruh negeri. Di kalangan pendaki.


Kami betah berlama-lama di Dieng. Enam hari lima malam. Tapi, tidak lengkap rasanya kalau tidak sekalian mendaki Gunung Prau. Kali ini, Prau memang jadi tujuan utama kami ke Dieng.


Kami mendaki Prau dari pintu Dieng. Karena negeri sedang tidak baik-baik saja, ada syarat dan biaya ekstra untuk registrasi. Kami harus menunjukkan surat keterangan sehat dan membayar “biaya pencegahan pandemi”.


Saat itu hanya kami berdua di base camp Dieng. Itulah yang kami cari. Mendaki dengan tenang tanpa keramaian.


Puncak Prau bisa digapai dalam 3-4 jam tanpa istirahat, kata penjaga base camp. Tapi kami tidak sedang buru-buru. Kami ingin menikmati pendakian dengan santai. Trek Prau via Dieng memang penuh dengan bonus. Minim tanjakan. Jadi, semakin santai lah kami.


Tanjakan tercuram di jalur ini adalah trek pos pemancar. Memang tinggi menjulang. Tapi, saat kami mendaki, sudah ada trek bypass yang dibuat khusus di bawahnya. Telah dibuat jalan pintas tanpa harus capek-capek melewati pos itu.


Setelah melewati tiga pos, kami sampai di puncak Prau via Dieng. Kami menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam. Kami istirahat cukup lama di puncak. Selain kami, ada satu rombongan besar yang menyusul. Sambil menunggu mereka foto-foto dan melanjutkan perjalanan, kami duduk-duduk santai. Ngopi, ngudut.


Puncak Prau via Dieng memang bukan akhir dari perjalanan. Kami masih harus berjalan sekitar 30 menit lagi. Naik turun bukit Teletubbies. Menuju sunrise camp. Di sana lah nantinya kami akan mendirikan tenda dan menjemput sunrise pagi harinya.


Setelah foto-foto sebentar, kami melanjutkan langkah. Turun naik bukit. Kalau kawan tidak mau susah-susah naik turun bukit, kalian bisa mengambil jalan pintas. Begitu sampai di camping ground Telaga Wurung, kawan perlu belok kiri dan ikuti saja jalur yang sudah ada.


Satu lagi, kalau tidak mau jalan lama-lama dan ingin mencapai puncak sekaligus sunrise camp, kawan bisa naik via base camp Patak Banteng. Waktunya juga lebih singkat, tapi konon treknya lebih menantang.


Setelah setengah jam lebih, kami sampai di sunrise camp. Kami langsung mencari tempat yang nyaman dan mendirikan tenda. Di bawah pohon pinus. Biar aman. Untuk mengantisipasi hujan badai. Kami menyewa tenda di base camp. Jadi, kami tidak tau sama sekali kemampuan si tenda saat ada badai. Pilih amannya saja.


Di area puncak Prau, sudah berdiri emergency shelter dan musala yang baru selesai dibangun oleh salah satu brand outdoor. Tapi ingat, jangan dipakai untuk tidur ya. Itu untuk keadaan darurat dan untuk beribadah saja.


Malam itu hujan turun. Tidak terlalu deras. Tanpa badai. Tenda masih aman. Tapi kami khawatir kalau-kalau hujan tak kunjung berhenti sampai pagi. Kami tidur dengan membawa harapan: semoga pagi kembali cerah.


Jam setengah lima pagi kami terbangun. Lebih tepatnya dibangunkan alarm yang sudah kami set sebelum tidur. Di luar masih gelap. Langit sudah cerah. Alhamdulillah.


Angin pagi langsung menerpa saat kami keluar tenda. Dingin. Kami berjalan sedikit menjauh dari tenda untuk mencari spot terbaik untuk menyambut matahari terbit.


Banyak juga pendaki lain yang muncul dari balik kabut. Cukup ramai. Matahari muncul perlahan. Sayang, kabut tipis masih menyelimuti puncak Prau. Sunrise tidak tampak sempurna. Puncak-puncak di sekitarnya sesekali menyembul sebelum tertutup awan tebal.


Bunga-bunga daisy di pagi hari tampak segar. Tumbuh liar di hampir seluruh perbukitan di sana. Embun bening menggelantung dan jatuh satu per satu seiring semakin hangatnya matahari pagi.


Itulah taman bunga yang digambarkan layaknya surga. Mungkin itu taman bunga terindah yang pernah kami kunjungi. Di ketinggian.


Kami kembali ke tenda saat matahari perlahan hilang di balik kabut. Kami perlu bersiap-siap untuk membongkar tenda dan kembali turun. (*)


Gunung Prau, 21-22 September 2020

12 views0 comments
bottom of page