top of page

Jangan Meremehkan Gunung Kembang



GUNUNG Kembang di kawasan Wonosobo sudah tenar dengan keindahannya. Namun, gunung yang dikenal dengan nama lain Anak Gunung Sindoro ini bak gadis cantik yang sulit ditaklukkan. Perlu perjuangan berdarah-darah dan cobaan bertubi-tubi.


Cobaan pertama dan terakhir yang paling kentara ada di base camp pendakian via Blembem. Di tengah perkebunan teh yang terhampar indah, di bawah rimbun pohon-pohon tinggi, berdiri sebuah bangunan berwarna dominan oranye yang harus disinggahi setiap pendaki.


Pos pendakian via Blembem namanya. Di situ pendaki harus melakukan registrasi untuk memulai pendakian. Dengan biaya 20 ribu rupiah per kepala. Base camp itu tampak artistik. Ada akuarium kecil dengan ikan-ikan yang juga kecil menempel seperti jendela bergelembung. Tepat di atas celah kecil lorong registrasi.


Di sekitarnya banyak tempelan-tempelan stiker pendaki. Melengkapi tulisan-tulisan peraturan yang menakutkan dan rute pendakian. Saat memasuki base camp, terlihat jeriken berbaris-baris. Botol puntung rokok tergantung-gantung.


Rest area pendaki itu terasa lega. Dilengkapi tikar plastik dan grafiti-grafiti unik. Aktornya dominan celeng atau babi hutan. Semuanya tampak indah dan nyeni. Berhenti di situ dulu.


Cobaan pertama datang saat pendaki melakukan registrasi. Tas carrier yang sudah ditata rapi dari rumah harus dibongkar ulang. Setiap perlengkapan dan logistik didata satu per satu. Memakan banyak waktu dan tenaga. Karena harus packing ulang.


Masalah air juga begitu. Tidak diperbolehkan menggunakan botol bawaan. Harus dimasukkan jeriken. Atau tempat lain yang tidak sekali pakai. Punya sendiri atau menyewa di base camp. Banyak disediakan, eh disewakan. Jadi jangan heran kalau banyak pendaki yang menenteng jeriken saat naik ke Kembang. Kami membawa tempat air sendiri dari rumah.


Demi gunung bebas sampah, saya setuju. Tapi, ada peraturan-peraturan yang dijalankan dengan setengah hati. Parahnya, itu yang krusial.


Pengalaman saya kemarin, kami sekelompok disuruh menghitung dan mencatat sendiri semua perlengkapan dan logistik bawaan. Ya, kami disuruh mencatat sendiri! Petugas yang saat itu bertugas terkesan malas-malasan. Hanya duduk-duduk saja sambil memainkan smartphone.


Pendaki yang curang bisa dengan mudah memanipulasi jumlah bawaan dan angka yang ditulis di lembar registrasi. Dan selama mendaki bisa saja membuang sampah seenaknya selama jumlah sampah yang tertera sudah sesuai list bawaan. Aturannya memang baik. Tapi, aturan yang baik kalau pelaksananya setengah-setengah, itu hanya menyusahkan!


Kesan bermalas-malasan nge-list barang bawaan pendaki tidak tampak lagi saat checking sampah setelah turun gunung. Petugas yang kebagian tugas dengan cekatan dan semangat mengorek-ngorek sampah bawaan. Dicocokkan dengan list registrasi. Dihitung satu per satu. Dicocokkan dengan logistik yang sudah diolah dan yang masih utuh dalam bungkusnya.


Jumlahnya harus benar-benar sama dengan yang tertera di list barang bawaan. Meleset satu saja, denda siap bicara. Tak tanggung-tanggung. Mis satu item saja uang Rp 1.025.000 harus diserahkan secara cuma-cuma. Atau, kalau tidak mau keluar uang, bisa kembali naik ke atas untuk mencari sampah yang tanpa sengaja tertinggal atau sengaja dibuang.


Kami bukannya tak taat aturan, bukan juga tak sayang alam. Kami bisa patuh. Tapi kalau aturan ditegakkan setengah-setengah, apa bedanya.


Satu lagi, ada aturan yang keras soal tisu basah. Tisu basah haram dibawa naik! Dendanya juga tak tanggung-tanggung. Sama, Rp 1.025.000. Apakah aturan atau prosedur itu sudah dilaksanakan petugas dengan benar? Jawabannya tidak.


Saya kemarin coba menguji seberapa ketat aturan itu dan seberapa serius petugas melaksanakannya. Hasilnya? Saya bisa membawa tisu basah tanpa ketahuan. Karena pencatatan list barang bawaan diserahkan kepada pendaki, sementara petugasnya hanya berleha-leha saja. Tidak ada pemeriksaan secara detail.


Apakah kemudian saya membuang sampah tisu basah itu di atas gunung? Tidak. Sampahnya tetap saya bawa turun dengan dibungkus plastik tersendiri.


Apakah dengan begitu saya melanggar aturan? Saya sadar iya, karena itu sudah aturannya. Tapi, saya hanya ingin menguji seberapa serius petugas di sana melaksanakan aturan itu. Terlebih, sebelumnya saya dengar peraturan soal sampah di Gunung Kembang sangat ketat, yang ternyata biasa-biasa saja.


Ya, apa pun itu, mari menumbuhkan kesadaran sendiri untuk tidak membuang sampah sembarangan. Di mana pun berada. Tetaplah jaga alam kita biar tetap indah saat ingin mengunjunginya lagi suatu ketika. Sepakat?


Setelah kaki melangkah ke luar dari area base camp, jalur yang menyambut adalah hamparan kebun teh. Jalur sempit yang membelah permadani hijau itu bertekstur tanjakan-tanjakan santai. Maklum, tenaga masih full.


Pos terindah gunung ini bernama Istana Katak. Berada di tengah kawasan kebun teh. Tidak jauh dari pos ini, sedikit menanjak, Gerbang 290 menanti. Ini adalah daerah perbatasan, gerbang dari kebun teh yang hijau menuju hutan rimba yang penuh marabahaya.


Bahkan, saat brifing registrasi, pendaki dilarang mendirikan tenda atau nge-camp di kawasan hutan ini. Pos yang berada di kawasan dilarang mendirikan tenda adalah Pos I Liliput, Pos II Simpang, dan Pos III Akar. Ketiganya masih berada di kawasan hutan.


Setelahnya atau di Pos IV Tanjakan Mesra (Sabana), pendaki bisa nge-camp atau lanjut mendaki. Karena puncak sudah menunggu di atasnya. Jalurnya? Tentu saja berupa trek menanjak curam.


Kami yang bertemu malam dalam perjalanan menentukan pilihan untuk nge-camp semalam di Pos IV Tanjakan Mesra. Di pos ini bisa didirikan dua hingga tiga tenda ukuran sedang. Namun, kontur tanahnya sedikit miring sehingga kurang nyaman untuk tidur lelap. Tapi, saat tubuh sudah menemui batas lelah, di tanah seperti itu, rebahan nyaman-nyaman saja.


Saat malam, view di pos ini tentu hanya gelap. Tapi, tunggu saja sampai gelap tersingkap dan pagi meninggi. Decak kagum rasanya.


Gunung Sumbing menjulang tinggi berselimut kabut pagi. Di bawahnya berserak rumah-rumah warga. Berselang-seling dengan perkebunan dan lahan antah berantah. Pagi yang menawan.


Tapi, kita tetap perlu waspada. Dalam kegelapan malam, ada makhluk lain yang mengintai. Yang bisa tiba-tiba datang dan pergi. Muncul dari semak belukar. Mengusik tidur lelah. Celeng sigap menggasak apa saja yang tercium. Satu tas carrier teman sependakian diseret kabur oleh celeng. Untung masih terselamatkan. Tapi, tenda sudah kadung menjadi korban. Robek cukup lebar. Disikat tanduknya yang tajam.


Siang setelah sarapan kami melanjutkan langkah. Menapaki tanjakan yang namanya mesra. Tanjakan mesra. Tapi tak ada mesra-mesranya. Justru hanya lelah dan siksa.


Itulah jalan terakhir yang harus diperjuangkan untuk mencapai tanah tujuan. Puncak Kembang. Di ketinggian 2.340 mdpl.


Indahnya tak terdeskripsikan. Gunung dan perbukitan berkolaborasi menciptakan keindahan alam. Bersama awan tebal dan kabut membalut. Saat itu sudah sore. Jingga merona tipis-tipis di batas cakrawala di arah barat. Gunung Sumbing dan Sindoro tampak tenang.


Angin membawa dingin. Bersamaan dengan turunnya malam di puncak Kembang. Kembang yang cantik saat terang berubah kejam saat gelap datang.


Makhluk-makhluk dari dunia kegelapan berkeliaran. Mencari apa saja yang bisa membuat perut kenyang. Celeng-celeng berkeliaran mencari makan.


Tenda-tenda penuh makanan tentu saja menjadi sasaran. Tidur menjadi tidak tenang. Kami seakan sedang berebut makanan. Terlelap sebentar, mereka sudah merangsek tanpa gentar. Tenda saya kini yang menjadi sasaran. Makanan memang aman. Tapi tenda robek lumayan lebar. Malam itu kami tidur dengan kecemasan.


Untunglah sampai pagi tak ada lagi babi yang datang. Mereka seakan sudah puas dengan membuat kerusakan. Lapar masih bisa diatasi dengan menenggak air banyak-banyak. Barangkali mereka jengkel. Orang kota ngapainke hutan gunung belantara yang bisanya merusak saja. Kami juga butuh privasi, bukan manusia semata.


Kejengkelan seakan terobati saat matahari pagi perlahan merekah di balik pegunungan. Cuaca sedang senang. Cerah. Sunrise kala itu indah. Untuk itulah kami mendaki. Menikmati keindahannya.


Terima kasih Kembang atas keindahanmu. (*)


Wonosobo, 11-13 Maret 2020

コメント


bottom of page