Kawah Putih, Sebelumnya Cuma Lihat di Televisi
- budiawanagus
- Jul 26, 2024
- 3 min read

TANGGAL 26 Juli pagi saya terbangun. Masih dingin. Tapi tentu bukan karena udara Kota Bandung yang dingin. Hawa dingin itu mengalir dari mesin pendingin yang selalu on selama kami menempati kamar penginapan ini. Lagipula, Kota Bandung, kata warga lokal, sudah tidak sedingin beberapa tahun lalu. Konon katanya akibat pemanasan gobal.
Pagi itu kami sarapan tidak di kafe penginapan. Kami pengen mencoba makanan di warung di sekitar penginapan. Biar kenyang sekali makan. Warungnya gak jauh. Cukup di depan penginapan di seberang jalan.
Setelah sarapan, kami mandi, packing, lalu check-out. Saat menuruni tangga untuk menuju lobi, ternyata ada satu pengunjung tante-tante dengan anjingnya yang besar. Saya gak tahu jeni anjing itu. Perawakannya besar langsing. Bulunya agak panjang berwarna putih kecokelatan. Lidahnya terus menjulur dengan napas konstan layaknya anjing lainnya.
Yang membuat saya sedikit tercengang, anjing itu santai tiduran dan naik turun di sofa yang sehari sebelumnya dipakai anak saya untuk guling-guling karena kecapekan setelah perjalanan jauh. Astaga! Artinya sofa itu sudah sering dinaiki anjing. Dan saya gak tau apakah sofa itu rutin dibersihkan atau tidak.
Saya tidak protes. Tidak pada tempatnya juga kalau protes. Karena penginapan itu sudah punya aturan ramah hewan peliharaan. Pengunjung mau bawa dinosaurus juga gak masalah asal muat dan tidak merusak fasilitas. Saya hanya melempar senyum ke tante-tante keturunan Tionghoa itu. Beliau juga tersenyum balik. Tapi seperti ada pesan dalam senyum beliau sambil sesekali melihat anjingnya yang masih main di atas sofa. Beliau seperti merasa gak enak karena melihat istri saya yang mengenakan hijab. Dan tentu paham posisi anjing dalam kepercayaan agama kami.
Yasudahlah. Ini pelajaran bagi saya untuk berhati-hati dalam memilih tempat menginap. Tapi aplikasi penyedia jasa penginapan juga harus fair dengan mencantumkan informasi yang lengkap mengenai jasa yang ditawarkan. Biar sama-sama enak.

Setelah check-out, kami langsung menuju Rancabali. Tujuan kami adalah Kawah Putih. Kami masih harus menempuh perjalanan satu jam lebih untuk sampai di salah satu objek wisata andalan Bandung itu. Kami sampai di parkiran kawasan Kawah Putih sekitar jam 1 siang. Tempatnya dikelilingi pohon-pohon pinus yang teduh. Tapi di area parkir yang terbuka terasa panas. Matahari masih nangkring di atas kepala kami.
Motor harus diparkir. Tidak boleh naik sampai ke lokasi kawah yang berada di ketinggian 2.430 mdpl. Sama dengan ketinggian Ranu Kumbolo (2.400 mdpl) di Gunung Semeru. Sebagai gantinya, pengelola sudah menyiapkan angkot yang telah dimodifikasi untuk mengangkut penumpang. Jalurnya menanjak tajam. Berkelok-kelok. Agak sulit kalau bukan sopir berpengalaman.
Sekitar 5 menit kemudian kami sampai di lokasi tujuan. Kawah Putih. Namun, kawahnya belum kelihatan saat kami turun dari mobil. Kami masih perlu berjalan memasuki gerbang, lalu menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di pinggir danau Kawah Putih. Di sisi kanan dan kiri tangga banyak penjual jasa foto. Mungkin mereka adalah fotografer yang sama saat teknologi kamera pada handphone belum secanggih sekarang. Mereka memilih bertahan meski mungkin pelanggannya tak sebanyak dulu. Pengunjung kebanyakan lebih memilih berfoto menggunakan handphone sendiri dan langsung diunggah di media sosial. Sewa jasa foto dan langsung dicetak sudah jarang peminatnya.

Air danaunya tidak benar-benar putih, tapi agak kehijauan karena pengaruh belerang. Di beberapa titik, asap belerang masih mengepul dan baunya menyengat. Di sekelilingnya bayak pohon yang meranggas. Kering. Kontras dengan warna tanah dan bebatuan di sekitarnya yang tampak putih kecokelatan. Di situlah keindahannya.
Di area itu tidak banyak yang bisa dilakukan selain foto-foto. Setiap pengunjung berlomba mencari spot yang bagus untuk diabadikan di frame kamera. Kami pun tertarik pada satu spot yang bagus, tapi tidak banyak pengunjungnya. Jembatan apung di tengah danau. Ternyata alasan tidak banyak pengunjung di lokasi itu cuma satu: bayar tiket. Setiap orang harus mengeluarkan uang lagi Rp 10 ribu untuk melintasi jembatan itu.
Setelah puas mengamati dan menikmati kawah, dan tentu saja karena sudah capek juga, kami sudahi wisata ini. Kami kembali ke area tunggu angkot lalu turun ke area parkir. Di sana, kami makan dan ngopi santai sebelum melanjutkan perjalanan ke lokasi selanjutnya: Ranca Upas. Bersambung…
26 Juli 2024



Comments