Search Results
165 results found with an empty search
- Berkawan Sunset di Candi Ijo
KEBANYAKAN orang mungkin hanya tahu Candi Ratu Boko sebagai tempat yang paling pas untuk menikmati keindahan matahari terbenam di cakrawala Jogjakarta. Tidak ada salahnya memang. Namun, selain Candi Ratu Boko, ada candi lain yang tidak kalah indah untuk sekadar duduk-duduk santai berkawan sunset . Candi Ijo namanya. Selain tidak kalah indah, tiket masuknya pun jauh lebih murah. Jika dibandingkan dengan Candi Ratu Boko, tiket masuk ke Kompleks Candi Ijo sangat murah. Hanya Rp 10 ribu. Namun, keindahannya tak kalah mewah. Terlebih, Candi Ijo berdiri di ketinggian 375 meter di atas permukaan laut (mdpl). Candi yang letaknya paling tinggi di Jogja. Candi Ijo berdiri di atas bukit yang oleh orang setempat dinamai Gumuk Ijo. Dari situlah nama candi tersebut bermula. Kompleks candi bercorak Hindu ini terdiri atas 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Di teras ke-11 atau yang paling atas, menjulang empat candi. Satu candi utama dan tiga candi perwara. Tiga candi yang agak kecil itu digambarkan seperti tiga gadis pengiring raja atau permaisuri. Tiga candi perwara itu menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu. Layaknya candi pada umumnya, Candi Ijo juga dipercantik dengan beragam seni seperti kalamakara atau sebentuk wajah raksasa. Ada pula arca perempuan dan laki-laki. Di teras ke-11, terdapat pula homa atau semacam bak tempat api pengorbanan. Dari atas candi ini, kita bisa bebas melepaskan pandang. Kita bisa melihat Bandara Adisucipto di bawah sana. Di kejauhan. Di arah barat. Selebihnya adalah hamparan pepohonan hijau dan sedikit perumahan. Saat sore, kita pun bisa berkawan matahari terbenam. Mereguk kesejukan angin yang menerpa wajah-wajah dan mendekap tubuh-tubuh para pencari ketenteraman jiwa. Ah… Matahari sore itu, turun perlahan. (*) Jogjakarta, 20 Januari 2017
- Galeri Nasional Indonesia, Gudangnya Seni Rupa Indonesia
GALERI Nasional Indonesia merupakan lembaga budaya negara yang gedungnya, antara lain, berfungsi sebagai tempat pameran serta perhelatan acara seni rupa Indonesia dan mancanegara. Gedung ini merupakan institusi milik pemerintah di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelum resmi menjadi Galeri Nasional Indonesia, gedung di Jalan Medan Merdeka Timur No. 14, Jakarta Pusat, ini adalah sekolah beserta asrama khusus bagi wanita yang dibangun Yayasan Kristen Carpentier Alting Stitching (CAS) pada tahun 1900. Ini merupakan sekolah pertama di Hindia Belanda. Pada tahun 1955, pemerintah Indonesia melarang segala aktivitas komunitas Belanda. Karena itu, gedung ini beralih menjadi milik Yayasan Raden Saleh meskipun masih di bawah gerakan Belanda bernama Vijmetselaren Lorge. Pada 1962, Yayasan Raden Saleh dibubarkan atas perintah Presiden Soekarno. Gedung dan segala peralatan kemudian diserahkan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dari situ galeri bertaraf nasional dirintis dengan nama awal Wisma Seni Nasional/Pusat Pembangunan Kebudayaan Nasional. Pada tahun 1987, Kepala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hasan merancang ulang gedung tersebut menjadi Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud. Perjuangan pengembangan dan perubahan nama menjadi Galeri Nasional Indonesia baru diperjuangkan Edi Sedyawati sejak tahun 1995. Perjuangan Edi berhasil setelah disetujui Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara pada tahun 1998. Pengembangan infrastruktur fisik maupun nonfisik pun dilakukan. Caranya, Galeri Nasional Indonesia membuat kompetisi desain bangunan baru yang bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia. Selain itu, website utamanya telah direnovasi ulang dengan pengembangan di sisi data dan informasi seperti daftar koleksi seni, fasilitas, agenda acara, dan pengaturan dwibahasa untuk pengguna nonbahasa Indonesia. Galeri Nasional sering mengadakan aktivitas. Mulai pameran, preservasi, seminar keilmuan, diskusi ilmiah, pemutaran film, penampilan kesenian, festival, hingga perlombaan. Hal itu dilakukan demi pendidikan dan mengenalkan budaya kepada masyarakat luas. Galeri ini mengoleksi kurang lebih 1.700 karya dari para tokoh di Indonesia. Mulai lukisan, fotografi, patung, dan pahatan. Ada juga karya-karya para tokoh seniman negara nonblok seperti Sudan, India, Peru, Kuba, Vietnam, dan Myanmar. Jenis Pameran di Galnas Galeri Nasional mengadakan tiga jenis pameran. Yakni, pameran temporer, pameran keliling, dan pameran tetap. Pameran Temporer Pameran tematis ini diselenggarakan dalam periode tertentu. Setiap ruangan digunakan khusus untuk memajang satu tema karya seni rupa modern dan kontemporer. Jadi, saat ada pameran, satu ruangan tersebut akan dipenuhi lukisan. Hanya lukisan. Pameran Keliling Pameran keliling adalah salah satu cara pengelola galeri untuk memamerkan koleksi seni rupa kepada masyarakat luas. Selain untuk memperkenalkan koleksi seni, pameran jenis ini digunakan untuk meningkatkan kreativitas dan apresiasi seni untuk para seniman daerah. Pameran Tetap Yang terakhir adalah pameran tetap. Pameran ini diselenggarakan dua kurator galeri, yaitu Citra Smara Dewi dan Suwarno Wisetra. Pameran tetap ini memajang 109 karya seni rupa dari koleksi pameran Galeri Nasional Indonesia ataupun koleksi karya seni milik negara. Sebagian besar koleksi yang ada merupakan karya para maestro seperti Affandi, Hendra Gumawan, Otto Djaja, Popo Iskandar, Srihadi Soedarsono, dan Djoko Pekik. Pameran ini juga menampilkan karya maestro mancanegara seperti Hans Arp, Sonia Delaunay, Zao Wou-Ki, Wassily Kandinsky, Hans Hartung, dan Victor Vasarely. Dalam pameran tetap, semua karya seni dibagi dalam 11 ruangan yang terdiri atas dua kategori, yakni Galeri 1 dan Galeri 2. Lengkap dengan informasi setiap karya. Galeri 1 menampilkan seni rupa modern dari Indonesia dan internasional yang dibagi dalam tujuh ruangan. Sedangkan Galeri 2 dibagi dalam empat ruangan. Pameran tetap bisa dinikmati di Gedung B Galnas lantai 2. Gratis. (*) Jakarta, Medio 2017
- Museum Macan, Museumnya Anak-Anak Kekinian
MESKIPUN menyematkan nama ’museum’, menurut saya tempat ini lebih pada atau semacam galeri seni. Nama ’macan’ juga bukan mengindikasikan bahwa tempat ini memajang hal-hal yang berkaitan dengan macan. Tapi, secara sekilas, namanya saja sudah bisa memantik rasa penasaran orang karena lebih terkesan seperti museum satwa, galeri satwa, atau yang berbau-bau binatang. Saat memasuki tempat ini, kesan yang ada akan berubah. Ini bukan museum yang menyimpan taring atau kulit macan yang bersejarah. Ini adalah tempat yang sangat mewah untuk memajang seni modern dan kontemporer dalam negeri dan mancanegara. Nama Museum Macan merupakan kependekan dari Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara. Museum ini dibuka pada 4 November 2017. Peresmian dilakukan Haryanto Adikoesoemo, filantropi sekaligus pendiri museum yang didesain MET Studio London itu. Museum yang dibangun di lahan seluas 4.000 meter persegi ini adalah institusi pertama di Indonesia yang mengizinkan akses publik terhadap koleksi seni modern dan kontemporer yang signifikan dan terus berkembang dari Indonesia sampai seluruh dunia. Meski harga tiket masuk terbilang mahal, museum ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Terutama kaum milenial metropolitan. Bahkan, untuk berfoto di beberapa spot yang ada, pengunjung harus antre berjam-jam. Gila. Demi foto yang kekinian. Spot yang selalu dijubeli pengantre adalah Infinity Mirrored Room karya seniman Jepang Yayoi Kusama tahun 2014. Mirrored Room adalah karya seni dalam ruang kubus bermandikan cahaya LED warna-warni. Ruangan ini dilapisi cermin. Jadi, cahaya yang ada terpantul sehingga terkesan tak berujung. Namun, pengunjung hanya memiliki waktu 30 detik saja untuk berfoto di dalam ruangan itu. Tidak bisa nambah. Karena ada petugas yang akan mengatur waktunya. Benar-benar harus tepat 30 detik! Museum ini menampilkan sekitar 90 karya seni rupa modern Indonesia dan kontemporer dari seluruh dunia. Karya-karya tersebut adalah sebagian dari 800 karya seni yang telah dikumpulkan kolektor seni sekaligus pengusaha Indonesia, Haryanto Adikoesoemo, sang penggagas Museum Macan. Seni kontemporer dan modern yang ditampilkan Museum Macan tidak terbatas pada lukisan, tapi juga menampilkan gaya kontemporer dengan berbagai medium, teknik, dan seni instalasi. Museum ini juga bisa menjadi sarana edukasi buat anak sekolah, seniman muda, dan para penikmat seni. Lokasi dan Tiket Museum Macan buka Selasa sampai Minggu pada pukul 10.00–18.00 WIB. Senin tutup. Pengunjung bisa membeli tiket on the spot atau melalui pemesanan online. Harganya Rp 100.000 (dewasa), Rp 90.000 (lansia dan pelajar), Rp 80.000 (anak-anak usia 3–12 tahun), dan gratis untuk anak di bawah usia 3 tahun. Museum ini terletak di Wisma AKR, Jalan Panjang No. 5, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. (*) Jakarta, Medio 2018
- Situs Gunung Padang, Sebuah Pusat Peradaban
Ada semacam siut tak terartikan saat kaki mulai menapaki satu per satu anak tangga ini. Pagi masih berderik, terlalu dini. Gelap. Sebuah perjalanan, menghadap Sang Prabu. ALUNAN gamelan sayup-sayup terdengar, terbawa angin –dalam kepalaku. Berkelindan dengan helaan napas. Entah sudah berapa anak tangga saya lalui hingga mencapai bukit ini. Gunung Padang. Timbunan harta karun, Atlantis yang hilang, ’’eyang’’-nya Piramida di Mesir, konon. Untuk mencapai Gunung Padang tidak terlalu sulit. Saya hanya perlu naik KRL Jakarta–Bogor. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan dengan KA Pangrango menuju Stasiun Lampegan di Cianjur. Bahkan, bagi Anda yang ekstrasibuk, perjalanan ini bisa ditempuh hanya dalam sehari semalam pergi-pulang. Nah, di Stasiun Lampegan, jangan buru-buru naik ke Dusun Gunungpadang di Desa Karyamukti. Letak situs bersejarah tersebut berdiri. Di stasiun situ, ada terowongan bersejarah yang bagus untuk sekadar ber- selfie . Ini adalah terowongan pertama yang dibangun di Jawa Barat (1879–1882). Setelah itu, saya baru naik ke Desa Karyamukti, Cianjur, pos perizinan Gunung Padang, menggunakan jasa ojek. Ojek bisa disebut sebagai transportasi satu-satunya (kecuali bawa kendaraan sendiri) dari stasiun ke lokasi tujuan. Jarak sekitar setengah jam tidak akan terasa. Sebab, selama perjalanan, hamparan kebun teh akan menyambut. Harum. Di sekitar Desa Karyamukti, sebenarnya ada beberapa objek wisata lain. Misalnya Curug Luhur, selain Curug Cikondang yang sudah kondang itu. Curug Luhur masih ’’perawan’’. Wajar karena letaknya tersembunyi di antara bukit dan rerimbun pepohonan. Aksesnya pun cukup sulit dan lama, tapi tidak akan mengecewakan. Pemandangannya kece. Cocok bagi Anda yang suka bertualang. Eksplorasi curug bisa Anda lakukan sebelum atau sesudah naik Gunung Padang. Nah, untuk mencapai puncak Gunung Padang, wisatawan hanya dikenai tiket Rp 4.000. Terletak di ketinggian 885 mdpl, situs megalitikum yang konon tertua di dunia itu puluhan ribu tahun menyimpan kisahnya sendiri. Dikelilingi bukit-bukit, diselimuti kabut. Pagi itu, tubuh sedikit hangat ketika matahari menyembul di balik rimbun pepohonan. Menggeliat. Selain susunan batu-batu andesit di Gunung Padang, ada beberapa yang tidak kalah menarik. Sebut saja batu musik, tapak kujang (senjata tradisional Jawa Barat), dan tapak maung (macan). Maung di sini ada yang mengartikan sebagai ma dan ung yang berarti manusia unggul. Punden berundak ini tersusun atas lima teras yang memiliki filosofi masing-masing. Teras 1 adalah pintu masuk atau gerbang. Teras 2 merupakan tingkat jiwa sosial yang saling mengasihi, disimbolkan dengan Bukit Mahkuta Dunia. Teras 3 menjadi ’’strata” manusia unggul yang dilambangkan dengan tapak maung tadi. Kemudian, teras 4 merupakan bukit keinginan. Konon, siapa yang bisa mengangkat batu kanuragan di situ, keinginannya akan terkabul. Nah, tingkat spiritualitas tertinggi adalah teras 5. Di sini, terdapat singgasana raja, Prabu Siliwangi. Singgasana ini pun tepat menghadap ke Gunung Gede, pusat kepercayaan warga setempat sebelum ada agama. Bahkan, dalam kitab Musarar, Asmarandana bait 12, disebutkan bahwa Prabu Jayabaya pernah tetirah ke Gunung Padang melalui Ujung Galuh, membelah Laut Jawa, dan meneruskan lewat jalur darat. Sekembalinya ke Kediri, Prabu Jayabaya memerintahkan untuk membangun Goa Selomangleng. Sebuah ritus batin (?) Ya, selain tumpukan dan susunan batu-batu yang artistik, mitos dan fakta yang ingin diungkap pihak terkait memang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi Gunung Padang. Termasuk saya. Gunung Padang lebih ramai saat sore. Tapi, bagi Anda yang ingin mencari ketenangan sambil menikmati alam seperti saya, datanglah ketika pagi masih buta, menyeduh kopi, sambil menunggu matahari terbit. Merasakan kehangatan sinar matahari pertama di hari baru, di puncak peradaban. (*) Cianjur, Februari 2016 Dimuat di koran Jawa Pos rubrik Traveling Situs Gunung Padang, Pusat Peradaban yang (Belum) Terungkap ADA semacam siut tak terartikan saat kaki mulai menapaki satu per satu anak tangga ini. Pagi masih berderik, terlalu dini. Gelap. Sebuah perjalanan, menghadap Sang Prabu. Alunan gamelan sayup-sayup terdengar, terbawa angin –dalam kepalaku. Berkelindan dengan helaan napas. Entah sudah berapa anak tangga saya lalui hingga mencapai bukit ini. Gunung Padang. Timbunan harta karun, Atlantis yang hilang, ’’eyang’’-nya Piramida di Mesir, konon. Untuk mencapai Gunung Padang tidak terlalu sulit. Saya hanya perlu naik KRL Jakarta–Bogor. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan dengan KA Pangrango menuju Stasiun Lampegan di Cianjur. Bahkan, bagi Anda yang ekstrasibuk, perjalanan ini bisa ditempuh hanya dalam sehari semalam pergi-pulang. Nah, di Stasiun Lampegan, jangan buru-buru naik. Di situ, ada terowongan bersejarah yang bagus untuk sekadar ber- selfie . Ini adalah terowongan pertama yang dibangun di Jawa Barat (1879–1882). Setelah itu, saya baru naik ke Desa Karyamukti, Cianjur, pos perizinan Gunung Padang, menggunakan jasa ojek. Ojek bisa disebut transportasi satu-satunya (kecuali bawa kendaraan sendiri). Jarak sekitar setengah jam tidak akan terasa. Sebab, selama perjalanan, hamparan kebun teh akan menyambut. Harum. Di sekitar Desa Karyamukti, sebenarnya ada beberapa objek wisata lain. Misalnya Curug Luhur, selain Curug Cikondang yang sudah kondang itu. Curug Luhur masih ’’perawan’’. Wajar karena letaknya tersembunyi di antara bukit dan rerimbun pepohonan. Aksesnya pun cukup sulit dan lama, tapi tidak akan mengecewakan. Pemandangannya kece. Cocok bagi Anda yang suka bertualang. Eksplorasi curug bisa Anda lakukan sebelum atau sesudah naik Gunung Padang. Nah, untuk mencapai puncak Gunung Padang, wisatawan hanya dikenai tiket Rp 4.000. Terletak di ketinggian 885 mdpl, situs megalitikum yang konon tertua di dunia itu puluhan ribu tahun menyimpan kisahnya sendiri. Dikelilingi bukit-bukit, diselimuti kabut. Pagi itu, tubuh sedikit hangat ketika matahari menyembul di balik rimbun pepohonan. Menggeliat. Selain susunan batu-batu andesit di Gunung Padang, ada beberapa yang tidak kalah menarik. Sebut saja batu musik, tapak kujang (senjata tradisional Jawa Barat), dan tapak maung (macan). Maung di sini ada yang mengartikan sebagai ma dan ung yang berarti manusia unggul. Punden berundak ini tersusun atas lima teras yang memiliki filosofi masing-masing. Teras 1 adalah pintu masuk atau gerbang. Teras 2 merupakan tingkat jiwa sosial yang saling mengasihi, disimbolkan dengan Bukit Mahkuta Dunia. Teras 3 menjadi ’’strata” manusia unggul yang dilambangkan dengan tapak maung tadi. Kemudian, teras 4 merupakan bukit keinginan. Konon, siapa yang bisa mengangkat batu kanuragan di situ, keinginannya akan terkabul. Nah, tingkat spiritualitas tertinggi adalah teras 5. Di sini, terdapat singgasana raja, Prabu Siliwangi. Singgasana ini pun tepat menghadap ke Gunung Gede, pusat kepercayaan warga setempat sebelum ada agama. Bahkan, dalam kitab Musarar, Asmarandana bait 12, disebutkan bahwa Prabu Jayabaya pernah tetirah ke Gunung Padang melalui Ujung Galuh, membelah Laut Jawa, dan meneruskan lewat jalur darat. Sekembalinya ke Kediri, Prabu Jayabaya memerintahkan untuk membangun Goa Selomangleng. Sebuah ritus batin (?) Ya, selain tumpukan dan susunan batu-batu yang artistik, mitos dan fakta yang ingin diungkap pihak terkait memang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi Gunung Padang. Termasuk saya. Gunung Padang lebih ramai saat sore. Tapi, bagi Anda yang ingin mencari ketenangan sambil menikmati alam seperti saya, datanglah ketika pagi masih buta, menyeduh kopi, sambil menunggu matahari terbit. Merasakan kehangatan sinar matahari pertama di hari baru, di puncak peradaban. (*) 23 Februari 2016
- Berkenalan dengan Gie dan Semeru
SAYA pertama kali melihat sosok Gie muda memakai kaos oblong sedang membaca buku dengan sampul warna merah bertuliskan ‘Soekarno’. Itu sekitar tahun 1956 dimana rakyat sedang gencar-gencarnya meneriakkan kata ‘Revolusi’ akibat ketimpangan dan kesewenang-wenangan pemerintah. Di saat gejolak politik seperti itulah saya melihat sosok Gie kemudian tubuh menjadi seorang idealis dan pemberontak. Tentu saja saya tidak menyaksikan secara langsung apa yang saya ceritakan di atas. Pada tahun itu mungkin roh saya masih asik bermain dan bercengkerama dengan Tuhan di alam surga. Saya menyaksikan itu lewat sebuah film berjudul “Gie” sekitar tahun 2007 akhir. Film yang diproduksi tahun 2005 itu digarap oleh sutradara handal. Film ini mengisahkan seorang tokoh bernama Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia yang lebih dikenal sebagai demonstran dan pecinta alam.cFilm ini diangkat dari buku Catatan Seorang Demonstran karya Gie sendiri, namun ditambahkan beberapa tokoh fiktif agar ceritanya lebih dramatis. Menurut Riri Riza, hingga Desember 2005, 350.000 orang telah menonton film ini. Pada Festival Film Indonesia 2005, Gie memenangkan tiga penghargaan, masing-masing dalam kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik (Nicholas Saputra), dan Penata Sinematografi Terbaik (Yudi Datau). Tumbuh di lingkungan keluarga keturunan Cina minoritas – serta pergolakan politik – Gie muda tumbuh sebagai pemuda yang selalu ingin tahu. Keingintahuannya yang kuat membuat dia banyak melahap buku, mulai dari politik, biografi tokoh-tokoh berpengaruh, filsafat, dan sastra. Karena kebiasaannya itu pula Gie tumbuh menjadi pemuda yang memiliki karakter kuat, berpendirian, dan pada akhirnya menjadi pemberontak terhadap kesewenang-wenangan. Dalam film ini digambarkan jiwa pemberontak Gie pada sikap otoriter pejabat di sebuah lembaga sudah mulai terlihat saat dia berada di bangku sekolah. Dia mendebat guru bahasa Indonesia dan sastra yang dia anggap tidak kompeten dalam bertugas: Gie: “Pak, bukankah ada perbedaan antara pengarang dengan penterjemah?” Guru: “Tapi dia bisa dikatakan pengarang karena sang pengarang aslinya tidak dikenal di sini. Jadi, dapatlah dikatakan Chairil adalah pengarang ‘Pulanglah Dia Si Anak Hilang’.” Gie: “Tidak bisa. Tetap saja kita katakan kalau dia seorang penterjemah, bukan seorang pengarang. Dan lagi pula pengarang aslinya Andrey Gide dikenal disini.” Guru: “Kamu tahu, tapi yang lainnya?” (melihat ke salah satu murid lain) “Yan, kamu kenal Andrey Gide?” (murid yang ditanya menggeleng) Gie: “Tukang becak juga tidak mengenal Chairil.” Guru: “Kamu yang tukang becak!” (guru bertambah emosi) Gie: “Ya saya sama dengan tukang becak sebagai manusia.” Karena tindakannya itu Gie dihukum dan nilai ujiannya pun dicurangi oleh guru tersebut. Kejadian itu bisa dijadikan sebuah titik balik persentuhan Gie muda dengan seorang guru (yang bisa dikatakan pejabat dalam lingkungan sekolah) yang otoriter dan sewenang-wenang dalam bertindak di ruang lingkupn yang lebih kecil seperti sekolah. Dendam pun mulai membatu. Tidak mau menyerah dan tunduk, Gie memutuskan pindah sekolah. “Kita nggak mungkin bisa hidup bebas begini kalau bukan karena melawan. Soekarno, Hatta, Syahrir, mereka semua berani memberontak dan melawan. Mereka semua berani melawan kesewenang-wenangan.” Gie semakin banyak membaca, bukan hanya buku, tetapi juga membaca kehidupan di lingkungan sosialnya yang penuh dengan kesemrawutan, kesewenang-wenangn, ketidakadilan, dan ketimpangan social membuat Gie membulatkan tekat: lawan! Memasuki tahun 1959, keadaan politik semakin meruncing. Teror dan pembunuhan ada di mana-mana, keadilan semakin runtuh, dan kemiskinan menjerat leher-leher rakyat. Saat itulah Gie yang bersekolah SMA di Collese Canisius mulai secara langsung menyampaikan kritikan tajam kepada pemerintah lewat tulisan di mading sekolah. Saat masuk di Universitas Indonesia jurusan Sejarah, Gie semakin menjadi sosok yang idealis. Tulisannya mulai sering dimuat Koran nasional, tentu saja berisi kritik pedas terhadap pemerintahan Soekarno. Memasuki tahun 1963, kondisi semakin kacau dengan pergulatan antara ABRI dan PKI. Gie semakin gencar melancarkan kritik pada pemerintah, baik lewat tulisannya di koran maupun di kelompok diskusi. Karena keberaniannya itu, dia menjadi salah satu orang yang “diawasi” dan tak jarang menerima teror. Termasuk teror berupa surat kaleng berbunyi “Cina tak tahu diri, pulang sana ke Negara asalmu!”. Meskipun membenci politik, pada suatu ketika dia juga terlibat dalam gerakan politik meskipun pada akhirnya dia menyesalinya. Selain menjadi aktivis yang lantang menuntut kesejahteraan dan keadilan, Gie juga membentuk kelompok diskusi dan nonton film di kampus. Film yang ditonton juga tidak jauh-jauh dari tema politik, kemanusiaan, budaya maupun agama. Selain itu, Gie mencetuskan komunitas mahasiswa pecinta alam pertama kali. Setelah selesai dari universitas dia sempat mengajar di almamaternya, tapi kebrobrokan sistem membuat dia risau tentang masa depan para pemuda. Dia mulai mengkritik kinerja sesama dosen dan lembaga secara keseluruhan. Kritikan itu semakin membuat Gie terpojokkan di lingkungannya sendiri, tapi dia tidak peduli dan memiliki pandangan yang tegas “lebih baik saya diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan”. Mengambil setting sejarah besar pergolakan politik Indonesia, film Gie memang bisa dijadikan salah satu kokumen sejarah, dan media film membuat hal itu menjadi lebih menarik jika dibandingkan dengan buku sejarah misalnya. Namun, ada hal lain yang menarik dari pandangan saya selain aktivitas Gie di dunia politik, yaitu sosok Gie sebagai laki-laki dan hubungannya dengan perempuan dan sumbangsih Gie dalam terbentuknya kelompok pecinta alam untuk pertama kalinya. MAPALA UI Mapala UI adalah salah satu mapala yang dikenal sebagai pionir berdirinya mapala di Indonesia. Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki mapala baik di tingkat universitas maupun fakultas hingga jurusan. Sebelum dibentuk Mapala, di Fakultas Sastra UI (kini Fakultas Ilmu Budaya), sudah ada kelompok-kelompok mahasiswa yang gemar bertualang di alam bebas. Mereka yang terdiri dari mahasiswa Arkeologi dan Antropologi yang banyak turun ke lapangan serta mereka yang pernah tergabung dalam organisasi kepanduan. Sayangnya kelompok-kelompok ini tidak terkordinir dengan baik dalam statu wadah dan mereka juga tidak pernah membuka diri dengan peminat-peminat baru di luar jurusannya. Soe Hok Gie adalah orang yang mencetuskan ide pembentukan suatu organisasi yang dapat menjadi wadah untuk mengkoordinir kelompok-kelompok tadi, termasuk kegiatan mereka di alam bebas. Gagasan ini mula-mula dikemukakan Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964, ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Adapun organisasi yang diidamkan Gie itu merupakan organisasi yang dapat menampung segala kegiatan di alam bebas, dan ini dikhususkan bagi mahasiswa FSUI saja. Dalam pertemuan tanggal 8 Nopember 1964 itu, gagasan Sdr. Soe mendapat sambutan baik di kalangan mahasiswa FSUI yang senang ”keluyuran” di alam bebas”. Dalam pertemuan yang dihadiri juga Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI, terbentuklah IMAPALA (Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam). Karena dirasa mewakili nama yang terlalu borjuis (dan saat itu borjuis adalah sasaran pengganyangan) maka diubah IMAPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA (Mahaisiwa Pecinta Alam) dan Prajnaparamita berarti dewi pengetahuan. Sampai tahun 1970-an, di beberapa fakultas di UI terdapat beberapa organisasi pencinta alam antara dan untuk menyatukan diri di bawah bendera MAPALA UI yang sudah oleh Rektor UI (Prof. DR. Sumantri Brojonegoro (Alm.)) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa. Selanjutnya seiring perjalanan waktu, proses perekrutan anggota mapala dilakukan secara sisitematis dan profesional berdasarkan pengalaman organisasi dan riset akademis. Alam menjadi “pelarian” dan tempat terbaik untuk mengenal diri sendiri. Alam juga menjadi tempat Gie dalam mengasingkan diri dari pergolakan politik yang rakus. Gie yang suka menulis buku harian (yang kemudian menjadi sumber terbitnya beberapa bukunya) juga menulis kutipan dari Walt Whitman dalam catatan hariannya saat memimpin pendakian gunung Slamet: “ Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth.” Gie, Aktivis Garang yang Melankolis Minat Gie yang besar terhadap politik dan filsafat membuat dia tumbuh menjadi sosok yang garang melawan kesewenang-wenangan, tetapi tidak demikian jika berhadapan dengan perempuan. Di depan perempuan, Gie menjadi sosok pemalu dan selalu salah tingkah. Pada saat seperti itu tak terlihat sosok Gie yang garang. Gie juga dapat dikatakan sosok yang melankolis jika membaca sajak-sajaknya. Selain politik dan filsafat, Gie gemar membaca buku-buku sastra, maka tidak heran kalau sajak-sajak Gie bisa dibilang setara penyair yang populer seperti Chairil Anwar. Dan tidak bisa dipungkiri, sosok perempuan bernama Ira menjadi penting bagi dia dalam lahirnya sajak-sajak tersebut. Gie mengenal Ira (gadis manis yang diam-diam merebut hatinya) saat masuk universitas. Sebagai sahabat, mereka sering terlibat dalam diskusi setelah nonton film. Mereka juga sama-sama menyukai puisi dan naik gunung. Intensitas pertemuan itu membuat timbul rasa cinta di antara keduanya, tapi entah karena apa dari keduanya tak pernah keluar pernyataan cinta. Masing-masing dari mereka masih ingin mencintai di balik status persahabatan. Namun, pada suatu ketika, setelah perkenalannya dengan perempuan-perempuan lain, ada keinginan kuat dalam dirinya untuk berterus terang: “Aku tak tahu mengapa, aku merasa agak melankoli malam ini. Aku melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas Jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan. Semuanya terasa mesra tapi kosong. Seolah-olah aku merasa diriku yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasaiku. Aku ingin memberikan suatu rasa cinta pada manusia…” Dari beberapa gunung, Pangrango mungkin menjadi gunung yang paling berkesan bagi Gie. Lembah Mandala Wangi yang berada di gunung ini masuk dalam sajak yang dia tulis: Sebuah Tanya “akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui apakah kau masih berbicara selembut dahulu? memintaku minum susu dan tidur yang lelap? sambil membenarkan letak leher kemejaku” (kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram meresapi belaian angin yang menjadi dingin) “apakah kau masih membelaiku semesra dahulu ketika ku dekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat” (lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita) “apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta?” (haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu) “manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru” Selain lewat sajak puitis yang dia tulis di buku hariannya ini Gie tak pernah memiliki kesempatan lagi untuk mengungkapkan perasaannya kepada Ira sampai dia bersama Herman O lantang dan Idhan Lubis pergi ke Semeru seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Lewat sosok garang tapi pemalu di depan perempuan yang dia cintai inilah pertama kali saya mengenal Semeru, tempat tertinggi di Jawa. Namun, tidak ada yang menyangka kalau Semeru menjadi tempat pertama dan terakhir yang dia daki di bulan Desember 1969. Gie menghembuskan napas terakhirnya di sana, menyatu bersama alam. Dari puncak tertinggi di Jawa itulah, sebuah sajak cinta seperti terkirim untuk kekasih hatinya Ira: ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra tapi aku ingin mati di sisimu manisku setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu mari, sini sayangku kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku tegakklah ke langit luas atau awan mendung kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah kehilangan apa-apa nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan yang kedua, dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah berumur tua berbahagialah mereka yang mati muda makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada berbahagialah dalam ketiadaanmu” makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada berbahagialah dalam ketiadaanmu” Lembah Mandala Wangi di Pangrango menjadi tempat favorit yang kembali mengiasi baris sajaknya. Mungkin juga di sanalah cinta Gie pada Ira bersemi bersama kelopak-kelopak abadi Edelweiss. Itulah pesan terakhir darinya untuk Ira, gadis yang menunggu di sudut Jakarta. Atau bisa jadi pesan bagi dirinya sendiri dari alam. Setelah meninggal di puncak Mahameru tanggal 16 Desember 1969, jenazah Gie dimakamkan di Menteng Pulo. Namun, pada 24 Desember 1969 jenazahnya dipindahkan ke Perkuburan Kober, Tanah Abang agar dekat dengan makam ibunya. Karena ada proyek pembangunan prasasti, makam Gie terpaksa digusur. Keluarga dan kawan-kawan Gie pun sepakat untuk menumbuk tulang-belulang Gie dan kemudian di sebar di antara bunga-bunga Edelweiss lembah Mandala Wangi, Pangrango. Di situlah biasanya Gie merenung seperti sebuah patung. Gie telah mengenalkanku pada Semeru, atap tertinggi Jawa. Dalam sajaknya, dia seperti telah menuliskan takdirnya sendiri. Di atap tertinggi pulau Jawa, beralaskan pasir, berselimut dingin, dan beratapkan langit biru, di pangkuan sahabatnya Herman O Lantang, Gie telah meninggal dengan bahagia di usianya yang masih muda (tepat sebelum ulang tahun ke-27). Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda. Makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada.Berbahagialah dalam ketiadaanmu . Dan sejak saat ini juga, timbul keinginan suatu saat nanti untuk menziarahimu di antara bunga-bunga abadi Edelweiss di lembah Mandala Wangi dan di puncak tertinggi pulau Jawa. (*)
- JELAJAH JOGJA: Taman Sari, Istana Pemandian Istri Raja
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Sejarah Taman Sari Jogja Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Taman ini fungsinya mirip dengan Kebun Raya Bogor sebagai kebun Istana Bogor. Taman Sari dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758–1765/9. Awalnya, taman berjuluk The Fragrant Garden ini memiliki luas lebih dari 10 hektare dengan sekitar 57 bangunan. Baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air. Kebun yang digunakan secara efektif antara 1765–1812. Konon, Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati, yang didirikan Susuhunan Paku Buwono II sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan pergi ke Imogiri. Proyek pembangunan Taman Sari dipimpin Tumenggung Mangundipuro. Seluruh biayanya ditanggung Bupati Madiun Tumenggung Prawirosentiko beserta seluruh rakyatnya. Meski secara resmi sebagai kebun kerajaan, beberapa bangunan mengindikasikan bahwa Taman Sari juga berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir jika istana diserang musuh. Kompleks Taman Sari dapat dibagi menjadi empat bagian. Bagian Pertama Bagian pertama merupakan bagian utama Taman Sari pada masanya. Dulu, tempat ini merupakan tempat yang paling eksotis. Bagian ini terdiri dari danau buatan yang disebut Segaran (laut buatan) serta bangunan di tengahnya. Ada pula bangunan serta taman dan kebun di sekitar danau. Selain untuk memelihara ikan, Segaran juga difungsikan sebagai tempat bersampan sultan dan keluarga kerajaan. Sekarang danau buatan ini menjadi permukiman padat yang dikenal dengan Kampung Taman. Pulo Kenongo Di tengah-tengah Segaran, terdapat pulau buatan Pulo Kenongo yang ditanami pohon kenanga. Di atas pulau itu didirikan Gedhong Kenongo berlantai dua. Konon, Gedhong Kenongo terdiri atas beberapa ruangan dengan fungsi berbeda. Dari jauh, gedung ini seperti mengambang di atas air. Karena itu, Taman Sari kemudian dijuluki sebagai Istana Air (Water Castle). Kini, gedung ini hanya menyisakan puing-puing. Pulo Cemethi dan Sumur Gumuling Di sebelah selatan Pulo Kenongo, ada pulau buatan lagi yang disebut Pulo Cemethi. Bangunan berlantai dua ini juga disebut sebagai Pulo Panembung. Di tempat inilah konon sultan bermeditasi. Ada juga yang menyebutnya Sumur Gumantung. Sebab, di sebelah selatannya terdapat sumur yang menggantung di atas permukaan tanah. Untuk sampai ke tempat ini, konon caranya adalah melalui terowongan bawah air. Saat ini, bangunan tersebut sedang direnovasi. Sementara itu, di sebelah barat Pulo Kenongo, ada bangunan berbentuk lingkaran seperti cincin yang disebut Sumur Gumuling. Bangunan berlantai dua ini hanya dapat dimasuki melalui terowongan bawah air. Sumur Gumuling pada masanya juga difungsikan sebagai masjid. Di kedua lantainya ditemukan ceruk di dinding yang konon digunakan sebagai mihrab, tempat imam memimpin salat. Di bagian tengah bangunan yang terbuka, terdapat empat buah jenjang naik dan bertemu di bagian tengah. Dari pertemuan keempat jenjang tersebut terdapat satu jenjang lagi yang menuju lantai dua. Di bawah pertemuan empat jenjang tersebut terdapat kolam kecil yang konon digunakan untuk berwudu. Bagian Kedua Bagian kedua terletak di sebelah selatan danau buatan Segaran. Ini merupakan bagian yang relatif paling utuh. Bagian yang tetap terpelihara adalah bangunan. Taman dan kebun tidak tersisa lagi. Sekarang bagian ini merupakan bagian utama yang banyak dikunjungi wisatawan. Gedhong Gapura Hageng Ini merupakan pintu gerbang utama taman raja-raja pada zamannya. Kala itu, Taman Sari menghadap ke barat. Gerbang ini terdapat di bagian paling barat dari situs istana air yang tersisa. Gerbang yang mempunyai beberapa ruang dan dua jenjang ini berhias relief burung dan bunga-bungaan yang menunjukkan tahun selesainya pembangunan Taman Sari pada tahun 1691 Jawa (kira-kira tahun 1765 Masehi). Gedhong Lopak-Lopak Di sebelah timur gerbang utama kuno Taman Sari, terdapat halaman persegi delapan. Dulu, di tengah halaman ini, berdiri menara berlantai dua bernama Gedhong Lopak-Lopak. Per Januari 2008, gedung ini sudah tidak ada lagi. Di halaman ini hanya tersisa deretan pot bunga raksasa serta pintu-pintu yang menghubungkan tempat ini dengan tempat lain. Pintu di sisi timur halaman persegi delapan tersebut merupakan salah satu gerbang menuju Umbul Binangun. Umbul Pasiraman Umbul Pasiraman atau Umbul Binangun (baca: Umbul Winangun) merupakan kolam pemandian bagi sultan, permaisuri, para istri ( garwo ampil ), serta para putri raja. Kompleks ini dikelilingi tembok yang tinggi. Di kompleks Umbul Pasiraman, terdapat tiga kolam yang dihiasi dengan mata air yang berbentuk jamur. Di sekeliling kolam terdapat pot bunga raksasa. Di sisi paling utara, ada bangunan untuk istirahat dan berganti pakaian bagi para putri dan istri (selir). Di sebelah selatannya, terdapat kolam bernama Umbul Muncar. Sebuah jalan mirip dermaga menjadi batas antara kolam ini dengan kolam di selatannya yang disebut Blumbang Kuras. Di selatan Blumbang Kuras, terdapat bangunan dengan menara di bagian tengahnya. Bangunan sayap barat merupakan tempat berganti pakaian dan sayap timur untuk istirahat sultan. Menara di bagian tengah, konon digunakan sultan untuk melihat istri dan puterinya yang sedang mandi. Di selatan bangunan tersebut, terdapat sebuah kolam yang disebut dengan Umbul Binangun, sebuah kolam pemandian yang dikhususkan untuk sultan dan permaisurinya. Gedhong Sekawan Di timur Umbul Pasiraman, ada halaman persegi delapan yang dihiasi deretan pot bunga raksasa. Di sini, berdiri empat bangunan yang serupa. Bangunan ini bernama Gedhong Sekawan. Tempat ini digunakan sultan dan keluarganya untuk beristirahat. Di setiap sisi halaman, terdapat pintu yang menghubungkan dengan halaman lain. Gedhong Gapuro Panggung Di sebelah timur halaman persegi delapan tersebut, terdapat bangunan bernama Gedhong Gapura Panggung. Bangunan ini memiliki empat jenjang, dua di sisi barat dan dua di sisi timur. Dulu, di bangunan ini, terdapat empat patung naga. Namun, sekarang hanya tersisa dua patung. Gedhong Gapura Panggung melambangkan tahun dibangunnya Taman Sari, yaitu tahun 1684 Jawa (kira-kira tahun 1758 Masehi). Sisi timur bangunan ini sekarang menjadi pintu masuk situs Taman Sari. Gedhong Temanten Di tenggara dan timur laut Gedhong Gapuro Panggung, terdapat bangunan yang disebut Gedhong Temanten. Dulu, bangunan ini digunakan sebagai tempat penjaga keamanan bertugas dan tempat istirahat. Menurut sebuah rekonstruksi Taman Sari, di selatan bangunan ini, terdapat bangunan lagi yang sekarang tidak ada bekasnya. Sedangkan di sisi utaranya terdapat kebun yang juga telah berubah menjadi permukiman penduduk. Bagian Ketiga Bagian ini tidak banyak meninggalkan bekas yang dapat dilihat. Karena itu, deskripsi di bagian ini sebagian besar berasal dari rekonstruksi. Dulu, bagian ini meliputi Kompleks Pasarean Dalem Ledok Sari dan Kompleks Kolam Garjitawati serta beberapa bangunan lain dan taman. Pasarean Dalem Ledok Sari merupakan sisa dari bagian ini yang tetap terjaga. Kono, pasarean ini merupakan tempat tidur sultan bersama pemaisurinya. Versi lain mengatakan sebagai tempat meditasi. Bangunannya berbentuk seperti huruf U. Di tengah bangunan, terdapat tempat tidur sultan yang di bawahnya mengalir aliran air. Di sebelah baratnya, dulu terdapat Kompleks Kolam Garjitawati. Jika hal itu benar, kompleks ini merupakan sisa pesanggrahan Garjitawati dan kemungkinan besar juga merupakan Umbul Pacethokan yang pernah digunakan Panembahan Senopati. Bagian Keempat Bagian terakhir ini merupakan bagian Taman Sari yang praktis tidak tersisa lagi kecuali bekas jembatan gantung dan sisa dermaga. Deskripsi di bagian ini hampir seluruhnya merupakan hasil rekonstruksi sketsa serangan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada tahun 1812. Bagian ini terdiri atas danau buatan beserta bangunan di tengahnya, taman di sekitar danau buatan, kanal besar yang menghubungkan danau buatan ini dengan danau buatan di bagian pertama, serta kebun. Danau buatan terletak di sebelah tenggara kompleks Magangan sampai timur laut Siti Hinggil Kidul. Di tengahnya terdapat pulau buatan yang konon disebut Pulo Kinupeng. Di atas pulau tersebut, berdiri bangunan yang konon disebut Gedhong Gading. Bangunan yang menjulang tinggi ini disebut sebagai menara kota (Cittadel Tower). Kanal besar terdapat di sisi barat laut dari danau buatan dan memanjang ke arah barat serta berakhir di sisi tenggara danau buatan di bagian pertama. Di kanal ini, terdapat dua penyempitan yang diduga keras merupakan letak jembatan gantung. Salah satu jembatan tersebut berada di jalan yang menghubungkan kompleks Magangan dengan Kamandhungan Kidul. Bekas-bekas dari jembatan ini masih dapat disaksikan walaupun jembatannya telah lenyap. Di sebelah barat jembatan gantung, terdapat dermaga. Dermaga ini konon digunakan sultan sebagai titik awal perjalanan masuk Taman Sari. Konon, sultan masuk ke Taman Sari dengan bersampan. Di sebelah selatan kanal terdapat kebun. Kebun ini berlokasi di sebelah barat kompleks Kamandhungan Kidul dan Siti Hinggil Kidul. Kini, semua tempat itu telah menjadi permukiman penduduk. Kebunnya telah berubah menjadi Kampung Ngadisuryan, sedangkan danau buatan berubah menjadi Kampung Segaran. Mitos Ada mitos yang beredar di masyarakat Yogyakarta bahwa konon katanya lorong di Taman Sari bisa tembus sampai pantai selatan. Ada dua lorong bawah tanah di kawasan Taman Sari. Urung-Urung Timur dan Urung-Urung Sumur Gumuling. Lorong timur sepanjang 45 meter menghubungkan Pulo Panembung dan Pulo Kenanga. Sedangkan Urung-Urung Sumur Gumuling memiliki panjang 39 meter. Di bagian yang hampir mencapai ujung lorong, ada mata air bernama Sumur Gumuling yang dikelilingi lima anak tangga. Tepat di atas mata air ini adalah masjid bawah tanah. Konon, menurut cerita turun-temurun, Lorong Sumur Gumuling dapat tembus hingga ke pantai laut selatan. Bahkan mitos lainnya menyebutkan bahwa Sumur Gumuling adalah tempat pertemuan Ratu Pantai Selatan atau Nyi Roro Kidul dengan Sultan Yogyakarta. Sedangkan, menurut salah seorang pengawas Taman Sari (yang diwawancarai detik.com ) mengatakan, Sri Sultan Hamengkubuwono I membangun keraton dalam satu sumbu lurus imajiner, yang terhubung dengan Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis. Sultan berharap ketiganya dapat bersinergi. Lokasi dan Tiket Secara administrasi, Kampung Wisata Taman Sari berada di Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta. Untuk tiket masuk Taman Sari dikenai Rp 5.000. Kalau membawa kamera profesional, ada biaya tiket kamera sekitar Rp 2.000. Untuk tarif parkir kendaraan Rp 2 000 untuk motor, dan Rp 5.000 untuk mobil. Harga tiket masuk dan lainnya dapat berubah sewaktu-waktu. Kawasan wisata ini buka setiap hari mulai pukul 09.00–15.00 WIB. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018
- JELAJAH JOGJA: Museum Benteng Vredeburg, Saksi Bisu Perjuangan Indonesia
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Sejarah Benteng Vredeburg Berdirinya Benteng Vredeburg Yogyakarta berterkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu. Belanda mulai khawatir saat melihat pesatnya kemajuan keraton yang didirikan Sultan Hamengku Buwono I. Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan agar diizinkan membangun benteng di dekat keraton. Belanda berdalih agar dapat menjaga keamanan keraton dan sekitarnya. Namun, niat sebenarnya Belanda ingin lebih mudah dalam mengontrol segala perkembangan di dalam keraton. Dapat dikatakan bahwa benteng tersebut didirikan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka dan memusuhi Belanda. Pembangunan benteng ini (1760) dikerjakan di bawah pengawasan ahli ilmu bangunan Belanda bernama Ir. Frans Haak. Awalnya, status tanahnya merupakan milik kasultanan. Tetapi, dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC). Benteng ini disempurnakan pada tahun 1767 dan baru selesai pada 1787. Setelah selesai, benteng ini diberi nama Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan. Pada periode ini, secara yuridis formal, status tanah tetap milik kasultanan. Namun, secara de facto , penguasaan benteng dan tanahnya dipegang Belanda. Saat VOC bangkrut pada tahun 1799, penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga, secara de facto , menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda. Ketika Inggris berkuasa di Indonesia (1811–1816), untuk sementara benteng ini dikuasai Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat, Belanda dapat mengambil alih. Pada tahun 1867, benteng ini runtuh karena gempa. Setelah selesai bangunan ulang, nama benteng diganti menjadi Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu. Sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Akhirnya, benteng ini dikuasai tentara Jepang pada tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang yang ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei, yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam. Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942–1945. Benteng ini juga difungsikan sebagai gudang mesiu, senjata, dan rumah tahanan musuh. Masa Kemerdekaan Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan pelucutan senjata Jepang. Karena Jepang masih kuat, terjadi kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Setelah benteng dikuasai RI, penanganannya diserahkan kepada militer untuk asrama dan markas pasukan. Pada 15 Juli 1981, Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Hal itu dipertegas pada 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan nasional. Pada 23 November 1992, Benteng Vredeburg diresmikan menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta. Pada tahun 2014, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan buku berisi koleksi unggulan museum di Yogyakarta. Salah satunya adalah Museum Benteng Vredeburg. Koleksi unggulan museum ini, antara lain, Diorama pelantikan Soedirman sebagai panglima besar TNI, minirama Kongres Boedi Oetomo, dan mesin ketik Surjopranoto. Ada juga tiga kendil yang konon pernah digunakan Soedirman ketika tinggal di rumah Ibu Mertoprawira. Kemudian, dokumen Soetomo, dan bangku militer akademi. Arsitektur Benteng ini dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu. Bangunan ini dikelilingi parit (jagang) yang sebagian bekas-bekasnya telah direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai bastion (menara pantau) di keempat sudutnya. Lokasi dan Tiket Museum Benteng Vredeburg terletak di depan Gedung Agung dan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Secara administrasi, museum ini berada di Jalan Margo Mulyo No.6, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana museum pada umumnya, Museum Benteng Vredeburg beroperasi setiap hari kecuali hari Senin pada pukul 07.30–16.00 WIB. Harga tiket masuk ke kawasan ini antara Rp 2.000 sampai Rp 10.000 tergantung kategorinya. Untuk anak dikenai Rp 2.000, dewasa Rp 3.000, dan turis asing Rp 10.000. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018
- JELAJAH JOGJA: Candi Sewu
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Candi Sewu Candi Sewu atau Manjusrighra adalah candi Buddha yang dibangun pada abad ke-8 Masehi. Jerjaraknya hanya 800 meter di sebelah utara Candi Prambanan. Candi Sewu merupakan kompleks candi Buddha terbesar kedua setelah Candi Borobudur di Jawa Tengah. Candi ini berusia lebih tua daripada Candi Borobudur dan Prambanan. Meskipun aslinya hanya memiliki 249 candi, oleh masyarakat setempat, candi ini dinamai sewu yang berarti seribu dalam bahasa Jawa. Penamaan ini didasarkan pada legenda Loro Jonggrang. Berdasar Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 dan Prasasti Manjusrigrha yang berangka tahun 792 dan ditemukan pada tahun 1960, nama asli candi ini adalah Prasada Vajrasana Manjusrigrha. Istilah Prasada bermakna candi atau kuil, sedangkan Vajrajasana bermakna tempat wajra (intan atau halilintar) bertakhta, sementara manjusri-grha bermakna Rumah Manjusri. Manjusri adalah salah satu Boddhisatwa dalam ajaran Buddha. Candi Sewu diperkirakan dibangun pada akhir masa pemerintahan Rakai Panangkaran. Rakai Panangkaran (746–784) adalah raja yang termahsyur dari kerajaan Mataram Kuno. Kompleks candi ini mungkin dipugar, dan diperluas pada masa pemerintahan Rakai Pikatan, seorang pangeran dari dinasti Sanjaya yang menikahi Pramodhawardhani dari dinasti Sailendra. Setelah dinasti Sanjaya berkuasa, rakyatnya tetap menganut agama sebelumnya. Adanya Candi Sewu yang bercorak Buddha berdampingan dengan Candi Prambanan yang bercorak Hindu menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu di Jawa umat Hindu dan Buddha hidup secara harmonis dan ada toleransi beragama. Karena keagungan dan luasnya kompleks candi ini, Candi Sewu diduga merupakan Candi Buddha Kerajaan, sekaligus pusat kegiatan agama Buddha yang penting pada masa lalu. Candi ini rusak parah karena gempa pada Mei 2006. Kini, setelah dipugar, perancah candi utama telah dilepas dan pengunjung dapat memasuki ruangan dalam candi utama. Kompleks Candi Sewu memiliki bentang ukuran lahan 185 meter utara-selatan dan 165 meter timur-barat. Pintu masuk kompleks ini berada di empat penjuru mata angin. Pintu utamanya terletak di sisi timur. Tiap pintu masuk dikawal sepasang arca Dwarapala. Arca raksasa penjaga berukuran tinggi sekitar 2,3 meter. Aslinya terdapat 249 bangunan candi di kompleks ini yang disusun membentuk mandala wajradhatu, perwujudan alam semesta dalam kosmologi Buddha Mahayana. Candi utama memiliki denah poligon bersudut 20 yang menyerupai salib atau silang yang berdiameter 29 meter dan tinggi bangunan mencapai 30 meter. Pada tiap penjuru mata angin, terdapat struktur bangunan yang menjorok ke luar. Masing-masing dengan tangga dan ruangan tersendiri dan dimahkotai susunan stupa. Seluruh bangunan terbuat dari batu andesit. Berdasar temuan saat pemugaran, diperkirakan rancangan awal bangunan hanya berupa candi utama berkamar tunggal. Candi ini kemudian diperluas dengan menambahkan struktur tambahan di sekelilingnya. Legenda Sebagaimana candi atau bangunan bersejarah lain, Candi Sewu juga tidak luput dari kisah, legenda, dan mitos. Candi ini juga memiliki kisah di balik nama lainnya, yakni Loro Jonggrang. Ini berkaitan dengan legenda putri Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Mirip dengan legenda Candi Prambanan. Alkisah, zaman dulu terjadi peperangan antardua kerajaan Hindu di Pulau Jawa. Lokasinya berada di daerah yang sekarang disebut Prambanan. Dua kerajaan itu adalah Kerajaan Pengging dan Keraton Boko. Kerajaan Pengging dipimpin raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo. Ia memiliki putra yang sakti mandraguna bernama Bandung Bondowoso. Sementara itu, Kerajaan Pengging diperintah raja yang kejam berwujud raksasa bernama Prabu Boko. Ia suka makan daging manusia. Meski berwujud raksasa, Prabu Boko –yang selalu dikawal seorang patih setia bernama Gupolo– memiliki putri manusia bernama Loro Jonggrang yang cantik bak seorang dewi dari kayangan. Singkat cerita, peperangan dahsyat itu dimenangi Kerajaan Pengging setelah Bandung Bondowoso yang maju ke medan pertempuran berhasil mengalahkan Prabu Boko. Sementara Patih Gupolo melarikan diri. Ketika mencari Gupolo di Kraton Boko, Bandung bertemu dengan Loro Jonggrang. Ia tertarik dengan sang putri dan berniat untuk memperistrinya. Namun, sang putri tidak mau karena pemuda itulah yang membunuh ayahnya. Jadi, Loro Jonggrang membuat siasat untuk balas dendam. Ia mau dipersunting Bandung asal bisa memenuhi dua syarat. Pertama, Loro Jonggrang meminta Bandung membuat sumur yang dalam. Namun, syarat itu sangat mudah dipenuhi Bandung. Sang putri tak habis akal. Dia kemudian meminta Bandung masuk ke sumur yang diberi nama Jala Tunda itu. Begitu berada di dalam sumur, Loro Jonggrang beserta Patih Gupolo menimbun sumur tersebut dengan batu supaya Bandung mati. Berkat kesaktiannya, Bandung bisa lolos dari maut. Sadar hendak dibunuh sang putri, Bandung pun murka. Namun, ia luruh juga dengan bujuk dan rayu sang putri. Amarahnya reda seketika. Loro Jonggrang kemudian mengajukan syarat kedua. Ia meminta dibuatkan 1.000 candi dalam semalam. Sang putri yakin kali ini Bandung akan gagal. Bandung setuju dengan permintaan sang putri. Karena memang sakti, Bandung bisa memerintahkan ribuan jin untuk mengerjakan candi tersebut. Menjelang tengah malam, ketika pembangunan sudah hampir selesai, Loro Jonggrang panik. Ia pun kembali membuat siasat. Ia menyuruh para gadis untuk membakar jerami sehingga langit menjadi lebih terang. Ayam-ayam pun berkokok. Mendengar kokok ayam, sebagai pertanda pagi segera datang, para jin pun melarikan diri. Saat itu, candi yang dibangun sudah mencapai 999 candi. Mengetahui usahanya gagal lagi karena ulah Loro Jonggrang, Bandung yang murka berat mengutuk Loro Jonggrang menjadi candi yang keseribu. Bandung juga mengutuk para gadis yang membantu membakar jerami menjadi perawan tua. Kisah ini akhirnya menciptakan mitos bahwa sepasang kekasih akan putus jika berkunjung ke Candi Prambanan. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Yang pasti, setelah mengunjungi candi ini bersama pacar, beberapa bulan kemudian kami menikah. Relief Candi Sewu memiliki relief yang berbeda-beda. Namun, ada relief unik yang bisa Anda temukan di candi ini dan hanya ditemukan pada satu Candi Perwara, tepatnya di deret 1 nomor 6. Relief tersebut berbentuk lampu zaman kuno. Relief lampu ini merupakan lambang pelita. Lampu pada zaman dulu punya tingkat kesakralan. Lampu itu diidentikkan dengan api dan api adalah salah satu benda yang wajib ada ketika masyarakat Buddha dulu melakukan sembahyang. Di bagian luar Candi Sewu, terpahat relief para makhluk surga sedang bermain musik dan menari. Relief ini bisa ditemukan ketika pengunjung berkeliling candi utama. Selain itu, terpahat berbagai gambaran dewa agama Buddha. Salah satunya adalah Dewa Penjaga Mata Angin. Sebelum memasuki bangunan candi utama, di sisi kanan dan kiri akan terdapat pahatan Makara. Kalau di candi Buddha menggambarkan Dewa Buddha. Di Candi Sewu, Makara merepresentasikan naga. Di setiap sudut candi utama, terdapat juga pahatan burung yang dikenal dengan nama Kinara Kinari. Itu merupakan motif batik pertama yang ditemukan ada di candi-candi. Hanya, jenis batik yang dipahat belum diketahui hingga saat ini. Di Candi Sewu pun ada pahatan binatang suci yang dikenal di agama Buddha seperti singa, gajah, kijang, dan lain sebagainya. Pahatan guci yang mengeluarkan teratai pun akan terlihat ketika pengunjung masuk ke bangunan candi utama. Relief ini terletak di bagian atas dari beberapa relung. Dalam agama Buddha, teratai dianggap sebagai bunga yang suci karena setiap dewa duduk di atas teratai. Teratai dipercaya sebagai tanaman yang bisa hidup di tiga dunia. Akarnya di bawah, daunnya di air, mengambang, dan bunganya di udara. Lokasi dan Tiket Secara administratif, Kompleks Candi Sewu terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Candi ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari Candi Prambanan. Jaraknya hanya 800 meter. Buka setiap hari, tiket masuk candi ini sebesar Rp 40.000 untuk dewasa dan Rp 30.000 untuk anak-anak. Nah, jika Anda masuk Candi Prambanan, Anda tidak perlu membayar tiket lagi untuk mengunjungi Candi Sewu. Waktu terbaik untuk mengunjungi candi ini adalah pagi dan sore. Karena kalau siang-siang panas banget. Untuk mengambil foto juga lebih bagus pada pagi atau sore hari. Candi ini beroperasi pada pukul 06.00–17.00. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018
- JELAJAH JOGJA: Candi Prambanan, Sebuah Bukti Cinta Abadi
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Candi Prambanan Salah satu tempat yang kami datangi adalah Candi Prambanan. Candi Hindu terbesar di Indonesia ini juga biasa disebut Candi Roro Jonggrang. Kompleks candi yang dibangun pada abad ke-9 masehi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu. Yaitu, Brahma (Dewa Pencipta), Wishnu (Dewa Pemelihara), dan Siwa (Dewa Pemusnah). Menurut prasasti Siwagrha, nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (Rumah Siwa). Memang, di ruang utama candi ini, terdapat arca Siwa Mahadewa setinggi 3 meter. Hal itu menunjukkan bahwa Dewa Siwa lebih diutamakan di candi ini. Candi Prambanan memiliki tiga keistimewaan. Pertama, ditetapkan UNESCO sebagai situs warisan dunia. Kedua, candi Hindu terbesar di Indonesia. Ketiga, menjadi salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Sebagai salah satu candi termegah di Asia Tenggara, Candi Prambanan menjadi daya tarik kunjungan wisatawan dari seluruh dunia. Legenda Sebagaimana candi atau bangunan bersejarah lain, Candi Prambanan juga tidak luput dari kisah, legenda, dan mitos. Candi Prambanan juga memiliki kisah di balik nama lainnya, yakni Candi Loro Jonggrang. Ini berkaitan dengan legenda putri Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Alkisah, zaman dulu terjadi peperangan antardua kerajaan Hindu di Pulau Jawa. Lokasinya berada di daerah yang sekarang disebut Prambanan. Dua kerajaan itu adalah Kerajaan Pengging dan Keraton Boko. Kerajaan Pengging dipimpin raja yang arif dan bijaksana bernama Prabu Damar Moyo. Ia memiliki putra yang sakti mandraguna bernama Bandung Bondowoso. Sementara itu, Kerajaan Pengging diperintah raja yang kejam berwujud raksasa bernama Prabu Boko. Ia suka makan daging manusia. Meski berwujud raksasa, Prabu Boko –yang selalu dikawal seorang patih setia bernama Gupolo– memiliki putri manusia bernama Loro Jonggrang yang cantik bak seorang dewi dari kayangan. Singkat cerita, peperangan dahsyat itu dimenangi Kerajaan Pengging setelah Bandung Bondowoso yang maju ke medan pertempuran berhasil mengalahkan Prabu Boko. Sementara Patih Gupolo melarikan diri. Ketika mencari Gupolo di Kraton Boko, Bandung bertemu dengan Loro Jonggrang. Ia tertarik dengan sang putri dan berniat untuk memperistrinya. Namun, sang putri tidak mau karena pemuda itulah yang membunuh ayahnya. Jadi, Loro Jonggrang membuat siasat untuk balas dendam. Ia mau dipersunting Bandung asal bisa memenuhi dua syarat. Pertama, Loro Jonggrang meminta Bandung membuat sumur yang dalam. Namun, syarat itu sangat mudah dipenuhi Bandung. Sang putri tak habis akal. Dia kemudian meminta Bandung masuk ke sumur yang diberi nama Jala Tunda itu. Begitu berada di dalam sumur, Loro Jonggrang beserta Patih Gupolo menimbun sumur tersebut dengan batu supaya Bandung mati. Berkat kesaktiannya, Bandung bisa lolos dari maut. Sadar hendak dibunuh sang putri, Bandung pun murka. Namun, ia luruh juga dengan bujuk dan rayu sang putri. Amarahnya reda seketika. Loro Jonggrang kemudian mengajukan syarat kedua. Ia meminta dibuatkan 1.000 candi dalam semalam. Sang putri yakin kali ini Bandung akan gagal. Bandung setuju dengan permintaan sang putri. Karena memang sakti, Bandung bisa memerintahkan ribuan jin untuk mengerjakan candi tersebut. Menjelang tengah malam, ketika pembangunan sudah hampir selesai, Loro Jonggrang panik. Ia pun kembali membuat siasat. Ia menyuruh para gadis untuk membakar jerami sehingga langit menjadi lebih terang. Ayam-ayam pun berkokok. Mendengar kokok ayam, sebagai pertanda pagi segera datang, para jin pun melarikan diri. Saat itu, candi yang dibangun sudah mencapai 999 candi. Mengetahui usahanya gagal lagi karena ulah Loro Jonggrang, Bandung yang murka berat mengutuk Loro Jonggrang menjadi candi yang keseribu. Bandung juga mengutuk para gadis yang membantu membakar jerami menjadi perawan tua. Kisah ini akhirnya menciptakan mitos bahwa sepasang kekasih akan putus jika berkunjung ke Candi Prambanan. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Yang pasti, setelah mengunjungi candi ini bersama pacar, beberapa bulan kemudian kami menikah. Arsitektur dan Relief Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping sesuai dengan arsitektur Hindu pada umumnya. Candi Siwa sebagai candi utama memiliki ketinggian mencapai 47 meter. Menjulang di tengah kompleks candi-candi yang lebih kecil. Menurut Prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan dan terus dikembangkan dan diperluas Balitung Maha Sambu pada masa kerajaan Medang Mataram. Pintu masuk kompleks bangunan ini berada di empat penjuru mata angin. Namun, pintu utamanya berada di gerbang timur. Kompleks Candi Prambanan terdiri atas 3 Candi Trimurti (Candi Siwa, Wisnu, Brahma); 3 Candi Wahana (Candi Nandi, Garuda, Angsa); serta 2 Candi Apit (terletak antara barisan candi-candi Trimurti dan candi-candi Wahana di sisi utara dan selatan). Kemudian, 4 Candi Kelir (terletak di 4 penjuru mata angin tepat di balik pintu masuk halaman dalam atau zona inti); 4 Candi Patok (terletak di 4 sudut halaman dalam atau zona inti); serta 224 Candi Perwara (tersusun dalam 4 barisan konsentris dengan jumlah candi dari barisan terdalam hingga terluar: 44, 52, 60, dan 68). Aslinya ada 240 candi besar dan kecil di Kompleks Candi Prambanan. Namun, yang tersisa hanya 18 candi. Kompleks Candi Prambanan terdiri atas tiga zona; pertama zona luar, kedua zona tengah yang terdiri atas ratusan candi, serta ketiga zona dalam yang merupakan zona tersuci tempat delapan candi utama dan delapan kuil kecil. Dari segi relief, candi ini dihiasi relief naratif yang menceritakan epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana. Relif berkisah ini diukir pada dinding sebelah dalam pagar langkan sepanjang lorong galeri yang mengelilingi tiga candi utama. Relief ini dibaca dari kanan ke kiri dengan gerakan searah jarum jam mengitari candi. Hal ini sesuai dengan ritual pradaksina , ritual mengelilingi bangunan suci searah jarum jam oleh peziarah. Di seberang panel naratif relief, di atas tembok candi di sepanjang galeri dihiasi arca-arca dan relief yang menggambarkan para dewata dan resi brahmana. Arca dewa-dewa lokapala, dewa surgawi penjaga penjuru mata angin dapat ditemukan di Candi Siwa. Sementara arca para brahmana penyusun kitab Weda terdapat di Candi Brahma. Di Candi Wishnu, terdapat arca dewata yang diapit dua apsara atau bidadari kayangan. Kemudian, di dinding luar sebelah bawah candi dihiasi barisan relung (ceruk) yang menyimpan arca singa diapit dua panil yang menggambarkan pohon hayat kalpataru. Pohon suci ini dalam mitologi Hindu-Buddha dianggap pohon yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan manusia. Kaki pohon Kalpataru ini diapit pasangan kinnara-kinnari (hewan ajaib bertubuh burung berkepala manusia), atau pasangan hewan lainnya seperti burung, kijang, domba, monyet, kuda, gajah, dan lain-lain. Singa diapit kalpataru adalah pola khas yang hanya ditemukan di Prambanan, karena itulah disebut Panil Prambanan. Lokasi dan Tiket Kompleks Candi Prambanan terletak di Kecamatan Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta dan kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah. Buka setiap hari, tiket masuk candi ini sebesar Rp 40.000 untuk dewasa dan Rp 30.000 untuk anak-anak. Waktu terbaik untuk mengunjungi candi ini adalah pagi dan sore. Karena kalau siang-siang panas banget. Untuk mengambil foto juga lebih bagus pada pagi atau sore hari. Candi ini beroperasi pada pukul 06.00–17.00. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018
- JELAJAH JOGJA: Candi Borobudur, Representasi Kemegahan dan Karya Seni Kelas Tinggi
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Candi Borobudur Borobudur merupakan candi Buddha. Candi berbentuk stupa ini didirikan para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia. Sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar. Dindingnya dihiasi 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia. Stupa utama terbesar terletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini. Stupa ini dikelilingi tiga barisan melingkar yang terdiri atas 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila. Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah. Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Tiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Kāmadhātu: Bagian kaki Borobudur yang melambangkan dunia masih dikuasai kama atau nafsu rendah. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Rupadhatu: Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri atas empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Tingkatan ini melambangkan alam, yakni antara alam bawah dan alam atas. Di bagian ini, patung-patung Buddha berada di cerukan atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar. Arupadhatu: Lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamai Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk. Dalam perjalanannya, para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan. Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan pada 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles yang saat itu menjabat Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu, Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975–1982 atas upaya pemerintah Indonesia dan UNESCO. Situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di candi ini untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan. Misteri Asal Usul Nama Borobudur Nama asli kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Begitu juga asal mula nama Borobudur yang belum jelas. Meskipun nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku Sejarah Pulau Jawa karya Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles menulis mengenai monumen bernama Borobudur. Tetapi, tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk pada Borobudur adalah Nagarakretagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1365. Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis Borobudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu, yaitu Desa Bore (Boro). Raffles juga menduga istilah Budur mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti purba (Boropurba). Namun, arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung. Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasar prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta berarti ’’Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa’’ adalah nama asli Borobudur. Sejarah Pembangunan Hampir sama dengan Candi Ratu Boko, Candi Borobudur dibangun di atas bukit. Yakni di ketinggian 265 mdpl dan 15 m di atas dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20. Anggapan itu terbantah karena di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba. Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Diperkirakan, Borobudur dibangun sekitar tahun 800 M. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Terkait tahap pembangunan Borobudur, para ahli arkeologi menduga rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar di puncaknya. Diduga, masa stupa raksasa yang berat ini membahayakan fondasi candi sehingga arsitek Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Pada tahap pertama, Borobudur dibangun di atas bukit alami. Bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Pada awalnya, dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak. Pada tahap kedua, ada penambahan dua undakan persegi, pagar langkan, dan satu undak melingkar yang di atasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar. Pada tahap ketiga, ada perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu, fondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Pada tahap keempat, dilakukan perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki. Borobudur pernah tersembunyi dan telantar selama berabad-abad. Terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan belum diketahui. Ada juga yang mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan ke Islam pada abad ke-15. Candi ini ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles yang ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan Pulau Jawa, Jawa di bawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Dia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Dia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno. Pada masa itulah Borobudur ditemukan kembali. Arsitektur dan Relief Borobudur merupakan contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India. Pada dinding candi di setiap tingkatan –kecuali pada teras-teras Arupadhatu– dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya timur. Secara runtutan, cerita pada relief candi secara singkat bermakna Karmawibhangga (mengenai hukum karma), Lalitawistara (menggambarkan riwayat Sang Buddha), Jataka dan Awadana (cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta), serta Gandawyuha (cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana). Mitos Di Candi Borobudur, ada beberapa mitos yang berkembang. Salah satunya adalah Kunto Bimo. Kunto Bimo merupakan patung Buddha dalam posisi Dharmachakra di dalam stupa dengan penutup belah ketupat. Stupa ini berada pada tingkat dasar dari tiga undak-undak stupa. Berkembang anggapan bahwa jika bisa menyentuh arca di dalam stupa, harapan yang bersangkutan bisa terkabul. Patung atau arca di dalam stupa sudah lama dianggap sebagai pemberi harapan atau pengabul impian. Jika berniat memegang sang Buddha, yang laki-laki disarankan memegang kelingking atau jari manisnya, sedangkan yang perempuan memegang jari kaki Buddha. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak berhasil melakukan hal itu. Ada juga mitos mengenai Singa Urung. Mitos ini berkembang cukup menyeramkan. Sebab, jika memegang arca harimau di sebelah kiri dan kanan tangga masuk candi, Anda bakal tertimpa sial. Alasannya, makna arca ini merupakan harimau gagal. Jadi, siapa saja yang memegang arca ini, maka kehidupannya tidak akan beruntung seperti nasib kedua arca. Ada mitos lain di Candi Borobudur. Yakni, mengenai pemanfaatan candi sebagai jam raksasa di masanya. Hal ini didukung dengan adanya ukiran relief yang menggambarkan bulan, bintang, dan matahari. Lokasi dan Tiket Candi Borobudur beralamat di Jalan Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini buka setiap hari mulai pukul 06.00–17.00 WIB. Harga tiket masuk candi ini dibagi dua kategori untuk lokal. Pelajar atau anak Rp 12.000 dan dewasa Rp 30.000. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018
- JELAJAH JOGJA: Candi Plaosan, Persembahan Cinta Suami untuk Sang Istri
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Candi Plaosan Kompleks Candi Plaosan dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno. Adanya kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa menandakan bahwa candi-candi ini adalah candi Buddha. Pada masa lalu, kompleks percandian ini dikelilingi parit berbentuk persegi panjang. Sisa struktur tersebut masih bisa dilihat sampai saat ini di bagian timur dan barat candi. Kompleks Candi Plaosan terdiri atas Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul. Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama. Candi yang terletak di sebelah kiri (utara) dinamai Candi Induk Utara. Di situ terdapat relief yang menggambarkan tokoh-tokoh wanita. Candi yang terletak di sebelah kanan (selatan) dinamai Candi Induk Selatan dengan relief menggambarkan tokoh-tokoh laki-laki. Di bagian utara kompleks, terdapat selasar terbuka dengan beberapa arca Buddhis. Dua candi induk ini dikelilingi 116 stupa perwara, 50 candi perwara, dan parit buatan. Di masing-masing candi induk, terdapat enam arca Dhyani Boddhisatwa. Walaupun candi ini adalah candi Buddha, tetapi gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara Buddha dan Hindu. Candi Induk Selatan Plaosan Lor dipugar pada tahun 1962 oleh Dinas Purbakala. Sementara itu, Candi Induk Selatan dipugar pada tahun 1990-an oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah. Berbeda dengan Candi Plaosan Lor, Candi Plaosan Kidul belum diketahui memiliki candi induk. Di kompleks ini, terdapat beberapa perwara berbentuk candi dan stupa. Sebagian di antara candi perwara telah dipugar. Luas wilayah candi ini adalah sekitar 440 x 270 meter. Meskipun terlihat sama, bangunan di sini sebenarnya berbeda. Perbedaannya bisa dilihat pada relief masing-masing bangunan. Legenda Konon, Candi Plaosan digambarkan sebagai bukti cinta Rakai Pikatan terhadap istrinya, yaitu Pramudya Wardhani (putri Samaratungga). Corak arsitektur candi ini adalah campuran Buddha dan Hindu karena istrinya beragama Buddha dan Rakai Pikatan sendiri beragama Hindu. Sejarah berdirinya candi ini dimulai ketika Rakai Pikatan memutuskan untuk menikahi Wardhani. Hubungan percintaan mereka menimbulkan banyak keresahan dan penolakan karena perbedaan agama. Rakai berasal dari Dinasti Sanjaya (Hindu), sedangkan Wardhani dari Dinasti Syailendra (Buddha). Keputusan mereka untuk menikah didasari rasa cinta dengan mengesampingkan perbedaan keyakinan. Rakai membangun candi ini sebagai lambang rasa cintanya kepada sang istri. Dia juga memberikan kebebasan kepada sang istri untuk menganut agama yang berbeda. Karena itu, Candi Plaosan juga bisa dikatakan sebagai simbol toleransi umat beragama. Relief di candi ini juga dapat diinterpretasikan sebagai perasaan cinta keduanya. Relief candi yang menggambarkan laki-laki merupakan bentuk kekaguman Wardhani kepada sang suami, sedangkan relief yang menggambarkan perempuan sebagai bentuk luapan cinta Rakai kepada sang istri. Kisah cinta mereka menjadi mitos untuk pasangan yang mengunjungi Candi Plaosan. Mitos yang beredar menyatakan, hubungan pasangan yang datang ke Candi Plaosan akan langgeng. Mitos ini berbalik 180 derajat dengan Candi Prambanan yang memiliki mitos hubungan pasangan akan retak jika mengunjunginya. Lokasi dan Tiket Kompleks Candi Plaosan terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Candi ini terletak kira-kira 1 kilometer ke arah timur laut dari Candi Sewu atau Candi Prambanan. Candi Plaosan buka setiap hari mulai pukul 08.00–17.00 WIB. Harga tiketnya sangat murah, yaitu Rp 5.000 per orang. Sementara parkir motor seharga Rp 3.000 dan mobil Rp 5.000. Di candi ini, pemandangannya sangat indah. Apalagi saat musim tanam. Sebab, candi ini dikelilingi persawahan warga yang tampak hijau menghampar saat padi mulai tumbuh. Candi Plaosan juga menjadi spot yang cantik untuk menikmati sunset. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018
- JELAJAH JOGJA: Candi Mendut, Tempat Siddharta Gautama Mencapai Penerangan Sempurna
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Candi Mendut Candi Mendut adalah candi bercorak Buddha. Candi ini didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeolog Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut. Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak di sebuah basement yang tinggi sehingga tampak lebih anggun dan kukuh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah. Tinggi bangunan ini adalah 26,4 meter. Relief dan Hiasan Candi Mendut memiliki hiasan berselang-seling. Dihiasi ukiran makhluk-makhluk kayangan berupa dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua kera, dan seekor garuda. Dia dua sisi tangga, terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka. Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa, di antaranya Awalokiteśwara, Maitreya, Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha), dan Āţawaka. Di dalam candi induk, terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga, yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra. Di depan arca Buddha, terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri, terdapat arca Awalokiteśwara (Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi. Jika diperinci, candi ini memiliki empat bagian relief. Relief 1 (brahmana dan seekor kepiting) dan relief 2 (angsa dan kura-kura) merupakan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi) bercerita mengenai dua sahabat anak para saudagar. Suatu hari Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya, Dustabuddhi. Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan membagi secara adil. Tapi, Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan menyeretnya ke pengadilan. Tetapi, akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan dihukum. Dan relief 4 (Dua burung betet yang berbeda) melukiskan cerita dua burung betet bersaudara, namun berbeda kelakuannya. Yang satu dididik seorang penyamun, sedangkan yang satu dididik seorang pendeta. Di halaman candi ini, ada pohon Bodhi besar yang tumbuh dengan gagahnya. Umat Buddha meyakini pohon ini merupakan tempat Siddharta Gautama mencapai penerangan sempurna. Candi Mendut memiliki peran yang sangat penting bagi umat Buddha, terutama pada saat perayaan Waisak. Rangkaian upacara Waisak selalu dimulai dari candi ini saat purnama. Wihara Buddha Mendut Persis di sebelah Candi Mendut, terdapat Wihara Buddha Mendut. Wihara ini dulunya adalah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an. Lalu, tanah-tanah rakyat ini dibeli sebuah yayasan Buddha dan di atasnya dibangun wihara. Dalam wihara ini, terdapat asrama, tempat ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya merupakan sumbangan dari Jepang. Legenda Candi Mendut sangat terkenal dengan kisah Roro Mendut. Roro Mendut adalah perempuan dari dusun yang mempunyai wajah cantik jelita. Nasibnya kurang bagus. Dia dijadikan selir oleh Adipati Pragola, seorang penguasa di Kerajaan Pati. Kemudian, Kerajaan Mataram melalui sultan agung menyerang Kerajaan Pati hingga hancur. Roro Mendut pun dibawa sultan agung ke Kerajaan Mataram. Awalnya, Roro Mendut ingin dipersunting Tumenggung Wiroguno. Tetapi, karena beliau sudah tua, Roro Mendut pun tak mau dan meminta agar bisa bekerja untuk menebus dirinya dari Wiroguno. Seiring dengan berjalannya waktu, Roro Mendut pun bertemu dengan seorang lelaki yang mencintainya dan begitu pula dengan dirinya. Namun, hubungan asmara tersebut diketahui Tumenggung Wiroguno hingga akhirnya mereka pun dibunuh. Konon, mayat mereka dijadikan candi yang saat ini berdiri kukuh, yaitu Candi Mendut. Lokasi dan Tiket Candi Mendut terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Letaknya berada sekitar 3 kilometer dari Candi Borobudur. Candi ini buka setiap hari mulai pukul 07.00–18.00 WIB. Harga tiket masuk candi ini sebesar Rp 5.000. Untuk parkir, tarifnya berdeda. Yakni, motor Rp 5.000 dan mobil Rp 10.000. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018
- JELAJAH JOGJA: Tebing Breksi, Salah Satu Geotapak Jogja yang Dilindungi
SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream . Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah. Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja. Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah. Sejarah Tebing Breksi Sebelum menjadi tempat wisata, lokasi Taman Tebing Breksi yang sekarang sebelumnya adalah tempat penambangan batuan alam. Penambangan itu dilakukan masyarakat sekitar. Di sekitar lokasi penambangan, terdapat tempat-tempat pemotongan batuan untuk dijadikan bahan dekorasi bangunan. Tebing Breksi merupakan endapan abu vulkanik letusan gunung api purba yang sekarang dikenal sebagai Gunung Api Purba Nglanggeran di Gunung Kidul. Karena itu, tebing tersebut masuk dalam salah satu situs geoheritage , yakni situs atau area geologi yang memiliki nilai-nilai penting di bidang keilmuan, pendidikan, budaya, dan nilai estetika. Dalam laporan penelitian (2014) dijelaskan, masa kejayaan Gunung Api Purba berlangsung selama Oligosen Miosen Tengah (16-36 juta tahun lalu). Pulau Jawa yang tadinya merupakan penyatuan antara lempeng paparan Sunda dan lempeng kecil Jawa Timur ditabrak dari selatan oleh lempeng Indo-Australia yang beringsut ke utara dan menghunjam di zona palung di selatan Pulau Jawa. Kejadian ini merupakan peristiwa utama sejarah pembentukan Pulau Jawa. Di Yogyakarta, ada sembilan geotapak yang sudah teridentifikasi. Salah satunya adalah Tebing Breksi. Sejak tahun 2014, penambangan di lokasi ini ditutup pemerintah. Kemudian, lokasi penambangan ini ditetapkan sebagai tempat yang dilindungi dan tidak diperkenankan untuk kegiatan penambangan. Setelah itu, masyarakat mendekorasi lokasi bekas pertambangan ini menjadi tempat wisata yang layak untuk dikunjungi. Tepatnya pada bulan Mei 2015, Tebing Breksi diresmikan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai tempat wisata baru di Jogja. Keindahan Tebing Breksi Taman Wisata Tebing Breksi adalah tempat wisata alam. Sesuai dengan namanya, tempat wisata ini merupakan perbukitan batuan breksi. Tebing batuan breksi dengan corak yang indah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Kehadiran tebing yang sekaligus dijadikan sebagai salah satu lokasi wisata ini menawarkan banyak hal yang sayang untuk dilewatkan. Di antaranya, pemandangan dinding tebing dengan ornamen patahan yang terlihat begitu artistik. Sebab, dasar tebing ini sudah terbentuk jutaan tahun lalu. Sisa-sisa penambangan juga mampu menghadirkan ornamen pahatan yang membuat tebing ini tampak seperti kue lapis. Berfoto dengan latar tebing menjadi salah satu hal yang dilakukan setiap pengunjung. Hal yang paling istimewa di atas tebing ini adalah para wisatawan bisa melihat keseluruhan Kota Jogja. Bahkan, aktivitas masyarakat pun dapat terlihat seperti pesawat yang lepas landas dan kendaraan yang hilir mudik. Dari atas tebing, pengunjung juga bisa melihat pemandangan berupa Candi Barong, Gunung Merapi, Candi Prambanan, dan Candi Sojiwan. Bicara soal fasilitas, kawasan ini memiliki fasilitas standar seperti tempat parkir, musala, toilet, dan stan makanan atau kafe. Selain itu, ada spot permainan seperti arena off-road . Nah, yang menarik, di bawah tebing, ada teater pertunjukan yang cukup luas. Lokasi outdoor ini biasa digunakan untuk pertunjukan seni dan konser musik. Momen yang tak kalah asyik dan romantis adalah makan malam atau sekadar ngopi di kafe bareng pasangan. Udara yang dingin dengan pemandangan tebing yang berpendar oleh lampu akan membuat malammu menjadi istimewa. Coba saja. Lokasi dan Tiket Secara administrasi, Tebing Breksi berada di wilayah Kabupaten Sleman. Lokasinya berada di sebelah selatan Candi Prambanan dan berdekatan dengan Candi Ijo serta Kompleks Keraton Boko. Wisata Tebing Breksi tepatnya berada di Desa Sambirejo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tebing Breksi buka pada pukul 05.00-18.00 WIB. Jadi, waktu terbaik untuk mengunjungi kawasan wisata ini adalah pagi atau sore. Pagi-pagi, jika beruntung, Anda bisa menikmati sunrise atau menikmati sunset saat sore. Untuk masuk kawasan wisata ini tidak ada biaya tiket alias gratis. Pengunjung hanya dikenai biaya parkir Rp 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil. (*) Jogja, 12-16 Februari 2018












