JELAJAH JOGJA: Museum Benteng Vredeburg, Saksi Bisu Perjuangan Indonesia
- budiawanagus
- Feb 15, 2018
- 3 min read

SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream. Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah.
Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja.
Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah.
Sejarah Benteng Vredeburg
Berdirinya Benteng Vredeburg Yogyakarta berterkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I kelak) merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur dalam urusan dalam negeri raja-raja Jawa waktu itu.
Belanda mulai khawatir saat melihat pesatnya kemajuan keraton yang didirikan Sultan Hamengku Buwono I. Pihak Belanda mengusulkan kepada sultan agar diizinkan membangun benteng di dekat keraton. Belanda berdalih agar dapat menjaga keamanan keraton dan sekitarnya.
Namun, niat sebenarnya Belanda ingin lebih mudah dalam mengontrol segala perkembangan di dalam keraton. Dapat dikatakan bahwa benteng tersebut didirikan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka dan memusuhi Belanda.
Pembangunan benteng ini (1760) dikerjakan di bawah pengawasan ahli ilmu bangunan Belanda bernama Ir. Frans Haak. Awalnya, status tanahnya merupakan milik kasultanan. Tetapi, dalam penggunaannya dihibahkan kepada Belanda (VOC).
Benteng ini disempurnakan pada tahun 1767 dan baru selesai pada 1787. Setelah selesai, benteng ini diberi nama Rustenburg yang berarti Benteng Peristirahatan.
Pada periode ini, secara yuridis formal, status tanah tetap milik kasultanan. Namun, secara de facto, penguasaan benteng dan tanahnya dipegang Belanda.
Saat VOC bangkrut pada tahun 1799, penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Sehingga, secara de facto, menjadi milik pemerintah kerajaan Belanda.
Ketika Inggris berkuasa di Indonesia (1811–1816), untuk sementara benteng ini dikuasai Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Namun dalam waktu singkat, Belanda dapat mengambil alih.
Pada tahun 1867, benteng ini runtuh karena gempa. Setelah selesai bangunan ulang, nama benteng diganti menjadi Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.
Sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg.
Akhirnya, benteng ini dikuasai tentara Jepang pada tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang yang ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat.
Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei, yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam.
Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942–1945. Benteng ini juga difungsikan sebagai gudang mesiu, senjata, dan rumah tahanan musuh.
Masa Kemerdekaan
Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta.
Terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan pelucutan senjata Jepang. Karena Jepang masih kuat, terjadi kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta.
Setelah benteng dikuasai RI, penanganannya diserahkan kepada militer untuk asrama dan markas pasukan.
Pada 15 Juli 1981, Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Hal itu dipertegas pada 5 November 1984 yang mengatakan bahwa bangunan bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai museum perjuangan nasional.
Pada 23 November 1992, Benteng Vredeburg diresmikan menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Pada tahun 2014, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan buku berisi koleksi unggulan museum di Yogyakarta. Salah satunya adalah Museum Benteng Vredeburg.
Koleksi unggulan museum ini, antara lain, Diorama pelantikan Soedirman sebagai panglima besar TNI, minirama Kongres Boedi Oetomo, dan mesin ketik Surjopranoto.
Ada juga tiga kendil yang konon pernah digunakan Soedirman ketika tinggal di rumah Ibu Mertoprawira. Kemudian, dokumen Soetomo, dan bangku militer akademi.
Arsitektur
Benteng ini dibangun sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan residen Belanda kala itu. Bangunan ini dikelilingi parit (jagang) yang sebagian bekas-bekasnya telah direkonstruksi dan dapat dilihat hingga sekarang.
Benteng berbentuk persegi ini mempunyai bastion (menara pantau) di keempat sudutnya.
Lokasi dan Tiket
Museum Benteng Vredeburg terletak di depan Gedung Agung dan Kraton Kesultanan Yogyakarta. Secara administrasi, museum ini berada di Jalan Margo Mulyo No.6, Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagaimana museum pada umumnya, Museum Benteng Vredeburg beroperasi setiap hari kecuali hari Senin pada pukul 07.30–16.00 WIB.
Harga tiket masuk ke kawasan ini antara Rp 2.000 sampai Rp 10.000 tergantung kategorinya. Untuk anak dikenai Rp 2.000, dewasa Rp 3.000, dan turis asing Rp 10.000. (*)
Jogja, 12-16 Februari 2018
Comments