Mengagumi Arsitektur Candi Borobudur
- budiawanagus
- Aug 1, 2010
- 6 min read

MASA-masa akhir kuliah bagi saya saat menjadi mahasiswa biasa-biasa saja. Banyak yang stres saat dihadapkan pada skripsi. Tapi, saya santai saja.
Saking santainya, saya menyempatkan diri untuk mbolang ke Jogjakarta. Tidak banyak yang saya datangi. Salah satu yang sempat saya kunjungi adalah Candi Borobudur. Borobudur merupakan candi Buddha. Candi berbentuk stupa ini didirikan para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.
Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia. Sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar. Dindingnya dihiasi 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.
Stupa utama terbesar terletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini. Stupa ini dikelilingi tiga barisan melingkar yang terdiri atas 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila.
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah.
Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha.
Tiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud).
Kāmadhātu: Bagian kaki Borobudur yang melambangkan dunia masih dikuasai kama atau nafsu rendah. Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi.
Rupadhatu: Empat undak teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu terdiri atas empat lorong dengan 1.300 gambar relief.
Tingkatan ini melambangkan alam, yakni antara alam bawah dan alam atas. Di bagian ini, patung-patung Buddha berada di cerukan atau relung dinding di atas pagar langkan atau selasar.
Arupadhatu: Lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamai Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk.
Dalam perjalanannya, para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan pada 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles yang saat itu menjabat Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa.
Sejak saat itu, Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975–1982 atas upaya pemerintah Indonesia dan UNESCO. Situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di candi ini untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
Misteri Asal Usul Nama Borobudur
Nama asli kebanyakan candi di Indonesia tidak diketahui. Begitu juga asal mula nama Borobudur yang belum jelas. Meskipun nama Borobudur pertama kali ditulis dalam buku Sejarah Pulau Jawa karya Sir Thomas Stamford Raffles.
Raffles menulis mengenai monumen bernama Borobudur. Tetapi, tidak ada dokumen yang lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk pada Borobudur adalah Nagarakretagama yang ditulis Mpu Prapanca pada 1365.
Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis Borobudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu, yaitu Desa Bore (Boro). Raffles juga menduga istilah Budur mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti purba (Boropurba). Namun, arkeolog lain beranggapan bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasar prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan pendiri Borobudur adalah raja Mataram dari wangsa Syailendra bernama Samaratungga yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.
Casparis memperkirakan bahwa Bhūmi Sambhāra Bhudhāra dalam bahasa Sanskerta berarti ’’Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa’’ adalah nama asli Borobudur.
Sejarah Pembangunan
Hampir sama dengan Candi Ratu Boko, Candi Borobudur dibangun di atas bukit. Yakni di ketinggian 265 mdpl dan 15 m di atas dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada abad ke-20.
Anggapan itu terbantah karena di sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan kering, bukan dasar danau purba.
Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Diperkirakan, Borobudur dibangun sekitar tahun 800 M. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah yang kala itu dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya.
Terkait tahap pembangunan Borobudur, para ahli arkeologi menduga rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat besar di puncaknya. Diduga, masa stupa raksasa yang berat ini membahayakan fondasi candi sehingga arsitek Borobudur memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang.
Pada tahap pertama, Borobudur dibangun di atas bukit alami. Bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas. Pada awalnya, dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida berundak.
Pada tahap kedua, ada penambahan dua undakan persegi, pagar langkan, dan satu undak melingkar yang di atasnya langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
Pada tahap ketiga, ada perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa induk yang besar di tengahnya.
Karena alasan tertentu, fondasi diperlebar, dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief Karmawibhangga. Pada tahap keempat, dilakukan perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar, perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur pernah tersembunyi dan telantar selama berabad-abad. Terkubur di bawah lapisan tanah dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit.
Alasan sesungguhnya penyebab Borobudur ditinggalkan belum diketahui. Ada juga yang mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitar beralih keyakinan ke Islam pada abad ke-15.
Candi ini ditemukan oleh Thomas Stamford Raffles yang ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Setelah Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan Pulau Jawa, Jawa di bawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga 1816. Dia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Dia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno. Pada masa itulah Borobudur ditemukan kembali.
Arsitektur dan Relief
Borobudur merupakan contoh puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India.
Pada dinding candi di setiap tingkatan –kecuali pada teras-teras Arupadhatu– dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus. Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya timur.
Secara runtutan, cerita pada relief candi secara singkat bermakna Karmawibhangga (mengenai hukum karma), Lalitawistara (menggambarkan riwayat Sang Buddha), Jataka dan Awadana (cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta), serta Gandawyuha (cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana).
Mitos
Di Candi Borobudur, ada beberapa mitos yang berkembang. Salah satunya adalah Kunto Bimo. Kunto Bimo merupakan patung Buddha dalam posisi Dharmachakra di dalam stupa dengan penutup belah ketupat. Stupa ini berada pada tingkat dasar dari tiga undak-undak stupa.
Berkembang anggapan bahwa jika bisa menyentuh arca di dalam stupa, harapan yang bersangkutan bisa terkabul. Patung atau arca di dalam stupa sudah lama dianggap sebagai pemberi harapan atau pengabul impian.
Jika berniat memegang sang Buddha, yang laki-laki disarankan memegang kelingking atau jari manisnya, sedangkan yang perempuan memegang jari kaki Buddha. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak berhasil melakukan hal itu.
Ada juga mitos mengenai Singa Urung. Mitos ini berkembang cukup menyeramkan. Sebab, jika memegang arca harimau di sebelah kiri dan kanan tangga masuk candi, Anda bakal tertimpa sial. Alasannya, makna arca ini merupakan harimau gagal. Jadi, siapa saja yang memegang arca ini, maka kehidupannya tidak akan beruntung seperti nasib kedua arca.
Ada mitos lain di Candi Borobudur. Yakni, mengenai pemanfaatan candi sebagai jam raksasa di masanya. Hal ini didukung dengan adanya ukiran relief yang menggambarkan bulan, bintang, dan matahari.
Candi Borobudur beralamat di Jalan Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini buka setiap hari mulai pukul 06.00–17.00 WIB. (*)
Jogja, Medio 2010
Commenti