top of page

Search Results

165 results found with an empty search

  • Merayakan Tahun Baru 2019 di Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari

    PADA hari kedua di Pulau Pari, setelah puas bermain dan bermalam di Pantai Bintang, kami bergeser. Pindah tempat. Kami ingin menghabiskan waktu dan merayakan pergantian tahun di tempat wisata yang menjadi primadona pulau ini. Yap, Pantai Pasir Perawan. Sebagaimana saat menuju Pantai Bintang, kami juga berjalan kaki ke Pantai Pasir Perawan. Di sisi timur pulau. Waktu yang kami butuhkan sekitar 20 menit atau sekitar 10 menit dari Dermaga Pulau Pari. Pantai ini menyajikan hamparan pasir putih yang bersih dan air yang cukup jerih. Kebersihan pantai ini sangat terjaga. Yang unik dari pantai ini, kita bisa menemukan gundukan pasir yang dikelilingi air laut. Di situ kita bisa bersantai di gazebo, bermain ayunan, atau berkeliling di antara pohon-pohon bakau saat air laut surut. Untuk masuk ke pantai ini, pengunjung cukup membayar retribusi Rp 5.000. Bagi yang ingin camping seperti kami, biayanya sama dengan Pantai Bintang. Yaitu Rp 15.000 per orang. Di pantai ini sudah disediakan area untuk mendirikan tenda atau camping ground . Posisinya di sebelah kanan ketika kita mulai memasuki area pantai. Di antara pokok-pokok pohon rimbun. Selain terkenal dengan keindahannya, Pantai Pasir Perawan juga memiliki sejarah atau mitos. Konon, dahulu kala, ada seorang gadis kecil yang menghilang di pantai tersebut. Hingga kini, gadis itu belum ditemukan. Ada yang menyebut gadis itu hilang dibawa burung gagak raksasa. Ada juga yang bilang gadis itu lenyap dibawa makhluk halus. Masih perawan. Ya, namanya juga mitos. Boleh percaya, boleh tidak. Pantai yang pertama kali dibuka pada akhir 2010 ini masih dikelola warga setempat secara swadaya. Meski dikelola sendiri oleh warga, fasilitas di pantai ini bisa dibilang lengkap. Di sepanjang pinggir pantai sudah banyak warung yang menjajakan makanan hingga suvenir. Untuk toilet, kita diharuskan membayar Rp 2.000 untuk buang air kecil/besar dan Rp 5.000 untuk mandi. Sebagaimana di Pantai Bintang, air toilet di Pantai Pasir Perawan berasa payau. Bahkan terkadang berasa asin. Di pantai ini, kita bisa berenang dengan aman karena ombaknya tidak besar. Pasirnya juga tidak berkarang. Kita bisa juga menyewa banana boat atau menikmati keindahan bawah laut dengan snorkeling . Pelancong pun bisa keliling hutan mangrove dengan menyewa kapal nelayan. Saat ke pantai ini, kami hanya meniatkan untuk menikmati pantai, ikut merayakan pergantian tahun bersama pengunjung lain dan warga setempat, serta bermalam di tenda. Pada malam kedua di pulau, hujan mengguyur ramah. Mata masih bisa terlelap nyenyak. Inilah cara kami menikmati liburan yang sederhana tapi istimewa. (*) Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, 31 Desember 2018-1 Januari 2019

  • Pulau Pari, Pesona Wisata dan Sengketa Tanah

    TIDAK jauh dari keriuhan Jakarta, sekitar 1,5 jam-2 jam perjalanan dengan naik kapal tradisional, saya pun berlabuh di dermaga Pulau Pari. Pulau kecil di antara jajaran pulau-pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu. Satu-satunya kabupaten di Jakarta. Potensi wisata di pulau seluas 41,32 hektare ini sangat besar. Sebut saja beberapa yang terkenal, Pantai Bintang dan Pantai Pasir Perawan. Namun, mungkin tak banyak yang tahu bahwa di Pulau Pari dengan pesona wisatanya yang menggoda ribuan wisatawan untuk bertandang, ada duka bagi warganya. Menurut warga, kini mereka sedang dan akan terus berjuang. Melawan sebuah perusahaan yang coba mencengkeram. Menduduki tempat kelahiran. Tempat mereka tinggal, bernaung dari guyuran hujan, bertahan dari terpaan gelombang pasang. Seruan-seruan perlawanan memang begitu terasa di sepanjang jalan menuju Pantai Pasir Perawan. Berupa tulisan-tulisan di tembok rumah. Di warung-warung suvenir. Indah, tapi membara. Ada juga foto warga yang dipajang. Bentuk dukungan untuk ia yang keras dalam melawan. Sampai saat ini, sebanyak 265 KK dengan 930 jiwa di Pulau Pari masih menunggu kepastian untuk tanah kelahiran. IHWAL SENGKETA PULAU PARI Konflik Pulau Pari sebenarnya sudah berusia tua, tepatnya dari tahun 1988. Menurut CNN Indonesia , warga disebut memiliki sertifikat lahan kepemilikan di kawasan Pulau Pari. Namun, sertifikat itu ditarik dan diganti dengan girik untuk membayar PBB. Pada tahun 1992, lahan di Pulau Pari disebut sudah dibeli Herman Susilo. Dia adalah pendiri PT Bumi Raya Utama (saat ini bernama PT Bumi Pari Asri). PBB pun dibayar perusahaan itu. Di sisi lain, warga mengaku membayar pajak berdasar girik. Pada tahun 1998, banyak warga luar yang berdatangan ke Pulau Pari dan mendirikan bangunan di sana. Mereka pun disebut membayar PBB dengan sistem girik. Pada tahun 2013, Pulau Pari menjadi salah satu destinasi wisata di Kepulauan Seribu. Warga mengembangkan sektor wisata secara swadaya. Setahun kemudian, atau pada tahun 2014, perwakilan PT Bumi Pari Asri mendatangi Pulau Pari dan menyebut tempat tinggal warga sebagai lahan milik perusahaan itu. Mereka membawa SHM sebagai bukti. Pada tanggal 11 Maret 2017, terjadi penangkapan terhadap nelayan Pulau Pari dengan tuduhan melakukan pungutan liar (pungli) di objek wisata. Warga merasa dikriminalisasi. Tiga nelayan itu divonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 7 September 2017. Bulan April 2018, Ombudsman memaparkan hasil pemeriksaan. Yakni, ada 62 SHM dan 14 SHGB yang penerbitannya maladministrasi. BPN dan Pemprov DKI diberi waktu selama 30 hari untuk menaggulanginya. (*)

  • Pantai Bintang, Spot Ciamik Menikmati Sunset di Pulau Pari

    MENJELANG pergantian tahun, saya dan istri merencanakan sebuah perjalanan. Berdua saja. Karena belum ingin pergi ke tempat-tempat yang jauh, kami memilih traveling ke Kepulauan Seribu. Tepatnya ke Pulau Pari. Pulau Pari tidak jauh dari daratan Jakarta. Bisa ditempuh satu setengah jam hingga dua jam saja. Tergantung cuaca. Dari tempat tinggal kami di Jalan Bumi Indah, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, kami memilih transportasi yang paling mudah untuk menuju Pelabuhan Muara Angke, Kali Adem, Jakarta Utara. Naik motor. Kapal tradisional yang akan membawa kami berlayar baru lepas jangkar pada pukul 08.00. Meski begitu, pagi-pagi buta, sehabis Subuh, kami langsung mengaspal menuju pelabuhan. Kami tidak ingin terjebak kemacetan. Tidak sampai satu jam, kami sampai. Motor saya parkir untuk bermalam. Semalam Rp 25.000 (total Rp 50.000 untuk dua malam). Area parkir sedang direnovasi sehingga lantainya masih berupa tanah dan serakan puing-puing sisa bangunan. Saran saja, kalau mau motor aman dari debu dan kotoran burung saat diinapkan, bawalah penutup seperti cover kendaraan atau apa saja. Biar aman. Tak lama setelah sampai, tiket kapal sudah di tangan. Harganya Rp 45.000 per orang + Rp 2.000 untuk asuransi. Total 94 ribu untuk dua orang. Harga tiket baliknya sama saja. Hari masih pagi. Sekitar pukul 06.30. Masih ada waktu satu setengah jam untuk bersantai. Kami pun sarapan dan ngopi selow di warung di luar pelabuhan. Harganya masih normal. Cuaca cerah. Kapal berangkat tepat waktu. Kapal kayu yang bisa memuat hingga 200 penumpang itu pun bergegas membelah lautan, menerjang ombak. Tidak banyak yang bisa dinikmati selama perjalanan. Kecuali bangunan-bangunan tinggi di daratan Jakarta yang semakin terlihat mengecil dari kejauhan. Atau kapal-kapal dan pulau-pulau kecil yang mengambang di kejauhan. Kurang dari dua jam, kapal bersandar di Dermaga Pulau Pari. Pulau seluas 41,32 hektare ini memiliki dua destinasi wisata andalan. Pantai Bintang dan Pantai Pasir Perawan. Meski ada beberapa pantai yang dibuka, dua pantai itulah yang sering dijadikan jujukan oleh wisatawan luar pulau. Terutama Pantai Pasir Perawan. Beberapa menit setelah mendarat, kami segera menuju lokasi pertama, Pantai Bintang. Cukup dengan jalan kaki. Hanya sekitar 13 menit. Di tengah perjalanan, kami melewati Pantai Kresek. Namun, riwayat pantai ini sudah tamat. Hanya tinggal sisa gubuk kecil bekas ''loket tiket''. Pantai Bintang berada di sisi barat Pulau Pari. Berdekatan dengan Pantai LIPI. Dari Pantai Bintang, kita bisa menikmati sunset. Namun, lanskap akan terlihat sempurna jika dinikmati dari Pantai LIPI yang berada di ujung paling barat. Masuk ke Pantai Bintang hanya dikenai "biaya kebersihan" Rp 2.500. Untuk yang ingin camping dikenai Rp 15.000 per orang. Kawasan itu masih dikelola warga setempat secara swadaya. Pantai ini sangat rimbun oleh pohon-pohon pinus yang tumbah di sepanjang bibir pantai. Pasirnya putih terhampar. Bersih. Di sini kita bisa bersantai di gazebo dan kursi-kursi atau bermain ayunan. Tidur-tiduran di hammock jaring yang banyak disediakan di sana pun oke. Toilet pun hanya Rp 2.000, untuk buang air atau mandi. Pengunjung benar-benar dimanja. Kebanyakan pengunjung yang singgah di pantai ini hanya berminat untuk bermain air, foto-foto. Karena kalau mandi di pantai cukup riskan. Kita bisa saja menginjak ikan batu, atau bintang-bintang laut yang berserakan. Di sinilah keunikan Pantai Bintang. Sesuai namanya, di sini hidup banyak sekali bintang laut. Biota laut yang belum pernah saya temukan di pantai-pantai lain. Sejarahnya, menurut warga setempat, bintang laut di sana dibawa oleh peneliti LIPI untuk diteliti. Lambat laun, jumlahnya terus bertambah, berkembang biak. Pengunjung dipersilakan untuk berfoto-foto, mengangkatnya dari air. Tapi, kembalikan lagi ke habitatnya. Kalau berani membawanya pulang, dan ketahuan, siap-siap berhadapan dengan hukum! Alam merestui. Sepanjang hari itu cuaca bersahabat. Rencana kami untuk menikmati sunset di Pantai Bintang tertunaikan. Langit merah keoranyean turun seperti tirai di batas cakrawala. Malam itu, kami merebahkan tubuh di dalam tenda. Di bawah rerimbun pohon cemara. Di kolong langit dengan hamparan gemintang. Angin yang berdesir di luar melelapkan kami pada detik pemberhentian, sejenak, untuk kembali melanjutkan perjalanan. Mahabesar Sang Pencipta Keindahan. (*) Pantai Bintang, Pulau Pari, 30-31 Desember 2018

  • Menyepi di Perpustakaan PDS HB Jassin Jakarta

    ISTRI sudah memasuki masa akhir pendidikan S2 di Universitas Airlangga (UI). Tapi, dia masih belum tahu tema apa yang akan diangkat untuk tesisnya. Jadi, pagi itu kami niatkan untuk berkunjung ke Perpustakaan atau Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin. Perpustakaan ini berada di area kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. PDS H.B. Jassin merupakan tempat pendokumentasian arsip kesusastraan nasional Indonesia yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pusat dokumentasi ini didirikan H.B. Jassin pada 28 Juni 1976. Awalnya, koleksi di PDS adalah dokumentasi pribadi sang Paus Sastra, julukan H.B. Jassin. Dia menggeluti pendokumentasian sastra ini pada tahun 1930-an, ketika usianya belumgenap 30 tahun. Gubernur DKI Ali Sadikin kemudian memberikan tempat kepada Jassin di salah satu gedung yang terdapat di Taman Ismail Marzuki. Yayasan Dokumentasi Sastra H.B. Jassin didirikan pada 28 Juni 1976. Pada Mei 2006, PDS mempunyai 48.876 koleksi dalam bentuk buku-buku fiksi, nonfiksi, naskah drama, biografi dan foto-foto pengarang, kliping, makalah, skripsi, disertasi, rekaman suara, dan rekaman video. Di sini juga disimpan sejumlah surat pribadi dari berbagai kalangan seniman dan sastrawan seperti Nh. Dini, Ayip Rosidi, dan Iwan Simatupang. (*)

  • Taman Ismail Marzuki, Pusat Kegiatan Seni, Budaya, dan Sastra di Jakarta

    SEBAGAI alumni fakultas sastra dan tentu saja suka dengan sastra --juga seni lainnya--, rasanya kurang sopan sudah tinggal di Jakarta tapi tidak sowan ke pusatnya sastrawan dan seniman di Taman Ismail Marzuki (TIM). Hari itu kami datang saat TIM sedang tidak ada kegiatan. Taman Ismail Marzuki berlokasi di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. TIM memiliki enam teater modern, balai pameran, galeri, dan gedung arsip. Di dalam TIM juga terdapat toko buku-buku bekas. Dan ada pula bioskop XXI. Nama pusat kesenian ini berasal dari nama pencipta lagu terkenal Indonesia, Ismail Marzuki. Pembukaannya diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tanggal 10 November 1968. Fasilitas yang ada di areal seluas 9 hektare ini, antara lain, Graha Bhakti Budaya, Galeri Cipta II dan Galeri Cipta III, dan Teater Kecil/Teater Studio. Ada juga Teater Halaman (Studio Pertunjukan Seni), Plaza dan Halaman, Teater Jakarta, serta Planetarium Jakarta. (*)

  • Maharani Zoo and Goa, Perpaduan Tidak Biasa Wisata Gua dan Satwa

    GUA Maharani sudah lama kondang di kalangan wisatawan Kota Lamongan dan kota-kota di sekitarnya. Gua yang disebut juga sebagai Gua Istana Maharani itu berada di kedalaman 25 meter dari permukaan tanah dengan rongga gua seluas 2500 meter persegi. Sejarahnya, Gua Maharani ditemukan tanpa sengaja pada 6 Agustus 1992 dalam aktivitas penambangan batu kapur oleh warga sekitar. Gua itu kemudian diresmikan sebagai objek wisata dua tahun kemudian atau pada 10 Maret 1994. Gua yang berjarak 2,5 jam dari Surabaya tersebut dianggap sebagai salah satu keajaiban perut bumi karena memiliki stalaktit dan stalakmit yang masih aktif. Stalaktit adalah batuan yang menggantung dari langit-langit gua, sedangkan stalagmit merupakan batuan yang terbentuk di dasar gua dan menumpuk ke atas. Menurut penelitian para ahli, stalaktit dan stalakmit yang menghiasi Gua Maharani masih tumbuh sekitar 1 sentimeter setiap 10 tahun. Awalnya, kawasan wisata itu hanya berupa gua. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, destinasi tersebut ditambah dengan kebun binatang. Kebun binatang berada di depan area gua. Jadi, sebelum sampai di mulut gua, pengunjung bisa menyusuri jalan sambil menyaksikan aneka satwa. Hati-hati tersesat. Perhatikan selalu papan penunjuk arah yang banyak dipasang di sana. Maharani Zoo and Goa berada di samping WBL yang dihubungkan dengan jembatan penyeberangan. Tempat wisata itu dibuka untuk umum setiap hari mulai pukul 07.30-12.00 dan pukul 13.00-17.00. Buka setiap hari, Maharani Zoo and Goa membanderol tiket Rp52.500,00- saat weekday dan Rp70.000,00- saat weekend . Selain itu, ada paket tiket untuk masuk Maharani Zoo and Goa plus WBL, harganya Rp97.500,00- saat weekday dan Rp130.00,00- saat weekend . Wahana yang ada di lokasi itu, antara lain, gajah tunggang, Mayan Village, bird show , taman satwa, Rumah 1000 Wajah, galeri topeng satwa 3D, dan bird park . Banyak juga stan yang menjual beragam aksesori, baju, dan makanan. Anda juga bisa membawa pulang oleh-oleh khas Lamongan. (*) Lamongan, 8 Agustus 2018

  • Wisata Bahari Lamongan dan Legenda Kodok Raksasa

    SEBELUM menjadi kawasan yang megah seperti sekarang, lokasi yang kini berdiri Wisata Bahari Lamongan (WBL) itu adalah kawasan wisata sederhana yang memiliki cerita melegenda. Kawasan itu dulunya bernama Pantai Tanjung Kodok. Nama itu diambil dari batu karang besar yang menyerupai kodok di tempat tersebut. Batu yang melegenda itu masih dipertahankan meskipun kawasan tersebut sudah diubah total. Hanya saja, batu kodok itu sekarang sudah jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan puluhan tahun lalu. Tidak tertutup kemungkinan, batu tersebut akan lenyap diterpa ombak laut utara. Perlu ada upaya dari pihak pengelola untuk melindungi batu yang sudah menjadi penanda sejarah tersebut agar tidak lumat menjadi serpihan, lalu menghilang. WBL atau disebut juga Jatim Park II (Jatim Park I berada di Malang) dibuka pada 14 November 2004. Objek wisata ini berdiri di Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Berada di jalur pantai utara Surabaya-Tuban. Dan bersebelahan dengan objek wisata andalan lainnya, yakni Maharani Zoo and Goa. WBL dekat dengan Terminal Brondong sehingga mudah dijangkau dengan menggunakan kendaraan umum. Yang dari Surabaya atau Gresik kota bisa naik bus sedang berwarna hijau tujuan Surabaya-Brondong. Beberapa wahana unggulan tempat wisata ini, antara lain Istana Bawah Laut, Gua Insectarium, Space Shuttle, Anjungan Wali Songo, Texas City, Paus Dangdut, Tembak Ikan, Rumah Kaca, serta Istana Bajak Laut. Begitu sampai di depan WBL, pengunjung akan disuguhi ornamen berupa patung kepiting raksasa dengan capit terbuka di pintu masuk. Buka pukul 08.30-16.30, pengunjung dikenai tiket Rp75.000,00- saat weekday dan Rp100.000,00- saat weekend . Di luar kawasan WBL, banyak stan yang menjual aksesori, pakaian, dan buah-buahan. Banyak juga makanan khas Lamongan yang bisa Anda cicipi. (*) Lamongan, 8 Agustus 2018

  • Road Trip Sehari ke Gunung Bromo dan Ranu Regulo

    PERJALANAN ini berawal saat saya bertugas selama tiga bulan di kantor Surabaya. Antara April sampai Juni 2018. Belum genap sebulan di kantor pusat, muncul keinginan untuk traveling . Keinginan itu pun saya tunaikan sebelum tidak ada waktu lagi dan akhirnya kembali ke Jakarta. Saya pun teringat ada saudara yang masih menjalani studi di Malang. Jadilah saya mengabari dia sekalian mengajaknya road trip pendek-pendek ke Bromo. Dia bersedia. Kami dengan cepat menentukan harinya. Siang itu saya naik kereta dari Stasiun Gubeng, Surabaya, ke Stasiun Malang. Perjalanan Surabaya–Malang memakan waktu sekitar tiga jam. Sampai Stasiun Malang saudara saya sudah menunggu. Kami makan dulu dan ngeteh di depan stasiun. Dari sini, kami mempir dulu ke kos saudara. Berniat tancap gas ke Bromo hampir tengah melalui Pasuruan. Berkendara malam hari menyajikan suasana yang berbeda. Indah saat masih di kota. Ngeri-ngeri sedap saat sudah memasuki daerah Bromo. Memasuki daerah seperti hutan dan perkampungan yang sunyi. Tujuan pertama kami adalah Pos Penanjakan 1 Bromo. Menunggu sunrise . Kami sudah memperhitungkan waktunya. Dari Malang kota ke pos itu kami berkendara santai. Perjalanan kami memakan waktu 3–4 jam. Motor terus melaju di kegelapan malam. Berkelok-kelok di tikungan, turunan, dan tanjakan di jalanan yang diapit hutan dan tebing. Rasa dingin yang sedari tadi terasa tidak kami hiraukan. Tepat sebelum terang kami sudah sampai di Pos Penanjakan 1. Di depan gerbang sudah ramai Jeep yang terparkir di pinggir jalan. Padahal, saat itu bukan weekend . Benar saja. Di pos sudah sangat ramai pengunjung dengan tujuan yang sama. Menunggu sunrise . Pos Penanjakan 1 berada di ketinggian 2.770 mdpl. Lumayan dingin berdiam di ketinggian seperti itu. Sekitar jam setengah enam pagi matahari mulai muncul perlahan dari barisan bukit di kejauhan. Sinarnya menerpa apa saja di bawahnya. Membuat semuanya yang terkena berubah warna menjadi kuning keemasan. Udara menjadi sedikit hangat. Dua kali ke Bromo, ini pertama kali saya naik ke Pos Penanjakan 1. Pemandangan dari atas sini sungguh menakjubkan. Gunung Bromo yang sesekali mengeluarkan asap tebal dan Gunung Batok yang tenang dikelilingi hamparan pasir serta perbukitan. Ditambah awan dan kabut tipis yang berwarna sedikit kekuningan. Di balik deretan perbukitan itu, tampak puncak Gunung Semeru berdiri gagah. Sempurna. Di kawasan Bromo terdapat lima spot yang sempurna untuk menikmati matahari terbit dan lanskap di sekitarnya. Selain Pos Penanjakan 1, ada Pos Penanjakan 2 dengan ketinggian 2.400 mdpl, Pos Dingklik, Bukit Cinta dengan ketinggian 2.680 mdpl, dan Bukit Kingkong dengan ketinggian 2.600 mdpl. Setelah puas menikmati Bromo dari Penanjakan 1, kami pun turun ke kaldera Bromo. Untuk masuk kawasan Bromo, pelancong dalam negeri seperti kami dikenai Rp 27.000 per orang. Setelah membayar tiket, kami masuk melalui pintu barat dari arah Pasuruan. Masuk dari Desa Tosari untuk menuju ke lautan pasir terbilang berat. Medan yang kami lewati berat untuk dilalui kendaraan roda empat biasa. Karena jalurnya berupa turunan curam. Dengan naik motor, kami bisa melaluinya dengan nyaman. Jalur ini pemandangannya indah. Kami tidak berniat mendaki ke pinggir kawah Bromo. Sudah pernah. Kami hanya ingin menyusuri lautan pasir Bromo di antara Jeep-Jeep dan kuda yang lalu lalang. Tentu saja sambil foto-foto. Selain puncak Bromo, lautan pasir, dan Pura Luhur Poten, pengunjung bisa berfoto di spot yang ramai pengunjung. Yaitu di Bukit Teletubbies. Bukit ini berupa padang sabana yang sangat luas dengan pemandangan hijau sejauh mata memandang. Bukitnya bergelombang sehingga tampak seperti rumah-rumah di serial anak Teletubbies . Melipir ke Ranu Regulo Setelah bikin kopi dengan kompor dan nesting yang kami bawa dari kos-kosan, kami berpikir spot mana lagi yang perlu dikunjungi. Spontan saudara saya pun mengajak naik ke Ranupani. Ke pos perizinan pendakian Gunung Semeru. Dari Bromo, perjalanan ke Ranupani tidak sampai 2 jam. Kami makan dan memesan kopi di warung langganan ketika mendaki Semeru. Kami nongkrong sambil memperhatikan pendaki yang hendak mendaki maupun yang turun. Gabut. Mungkin tidak banyak yang tahu, di Desa Ranupani, ada spot wisata alternatif selain Danau Ranupani. Namanya Ranu Regulo. Letaknya tidak jauh dari pos SIMAKSI pendakian di dekat Danau Ranupani. Kami hanya perlu berjalan beberapa menit untuk mencapainya. Motor kami parkir dengan biaya Rp 5.000. Letak Ranu Regulo memang sedikit tersembunyi. Berada di tengah-tengah belantara. Lokasi di sini juga enak untuk kamping. Sayang, saat itu kami tidak membawa tenda. Jadi, di sana kami hanya tidur barang satu sampai dua jam di selter. Fasilitas penunjang di sini kurang memadai. Ranu Regulo terletak di ketinggian sekitar 2.200 mdpl. Jadi cuacanya cukup dingin. Warga setempat yang pernah diwawancarai koran Tempo pernah mengatakan bahwa suhu di kawasan danau itu lebih dingin. Suhu minimal yang tercatat pada bagian informasi danau tersebut bisa mencapai -4 derajat Celsius. Selisih suhu dengan Ranu Pane bisa mencapai 2 derajat. Bahkan, konon katanya, pernah ada yang meninggal karena kram waktu berenang di Ranu Regulo. Tertarik mencoba nge-camp di Ranu Regulo? (*) Surabaya–Ranupani, 11 April 2018

  • Pawon Luwak Coffee, Kopi Istimewa di Magelang

    TEMPATNYA  tidak seperti kafe-kafe pada umumnya. Lebih mirip seperti rumah kuno. Tampak klasik. Kalau tidak ada papan namanya mungkin rumah itu tidak lebih dari sekedar rumah. Namanya Pawon Luwak Coffee. Lokasinya berada di Magelang. Tidak jauh dari Candi Pawon. Saya dan pacar –yang sekarang menjadi istri saya– berkesempatan untuk mencicipi salah satu kopi termahal di dunia itu. Begitu melangkahkan kaki ke teras kafe, pertama yang terlihat adalah biji kopi berselimut tinja luwak yang ditaruh di tampa. Sudah kering. Biji tinja luwak itulah yang nantinya dibersihkan, disangrai, digiling, kemudian diseduh dengan air panas. Bisa pilih kopi luwak Arabika atau Robusta. Kami memilih keduanya. Saat itu, sekitar tahun 2018, satu sloki harganya Rp 25.000. Sambil menunggu pesanan datang, kami pun diajak tur kafe. Kami diajak masuk ke pekarangan belakang rumah/kafe. Di sana terdapat pohon-pohon kopi yang saat itu sedang berbuah. Masih hijau. Ada juga beberapa ekor luwak di kandang. Dari dubur merekalah keluar biji kopi yang nikmat saat disajikan sebagai kopi panas itu. Kami bertanya banyak hal dan dijawab dengan ramah oleh pegawai kafe. Oh iya, untuk tempat ngopi, kita bisa memilih tiga tempat. Di teras depan rumah, di ruang tamu, dan di pekarangan belakang rumah. Pilihan yang terakhir lebih asyik. Coba deh. (*)

  • Candi Pawon, Tempat Abu Jenazah Raja Indra

    CANDI Pawon tidak begitu terkenal seperti Candi Borobudur atau Prambanan. Wajar karena candi ini tidak sebesar dua candi tersebut. Lokasinya juga berada di tengah perkampungan warga. Tapi, bagi kami yang memiliki misi menjelajahi semua candi di Jogja, candi yang didirikan antara abad VIII- IX Masehi pada masa kerajaan Mataram Kuno ini harus dikunjungi. Apalagi, tidak jauh dari candi ini, ada Pawon Luwak Coffee yang namanya cukup akrab di telinga pecinta kopi di Jogja/Magelang. Cafe itu memproduksi sendiri kopi luwak mulai dari pohon, dimakan luwak, hingga keluar bersama feses sampai proses menjadi kopi yang dihidangkan dimeja. Menurut Casparis, Candi Pawon merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Raja Indra (782 - 812 M), ayah Raja Samarrattungga dari Dinasti Syailendra. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. Ahli epigrafi J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa 'awu' yang berarti 'abu', mendapat awalan pa- dan akhiran -an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', akan tetapi de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Penduduk setempat juga menyebut Candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata bahasa Sanskerta 'vajra' yang berarti 'halilintar' dan anala yang berarti 'api'. Candi Pawon dipugar tahun 1903. Di dalam bilik candi ini sudah tidak ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati (kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung). (*/wiki)

  • Mendaki Merbabu Lagi, Gagal Muncak hingga Dibegal Monyet

    SAYA kembali ke Merbabu. Keindahannya membuat saya rindu ingin bertemu. Jadi, saya langsung mengiyakan saat kawan sekantor menawarkan perjalanan ini. Yuk, Merbabu! Cus lah . Skuad pendakian kali ini cukup gemuk. Kami berdelapan. Enam cowok, dua cewek. Kami memesan tiket kereta ekonomi dari Stasiun Senen, Jakarta Pusat, dengan tujuan Stasiun Solo Jebres. Jauh-jauh hari kami sudah booking sewa mobil base camp Selo. Setelah sekitar 7 jam perjalanan, kami sampai di Solo. Mobil travel menjemput kami di stasiun. Perjalanan dari stasiun ke base camp Selo memakan waktu sekitar 2 jam. Dini hari kami sampai di base camp Selo. Kami tidur di base camp dengan membayar seikhlasnya. Kita bisa memesan makan dan minum di sana. Esok paginya kami mulai mendaki. Start sekitar jam 08 pagi. Setelah mengurus perizinan dan membayar retribusi di pos perizinan, kami mulai mendaki. Belum sampai Pos 1, kondisi salah satu kawan kami drop. Dia tidak kuat melanjutkan perjalanan. Dadanya sesak. Dia akhirnya kembali ke base camp dengan ditemani salah satu kawan yang lain. Setelah kawan yang mengantar kembali, kami melanjutkan mendaki. Ini bisa menjadi pelajaran. Mendaki gunung tidak sama dengan main ke kebun di belakang rumah. Mendaki gunung memerlukan persiapan yang matang. Persiapan fisik, perlengkapan safety standar, dan logistik. Untuk fisik, disarankan olahraga minimal dua atau satu minggu sebelum naik. Setiap hari lebih baik. Trek yang saya lalui masih sama dengan pendakian Merbabu yang pertama. Hanya saja pendaki kali ini lebih ramai. Tapi, kami tetap mendaki dengan santai. Pos 1 terlewati. Tidak lama istirahat di sana, kami melanjutkan mendaki ke Pos 2. Kami berencana istirahat cukup lama di pos ini. Membuka snack dan menyeduh kopi. Cukup lama kami beristirahat di Pos 2 sampai akhirnya hujan turun cukup deras. Waktu itu sekitar jam 01 siang. Kami berteduh di selter. Berbagi tempat dengan pendaki lain. Seingat saya, di Merbabu hanya ada satu bangunan selter. Di Pos 2 itu. Hujan lama tak berhenti. Waktu terus berlalu. Jam tangan pun menunjukkan pukul 03 sore. Karena kabut, suasananya seperti sudah jam 06 sore. Kami urungkan niat melanjutkan perjalanan ke Pos 3 dan nge-camp di Sabana 1. Kami akhirnya memutuskan untuk bermalam di Pos 2. Saya dan kawan lain kemudian mengenakan jas hujan untuk mencari spot mendirikan tenda. Saat itu hujan tinggal menyisakan gerimis. Jadilah kami mendirikan tenda di bawah gerimis yang tak begitu besar. Spot kami mendirikan tenda masih sedikit ke atas setelah selter. Tidak lama setelah tenda berdiri, gerimis berhenti. Kami ganti pakaian kering dan istirahat dengan tenang di dalam tenda. Kami makan-makan dan ngopi-ngopi sebelum tidur pulas. Esoknya saya bangun saat hari sudah terang. Masih pagi. Di sekitar tenda kami ada beberapa tenda pendaki lain. Aktivitas pagi itu sudah dimulai. Ada yang masak, menyeduh kopi, atau santai-santai saja. Kami pun begitu. Pagi itu kami masih santai-santai. Sekitar jam 09 kami baru berdiskusi untuk rencana melanjutkan pendakian. Satu keputusan pun disepakati. Kami langsung nembak puncak dengan meninggalkan tenda di Pos 2. Kami hanya membawa makanan dan perlengkapan secukupnya. Kami mulai berjalan tanpa beban keril di punggung. Langkah memang bisa bergerak sedikit lebih cepat, tapi tetap saja berat. Menanjak. Terutama saat menuju Pos Sabana 1. Kawan yang cewek-cewek lemas. Tenaga mereka terkuras habis. Udara menipis karena kabut tak hilang-hilang. Melihat trek menanjak tajam menuju Sabana 1, nyali mereka kendur. Mereka ingin menyerah. Tapi kami meyakinkan, menyerah sebelum mencoba bukan pilihan yang bijak. Nyali mereka kembali gahar. Yuk, nanjak! Kami berjalan perlahan menapaki jalur menanjak itu. Napas patah-patah. Tulang-tulang seakan lunglai. Itulah yang tampak di wajah dua kawan cewek kami. Kami terus menyemangati mereka sampai akhirnya berhasil mencapai Sabana 1. Di Sabana 1, semangat mereka benar-benar tumpas. Itu setelah melihat trek menuju Sabana 2 dan puncak yang tak kalah menanjak. Ditambah kabut saat itu begitu tebal. Kami pun sepakat membatalkan niat untuk muncak . Gunung Merbabu memang memiliki tujuh puncak. Watu Gubuk (2.729 mdpl), Watu Tulis/Pemancar (2.920 mdpl), Geger Sapi (2.987 mdpl), Syarif (3.142 mdpl), Ondo Rante (3.110 mdpl), Kenteng Songo (3.145 mdpl), dan Triangulasi (3.122 mdpl). Itu dikenal juga dengan seven summit Merbabu. Semuanya bisa lebih muda dicapai melalui jalur Kopeng Thekelan. Merbabu sendiri memiliki lima jalur pendakian. Yaitu, Kopeng Thekelan, Wekas, Kopeng Cunthel, Selo, dan Suwanting. Selo adalah jalur favorit pendaki yang akan naik Merbabu. Merbabu adalah gunung api yang secara administratif berada di Kabupaten Magelang di lereng barat dan Kabupaten Boyolali di lereng timur dan selatan, Kabupaten Semarang di lereng utara, Jawa Tengah. Gunung ini dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya, pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, ’’ merbabu ’’ berasal dari gabungan kata ’’meru’’ (gunung) dan ’ ’abu’’ (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda. Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Puncak tertinggi gunung Merbabu berada di ketinggian 3.145 mdpl (Kenteng Songo). Kami beristirahat cukup lama di Sabana 1. Mengembangkan flysheet untuk menepis angin yang berembus cukup kencang. Kami menikmati bekal snack dan menyeruput kopi. Tak ketinggalan mengeksplor lekuk-lekuk Sabana 1. Mengabadikannya dalam frame-frame kamera. Gunung yang indah. Setelah puas bermalas-malasan di Sabana 1, kami turun ke tenda di Pos 2. Kami nge-camp semalam lagi di pos ini. Menghabiskan logistik. Esok paginya kami mulai ’’diserbu’’ kawanan monyet di semak-semak. Mereka minta makan. Bahkan, saat kami turun, ada monyet yang membegal kami di tengah jalan. Monyet itu menghadang kami dengan sesekali memamerkan taring tajamnya. Seperti begal yang membawa senjata tajam. Hal serupa terjadi di Pos 1 saat kami naik. Mereka baru pergi saat diberi makan. Nah, di Pos 2, selain monyet-monyet begal itu, ada spesies lain dari kalangan mereka. Surili atau lutung abu namanya. Ya, selain kera-kera yang usil dan songong, Gunung Merbabu dikenal sebagai habitat asli surili. Surili merupakan jenis lutung endemik asli Merbabu. Surili memang lebih menghindari interaksi dengan manusia. Menjauhi jalur pendakian yang ramai. Surili hanya memakan daun dan buah, sedangkan monyet ekor panjang memakan hampir apa saja yang bisa dimakan. Bagi Anda yang ingin mengintip surili, lokasi yang sering dikunjunginya adalah Pos 2 via Selo. Kalau bisa menemui surili atau lutung abu, kita hanya perlu menikmatinya dari jauh. Jangan ganggu, apalagi memburu. Sebab, surili merupakan salah satu primata endemik di Jawa Tengah yang terancam punah karena adanya penurunan populasi di alam. Saya sempat mengabadikannya dalam frame kamera. Surili itu asyik nongkrong di pohon di kejauhan sana. Sambil memperhatikan kondisi sekitar. Begitu siang tiba, kami berkemas dan turun menuju base camp Selo. Malamnya kami meluncur ke Stasiun Solo dan kembali ke Jakarta. Salam mendaki. (*) Jakarta–Boyolali, 29–30 Januari 2018

  • Hampir Makan Nasi Tim Babi di Kedai Kopi Es Tak Kie

    JAKARTA tidak kekurangan kafe estetik yang Instagramable. Hampir tidak ada kafe kekinian di ibu kota yang sepi. Bahkan kafe di pinggir jalan kecil sekalipun. Anak muda sampai orang dewasa suka mendatangi kafe. Bisa untuk mengisi feed media sosial, nongkrong bareng kawan, atau mencari ketenangan setelah lelah bekerja seharian. Namun, di tengah gempuran kafe-kafe yang menawarkan desain indah dan menu-menu terupdate, ada satu kafe/kedai yang bertahan dengan kesederhanaannya. Kedai Kopi Es Tak Kie namanya. Kedai ini tidak ikut latah pada perkembangan zaman. Mereka tetap mempertahankan wajah aslinya. Begitu juga menu-menunya. Kedai sederhana ini menawarkan cita rasa warisan budaya dan sejarah yang tak ternilai harganya. Kedai Kopi Es Tak Kie memiliki karakter dan sejarahnya sendiri sehingga kedai ini sudah memiliki pelanggan setia. Bisa juga ada pelanggan baru yang penasaran akan sejarahnya. Termasuk kami. Kedai Kopi Es Tak Kie berada di gang sempit bernama Gloria, Glodok, Jakarta Barat. Kedai ini berdiri sejak tahun 1927. Harga segelas Kopi Es Tak Kie murah dan ramah di kantong. Kedai Kopi Es Tak Kie menyediakan dua varian menu, yaitu kopi hitam dan kopi susu. Selain kopi, kita bisa memesan makanan berat lainnya seperti nasi campur, nasi tim ayam, bakmie ayam, bihun ayam, kwetiau ayam, Losupan ayam, bakmie pangsit, bakmi bakso, sup pangsit, sup bakso, sup swikiaw. Sebagai muslim, kami sebenarnya cukup khawatir membeli jajanan atau makanan di kawasan ini. Takut ada kandungan babinya. Sebab, Glodok merupakan kawasan pecinan atau mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa. Tapi kami bismillah saja. Kami memesan makanan dan minuman yang kira-kira aman saja. Akhirnya kami memesan Kopi Es Tak Kie varian kopi hitam dan kopi+susu. Biar bisa saling mencicipi. Untuk makanan berat, kami memilih nasi tim ayam. Dari namanya, nasi tim ayam, menu itu pasti aman dari kandungan babi. Tidak lama kemudian, dua kopi es dihidangkan di atas meja. Saya tidak ahli soal kopi. Saya tahunya cuma enak dan tidak enak. Nah, kopi susu yang kami pesan ini enak. Kopi hitamnya biasa saja. Sambil menunggu menu berikutnya datang, kami ngobrol ringan sambil mengamati interior kedai yang klasik dan jadul. Tidak lama kemudia, pelayan kedai mendatangi kami. Tapi tidak dengan membawa menu pesanan kami. Pelayan itu ternyata ingin memberi tahu bahwa nasi tim yang kami pesan mengandung unsur babi. Wow. Hampir saja. Sebenarnya kalau dikasih tahu setelah makanannya habis juga gak masalah sih. Tidak ada hukum karena ketidaktahuan dalam hal itu. Biar bisa mencicipi rasa babi juga toh. Hehe... Tapi, terima kasih atas perhatian dan toleransinya. Karena pacar saya berhijab, tentu saja sangat mudah mengidentifikasinya sebagai muslim. Kami akhirnya memesan bakmi atas rekomendasi menu-menu yang tidak mengandung unsur babi. Nama Tak Kie diambil bukan dari nama orang, tapi memiliki arti yang dijadikan pedoman hingga kini. Tak Kie memiliki arti 'orang yang bijak' atau dapat diartikan 'sederhana'. Selain itu, Tak Kie bisa diartikan 'merendah'. Inilah yang menjadi pedoman kedai ini agar tetap merendah, tidak sombong. (*)

  • Mencoba Merasakan Atmosfer Vihara Dharma Bhakti Jakarta Menjelang Imlek

    MUMPUNG lagi berada di area Glodok, Jakarta Barat, setelah mencicipi Kopi Es Tak Kie yang legendaris, kami mencari tempat-tempat ikonis atau bersejarah lain yang sayang jika tak didatangi. Ketemulah Vihara Dharma Bhakti. Jarak dari Kopi Es Tak Kie ke Vihara Dharma Bhakti hanya sekitar 5 menit dengan mengendarai sepeda motor. Vihara tertua di Jakarta itu beralamat di Petak Sembilan, Jl. Kemenangan III No.19 3, RT.3/RW.2, Glodok, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat. Vihara Dharma Bhakti cukup ramai siang itu. Banyak umat Konghucu yang datang untuk sembahyang. Ada juga yang datang sekadar untuk berkunjung seperti kami. Kesibukan di vihara yang dibangun pada 1650 oleh Letnan Tionghoa bernama Kwee Hoen tersebut tidak hanya itu. Ada yang sedang bersih-bersih, baik halaman maupun patung. Ada pula yang sibuk memasang hiasan lampion. Suasana semakin ramai dengan kehadiran anak-anak warga lokal yang bermain di area dalam vihara. Vihara ini lebih ramai dari hari-hari biasa karena bulan depan umat Konghucu akan merayakan Imlek. Jadi, persiapannya sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari. Petugas kelenteng menyambut pelancong dengan ramah. Kami ditawari air mineral untuk membasahi kerongkongan yang mulai kering. Jakarta siang itu cukup panas. Awalnya, vihara ini bernama Kwan Im Teng, tapi pada tahun 1740 vihara ini diyakini ikut terbakar dalam peristiwa pembantaian komunitas Tionghoa yang dikenal dengan sebutan Geger Pecinan. Vihara ini dibangun kembali oleh Kapiten Oey Tjie pada 1755, lalu namanya diganti menjadi Jin De Yuan atau Kim Tek Le. Vihara ini dihuni 27 patung dewa, salah satu yang terkenal dan sudah ada sejak dulu adalah Patung Dewi Kwan Im. Patung Dewi Kwan Im termasuk yang berhasil diselamatkan ketika peristiwa pembakaran geger pecinan pada 1740. Pada 2015, Vihara Dharma Bhakti pernah terbakar karena kelalaian saat penyalaan lilin untuk peribadatan hingga mengakibatkan hanya bagian tengah vihara saja yang utuh. Kendati demikian, patung Dewi Kwan Im masih berdiri dan diletakkan di bagian depan Vihara Dharma Bhakti dan tampak terawat dengan baik sampai sekarang. Dalam perkembangannya, masyarakat sektiar mengenal vihara ini dengan sebutan Kelenteng Petak Sembilan atau Vihara Dharma Bhakti. (*)

bottom of page