Mendaki Merbabu Lagi, Gagal Muncak hingga Dibegal Monyet
- budiawanagus
- Jan 30, 2018
- 4 min read

SAYA kembali ke Merbabu. Keindahannya membuat saya rindu ingin bertemu. Jadi, saya langsung mengiyakan saat kawan sekantor menawarkan perjalanan ini. Yuk, Merbabu! Cus lah.
Skuad pendakian kali ini cukup gemuk. Kami berdelapan. Enam cowok, dua cewek. Kami memesan tiket kereta ekonomi dari Stasiun Senen, Jakarta Pusat, dengan tujuan Stasiun Solo Jebres.
Jauh-jauh hari kami sudah booking sewa mobil base camp Selo. Setelah sekitar 7 jam perjalanan, kami sampai di Solo. Mobil travel menjemput kami di stasiun. Perjalanan dari stasiun ke base camp Selo memakan waktu sekitar 2 jam.
Dini hari kami sampai di base camp Selo. Kami tidur di base camp dengan membayar seikhlasnya. Kita bisa memesan makan dan minum di sana.
Esok paginya kami mulai mendaki. Start sekitar jam 08 pagi. Setelah mengurus perizinan dan membayar retribusi di pos perizinan, kami mulai mendaki.
Belum sampai Pos 1, kondisi salah satu kawan kami drop. Dia tidak kuat melanjutkan perjalanan. Dadanya sesak. Dia akhirnya kembali ke base camp dengan ditemani salah satu kawan yang lain. Setelah kawan yang mengantar kembali, kami melanjutkan mendaki.
Ini bisa menjadi pelajaran. Mendaki gunung tidak sama dengan main ke kebun di belakang rumah. Mendaki gunung memerlukan persiapan yang matang. Persiapan fisik, perlengkapan safety standar, dan logistik. Untuk fisik, disarankan olahraga minimal dua atau satu minggu sebelum naik. Setiap hari lebih baik.
Trek yang saya lalui masih sama dengan pendakian Merbabu yang pertama. Hanya saja pendaki kali ini lebih ramai. Tapi, kami tetap mendaki dengan santai.
Pos 1 terlewati. Tidak lama istirahat di sana, kami melanjutkan mendaki ke Pos 2. Kami berencana istirahat cukup lama di pos ini. Membuka snack dan menyeduh kopi.
Cukup lama kami beristirahat di Pos 2 sampai akhirnya hujan turun cukup deras. Waktu itu sekitar jam 01 siang. Kami berteduh di selter. Berbagi tempat dengan pendaki lain. Seingat saya, di Merbabu hanya ada satu bangunan selter. Di Pos 2 itu.

Hujan lama tak berhenti. Waktu terus berlalu. Jam tangan pun menunjukkan pukul 03 sore. Karena kabut, suasananya seperti sudah jam 06 sore.
Kami urungkan niat melanjutkan perjalanan ke Pos 3 dan nge-camp di Sabana 1. Kami akhirnya memutuskan untuk bermalam di Pos 2. Saya dan kawan lain kemudian mengenakan jas hujan untuk mencari spot mendirikan tenda. Saat itu hujan tinggal menyisakan gerimis.
Jadilah kami mendirikan tenda di bawah gerimis yang tak begitu besar. Spot kami mendirikan tenda masih sedikit ke atas setelah selter. Tidak lama setelah tenda berdiri, gerimis berhenti.
Kami ganti pakaian kering dan istirahat dengan tenang di dalam tenda. Kami makan-makan dan ngopi-ngopi sebelum tidur pulas.
Esoknya saya bangun saat hari sudah terang. Masih pagi. Di sekitar tenda kami ada beberapa tenda pendaki lain. Aktivitas pagi itu sudah dimulai. Ada yang masak, menyeduh kopi, atau santai-santai saja. Kami pun begitu.
Pagi itu kami masih santai-santai. Sekitar jam 09 kami baru berdiskusi untuk rencana melanjutkan pendakian. Satu keputusan pun disepakati. Kami langsung nembak puncak dengan meninggalkan tenda di Pos 2. Kami hanya membawa makanan dan perlengkapan secukupnya.
Kami mulai berjalan tanpa beban keril di punggung. Langkah memang bisa bergerak sedikit lebih cepat, tapi tetap saja berat. Menanjak. Terutama saat menuju Pos Sabana 1. Kawan yang cewek-cewek lemas. Tenaga mereka terkuras habis. Udara menipis karena kabut tak hilang-hilang.
Melihat trek menanjak tajam menuju Sabana 1, nyali mereka kendur. Mereka ingin menyerah. Tapi kami meyakinkan, menyerah sebelum mencoba bukan pilihan yang bijak. Nyali mereka kembali gahar. Yuk, nanjak!
Kami berjalan perlahan menapaki jalur menanjak itu. Napas patah-patah. Tulang-tulang seakan lunglai. Itulah yang tampak di wajah dua kawan cewek kami. Kami terus menyemangati mereka sampai akhirnya berhasil mencapai Sabana 1.
Di Sabana 1, semangat mereka benar-benar tumpas. Itu setelah melihat trek menuju Sabana 2 dan puncak yang tak kalah menanjak. Ditambah kabut saat itu begitu tebal. Kami pun sepakat membatalkan niat untuk muncak.
Gunung Merbabu memang memiliki tujuh puncak. Watu Gubuk (2.729 mdpl), Watu Tulis/Pemancar (2.920 mdpl), Geger Sapi (2.987 mdpl), Syarif (3.142 mdpl), Ondo Rante (3.110 mdpl), Kenteng Songo (3.145 mdpl), dan Triangulasi (3.122 mdpl).
Itu dikenal juga dengan seven summit Merbabu. Semuanya bisa lebih muda dicapai melalui jalur Kopeng Thekelan. Merbabu sendiri memiliki lima jalur pendakian. Yaitu, Kopeng Thekelan, Wekas, Kopeng Cunthel, Selo, dan Suwanting. Selo adalah jalur favorit pendaki yang akan naik Merbabu.
Merbabu adalah gunung api yang secara administratif berada di Kabupaten Magelang di lereng barat dan Kabupaten Boyolali di lereng timur dan selatan, Kabupaten Semarang di lereng utara, Jawa Tengah.
Gunung ini dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya, pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, ’’merbabu’’ berasal dari gabungan kata ’’meru’’ (gunung) dan ’’abu’’ (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda.
Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Puncak tertinggi gunung Merbabu berada di ketinggian 3.145 mdpl (Kenteng Songo).
Kami beristirahat cukup lama di Sabana 1. Mengembangkan flysheet untuk menepis angin yang berembus cukup kencang. Kami menikmati bekal snack dan menyeruput kopi. Tak ketinggalan mengeksplor lekuk-lekuk Sabana 1. Mengabadikannya dalam frame-frame kamera. Gunung yang indah.
Setelah puas bermalas-malasan di Sabana 1, kami turun ke tenda di Pos 2. Kami nge-camp semalam lagi di pos ini. Menghabiskan logistik.

Esok paginya kami mulai ’’diserbu’’ kawanan monyet di semak-semak. Mereka minta makan. Bahkan, saat kami turun, ada monyet yang membegal kami di tengah jalan. Monyet itu menghadang kami dengan sesekali memamerkan taring tajamnya. Seperti begal yang membawa senjata tajam. Hal serupa terjadi di Pos 1 saat kami naik. Mereka baru pergi saat diberi makan.
Nah, di Pos 2, selain monyet-monyet begal itu, ada spesies lain dari kalangan mereka.
Surili atau lutung abu namanya. Ya, selain kera-kera yang usil dan songong, Gunung Merbabu dikenal sebagai habitat asli surili. Surili merupakan jenis lutung endemik asli Merbabu.
Surili memang lebih menghindari interaksi dengan manusia. Menjauhi jalur pendakian yang ramai. Surili hanya memakan daun dan buah, sedangkan monyet ekor panjang memakan hampir apa saja yang bisa dimakan.
Bagi Anda yang ingin mengintip surili, lokasi yang sering dikunjunginya adalah Pos 2 via Selo. Kalau bisa menemui surili atau lutung abu, kita hanya perlu menikmatinya dari jauh. Jangan ganggu, apalagi memburu. Sebab, surili merupakan salah satu primata endemik di Jawa Tengah yang terancam punah karena adanya penurunan populasi di alam.
Saya sempat mengabadikannya dalam frame kamera. Surili itu asyik nongkrong di pohon di kejauhan sana. Sambil memperhatikan kondisi sekitar.
Begitu siang tiba, kami berkemas dan turun menuju base camp Selo. Malamnya kami meluncur ke Stasiun Solo dan kembali ke Jakarta. Salam mendaki. (*)
Jakarta–Boyolali, 29–30 Januari 2018



Comments