Pulau Pari, Pesona Wisata dan Sengketa Tanah
- budiawanagus
- Dec 31, 2018
- 2 min read
Updated: Jan 9, 2019

TIDAK jauh dari keriuhan Jakarta, sekitar 1,5 jam-2 jam perjalanan dengan naik kapal tradisional, saya pun berlabuh di dermaga Pulau Pari. Pulau kecil di antara jajaran pulau-pulau di Kabupaten Kepulauan Seribu. Satu-satunya kabupaten di Jakarta.
Potensi wisata di pulau seluas 41,32 hektare ini sangat besar. Sebut saja beberapa yang terkenal, Pantai Bintang dan Pantai Pasir Perawan. Namun, mungkin tak banyak yang tahu bahwa di Pulau Pari dengan pesona wisatanya yang menggoda ribuan wisatawan untuk bertandang, ada duka bagi warganya.
Menurut warga, kini mereka sedang dan akan terus berjuang. Melawan sebuah perusahaan yang coba mencengkeram. Menduduki tempat kelahiran. Tempat mereka tinggal, bernaung dari guyuran hujan, bertahan dari terpaan gelombang pasang.
Seruan-seruan perlawanan memang begitu terasa di sepanjang jalan menuju Pantai Pasir Perawan. Berupa tulisan-tulisan di tembok rumah. Di warung-warung suvenir. Indah, tapi membara. Ada juga foto warga yang dipajang. Bentuk dukungan untuk ia yang keras dalam melawan.
Sampai saat ini, sebanyak 265 KK dengan 930 jiwa di Pulau Pari masih menunggu kepastian untuk tanah kelahiran.
IHWAL SENGKETA PULAU PARI
Konflik Pulau Pari sebenarnya sudah berusia tua, tepatnya dari tahun 1988. Menurut CNN Indonesia, warga disebut memiliki sertifikat lahan kepemilikan di kawasan Pulau Pari. Namun, sertifikat itu ditarik dan diganti dengan girik untuk membayar PBB.
Pada tahun 1992, lahan di Pulau Pari disebut sudah dibeli Herman Susilo. Dia adalah pendiri PT Bumi Raya Utama (saat ini bernama PT Bumi Pari Asri). PBB pun dibayar perusahaan itu. Di sisi lain, warga mengaku membayar pajak berdasar girik.
Pada tahun 1998, banyak warga luar yang berdatangan ke Pulau Pari dan mendirikan bangunan di sana. Mereka pun disebut membayar PBB dengan sistem girik. Pada tahun 2013, Pulau Pari menjadi salah satu destinasi wisata di Kepulauan Seribu. Warga mengembangkan sektor wisata secara swadaya.
Setahun kemudian, atau pada tahun 2014, perwakilan PT Bumi Pari Asri mendatangi Pulau Pari dan menyebut tempat tinggal warga sebagai lahan milik perusahaan itu. Mereka membawa SHM sebagai bukti.
Pada tanggal 11 Maret 2017, terjadi penangkapan terhadap nelayan Pulau Pari dengan tuduhan melakukan pungutan liar (pungli) di objek wisata. Warga merasa dikriminalisasi. Tiga nelayan itu divonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 7 September 2017.
Bulan April 2018, Ombudsman memaparkan hasil pemeriksaan. Yakni, ada 62 SHM dan 14 SHGB yang penerbitannya maladministrasi. BPN dan Pemprov DKI diberi waktu selama 30 hari untuk menaggulanginya. (*)
Komentarze