Search Results
165 results found with an empty search
- Main ke Maharani Zoo and Goa Bareng Mas Akhtar
SEBAGAI saudara yang sama-sama sudah punya keluarga dan rumah sendiri, apalagi jaraknya cukup jauh, bisa berkumpul di rumah masa kecil menjadi momen yang jarang terjadi. Pada beberapa kesempatan, kami hanya berkumpul di rumah tanpa rencana-rencana. Normalnya hidup sehari-hari saja. Namun, pertemuan kali ini berbeda dari biasanya. Kami punya rencana. Jalan-jalan ke suatu tempat yang cocok untuk anak-anak. Dipilihlah kebun binatang. Ada dua opsi yang harus dipilih salah satu. Kebun Binatang Surabaya (KBS) atau Maharani Zoo di Paciran, Lamongan. Setelah ditimbang-timbang, kami sepakat memilih Maharani Zoo. Alasannya, saudara saya belum pernah ke Maharani Zoo, jakarnya dekat dari rumah (sekitar 30 menit), dan koleksi satwa di KBS sedikit. Bagi kami, ini kunjungan kedua kali ke Maharani Zoo . Kunjungan pertama terjadi pada tahun 2018 saat kami baru menikah dan belum memiliki anak. Si bocil dan masnya tampak bersemangat saat memasuki Maharani Zoo. Takjub melihat binatang-binatang di dalam kandang. Terlebih bagi si bocil yang masih batita. Kami keliling zoo sekitar 3 jam. Melelahkan dan panas. Kebun binatang ini banyak ditumbuhi pohon rimbun. Meski begitu, hawa panas masih begitu terasa. Maklun, Maharani Zoo ada di dekat laut. (*)
- Staycation Semalam di Platinum Hotel Surabaya
AWALNYA kami hanya ingin main ke Surabaya untuk menemui saudara kami yang lagi ada pekerjaan dinas ke Surabaya. Kebelutan, saya sedang pulang ke Gresik untuk mengunjungi anak dan istri. Kami sudah janjian bertemu di Platinum Hotel yang berada di Jalan Tunjungan, Surabaya, Jawa Timur. Semasa kuliah, saya sering melewati jalan itu. Surabaya bukan kota yang asing. Perjalanan kami dari Gresik ke Surabaya lebih dari dua jam. Sesampai di hotel, kami ngobrol sebentar di kamar hotel sebelum pergi ke luar untuk jajan bakso. Banyak bakso enak di Surabaya. Setelah kenyang, kami tidak pergi ke mana-mana. Saudara kami masih ada pekerjaan yang musti diselesaikan. Kami juga tidak punya rencana lain. Jadi, kami kembali ke hotel. Sebelum sore kami berencana pamit mau pulang. Namun, saudara kami menawarkan satu kamar hotel yang tidak ditempati meski sudah dibayar. Rekan kerjanya lebih memilih menginap di rumah saudaranya daripada di hotel. Jadi, kamarnya kosong. Daripada mubazir, tawaran itu kami ambil. Menginap semalam. Hehehe... Jadilah kami menempati kamar rekan saudara kami itu. Dari atas kamar hotel, kami bisa melihat sebagian lanskap Surabaya. Bangunan tinggi Mal Tunjungan Plaza juga tampak megah di dekat hotel. Bagus. Apalagi saat malam. Malam hari kami isi dengan jalan-jalan di sekitar hotel. Makan malam nasi goreng gerobakan di pinggir jalan. (*) Surabaya, 13-14 Oktober 2022
- Ngadem Sebentar ke Malindo Swimming Pool Gresik
CUACA panas di Gresik saat musim kemarau kerap membuat gerah. Sumuk. Terkadang solusinya bisa menyalakan kipas angin di nomor 3 atau cari angin ke ladang di belakang rumah. Namun, ada kalanya kebosanan tak bisa dilawan. Pengen ngadem di tempat lain sekalian jalan-jalan. Nah, Malindo Swimming Pool bisa jadi pilihan. Lokasinya tidak jauh dari rumah kami. Jaraknya hanya sekitar 9 kilometer atau 14 menit dengan naik motor/mobil. Kalau dari Gresik kota (Alun-Alun Gresik), jaraknya sekitar 50 kilometer atau 1 setengah jam. Lokasinya strategis karena berada di pinggir jalan utama di Jalan Raya Lowayu, Desa Lowayu, Kecamatan Dukun, Gresik. Malindo Swimming Pool memiliki beberapa kolam renang dengan berbagai kedalaman, cocok untuk dewasa, anak-anak, dan balita --tentu saja harus diawasi/ditemani orang tua. Banyaknya petugas yang memantau juga membuat pengunjung semakin merasa aman. Fasilitas di dalam kolam pun ada. Sebagaimana umumnya kolam renang. Misalnya, air terjun tumpah, air busa, dalan perosotan. Nah, perosotannya bermacam-macam. Ada yang pendek, ada yang lebar, dan ada pula yang tinggi dan panjang. Disesuaikan dengan umur saja. Tempat ini cukup luas dan bersih. Di pinggir kolam banyak gazebo, tempat duduk, dan stan penjual makanan. Ada pula tempat penyewaan pelampung dan minimarket. Toilet dan kamar mandi untuk bilas luas dan juga bersih. Plus musala. Kolam renang ini juga dilengkapi area permainan untuk anak seperti mandi bola, sepeda mini, dan perosotan. Namun, untuk menikmatinya, pengunjung harus membeli tiket lagi. Selain yang berbayar, ada tempat yang gratis. Misalnya, area kolam ikan dan miniatur menara Eifel yang cocok untuk berfoto. Malindo Swimming Pool cocok sebagai tempat pilihan untuk berwisata bareng keluarga. Harga tiketnya terjangkau dan yang pasti segar. Cocok untuk hawa Gresik yang panas. (*)
- Mudik Motoran Jakarta-Gresik, Mampir ke Kebumen
SETELAH menikah, kami merencanakan banyak perjalanan. Ke mana saja. Banyak yang sudah terlaksana. Banyak juga yang masih menunggu untuk dilaksanakan. Rencana yang paling ekstrem –menurut kami– adalah motoran Jakarta–Gresik. Kami bahkan belum yakin 100 persen akan rencana itu. Membayangkan jarak yang akan kami tempuh saja sudah capek duluan. Jadi, rencana itu kami posisikan pada list rencana yang kalau tidak sempat terlaksana juga tidak apa-apa. Nyicil dulu rencana-rencana lain yang nggak “nekat-nekat” amat. Lalu datanglah pagebluk bernama virus kopid. Kalau tidak salah Maret si virus itu “traveling” ke Indonesia via Depok. Muncul kepanikan di mana-mana – di seluruh dunia. Indonesia, sebagaimana negara lain juga, kalang kabut dibikinnya. Ramadan pertama di masa pandemi pun tiba. Segala aktivitas yang judulnya kumpul-kumpul dilarang. Termasuk ibadah di bulan puasa. Puncaknya adalah dilarang mudik. Semua pintu keluar Jakarta dijaga. Tak ada yang boleh keluar dari Jakarta, kecuali yang dikecualikan. Kami tidak mudik. Begitu juga saat Idul Adha. Kami bertahan di ibu kota dengan segala aktivitas yang dibatasi. Ruang gerak yang dipersempit. Waktu terus berjalan dengan korban-korban berjatuhan. Ada kengerian, kekhawatiran. Jangan-jangan terpapar. Lambat laun kami terpaksa berdamai dengan keadaan. Berusaha pasrah, tapi tetap disertai ikhtiar. Nasib tidak pernah salah alamat. Ramadan kedua di masa kopid pun tiba. Tahun 2021. Seperti yang sebelumnya, kali ini pemerintah juga melarang mudik. Siapa saja yang ada di ibu kota –dan kota-kota lain– dilarang melakukan perjalanan lintas kota/wilayah untuk pulang kampung, kecuali dalam kondisi tertentu. Kami tidak termasuk dalam golongan kondisi tertentu itu. Tapi kami ingin pulang, kami ingin mudik. Naik kereta atau pesawat harus melalui tahap dan syarat yang ribet dan malesin. Kondisi itu menjadi trigger bagi kami untuk merealisasikan rencana ekstrem itu. Motoran Jakarta–Gresik, mampir di Kebumen. Bulan puasa sudah memasuki hari ke-15 pagi saat kami memulai perjalanan panjang itu. Kami memacu motor menuju pintu keluar Jakarta. Membebaskan diri untuk pergi. Pulang. Kami berjalan mengikuti penunjuk arah di Google Maps. Kami pasrahkan rindu kami pada aplikasi itu. Menuntun kami pada alamat pulang. Mau bagaimana lagi, saya buta arah. Tujuan terdekat kami adalah Kebumen, Jawa Tengah. Dalam keterangan di Google Maps, waktu yang kami butuhkan untuk sampai di lokasi tujuan adalah 10 jam 43 menit. Tapi kami melaju tanpa kesusu. Tak perlu tergesa-gesa. Kami tidak sedang mengejar apa-apa. Kami hanya perlu menikmati perjalanan ini. Melewati tempat-tempat baru, yang kadang berkesan, tapi kebanyakan biasa-biasa saja. Yang mutlak berkasan adalah perjalanan ini. Saat rasa bosan dan kantuk mulai datang, kami hanya perlu berhenti dan istirahat secukupnya. Meneguk air dan menyesap kopi susu yang sudah kami siapkan di termos mini. Sambil membuang pandangan ke arah jalan raya. Para pejalan lalu-lalang. Entah siapa yang pergi, siapa yang pulang. Setiap tiga jam kami harus menyempatkan istirahat. Karena dalam waktu itu tubuh sudah menolak diajak kompromi untuk menahan lelah dan kantuk. Dalam perjalanan ini, di beberapa titik, ada polisi/dishub yang berjaga. Kami melakukan perjalanan ini menjelang diberlakukannya larangan mudik. Kami sengaja mencuri start sebelum dilarang mudik. Kami beberapa kali melewati titik penjagaan. Dengan barang bawaan yang sarat, setiap orang sudah pasti tahu kami hendak mudik. Tapi mereka belum melakukan tindakan apa-apa. Aturan belum diberlakukan. Kami dibiarkan pergi tanpa diadili. Kami menyusuri jalur pantura yang panjang dan kebanyakan lurus-lurus saja itu. Lalu menikung tajam ke selatan di daerah Cirebon. Menuju Kebumen. Hari sudah malam saat kami masih di perjalanan. Titik tujuan masih beberapa jam lagi. Target kami sampai di Kebumen sebelum maghrib tidak kesampaian. Kami baru tiba di rumah sekitar jam 10 malam. Jadi, total perjalanan kami dari Jakarta–Kebumen sekitar 14 jam. Kami menyempatkan stay di Kebumen selama satu minggu. Sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke tujuan penghabisan: Gresik. Perjalanan Kebumen–Gresik terasa lebih eksotis dan berkesan. Dua jam setengah kami sampai Jogja. Kami disambut gagahnya Merapi di pagi yang cerah. Jogja pagi itu sudah sibuk. Bergeliat. Kami rindu Jogja, tapi kami tidak hendak singgah. Apalagi banyak angkringan yang tutup pada jam-jam itu. Di jalan-jalan yang kami lewati. Rencana mampir sebentar untuk meneguk kopi angkringan pun gagal. Lain kali saja, ya. Oh iya, kami memang berniat tidak puasa dalam perjalanan ini. Maklum, musafir. Hehe.. Roda terus berputar bersama detak waktu yang terus melaju. Kami sesekali menepi untuk minum kopi seduh yang sengaja kami bawa dari rumah. Kami pun melintasi perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada hawa-hawa yang cukup berbeda antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saya tidak bisa menjelaskannya di catatan ini. Hanya bisa dirasakan. Memasuki kawasan Nganjuk, kami disambut rentetan hutan jati. Jalan ini seperti membawa kami ke tengah hutan belantara. Ada kesan mistis sekaligus eksotis. Dan sampailah kami di jalan yang kanan dan kirinya banyak berdiri warung-warung makanan dan minuman. Di antara pohon-pohon jati. Teduah dan tampak tidak biasa. Kami mampir sebentar. Mencicipi mi ayam bakso dan kacang rebus. Menikmati makan di kawasan kuliner hutan jati. Makanannya biasa-biasa saja. Seperti pada umumnya. Tapi tempatnya yang unik. Tempat yang baru kali ini saya lihat. Tidak pernah lihat di ulasan media-media sosial kuliner. Layak dicoba. Nama daerahnya saya lupa. Cari saja di Google. Lebih dari setengah jam kami ngadem sebelum melanjutkan perjalanan. Menurut Google Maps, jarak tempuh Kebumen–Gresik adalah 8 jam 52 menit. Dari Nganjuk, perjalanan masih jauh. Kami hanya perlu menikmati. Setelah melewati Bojonegoro, kami menyusuri jalanan dusun-kota yang biasa. Panjang dan membosankan. Karena itu, kami sepakat untuk mencari suasana yang berbeda. Kami sebenarnya bisa pulang via kawasan Babat, Lamongan, menuju Gresik. Jaraknya lebih dekat. Tapi kami mengambil jalan lurus menuju Paciran, berharap menjumpai matahari jingga tenggelam di garis samudera. Tak masalah waktu perjalanan menjadi sedikit lebih lama. Menjelang maghrib, kami sampai di Paciran. Beruntung, kami bisa menikmati sunset di garis samudra itu. Air laut berbalut warna jingga dengan kapal yang tampak hitam legam bergoyang-goyang di permukaannya. Pemandangan indah menjelang waktu berbuka puasa. Dari titik berhenti itu, perjalanan kami tinggal sekitar satu jam lagi. Total kami menempuh sekitar 12 jam perjalanan dari Kebumen untuk tiba di rumah. Perjalanan yang mengesankan. Dan yang lebih spesial, menjelang hari raya, kami baru tahu bahwa kami melakukan perjalanan ini tidak hanya berdua, tapi bertiga. Karena saat itu istri saya ternyata hamil satu minggu. (*) Jakarta-Kebumen-Gresik, 15 & 22 April 2021
- Kerja Sambil Nongkrong di Suku Kata Kopi Jakarta
SAYA hampir setiap hari lewat di depan kafe yang satu ini. Saat berangkat dan pulang kerja. Tampilan luarnya tidak terlalu menarik bagi saya. Kecuali mobil VW Combi yang ditanam di tembok kafe. Setengah bagian di luar dan sebagian lagi di dalam kafe. Suku Kata Kopi Cafe namanya. Kafe ini seringnya rame. Namun, entah apa alasannya saya belum tertarik untuk mampir. Padahal, lokasinya dekat dengan kantor dan kos-kosan saya. Lokasinya berada di Jalan Bang Pitung, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Sampai akhirnya pandemi Covid-19 merebak. Aktivitas perkantoran ditiadakan. Kerja bisa dilakukan dari rumah. Awalnya biasa saja. Bekerja dari kos-kosan. Tapi, lama-lama bosan juga. Karena ingin mencari suasana baru, saya dan istri akhirnya mampir ke Suku Kata Kopi. Kerja sambil ngopi-ngopi santai. Sampai di halaman kafe tersebut, kami disambut suasana yang adem dan nyaman karena kafe ini mengusung konsep eco-friendly. Suku Kata Kopi memiliki dua area nongkrong, yaitu indoor dan outdoor. Di area indoor, ada dua lantai yang cukup luas. Lantai 1 adalah area non-smoking, sedangkan lantai 2 area smoking. Suku Kata Kopi menawarkan berbagai pilihan menu makanan dan minuman dengan harga yang terjangkau. Kopi andalan kafe ini adalah Es Kopi Suku dan Berry Caramel Latte. Ada pula minuman non-kopi yang tidak kalah enak. Mulai dari Matcha Fusion, Banoffee, Earl Grey Milk Tea, hingga Lychee Tea. Untuk makanan, Suku Kata Kopi menawarkan beragam pilihan seperti Nasi Kulit Sambal Matah atau Nasi Ayam Katsu Matah. Ada juga camilan Pisang Goreng, Kentang Goreng, dan Dimsum. (*)
- Staycation di Aries Biru Hotel & Villa Bogor
BAGI siapa pun yang tinggal di Jakarta, Bogor hampir selalu menjadi pilihan untuk me-refresh otak. Jaraknya tidak terlalu jauh dan objek wisatanya hampir tak terhitung. Semuanya ada. Tapi, kami tidak sedang ingin berwisata di Bogor. Kami hanya ingin menepi sejenak dari kepadatan Jakarta. Staycation di vila sambil ngopi-ngopi santai. Banyak tempat ngopi dengan pemandangan keren di Bogor. Memilih tempat menginap di Bogor tidak mudah. Jumlahnya banyak banget. Mulai yang murah hingga yang paling mahal. Mulai penginapan normal sampai yang tidak normal. Harus pintar-pintar memilih. Setelah browsing di internet, kami akhirnya memilih Aries Biru Hotel & Villa Bogor. Pertimbangannya, ulasannya bagus, fotonya menarik, dan harganya pas. Vila ini berada di Jalan Hankam, Jalan Raya Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor. Setelah kami sampai di lokasi, ekspektasi kami terpenuhi. Tempatnya bagus, bersih, dan banyak tempat untuk nongkrong di area fasilitas umumnya. Vila ini juga dilengkapi kafe, lapangan futsal, dan kolam renang. Saat itu kami menginap saat weekday sehingga tidak banyak pengunjung yang menyewa kamar. Jadi, kami bisa menikmati suasana yang sepi. Sesuatu yang memang kami cari. (*)
- Tempat Paling Indah di Kebumen untuk Menikmati Sunset
KOTA Kebumen yang terletak di Jawa Tengah dianugerahi keindahan alam yang tersebar di berbagai lokasi. Mulai wisata pantai, perbukitan, curug, sungai untuk arung jeram, gua-gua, hingga destinasi sejarah. Ada juga wisata inisiatif warga seperti taman bunga lengkap dengan miniatur ikon-ikon terkenal untuk spot berfoto. Pemerintah dan warga setempat pun sudah menyadari kekayaan alam di kotanya itu. Mereka kini sudah dan terus ’’menggali’’ kekayaan tersebut dan membukanya untuk destinasi wisata. Tentu dengan perbaikan dan penambahan fasilitas-fasilitas umum demi kenyamanan pengunjung. Maka jangan tersentak jika banyak list yang akan muncul saat Anda Googling seputar destinasi wisata di Kebumen. Waktu seminggu pun rasanya tidak cukup untuk mengeksplorasi semuanya. Terlalu banyak. Saya dan istri yang jarang pulang kampung pun harus mengatur waktu dan menentukan lokasi yang memungkinkan saat berada di Kebumen. Nyicil sambang wisata. Langsung bersanding dengan Pantai Selatan, pantai adalah potensi alam yang paling diandalkan Kebumen. Misalnya, Pantai Menganti yang keindahannya sudah kondang di kalangan pecandu vitamin sea . Waktu tempuhnya sekitar satu jam dari rumah. Nah, di dekat rumah, ada tiga pantai yang menjadi andalan. Ada Pantai Petanahan, Pantai Bocor, dan Pantai Ambal. Yang sering saya kunjungi saat mudik ke kampung adalah Pantai Bocor. Selain lebih dekat, Bocor lebih indah daripada Petanahan atau Ambal. Selain terkenal karena masuk iklan cat kenamaan di TV mainstream , Desa Bocor, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen, sebenarnya punya wisata pantai yang menakjubkan. Ya itu tadi, Pantai Bocor. Pantai berpasir hitam dengan debur ombak besar khas Pantai Selatan. Jarak Pantai Bocor dari desa istri hanya sekitar 10 menit. Itulah alasan saya dan istri sering ke sana. Bahkan sudah tiga kali. Sunnah rosul . Hehe ... Soal fasilitas, jangan ditanya. Lengkap. Ada juga kolam renang dari alas terpal yang dibuat untuk anak-anak. Ya, karena kalau berenang di pantai ombaknya terlalu besar. Ada juga kereta-keretaan. Mirip pasar malam lah . Tapi di pinggir laut. Jadi, saat pertama masuk kawasan pantai ini, yang pertama terlihat adalah deretan warung-warung dan stan-stan wahana permainan. Ini yang jadi salah satu kritik saya. Stan makanannya terlalu banyak. Banget. Sampai meluber ke area pasir pantai. Tapi, setelah berjalan sebentar di antara warung-warung, Anda akan menyaksikan gelombang yang bergulung-gulung tanpa henti. Hamparan pasir hitam yang luas. Dan, kalau sedang ramai, Anda bisa berkuda dengan membayar sedikit rupiah. Bagi Anda yang mau mantai sekaligus kulineran, ada rempeyek undur-undur (biasa juga disebut yutuk) yang patut dicoba. Kuliner ini khas Kebumen. Komposisinya adalah tepung seperti untuk rempeyek pada umumnya, tapi isian andalannya adalah hewan laut yang disebut warga setempat dengan undur-undur. Mantap dinikmati sesaat setelah matang digoreng. Rempeyek undur-undur biasa dinikmati dengan lontong dan bumbu pecel. Kalau mau menikmati rasa rempeyek undur-undur yang orisinal, langsung santap saja tanpa makanan pendamping lain. Kawasan ini akan dipenuhi manusia saat weekend dan hari-hari libur nasional. Saya ke sini hari Senin, jadi tidak terlalu semrawut. Oh iya, untuk masuk sini, pengunjung hanya perlu membayar tiket parkir Rp 3.000 saja untuk motor. Waktu yang enak untuk bersantai di Pantai Bocor, menurut saya, adalah saat weekday karena tidak terlalu ramai dan habis ashar karena tidak terlalu panas. Satu lagi, jika beruntung, Anda bisa menyaksikan matahari terbenam di garis pantai. Pemandangan permukaan laut dan langit yang berwarna oranye kemerahan akan membuat Anda takjub. Saya pun berani memberikan label, sejauh ini, di antara tempat-tempat di Kebumen yang pernah saya datangi, Pantai Bocor adalah tempat paling indah untuk menikmati sunset . Nggak percaya? Coba sendiri. Kebumen, 20 Januari 2020
- Loko Cafe, Tempat Ngopi Nyaman di Dalam Stasiun
SETIAP pulang ke Gresik melalui Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, saya selalu membawa kopi sendiri di termos kecil. Lalu mencari smoking area untuk bersantai sambil menunggu waktu keberangkatan kereta. Kali ini berbeda. Saya tidak sedang ingin pulang ke Gresik. Saya dan istri mengantarkan adik yang hendak pulang ke Kebumen. Jadwal keberangkatan kereta masih sekitar satu jam lagi. Jadi, kami mencari tempat yang nyaman untuk ngopi atau makan. Kami pun penasaran ingin mencoba menu di Loko Cafe Stasiun Pasar Senen. Loko Cafe merupakan cafe yang dimiliki perusahaan restoran kereta api. Kafe ini ada di hampir semua stasiun besar yang dilewati kereta api jarak jauh. Misalnya, Stasiun Senen dan Gambir Jakarta, Stasiun Tawang Semarang, Stasiun Tugu Jogja, lalu Stasiun Gubeng Surabaya. Menu minuman dan makanan yang disajikan Loko Cafe cukup beragam. Ada kopi, teh, jus, wedang, dan squash & mojito. Untuk makanan, ada steak ayam & daging, french fries, nasi goreng, dan roti bakar. Kebersamaan kami malam itu berakhir mendekati jam keberngkatan kereta menuju Kebumen, Jawa Tengah. (*)
- Pertama Kali Nyobain Espresso di Coteca Coffee Jakarta
BAGI orang yang tidak tahu apa-apa soal kopi seperti saya, ngopi murah di warkop pinggir jalan sama saja dengan ngopi mahal di kafe keren. Bahkan, kadang kopi warkop lebih enak daripada di kafe. Karena ingin mencari suasana baru saja, kami mau coba ngopi di kafe. Gak jauh-jauh. Di dekat kos, ada Coteca Coffee. Lokasinya berada di Jalan Rawa Belong, Palmerah, Jakarta Barat. Tidak susah untuk mencarinya karena terletak di pinggir jalan utama. Kafe ini mungil. Area parkirnya juga sempit. Hanya muat untuk kurang dari 10 motor. Tapi, interior di dalam kafe terlihat elegan dan lega. Coteca Coffee menawarkan pilihan kopi, teh, dan camilan lain. Termasuk sandwich dan french fries. Istri memesan es cappuccino dan french fries. Sedangkan saya memilih espresso. Tidak lama kemudian, pesanan kami datang. Es cappuccino istri terlihat begitu segar. Warnanya senada dengan outfit yang dia kenakan. Tapi, saya sedikit melongo begitu pesanan saya disajikan di meja. Cangkir hitam kecil berisi kopi hitam pekat yang tidak sampai setengahnya. Dihidangkan pula segelas air putih. Wah, ini kopi belum jadi mungkin, pikirku. Konsepnya mungkin dicampur sendiri dengan air putih dengan takaran sesuai selera. Saya cicipi sedikit. Rasanya agak pahit cenderung hambar. Istri juga mencicipi. Sama-sama gak cocok di lidah kami. Saya minta saja es cappuccino milik istri saya. Begitu isi gelas berkurang setengah, espresso itu dituangkan semua ke gelas es cappuccino istri saya. Jadilah es cappuccino espresso. Haha. Ini pengalaman pertama kami nyobain kopi espresso. Kampungan memang. Tapi gappa. Gak semua yang nongkrong di kafe harus tahu tentang kopi. Malam itu kami lalui waktu dengan ngobrol ringan. Menikmati malam di dalam. Sementara di luar sana ramai hilir-mudik kendaraan yang sering tersendat kemacetan. (*)
- Camping Santai di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu
DALAM hal jalan-jalan, ada sindrom ”cuma jadi rencana” kalau planning traveling atau ngetrip direncanakan dari jauh-jauh hari. Itu memang ada benarnya. Ada beberapa rencana ngetrip kami yang sampai sekarang masih menjadi rencana. Karena itu, kalau sudah ada keinginan, rencanakan, lalu langsung berangkatkan. Maka, pada hari Sabtu malam ( 16 November ) saya begitu saja ngajak istri jalan-jalan. Sekalian nge-camp semalam di tepi pantai. Berdua saja. Jadi, hari Minggu pagi ( 17 November ) kami langsung berangkat. Ngetrip dadakan. Kadang seperti itu lebih asyik. Tujuan pun sudah ditentukan. Yang dekat-dekat saja. Sedikit melipir dari daratan Jakarta. Pulau Tidung di Kepulauan Seribu. Bagi saya, ini adalah trip kali kedua. Bagi istri, ini yang pertama. Pilihan transportasinya ada dua “kelas”: biasa saja atau sedikit mewah. Kami memilih yang pertama. Berangkatlah kami dari kontrakan jam 6 pagi ke Pelabuhan Kaliadem, Muara Angke, Jakarta Utara. Sekitar 30 menit saja. Mengendarai motor. Hari Minggu, pagi-pagi, masih sepi. Motor melaju mulus tanpa macet. Kami sampai di pelabuhan jam 7 pagi. Setelah memarkir motor, kami langsung menuju loket karena pemesanan tiket ditutup jam setengah 8. Waktu itu cukup banyak yang antre. Kami akan naik kapal kayu atau biasa disebut dengan kapal tradisional. Harga tiket per orang Rp 50 ribu + tiket peron Rp 2 ribu. Sementara biaya parkir tergantung berapa lama kita parkir. Dulu, kalau tidak salah sekitar tahun 2016, harga tiket segitu sudah bisa naik speedboat ke Pulau Tidung dengan waktu tempuh tidak sampai 2 jam. Sambil menunggu keberangkatan, kami menyempatkan makan sebentar. Tapi, nafsu makan menjadi lenyap. Bau khas permukiman nelayan menyiksa lambung. Makan menjadi tidak berselera. Lalat di mana-mana. Setelah selesai dengan urusan perut, kami berjalan menuju pintu masuk dermaga, melalui gate pemeriksaan tiket. Sedikit menapaki beberapa anak tangga. Di depan mata, puluhan kapal berjajar rapi di tepi. Nama kapal yang akan kami naiki sudah tertera di tiket. Tidak susah untuk mencarinya. Setelah ketemu, kami langsung naik saja dan memilih tempat sesuai minat. Kami duduk di dek bagian bawah. Di kursi. Kalau di dek atas, kita duduk lesehan. Tidur goler-goleran pun bisa. Mesin kapal dinyalakan. Sekujur badan kapal yang terbuat dari kayu itu bergetar. Jam 8 tepat kapal mulai menjauh dari dermaga. Pelan-pelan membelah laut Jakarta. Memecah ombak. Gedung-gedung tinggi di tepi Jakarta perlahan terlihat semakin jauh, kecil, dan menghilang. Beruntung ombak bersahabat. Guncangan-guncangan kecil tidak sampai menyiksa lambung. Setelah perjalanan sekitar 2 setengah jam, kapal merapat di Pelabuhan Pulau Tidung. Sebagian besar waktu perjalanan kami habiskan dengan tidur. Begitu turun di dermaga, Anda akan disambut orang-orang yang menawarkan jasa homestay . Anda bisa menyesuaikan dengan kantong. Biaya sewa semalam yang termurah sekitar Rp 200 ribu. Atau kalau mau liburan murah, camping bisa menjadi solusinya. Kami memilih yang murah ceria. Camping . Hehe… Setiap orang yang mengunjungi Pulau Tidung, sudah pasti tujuan utamanya adalah Jembatan Cinta. Primadonanya Tidung. Begitu juga kami. Kami ingin ke sana. Menyeberanginya. Jembatan dengan panjang sekitar 800 meter itu menghubungkan Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Nah, bagi yang ingin camping seperti kami, pengelola pulau sudah menyiapkan lokasinya. Di Pulau Tidung Kecil. Di situ sudah ada musala dan toilet. Ada juga museum kerangka paus sperma dan penangkaran penyu. So , tak perlu buang waktu, kami langsung menuju Jembatan Cinta. Nah, dari dermaga ke jembatan, ada tiga moda atau cara yang bisa dipilih. Jalan kaki, nyewa sepeda, atau naik becak motor (bentor). Kalau tidak ingin mengeluarkan biaya lagi, Anda bisa memilih jalan santai. Waktu tempuhnya tergantung seberapa santai dan seberapa cepat Anda berjalan. Tapi, menurut Google Maps, jaraknya sekitar 17-20 menit. Yang kedua, nyewa sepeda onthel. Biayanya cukup bersahabat. Rp 10 ribu per hari. Tapi, Anda tidak bisa boncengan. Karena sepeda di sana sudah didesain hanya untuk satu orang. Terakhir, naik bentor. Dari dermaga ke Jembatan Cinta, tarifnya Rp 20 ribu. Hanya muat untuk dua orang dewasa dengan badan standar. Kami memilih opsi yang terakhir ini. Tidak sampai sepuluh menit sudah tiba di tempat tujuan. Siang itu matahari sangat terik. Begitu sampai di zona Jembatan Cinta, kami pun bermalas-malasan dulu di gazebo di tepi pantai. Fasilitas Pulau Tidung sekarang lebih bagus dibanding lima tahun lalu. Penjual juga ditempatkan di satu lokasi yang sudah dibangun rapi. Kemajuan. Setelah makan siang, sekitar pukul 3 sore kemudian kami mulai menyeberangi Jembatan Cinta. Foto-foto tentu tak ketinggalan. Di sepanjang jalan. Melintas di atas hamparan laut yang jernih. Angin laut membuat panas yang masih tertinggal tidak begitu menyengat. Setelah turun dari jembatan, kami berjalan kurang dari 10 menit untuk sampai di camping ground . Di tepi pantai berpasir putih. Sekitar jam 5 sore kami baru mendirikan tenda. Hari itu tidak banyak orang yang camping . Hanya kami dan satu kelompok lain yang kalau tidak salah beranggota 6 orang. Oh iya, kalau camping di sini tidak perlu bayar lagi. Anda juga tak perlu takut gelap-gelapan. Karena lokasinya berada di pinggir jalan setapak yang sudah dilengkapi lampu penerangan dengan tenaga panel surya. Camping yang nggak susah-susah amat. Hehe… Begitu malam datang, keinginan untuk menyeduh kopi pun tak tertahankan. Dan masak-masak untuk makan malam yang sederhana. Dengan suasana yang istimewa tentunya. Hari itu kami tidak menyempatkan diri untuk menyambangi museum paus sperma atau penangkaran penyu. Kami hanya ingin camping dan melakukan we time . Bermalas-malasan. Santai-santai di pantai. Mungkin di waktu yang lain kami akan mengunjunginya. Esoknya kami bangun pagi-pagi. Bersih-bersih diri dan packing tenda. Dan bergegas menuju pelabuhan. Pulang ke Jakarta. Kembali ke realitas. Ke Pelabuhan Pulau Tidung, kami naik bentor lagi. Kami tidak mau sampai ketinggalan kapal. Kapal tradisional dari Tidung ke Kaliadem berangkat jam 9 pagi. Harga tiket dan peron sama dengan berangkatnya. Rp 50 ribu + Rp 2 ribu. Kalau ketinggalan, pilihannya hanya speedboat agak siangan, atau kapal ekspres. Harganya dua hingga tiga kali lipat dari kapal tradisional. Ini traveling hemat, jangan biarkan kantong jadi sekarat. (*) Jakarta , 17-18 November 2019
- Mencicipi Menu ala Singapura dan Malaysia di Malacca Tost Kota Tua Jakarta
KAMI beberapa kali main ke Kota Tua Jakarta, tapi belum banyak lokasi atau tempat makan di sana yang kami eksplorasi. Kami lebih sering nongkrong di alun-alun depan Museum Fatahillah. Pernah juga kami masuk ke Museum Fatahillah serta Museum Seni Rupa dan Keramik. Untuk melihat koleksi-koleksi bersejarah di dua museum yang berdekatan tersebut. Tidak seperti biasanya, kami kali ini main ke Kota Tua sampai malam. Museum tutup dari sore. Nongkrong di Alun-Alun Fatahillah sudah biasa. Kami pun mencari tempat nongkrong dengan suasana yang berbeda. Nongkrong di Batavia Cafe sepertinya akan menjadi pengalaman yang menarik. Tapi, menurut saya, kafe itu cukup menyeramkan. Bukan karena ada hantunya, tapi karena harganya. Hiiiii... Kami lalu melipir ke tempat lain. Ke Malacca Toast yang masih berada di Kompleks Kota Tua Jakarta. Kafe ini menempati bangunan cagar budaya di kompleks tersebut. Kesan klasik sudah begitu terasa dari penampilan luar kafe. Di area dalam, desain yang memadukan tema klasik dan modern membuat kita seperti ngopi di zaman kolonial. Musik klasik yang diputar membuat suasana itu semakin kental. Salah satu sudut kafe juga disesain dengan tambahan meja dan kursi rotan, mesin jahit lama, koper-koper besar, serta televisi jadul. Di situ, ada foto besar yang digantung di tembok kayu berwarna cokelat tua. Ada tulisan di foto sekelompok orang yang sedang nongkrong itu. Bunyinya: "The Last Heritage Muhibbah.'' Malam itu kami memesan roti sandwich tuna, kentang goreng, dan dua cangkir kopi hitam. (*)
- Mendaki Gunung Pangrango seperti Menjemput Kekasih yang Lama Menanti
JARAK antara Bogor dan Jakarta tidak terpaut jauh. Hanya tiga atau empat jam. Tapi, saya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk kembali menapakkan jejak kaki di belantara Gunung Gede-Pangrango. Dulu, Gede tujuan saya. Kali ini giliran Pangrango. Saya pun teringat kembali pada keinginan yang lalu. Dulu, Pangrango adalah gunung yang paling ingin saya daki setelah Gunung Semeru. Jauh ke belakang. Saat saya masih menetap di Surabaya. Sekira tahun 2009. Di Gunung Pangrango, ada yang ingin saya ziarahi. Titik penyatuan diri Soe Hok Gie dan Lembah Mandalawangi. Di puncak Pangrango sana. Soal ini akan saya bahas di tulisan lain. Dengan alasan itu, maka –bagi saya– mendaki Pangrango seperti menjemput kekasih yang lama menunggu. Membutuhkan banyak waktu dan usaha yang tidak pernah mudah. Trek Cibodas masih sama. Bebatuan sepanjang jalan. Baru terputus di jalur persimpangan. Antara Gede dan Pangrango. Kali ini, pendakian terasa spesial. Setelah Lawu. Saya mendaki bersama istri. Dulu, ada yang pernah bilang, selagi lajang puas-puaskan bertualang. Karena kelak kalau sudah menikah, duniamu akan menjadi terbatas. Sempit. Mungkin itu berlaku untuk sebagian orang. Atau banyak orang. Saya turut prihatin untuk itu. Tapi, itu tidak berlaku untuk saya. Karena saya bukan termasuk golongan yang tadi. Alhamdulillah, saya dihadiahi-Nya istri, sekaligus partner mendaki. Gunung Lawu adalah pendakian pertama saya bersama istri. Setelah itu, dia ingin mendaki lagi dan lagi. Pangrango adalah tujuan kami kali ini. Saya sudah mafhum dengan trek berbatu via Cibodas. Sedangkan bagi istri ini pertama kali. Ada lelah, selebihnya bahagia. Batu demi batu kami tapaki. Berjam-jam. Melewati jembatan kayu (sebenarnya beton) yang terasa lega. Terbujur kaku. Di atas bentang rawa-rawa. Pendakian via jalur ini memang spesial. Setelah itu, langkah kaki akan ditemani gemuruh air terjun dari kejauhan. Juga gemericik aliran sungai di sepanjang jalan. Ada juga suguhan jalur yang menantang. Cipanas. Aliran air panas dari tebing di sisi jalan, melimpas ke jurang di sisi yang lain, seakan menciutkan nyali. Sebelum jalur air panas, kami bermalam di area pos Cipanas. Esoknya, perjalanan masih berlanjut. Tapak kaki harus berpijak di batu yang tepat saat melewati trek air panas. Agar tak terjerembap. Terpeleset. Tangan menggenggam erat tali di sisi jalan. Sambil menyeimbangkan diri dengan beban keril di punggung. Sip. Jalur primadona via Cibodas itu terlalui. Selebihnya kami harus terus berjalan. Di atas trek berbatu. Dengan sesekali istirahat, termasuk bermalam, pos demi pos terlewati. Hingga menyisakan dua pos lagi. Kandang Batu dan Kandang Badak. Sebelum kaki mengambil langkah kanan di pertigaan. Menuju Pangrango. Yang membentang kini seperti lorong lain. Beralas tanah. Di rerimbun pohon. Seperti memasuki hutan yang jarang dijamah. Pohon-pohon besar tumbang. Silang sengkarut. Memperberat langkah kami. Ditambah jalur menanjak dan licin. Kami merangkak, melompat. Di kanan kiri, bunga-bunga bermekaran. Anggrek hutan tumbuh di batang-batang berlumut tebal. Menandakan tak banyak sinar matahari yang menembus rimbun dahan. Ini jalur pendakian paling eksotis, menurut saya. Tapi, untuk menikmati keindahan ini, kami harus berusaha lebih keras. Merangkak. Merayap. Kaki diajak bekerja lebih ekstra. Mental dan tenaga benar-benar diuji. Di situ kami bisa menemukan karakter diri. Bukan untuk menantang alam. Tapi lebih pada mengukur kekuatan diri sendiri. Trek menuju titik puncak semakin menanjak. Hawa dingin seakan tak bisa membendung keringat yang menyembul dari pori-pori. Usaha sekeras itu terbayar lunas saat mata menatap sebuah tugu dari jarak tak begitu jauh. Tugu puncak Pangrango. Meringkuk di antara rimbun pohon. Di ketinggian 3.019 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kami menghela napas. Puas. Lelah terbayar lunas. Namun, keindahan Pangrango tidak terbatas di situ. Bahkan, ada yang lebih menyejukkan mata. Di sisi yang cukup tersembunyi. Tidak jauh dari tugu. Sekitar lima menit. Sedikit menurun. Lembah Kasih Mandalawangi. Tujuan utama saya. Seakan merentangkan tangannya. Siap menyambut siapa saja yang menjenguknya. Saya tentu saja bahagia. Di sepanjang mata memandang, pohon dan bunga edelweiss tumbuh di mana-mana. Bulan ini, bunga abadi itu sedang cantik-cantiknya. Bermekaran. Saya pun mencari plakat untuk mengenang Gie . Ketemu. Namun, sayang. Plakat itu sudah hancur. Entah karena tangan usil pendaki atau karena alam. Hanya tersisa dua keping pecahan marmer. Nama Gie ikut dalam bagian yang hilang. Tak apalah. Yang penting rindu itu telah tertunaikan. Menapakkan kaki di puncak Pangrango. Di pelukan Lembah Kasih Mandalawangi. (*) Bogor via Cibodas,19–22 Juli 2019
- One Day Trip ke Pulau Cipir dan Onrust, Kepulauan Seribu
PADA 2017, saya pernah mengikuti agen open trip untuk jalan-jalan ke tiga pulau kecil di dekat daratan Jakarta yang sudah masuk kawasan Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta. Saat itu saya ikut open trip tersebut sendirian . Tiga pulau itu adalah Cipir, Kelor, dan Onrust. Karena pulaunya kecil dan berdekatan, tiga pulau tersebut bisa dikunjungi hanya dalam sehari. Pagi hingga sore. Berbekal pengalaman itu, saya merekomendasikannya kepada istri dan adik saya yang ingin berwisata ke Kepulauan Seribu. Sehari saja tanpa menginap. Sesuai dengan randown acara, kami sudah harus berkumpul di Pelabuhan Kali Adem, Jakarta Utara, pada pukul 8 pagi. Setengah jam kemudian kapal kayu membawa kami berlayar ke pulau pertama: Pulau Onrust. Pulau Onrust, Sejarah Haji dan Karantina Wabah Perjalanan dari Kali Adem ke Pulau Onrust kurang dari 30 menit. Pertama melangkahkan kaki ke pulau ini, kesan yang muncul adalah pulau pengasingan. Banyak bangunan tua di pulau ini. Hampir seluruh pulau juga ditumbuhi pohon besar. Di pulau ini, memori sejarah masa lampau hidup dalam diam. Terekam pada tembok-tembok bangunan tua, baik yang masih utuh maupun yang sudah tinggal fondasinya saja. Pohon-pohon yang tegak berdiri juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah pulau ini dan Kota Jakarta secara keseluruhan. Pada masa penjajahan Belanda, Pulau Onrust sempat menjadi pusat bongkar muat untuk galangan kapal dan komoditas dagang VOC. Aktivitas itu hampir tidak pernah berhenti atau 'Onrust' dalam bahasa Belanda atau 'Unrest' dalam bahasa Inggris. Kata itulah yang dipercaya sebagai asal-usul nama Pulau Onrust. Ada pula yang menyatakan bahwa kata Onrust diambil dari nama penghuni keturunan Belanda di pulau itu, Baas Onrust CVDW. Sejarah lain mencatat bahwa Pulau Onrust pernah menjadi tempat karantina bagi jemaah haji Indonesia pada masa Hindia Belanda untuk mencegah penyebaran penyakit menular sebelum memasuki Batavia (sekarang Jakarta). Pulau ini berfungsi sebagai rumah sakit karantina yang mampu menampung ribuan jemaah. Jemaah yang sakit akan dirawat di Pulau Cipir. Pulau ini memiliki barak-barak yang mampu menampung hingga 3.500 jemaah dengan 35 barak besar yang masing-masing bisa menampung 100 orang. Fasilitasnya cukup lengkap untuk ukuran masa itu. Namun, sejarahnya juga diwarnai kisah kelam akibat penyakit yang mewabah karena kondisi kapal yang buruk. Sisa-sisa bangunan karantina seperti fondasi bangunan, penjara, dan barak masih bisa ditemukan di Pulau Onrust. Salah satu bangunan yang masih utuh adalah bekas rumah dokter. Bangunan itu kini dijadikan museum. Bangunan rumah sakit di samping rumah itu sudah tinggal reruntuhan. Pulau ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2209 Tahun 2015 tentang Penetapan Gugusan Pulau Onrust, Pulau Cipir, Pulau Kelor, dan Pulau Bidadari di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Penetapan ini karena kisah sejarah masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Pulau Cipir, Benteng Militer Batavia Setelah waktu berwisata di Pulau Onrust habis, kami bergeser ke pulau di sebelahnya. Pulau Cipir. Bahkan, pulau ini bisa dilihat dari Pulau Onrust. Waktu tempuhnya cuma sekitar 5 menit. View Pulau Cipir mirip dengan Pulau Onrust. Terdapat sisa-sisa reruntuhan bangunan rumah sakit dan pusat karantina jemaah haji. Karena berdekatan, fungsinya sama dengan Onrust. Sedikit berbeda dengan Onrust, Pulau Cipir juga menjadi benteng pertahanan militer yang melindungi Batavia (sekarang Jakarta) dari serangan musuh. Pulau ini masih menyimpan bongkahan-bongkahan meriam yang masih bisa dilihat hingga sekarang. Selain sejarahnya yang kaya, Pulau Cipir juga dikenal dengan keindahan alamnya. Pengunjung dapat menikmati pemandangan laut, bermain wahana air seperti banana boat dan jet skit, serta snorkeling untuk melihat keindahan bawah laut. Berdasar randown acara, setelah Pulau Onrust dan Cipir, tujuan terakhir adalah Pulau Kelor. Tapi sayang, karena cuaca yang tidak memungkinkan, jadwal ke Pulau Kelor dibatalkan. Padahal, di antara tiga pulau tujuan wisata one day trip ini, menurut saya Pulau Kelor lah yang paling bagus. Di sana, masih berdiri kokoh Benteng Martello. (*)












