Mudik Motoran Jakarta-Gresik, Mampir ke Kebumen
- budiawanagus
- Apr 22, 2021
- 4 min read

SETELAH menikah, kami merencanakan banyak perjalanan. Ke mana saja. Banyak yang sudah terlaksana. Banyak juga yang masih menunggu untuk dilaksanakan.
Rencana yang paling ekstrem –menurut kami– adalah motoran Jakarta–Gresik. Kami bahkan belum yakin 100 persen akan rencana itu. Membayangkan jarak yang akan kami tempuh saja sudah capek duluan.
Jadi, rencana itu kami posisikan pada list rencana yang kalau tidak sempat terlaksana juga tidak apa-apa. Nyicil dulu rencana-rencana lain yang nggak “nekat-nekat” amat.
Lalu datanglah pagebluk bernama virus kopid. Kalau tidak salah Maret si virus itu “traveling” ke Indonesia via Depok. Muncul kepanikan di mana-mana – di seluruh dunia. Indonesia, sebagaimana negara lain juga, kalang kabut dibikinnya.
Ramadan pertama di masa pandemi pun tiba. Segala aktivitas yang judulnya kumpul-kumpul dilarang. Termasuk ibadah di bulan puasa. Puncaknya adalah dilarang mudik. Semua pintu keluar Jakarta dijaga. Tak ada yang boleh keluar dari Jakarta, kecuali yang dikecualikan.
Kami tidak mudik. Begitu juga saat Idul Adha. Kami bertahan di ibu kota dengan segala aktivitas yang dibatasi. Ruang gerak yang dipersempit.
Waktu terus berjalan dengan korban-korban berjatuhan. Ada kengerian, kekhawatiran. Jangan-jangan terpapar. Lambat laun kami terpaksa berdamai dengan keadaan. Berusaha pasrah, tapi tetap disertai ikhtiar. Nasib tidak pernah salah alamat.
Ramadan kedua di masa kopid pun tiba. Tahun 2021. Seperti yang sebelumnya, kali ini pemerintah juga melarang mudik. Siapa saja yang ada di ibu kota –dan kota-kota lain– dilarang melakukan perjalanan lintas kota/wilayah untuk pulang kampung, kecuali dalam kondisi tertentu.
Kami tidak termasuk dalam golongan kondisi tertentu itu. Tapi kami ingin pulang, kami ingin mudik. Naik kereta atau pesawat harus melalui tahap dan syarat yang ribet dan malesin. Kondisi itu menjadi trigger bagi kami untuk merealisasikan rencana ekstrem itu.
Motoran Jakarta–Gresik, mampir di Kebumen.
Bulan puasa sudah memasuki hari ke-15 pagi saat kami memulai perjalanan panjang itu. Kami memacu motor menuju pintu keluar Jakarta. Membebaskan diri untuk pergi. Pulang.
Kami berjalan mengikuti penunjuk arah di Google Maps. Kami pasrahkan rindu kami pada aplikasi itu. Menuntun kami pada alamat pulang. Mau bagaimana lagi, saya buta arah.
Tujuan terdekat kami adalah Kebumen, Jawa Tengah. Dalam keterangan di Google Maps, waktu yang kami butuhkan untuk sampai di lokasi tujuan adalah 10 jam 43 menit. Tapi kami melaju tanpa kesusu. Tak perlu tergesa-gesa. Kami tidak sedang mengejar apa-apa.

Kami hanya perlu menikmati perjalanan ini. Melewati tempat-tempat baru, yang kadang berkesan, tapi kebanyakan biasa-biasa saja. Yang mutlak berkasan adalah perjalanan ini.
Saat rasa bosan dan kantuk mulai datang, kami hanya perlu berhenti dan istirahat secukupnya. Meneguk air dan menyesap kopi susu yang sudah kami siapkan di termos mini. Sambil membuang pandangan ke arah jalan raya. Para pejalan lalu-lalang. Entah siapa yang pergi, siapa yang pulang.
Setiap tiga jam kami harus menyempatkan istirahat. Karena dalam waktu itu tubuh sudah menolak diajak kompromi untuk menahan lelah dan kantuk.
Dalam perjalanan ini, di beberapa titik, ada polisi/dishub yang berjaga. Kami melakukan perjalanan ini menjelang diberlakukannya larangan mudik. Kami sengaja mencuri start sebelum dilarang mudik. Kami beberapa kali melewati titik penjagaan. Dengan barang bawaan yang sarat, setiap orang sudah pasti tahu kami hendak mudik.
Tapi mereka belum melakukan tindakan apa-apa. Aturan belum diberlakukan. Kami dibiarkan pergi tanpa diadili.
Kami menyusuri jalur pantura yang panjang dan kebanyakan lurus-lurus saja itu. Lalu menikung tajam ke selatan di daerah Cirebon. Menuju Kebumen.
Hari sudah malam saat kami masih di perjalanan. Titik tujuan masih beberapa jam lagi. Target kami sampai di Kebumen sebelum maghrib tidak kesampaian. Kami baru tiba di rumah sekitar jam 10 malam.
Jadi, total perjalanan kami dari Jakarta–Kebumen sekitar 14 jam.
Kami menyempatkan stay di Kebumen selama satu minggu. Sebelum kembali melanjutkan perjalanan ke tujuan penghabisan: Gresik.
Perjalanan Kebumen–Gresik terasa lebih eksotis dan berkesan. Dua jam setengah kami sampai Jogja. Kami disambut gagahnya Merapi di pagi yang cerah. Jogja pagi itu sudah sibuk. Bergeliat. Kami rindu Jogja, tapi kami tidak hendak singgah.
Apalagi banyak angkringan yang tutup pada jam-jam itu. Di jalan-jalan yang kami lewati. Rencana mampir sebentar untuk meneguk kopi angkringan pun gagal. Lain kali saja, ya. Oh iya, kami memang berniat tidak puasa dalam perjalanan ini. Maklum, musafir. Hehe..
Roda terus berputar bersama detak waktu yang terus melaju. Kami sesekali menepi untuk minum kopi seduh yang sengaja kami bawa dari rumah. Kami pun melintasi perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ada hawa-hawa yang cukup berbeda antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saya tidak bisa menjelaskannya di catatan ini. Hanya bisa dirasakan.
Memasuki kawasan Nganjuk, kami disambut rentetan hutan jati. Jalan ini seperti membawa kami ke tengah hutan belantara. Ada kesan mistis sekaligus eksotis. Dan sampailah kami di jalan yang kanan dan kirinya banyak berdiri warung-warung makanan dan minuman. Di antara pohon-pohon jati. Teduah dan tampak tidak biasa.

Kami mampir sebentar. Mencicipi mi ayam bakso dan kacang rebus. Menikmati makan di kawasan kuliner hutan jati. Makanannya biasa-biasa saja. Seperti pada umumnya. Tapi tempatnya yang unik. Tempat yang baru kali ini saya lihat. Tidak pernah lihat di ulasan media-media sosial kuliner. Layak dicoba. Nama daerahnya saya lupa. Cari saja di Google.
Lebih dari setengah jam kami ngadem sebelum melanjutkan perjalanan. Menurut Google Maps, jarak tempuh Kebumen–Gresik adalah 8 jam 52 menit. Dari Nganjuk, perjalanan masih jauh. Kami hanya perlu menikmati.
Setelah melewati Bojonegoro, kami menyusuri jalanan dusun-kota yang biasa. Panjang dan membosankan. Karena itu, kami sepakat untuk mencari suasana yang berbeda. Kami sebenarnya bisa pulang via kawasan Babat, Lamongan, menuju Gresik. Jaraknya lebih dekat.
Tapi kami mengambil jalan lurus menuju Paciran, berharap menjumpai matahari jingga tenggelam di garis samudera. Tak masalah waktu perjalanan menjadi sedikit lebih lama.
Menjelang maghrib, kami sampai di Paciran. Beruntung, kami bisa menikmati sunset di garis samudra itu. Air laut berbalut warna jingga dengan kapal yang tampak hitam legam bergoyang-goyang di permukaannya. Pemandangan indah menjelang waktu berbuka puasa.
Dari titik berhenti itu, perjalanan kami tinggal sekitar satu jam lagi. Total kami menempuh sekitar 12 jam perjalanan dari Kebumen untuk tiba di rumah.
Perjalanan yang mengesankan. Dan yang lebih spesial, menjelang hari raya, kami baru tahu bahwa kami melakukan perjalanan ini tidak hanya berdua, tapi bertiga. Karena saat itu istri saya ternyata hamil satu minggu. (*)
Jakarta-Kebumen-Gresik, 15 & 22 April 2021



Comments