top of page

Search Results

165 results found with an empty search

  • One Day Trip: Melipir Sejenak ke Pulau Kelor, Onrust, Cipir

    SELAIN masalah yang kompleks, Jakarta juga memiliki potensi pariwisata yang sangat besar. Sebagai ibu kota, Jakarta tentu memiliki banyak bangunan cagar budaya. Selain wisata sejarah, Batavia memiliki kekayaan bahari di sisi utara. Lepas dengan daratan utama, gugusan pulau-pulau dari Teluk Jakarta hingga laut lepas terhampar. Orang menyebutnya Kepulauan Seribu. Menyeberang ke pulau pun, kita tak hanya disuguhi keindahan laut lepas. Ada pula wisata sejarahnya. Sebagaimana orang lain yang tinggal dan bekerja di Jakarta, ketika merasa penat dengan pekerjaan dan kemacetan di tengah kota, saya memilih melipir sejenak, menyeberang ke pulau. Sehari setelah peringatan Sumpah Pemuda, pada 29 Oktober 2017 saya ikut bergabung dengan salah satu agen perjalanan yang mengadakan one day trip ke tiga pulau terdekat dari daratan Jakarta. Pulau Kelor, Onrust, dan Cipir. Harga tentu tergantung agen yang mengadakan trip. Titik kumpul dipusatkan di Dermaga Muara Kamal, Penjaringan, Jakarta Utara. Untuk mencapai lokasi ini bisa menggunakan KRL atau bus Transjakarta. Tetapi, memang lebih simpel naik ojek online atau naik motor sendiri. Dermaga yang terletak di samping pasar ikan ini tidak menyediakan perjalanan per orang per tiket. Kita harus menyewa satu kapal nelayan dengan biaya yang bervariasi. Satu kapal bisa dikenai tarif Rp 1 juta untuk sehari, bisa kurang tergantung jumlah rombongan dan kelihaian nego. Kapal bermuatan sekitar 50 orang yang saya tumpangi awal sandar di Pulau Kelor. Pulau Kelor dahulu dikenal dengan nama Pulau Kherkof. Di sini, berdiri sebuah benteng bersejarah. Benteng Martello. Lokasi ini cocok untuk pecinta fotografi. Sebagaimana benteng-benteng sisa zaman penjajahan, Benteng Martello sangat artistik dan menawan untuk diabadikan. Sayang, papan peringatan untuk tidak memanjat benteng tak diindahkan para pengunjung. Kids zaman now, lebih mementingkan dapat foto bagus (menurut mereka) tanpa memerdulikan etika dan aturan. Namun, kawasan ini tidak cocok bagi Anda yang tidak suka dengan keramaian. Karena banyak agen perjalanan yang menawarkan trip ke tiga pulau ini dalam sehari sehingga pengunjung tentu saja membeludak. Tapi, kalau hanya untuk mengobati rasa penasaran seperti saya, boleh lah . Kapal kemudian bergerak ke Pulau Onrust, hanya sekitar 5 menit dari pulau pertama. Di sini lebih kaya sejarah lagi, dan cocok bagi pencinta fotografi bangunan tua. Meski hanya tersisa tembok-tembok dan pilar, sisa bangunan rumah sakit dan asrama haji di pulau ini masih menimbulkan kesan ”angker” dan tentu saja artistik. Ditambah adanya makam-makam orang Belanda dan tentu saja museum sejarah. Pulau terakhir adalah Cipir. Andalan di pulau ini adalah pantai pasir putih, banana boat, dan dermaga yang lumayan indah. Di sini, kalau beruntung, kita juga bisa menikmati sunset. Menikmati matahari tenggelam di tengah laut, sejauh mata memandang. (*) Jakarta, 30 Oktober 2017

  • Pantai Menganti dengan Tebing Karst yang Eksotis

    PANTAI Menganti adalah satu di antara sedikit pantai pasir putih di Kebumen, Jawa Tengah. Sebab, kebanyakan pantai di jalur selatan Kebumen berpasir hitam. Pantai ini terkenal dengan pemandangan tebing karst, mercusuar, dan jembatan merahnya. Mercusuar yang ada di sini merupakan peninggalan Belanda yang berdiri sejak tahun 1915. Lokasinya berjarak sekitar 40 km dari pusat kota, dengan rute seperti Kebumen-Gombong-Jatijajar-Menganti. Yakni, di Desa Karangduwur, Kecamatan Ayah, dengan akses yang perlu melewati jalan perbukitan yang berkelok. Sebelum tahun 2011, Pantai Menganti hanya dimanfaatkan oleh nelayan sebagai pelabuhan dan tempat pelelangan ikan. Kemudian, pada tahun 2011, pantai ini ditetapkan sebagai tempat wisata bagi masyarakat umum. Bersamaan dengan fungsinya sebagai tempat wisata, Pantai Menganti juga menjadi tempat selancar oleh komunitas peselancar dari Kabupaten Sukabumi maupun dari Pulau Bali. (*)

  • Bukit Sikunir, Spot Sempurna untuk Menikmati Golden Sunrise

    KEINGINAN untuk traveling kadang bisa muncul dengan tiba-tiba. Dan seringnya, kalau sudah muncul keinginan seperti itu, saya berangkat. Kali ini saya tidak ingin mendaki gunung. Yang pendek-pendek saja. Bukit. Tujuan saya adalah Bukit Sikunir di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Karena nggak asyik traveling sendiri, saya menghubungi saudara saya yang tinggal di Surabaya. Saya ajak dia menjelajahi Dieng barang beberapa hari. Dia mengiyakan. Saya pun cuti kerja. Begitu juga dia. Awal bulan Februari itu kami menentukan tanggal. Saya berangkat dari Stasiun Senen, Jakarta Pusat. Sedangkan saudara saya bertolak dari Stasiun Gubeng, Surabaya. Kami janjian bertemu di Stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Setelah delapan jam perjalanan Jakarta–Jogja, saya akhirnya berjumpa saudara saya. Waktu perjalanan Surabaya-Jogja terpaut sekitar dua jam dengan Jakarta–Jogja. Dia sudah saya minta bawa tenda dari Surabaya. Kami akan nge-camp karena kalau menyewa homestay perlu mengeluarkan uang lebih. Kami tidak langsung berangkat ke Dieng, tapi mampir dulu ke kos-kosan teman saudara saya yang kebetulan studi di Jogja. Dia sebelumnya sudah bilang mau minjam motor temannya itu. Kami ke Dieng naik motor berdua. Setelah istirahat, sore itu juga kami tancap gas. Estimasi waktu perjalanan Jogja–Wonosobo adalah sekitar tiga jam. Kami mengaspal dengan bermodal Google Maps . Di perjalanan sesekali mampir ngopi dan makan di angkringan. Hujan kadang deras, kadang berhenti. Tiga jam berlalu. Tapi, belum ada tanda-tanda kami masuk kawasan Wonosobo. Sinyal naik turun sehingga arahan Google Maps tidak presisi. Kami kesasar . Untuk me- refresh pikiran dan tenaga, kami mampir dulu di angkringan pinggir jalan sekalian tanya jalan menuju Wonosobo kepada bapak penjualnya. Benar saja kami kesasar . Ternyata perjalanan kami masih kurang dua jam lagi untuk masuk Dieng. Kami salah belok sehingga sedikit menjauh dari arah tujuan kami. Setelah kopi habis, saat hujan belum benar-benar reda, kami melanjutkan perjalanan ke Dieng mengikuti petunjuk bapak pemilik angkringan tadi. Dalam perjalanan, hujan masih turun cukup lebat. Kurang dari dua jam akhirnya kami sampai di gerbang masuk kawasan Dataran Tinggi Dieng. Pengunjung harus membayar tiket masuk di situ. Tiketnya Rp 10.000 per orang. Tapi, kami belum sampai di tempat tujuan. Kami masih harus naik lagi sekitar 30 menit. Berhubung hampir tengah malam. Kami memutuskan tidur di dekat loket. Penjaga loket berbaik hati mengizinkan kami tidur di musala dekat situ. Jadi, nggak perlu buka tenda. Esok paginya, penjelajahan dimulai. Kami baru benar-benar sampai di tujuan kami saat motor melalui gapura bertulisan Kawasan Dieng Plateau. Tujuan kami cukup banyak. Bukit Sikunir, Candi Arjuna, Batu Ratapan Angin, Telaga Warna, Kawah Sikidang, dan Telaga Menjer. Untuk naik ke Bukit Sikunir, kami harus menunggu esoknya lagi. Karena kami ingin memburu sunrise . Kami mendirikan tenda di tepi Telaga Cebong, Desa Sembungan. Sembungan merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa. Desa itu terletak di ketinggian 2.306 mdpl. Telaga seluas sekitar 12 hektare itu merupakan bekas kawah purba. Telaga ini berada di kaki Bukit Sikunir. Telaga Cebong terlihat cantik saat disaksikan dari atas bukit. Malam itu hanya kami yang nge-camp di tepi Telaga Cebong. Fasilitas di sana terbilang lengkap. Mulai tempat parkir, toilet, musala, hingga warung. Telaga ini berada di dekat perkampungan warga. Jam 04 pagi kami mulai berjalan menanjak ke Bukit Sikunir. Kami melalui jalur setapak di tengah perkampungan. Di sisi kanan dan kiri banyak yang membuka usaha seperti berjualan makanan, aksesori, makanan khas Wonosobo, hingga WC umum. Kami membeli gorengan yang masih hangat untuk dibawa ke puncak bukit. Apalagi kami hanya sarapan mi instan. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit–1 jam untuk mencapai Bukit Sikunir. Kontur treknya adalah perpaduan jalan setapak dan anak-anak tangga. Di atas sana, kami disuguhi pemandangan berupa gunung-gunung. Ada Gunung Sindoro yang bersanding dengan Gunung Kembang dan Gunung Sumbing. Tidak jauh dari tiga puncak itu, bisa juga dilihat Gunung Merbabu, Gunung Merapi, dan Gunung Ungaran. Puncak gunung-gunung itu menjulang. Berselimut awan berkabut. Ya, cuaca saat itu berkabut. Kami tidak mendapatkan golden sunrise Sikunir. Namun, view yang terhampar sudah membuat kami takjub. Wisatawan yang ingin mendapatkan golden sunrise dengan jelas disarankan untuk datang pada musim kemarau. Antara bulan Juli sampai Oktober. Cuaca jarang mendung pada bulan-bulan itu. Kabut juga tidak terlalu tebal. Bukit Sikunir memiliki ketinggian 2.463 mdpl. Objek wisata ini baru ramai dikunjungi traveler sekitar tahun 2009. Konon, asal usul nama Bukit Sikunir berasal dari bumbu dapur. Kunir merupakan salah satu jenis rempah. Atau orang modern menyebutnya kunyit. Alasannya, saat matahari muncul dari balik bukit itu, tempat-tempat di sekitarnya menjadi berwarna kuning sebagaimana warna kunir. (*) Surabaya–Jogja–Dieng, 16 Januari 2017

  • Telaga Warna Mirip dengan Telaga pada Umumnya

    PADA kesempatan pertama ke Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, saya penasaran untuk melihat Telaga Warna dari jarak dekat. Sebab, jika dilihat dari Batu Pandang Ratapan Angin, telaga itu terlihat indah. Warna telaga juga tampak bersih seperti lantai hijau yang terhampar luas. Dua petak telaga. Konon, musim mempengaruhi perubahan warna telaga. Warnanya akan lebih indah pada musim kemarau. Saat banyak sinar matahari yang jatuh di permukaan air dan menciptakan warna lain yang megah. Setelah turun dari Batu Pandang Ratapan Angin, kami tancap gas ke Telaga Warna. Begitu masuk area telaga, pertama yang menyambut adalah pepohonan yang dibiarkan tumbuh sebagaimana mestinya. Tidak banyak fasilitas umum yang dibagun di area telaga. Hanya ada tempat sampah di beberapa titik. Toilet dan lainnya berada di satu bangunan dengan loket tiket. Kami mengelilingi telaga itu. Kesan pertama saya adalah: sama saja dengan telaga pada umumnya. Biasa saja. Menang lokasinya saja. Berada di Dataran Tinggi Dieng, hawanya sejuk, dan dikelilingi pepohonan rindang. Saat menyusuri tepi telaga, saya tertarik pada bangunan kayu yang tampak ditinggalkan. Bangunan itu rusak di segala sisi. Pertanda sudah tidak dimanfaatkan lagi. Di depan gubuk itu, ada jembatan kayu yang menjorok ke telaga. Cukup bagus untuk foto. Mungkin awalnya gubuk itu memang sengaja dibangun untuk lokasi foto pengunjung. Kami beristirahat dan santai-santai dulu di gubuk itu. Setelah tenaga kembali pulih, kami beranjak pergi. (*)

  • Asyik Bermain Ikon Lewat Karya-Karya Yuswantoro Adi

    YUSWANTORO Adi hidup dari dan untuk dunia lukis. Melukis bagi dia adalah pekerjaan utama. Seniman kelahiran Semarang, 11 November 1966, itu banyak menjadikan anak-anak dan kritik sosial sebagai tema karya-karyanya. Tema-tema itu juga masih begitu kental dalam karya-karyanya yang dipamerka di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, pada 10-22 November 2017, dengan tajuk ICONIC. Pameran tunggal Yuswantoro bekerja sama GNI itu mengeksposisi sekitar 20 karya, dan puluhan karya lukis anak-anak didik Yuswantoro. Ya, setiap hari Minggu, dia mengajar seni lukis untuk anak-anak di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Sebagaimana temanya, karya-karya Yuswantoro yang dipamerkan kali ini merupakan gambaran ulang dari tokoh-tokoh atau ikon yang sudah lekat dengan ingatan masyarakat. Uniknya, sosok-sosok tersebut digambar ulang dalam tubuh anak-anak. Misalnya saja sosok superhero Superman dan Sang Proklamator Bung Karno. Ada juga lukisan Perjamuan Kudus karya Leonardo Da Vinci yang dihadirkan Yuswantoro dengan sosok anak-anak. Namun, ada sosok lain yang dibiarkan apa adanya. Misalnya, Adolf Hitler, komedian Jojon, dan Charlie Chaplin. Hal ini saya kira adalah kesengajaan dari Yuswantoro untuk menghadirkan keberagaman, agar tak monoton dalam dunia anak-anak. Atau juga simbol bahwa anak-anak pun akan tumbuh dewasa dan bebas memilih menjadi seperti apa; Hitler yang pemimpin sekaligus ikon antagonis dunia? Atau Jojon yang komedian? Kritik paling tajam soal dunia anak dihadirkan Yuswantoro dalam sebuah lukisan besar. Di mana anak-anak bermain di atas gedung. Hal ini merupakan kritik seniman atas minimnya lahan terbuka untuk anak-anak berinteraksi di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Ikon-ikon yang menjadi napas ke-Indonesia-an tak ketinggalan. Yuswantoro menghadirkan lukisan peta Indonesia, Candi Borobudur, dan lambang Pancasila dalam puzzle kotak-kotak. “Di sini Yuswantoro Adi berusaha untuk mempersoalkan, menanyakan ulang, atau justru menggiring publik agar medefinisikan ulang ikon yang sudah ada dan populer,” tulis situs GNI. Pameran ini juga menyertakan karya yang sekan menjadi ciri khas lain dari Yuswantoro, yakni lembaran uang rupiah. Dengan karya berupa lembaran uang, dia pernah membuat gebrakan pada tahun 1998, saat reformasi mulai didengungkan secara perlahan-lahan. Saat itu, Yuswantoro menggebrak lewat karyanya yang berupa lembaran uang Rp 50.000-an, dengan lubang pada gambar wajah Soeharto. Karya ini bermaksud membaca keadaan pada masa itu bahwa setiap orang bisa menjadi presiden. Di GNI kali ini, Yuswantoro menghadirkan lembaran uang pecahan Rp 100 dengan wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada juga suvenir lembaran uang yang sama untuk setiap pengunjung yang datang. Ini mungkin sikap si pelukis terhadap rencana Bank Indonesia yang akan meredenominasi rupiah beberapa waktu lalu. Selama berkecimpung di dunia lukis, Yuswantoro pernah meraih beberapa penghargaan. Antara lain, grand prize Winner Phillip Morris ASEAN Art Award 1997 di Manila, Philipina, lewat lukisan “Masterpieces of Indonesia”. Lalu, sketsa terbaik dan lukisan cat minyak terbaik ISI Yogyakarta tahun 1987, Juara II Lomba Karikatur Pariwisata dari Pemda DIY tahun 1990, dan Lima Besar Utama Lomba Lukis YSRI PMIAA 1997. (*)

  • Membongkar ”Harta Karun” Friedrich Silaban, Sang Arsitek Masjid Istiqlal

    FRIEDRICH Silaban. Barangkalai ada yang masih asing dengan nama itu. Namun, bagi Anda –khususnya orang Jakarta– yang pernah mengunjungi Masjid Istiqlal, beliau adalah arsitek masjid termegah di tanah air tersebut. Pada 7-24 November 2017, ”harta karun” Silaban dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta. Begitu memasuki ruang pamer, pengunjung disuguhi ornamen dan interior minimalis yang artistik. Barang koleksi dan karya Silaban ditata sedemikian rupa hingga membuatnya seperti galeri seni, yang bernilai tinggi. Di ruang utama yang dominan berwarna putih, dipajang foto-foto pertemuan Silaban dengan tokoh-tokoh penting, termasuk Bung Karno. Ada pula buku catatan, artefak, hingga sketsa yang disimpan di balik kaca. Di ruang pamer kedua, yang dominan dengan warna hitam, sketsa rancangan Silaban untuk Masjid Istiqlal dari beberapa sisi ditampilkan. Pembagian ruang antara hitam dan putih, menurut saya, tidak menyimbolkan apa-apa. Hanya bentuk artistik. Di situ pula terdapat  quote Silaban tentang awal pembuatan Masjid Istiglal. Quote-quote Silaban memang banyak menghiasi dinding ruang pamer. Ruang hitam dan putih, seakan menjadi kata pengantar pameran bertajuk Friedrich Silaban, Arsitek 1912-1984 itu. Ada pula foto besar dirinya bersama Presiden Sokarno. Senyum lebar mereka mencerminkan harapan masa depan yang cerah. “Arsitektur kita membentuk diri kita. Saat kita memerlukan sesuatu untuk mengerti kembali ke–Indonesia–an kita, maka itu bisa dipelajari dari arsitektur kita ,” kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Ahmad Djuhara dalam sambutannya sebagaimana ditulis di GNI. Pameran ini dikonsep dalam lima fragmen. Fragmen pertama merupakan kisah sosok Silaban yang dibentuk dari latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman, dan peran yang diambil semasa hidupnya. Kedua, interaksi Silaban dan Soekarno, termasuk yang memengaruhi rancangan maupun karya Silaban. Ketiga, rancangan Silaban, baik yang telah dibangun maupun yang tidak terbangun. Keempat merupakan fragmen yang menggambarkan puncak karir Silaban, dalam hal ini difokuskan pada Masjid Istiqlal sebagai proyek monumental yang pembangunannya diselesaikan dalam waktu cukup panjang. Fragmen terakhir menggambarkan dinamika dan kesulitan-kesulitan dalam bagian hidup Silaban setelah berakhirnya Orde Lama. Dari Protestan untuk Islam Pada tahun 1955, Preside Soekarno mengadakan sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Sebanyak 22 dari 30 arsitek lolos persyaratan. Bung Karno sebagai ketua dewan juri mengumumkan Silaban dengan karya berjudul Ketuhanan sebagai pemegang sayembara itu. Karena itu, Bung Karno menjuluki Silaban sebagai By The Grace of God. Pada 1961, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Pembangunan baru selesai 17 tahun kemudian dan resmi digunakan sejak tanggal 22 Februari 1978. Dikutip dari Kompas edisi 21 Februari 1978, enam tahun setelah Masjid Istiqlal selesai dibangun, Silaban mengatakan, “Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya.” “Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid,” lanjutnya. Hidup Silaban terbilang cemerlang dan gemilang. Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, dia hanya bersekolah di HIS Narumonda, Tapanuli, Sumatera Utara, dan Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta. Penganut Kristen Protestan dan anak seorang pendeta miskin itu telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya hingga kini menjadi bangunan bersejarah. Salah satu yang monumental tentu saja Masjid Istiglal. Dari Protestan untuk Islam, dan persatuan. (*)

  • Main ke Gereja Ayam Rhema, Tapi Bukan Rangga dan Cinta

    GEREJA Ayam di Bukit Rhema, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, populer setelah muncul dalam salah satu adegan film Ada Apa dengan Cinta 2 pada April 2016. Sejak saat itu, hampir semua agen tur & travel tujuan Jogjakarta memasukkan gereja itu dalam daftar paket kunjungan. Pada bulan November di tahun yang sama, saya ditunjuk kantor untuk melakukan kerja sama liputan ke Jogja bersama beberapa media lain di Jakarta. Di sela-sela kerja liputan, ada acara bebas atau jalan-jalan. Salah satu yang dikunjungi adalah Gereja Ayam Rhema. Gereja Ayam adalah sebuah tempat doa umat Kristen. Bangunan ini populer disebut Gereja Ayam karena bentuk kepalanya menyerupai ayam. Meskipun perancangnya, Daniel Alamsyah, menegaskan bahwa bentuknya sebenarnya adalah burung merpati sebagai simbol perdamaian dan doa bagi segala bangsa. Bangunan ini mulai digagas pada awal tahun 1990-an dan kini dikenal sebagai salah satu destinasi wisata religi dan wisata alternatif di kawasan Bukit Rhema, tidak jauh dari Candi Borobudur. Jika langit cerah, Candi Borobudur bisa dilihat dari puncak gereja. Pembangunan Gereja Ayam berawal dari pengalaman rohani Daniel, pengusaha asal Jakarta, yang mengaku mendapat panggilan doa saat berkunjung ke Bukit Rhema pada tahun 1988. Dalam doanya, dia merasa menerima wahyu untuk mendirikan sebuah tempat doa yang terbuka untuk segala bangsa tanpa membedakan latar belakang suku, agama, maupun golongan. Pembangunan dimulai pada awal 1990-an. Proses pembangunan sempat terhenti pada akhir 1990-an karena keterbatasan dana. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, kawasan ini kembali dibuka untuk umum, dan mulai berkembang menjadi tempat doa, wisata edukasi, sekaligus pusat pemberdayaan masyarakat lokal. Gereja Ayam terletak di Bukit Rhema, sekitar 3 km dari Candi Borobudur. Lokasi ini berada di dua desa, yaitu Karangrejo dan Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, Magelang. Akses menuju Gereja Ayam dapat ditempuh melalui jalur darat dengan kendaraan pribadi atau transportasi lokal dari kawasan wisata Borobudur. Pengunjung biasanya harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki atau menggunakan shuttle lokal karena letaknya di perbukitan. (*)

  • Outing ke Curug Bidadari, Bogor

    OUTING kantor tahun ini memilih Curug Bidadari sebagai lokasinya. Air terjun tertinggi dan terbesar di kawasan Sentul, Bogor. Curug ini dipadukan dengan kolam buatan untuk berenang yang aman bagi anak-anak hingga dewasa. Curug Bidadari memiliki ketinggian sekitar 40 meter hingga 75 meter dengan lebar 7 meter. Dulunya Curug Bidadari terkenal dengan sebutan Curug Bojongkoneng sesuai dengan nama desa tempat air terjun ini. Curug ini berada di Jalan Sentul Paradise Park, Desa Bojongkoneng, Gunung Geulis, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sebagaimana tempat wisata lain, Curug Bidadari juga tidak terlepas dari mitos yang dipercaya warga. Air terjun ini dipercaya sebagai tempat persinggahan dan pemandian para bidadari. Kepercayaan ini muncul karena seringnya terlihat pelangi di sekitar curug yang dianggap sebagai jembatan bagi bidadari untuk turun. Mitos lain menyebutkan airnya memiliki khasiat penyembuhan dan keindahan, serta kadang terdengar suara tawa wanita yang tidak terlihat wujudnya. (*)

  • Mengabadikan Keindahan Gunung Merbabu

    KAMI mendaki Gunung Merbabu dengan skuad yang sama saat mendaki Gunung Ciremai. Bertiga. Saya, Mud, dan Cup. Jalur yang kami pilih dalam pendakian kali ini adalah via Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Dari Jakarta ke Boyolali, kami memilih naik bus. Pada 22 Agustus siang, kami naik bus Rosalia Indah dari pool di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dengan tujuan Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah. Perjalanan kami tempuh sekitar 10–11 jam. Dari terminal Solo, kami masih harus naik bus lagi menuju Terminal Boyolali. Kami sampai di Terminal Boyolali tengah malam. Sudah tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Ada tukang ojek yang menawari kami untuk pergi ke Base Camp Selo. Tarifnya kalau tidak salah lebih dari Rp 100 ribu. Namun, ojek bukan transport yang pas. Mahal juga. Maka, kami tawar-menawar dengan sopir pikap yang juga menghampiri kami. Awalnya dia meminta Rp 100 ribu per orang. Karena saat itu hanya ada kami bertiga. Setelah tawar-menawar, kami pun sepakat membayar Rp 75 ribu per orang. Jadilah kami tancap gas menuju Base Camp Selo dengan naik mobil bak terbuka. Cuma bertiga. Angin dingin menerpa badan selama perjalanan. Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami sampai di homestay berupa rumah warga. Gratis. Kami hanya perlu memesan makanan atau kopi di sana. Saat itu sudah lepas tengah malam. Sekitar jam 3 dini hari. Tapi, dalam pendakian kali tidak ada drama seperti di Ciremai dulu. Tanggal 23 Agustus pagi kami memulai pendakian setelah mendaftar di pos perizinan Selo. Dari homestay, kami masih harus berjalan sekitar 500 meter untuk menuju pos perizinan. Kami pun melewati pos demi pos dengan trek sebagaimana umumnya gunung. Namun, menurut saya, trek Merbabu tidak seberat Linggarjati-nya Ciremai. Saat beristirahat dan menyeduh kopi di Pos 1, gerimis tiba-tiba turun. Tidak terlalu deras. Jadi, kami tidak perlu membuka flysheet , apalagi sampai membongkar tenda. Kami cukup berteduh di antara rimbun pohon-pohon kecil di sana. Tak lama setelah gerimis, dari kejauhan, muncul beberapa ekor monyet di kejauhan. Mereka hanya mengamati dari jauh. Tidak sampai mendekat. Saat gerimis reda dan kopi sudah habis, kami melanjutkan pendakian ke pos selanjutnya. Gerimis tidak sampai membuat trek menjadi liat. Hanya sedikit basah sehingga jalan tak terlalu berdebu. Kami terus berjalan dalam sepi. Hanya desau angin, tarikan napas, dan derap langkah kami yang terdengar. Diiringi derik serangga-serangga belantara dan kicau burung-burung. Gunung Merbabu tidak terlalu ramai pendaki kali ini. Sesekali terdengar auman lutung abu dari kejauhan. Terutama saat melewati Pos 2. Alam Merbabu masih dihuni hewan eksotis yang terancam punah itu. Kami pun tiba di Pos 3. Pos dengan area terbuka yang cukup luas. Di depan kami, sedikit ke arah kanan dari arah kedatangan kami, tanjakan dengan kemiringan ekstrem tersaji di depan mata. Beberapa pendaki yang sedang nanjak di sana masih bisa terlihat dari sini. Kecil-kecil. Bergerak perlahan-lahan. Itu adalah trek yang harus kami lalui untuk mencapai Pos Sabana 1. Kami sempatkan untuk beristirahat dulu di Pos 3. Merilekskan napas. Mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras. Dari posisi saya duduk, saya bisa menikmati kegagahan Merapi di samping sana. Puncaknya yang tandus selalu diselimuti awan. Saya pernah ingin mendaki Merapi. Namun, saat ingin mendaki Merapi, tiba-tiba ia batuk. Meletus. Mengeluarkan wedus gembel dan dahaknya. Sampai sekarang keinginan itu belum muncul kembali. Cukuplah saat ini saya mengaguminya dari Merbabu. Begitu tenaga sudah pulih, ada wacana untuk nge-camp di Pos 3. Tapi, mengingat hari belum terlalu sore, kami akhirnya memutuskan berjalan terus ke pos selanjutnya. Apalagi, menurut saya, Pos 3 bukan area yang enak untuk mendirikan tenda. Areanya yang terbuka tanpa pepohonan membuat angin yang menerjang menjadi begitu kencang. Tenaga juga masih ada untuk menggapai Sabana 1. Kecuali tenaga sudah payah, boleh lah nge-camp di mana saja. Kami akhirnya naik ke Sabana 1. Melewati tanjakan yang tadi. Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Sejenak beristirahat untuk mengatur napas setiap sepuluh langkah. Tidak harus dihitung juga. Tapi, saya rata-rata di angka itu. Trek yang berat. Tapi, saat istirahat dan berbalik arah, ada keindahan yang terhampar di depan sana. Itu bisa cukup meneduhkan. Dan, percaya tidak percaya, pemandangan yang indah seperti itu seakan bisa nge-cas tenaga kembali dengan cepat. Itulah seninya naik gunung. Capek, tapi terpuaskan dengan view-view menakjubkan yang tidak bisa kita saksikan jika berdiam diri saja di rumah. ’’Kalau mau melihat pemandangan yang indah, nggak perlu capek-capek mendaki gunung. Lihat saja fotonya di internet. Bisa lihat pemandangan-pemandangan indah di seluruh dunia.’’ Suka kesal nggak kalau ada orang yang bilang seperti itu? Kalau saya tidak. Orang yang bilang seperti itu memang bisa melihat pemandangan indah yang diinginkan di internet. Di mana saja. Sambil tiduran juga bisa. Tapi, dia tidak bisa merasakan udara yang berembus di keindahan itu, tidak merasakan kehangatan sinar matahari di sana, tidak bisa merasakan dinginnya saat malam tiba, dan yang paling penting dia tidak bisa merasa menjadi bagian dari keindahan itu. Tidak menjadi kesatuan dengannya. Saat mendaki gunung atau traveling, kamu bisa merasakan itu semua. Sampailah kami di Sabana 1. Sebelum gelap, tenda sudah berdiri. Di antara pohon-pohon kecil yang banyak tumbuh di pos ini. Sebenarnya masih ada Pos Sabana 2 di atas sana. Lebih dekat dengan puncak. Tapi, kali ini kami menyerah karena tenaga hanya tinggal sisa. Nge-camp di sini saja. Untuk mengusir lelah dan lapar, kami merebus mi instan. Saya adalah tipe yang menjadikan mi sebagai menu wajib saat mendaki. Nggak perlu nasi. Dan belum lengkap kalau tidak ngopi . Kuseduhlah kopi hitam seperti biasa. Mendirikan tenda di antara rimbun pohon-pohon kecil melindungi kami dari terpaan angin malam di Sabana. Di dalam tenda, malam itu, kami tidur dengan nyenyak sampai pagi tiba. Saya buka pintu tenda. Angin pun menampar wajah yang masih sembap. Angin nyelonong masuk ke dalam tenda. Udara pagi itu terasa begitu dingin. Di bingkai lengkung pintu tenda, di depan sana, puncak Merapi tampak teduh berselimut awan putih. Langit biru bersih. Cuaca cerah pagi itu. Langsung saja saya tarik kompor. Bikin kopi untuk menghangatkan diri dan mi instan untuk menumpas perih di lambung. Setelah sarapan, ngopi , dan beres-beres, kami bergegas naik ke puncak sekitar pukul 09 pagi. Kami sengaja tidak memburu sunrise . Tenda kami tinggal di Sabana 1. Untuk mencapai puncak, kami harus melewati setidaknya dua pos lagi. Pos Sabana 2 dan Pos Watu Lumpang. Trek untuk mencapai dua pos itu tentu saja nanjak terus. Sampai ke puncak. Dari Sabana 1, Sabana 2, dan Pos Watu Lumpang, banyak sekali bunga edelweiss di sisi kanan dan kiri jalan. Terutama di atas Sabana 2. Hanya saja, kali ini belum semua bunga mekar. Kebanyakan bunganya masih kecil-kecil. Setelah sekitar 3 jam pendakian, kami sampai di puncak Merbabu. Namanya Puncak Kenteng Songo. Kenteng Songo berasal dari bahasa Jawa, kenteng (wadah seperti baskom) dan songo (sembilan). Di puncak sana memang ada sembilan batu berlubang yang bentuknya mirip dengan kenteng . Bisa menampung air. Konon, menurut cerita rakyat, di Merbabu terdapat sebuah kerajaan. Menurut salah satu versi cerita masyarakat yang berkembang, pada zaman dulu (masa Mataram), kawasan Gunung Merbabu merupakan kerajaan yang pusat pemerintahannya berada di puncak Kenteng Songo. Sembilan batu berlubang itu adalah umpak atau batu fondasi tiang pendapa Istana Merbabu. Salah satu tokoh kerajaan ini adalah Ratu Dewi Retno Asih. Kerajaan tersebut mempunyai dua kelompok pasukan, yaitu pasukan yang berseragam merah dan pasukan yang berseragam hijau. Konon siapa pun yang menyamai atau memakai pakaian berwarna merah akan diusir oleh pasukan merah. Karena itu, para pendaki disarankan tidak menggunakan baju berwarna merah. Percaya tidak percaya, semua kembali kepada Anda masing-masing. Dari atas sini, kita bisa melihat pos pemancar dengan antena tinggi seperti menembus langit. Pemandangan yang terhampar di depan mata tak terbantahkan keindahannya. Terlihat puncak-puncak lain Merbabu di kejauhan. Bergunung-gunung. Biru gelap. Seperti siluet dengan background langit biru. Gunung Merbabu memang memiliki tujuh puncak. Watu Gubuk (2.729 mdpl), Watu Tulis/Pemancar (2.920 mdpl), Geger Sapi (2.987 mdpl), Syarif (3.142 mdpl), Ondo Rante (3.110 mdpl), Kenteng Songo (3.145 mdpl), dan Triangulasi (3.122 mdpl). Itu dikenal juga dengan seven summit Merbabu. Semuanya bisa lebih muda dicapai melalui jalur Kopeng Thekelan. Merbabu sendiri memiliki lima jalur pendakian. Yaitu, Kopeng Thekelan, Wekas, Kopeng Cunthel, Selo, dan Suwanting. Selo adalah jalur favorit pendaki yang akan naik Merbabu. Merbabu adalah gunung api yang secara administratif berada di Kabupaten Magelang di lereng barat dan Kabupaten Boyolali di lereng timur dan selatan, Kabupaten Semarang di lereng utara, Jawa Tengah. Gunung ini dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya, pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, ’’ merbabu ’’ berasal dari gabungan kata ’’meru’’ (gunung) dan ’ ’abu’’ (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda. Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Puncak tertinggi gunung Merbabu berada di ketinggian 3.145 mdpl (Kenteng Songo). Puas di puncak, kami pun turun. Semakin siang angin juga semakin bertiup kencang. Dinginnya tak tertahankan. Kami turun perlahan. Tidak tergesa-gesa. Karena trek turun juga menyajikan pemandangan yang menakjubkan. Jalur berkelok-kelok, berbukit-bukit. Jalur menuju Sabana 2 dan Sabana 1 tampak sempurna dari atas sini. Ditambah puncak Merapi yang seperti melambai-lambai minta didaki. Menggoda. Sampai di tenda, kami beristirahat dulu sebelum turun hari itu juga. Kami kemudian turun sekitar jam 01 siang dan sampai base camp sekitar jam 04 sore. Di sana kami mandi-mandi dulu, memesan nasi telur sayur lodeh. Perbaikan gizi. Kami pulang dengan menyewa mobil base camp dengan pendaki lain. Menuju Stasiun Solo Jebres. Malam itu kami naik kereta kembali ke Jakarta. (*) Jakarta–Boyolali, 22–25 Agustus 2016

  • Ngedate di Pantai Ancol Jakarta

    BERAWAL dari keinginan untuk merayakan hari jadian, maka kami pilih Pantai Ancol sebagai saksi perayaannya. Bukan perayaan sebenarnya. Cuma jalan-jalan biasa. Hanya momennya yang tidak biasa. Saya sudah dua tahun tinggal di Jakarta, tapi belum tahu mana-mana. Lebih hobi semedi di kosan. Jadi, adanya aplikasi Waze sangat membantu pergerakan saya. Termasuk saat ingin berangkat ke Ancol. Pantai Ancol berada di Jalan Lodan Timur Nomor 7, Ancol, Jakarta Utara. Sementara kos saya di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Cukup jauh, apalagi jalanan Jakarta sering macet. Ancol memiliki beberapa objek wisata pantai andalan. Sebut saja Beach Pool (Lagoon), Pantai Festival, Pantai Marina, Ancol Beach City (ABC), Pantai Indah Ancol, Pantai Ria, Pantai Bende, dan Pantai Karnaval. Tidak mungkin mengunjungi semuanya seharian. Kami memilih satu tempat saja: Beach Pool (Lagoon). Pantai ini adalah salah satu destinasi favorit wisatawan. Pantai ini menjadi tujuan favorit untuk berburu foto, menikmati momen liburan, serta melepas kepenatan. Atau bahkan untuk berolahraga. Pantai Lagoon Ancol menyediakan berbagai macam wahana permainan yang seru, salah satunya adalah menyewa perahu kayu untuk menikmati setiap sudut pantai yang indah. Selain itu, di kawasan pantai juga tersedia taman bermain dengan aneka jenis permainan di dalamnya. Mulai dari ayunan, perosotan, hingga kesempatan berkeliling pantai menggunakan kereta mini. Bahkan, di taman juga ada kolam ikan dan anak-anak bisa memberi makan ikan. Satu lagi yang menarik dan yang disukai para penghobi fotografi: Restoran di tengah laut. Restoran itu memiliki atap unik dari kain khusus yang tahan panas dan air hujan. Untuk mencapai tempat itu, pengunjung harus melewati jembatan kayu yang di kanan dan kirinya adalah air laut. Restoran itu akan jauh lebih indah saat malam hari. (*)

  • Menghirup Kesejukan Kebun Raya Bogor

    KEBUN Raya Bogor masuk dalam daftar tempat yang ingin kami datangi kali ini. Naik motor memang enak. Tapi, kali ini kami ingin naik angkutan umum. Pagi hari kami berangkat dari kos di Jakarta Selatan ke Stasiun Palmerah. Motor kami parkir di stasiun dan melanjutkan perjalanan ke Bogor dengan naik kereta rel listrik. Jarak yang kami tempuh dari Palmerah ke Bogor sekitar 1 setengah jam. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan dengan naik angkot. Untuk memasuki area Kebun Raya Bogor, pengunjung perlu membeli tiket. Memasuki kebun raya, suasananya terasa sangat berbeda dari di luar. Yang awalnya panas dan gerah berubah menjadi sejuk dan adem. Wajar. Karena Kebun Raya Bogor yang luasnya mencapai 87 hektar memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Kebun raya ini didirikan pada tahun 1817 oleh pemerintah Hindia Belanda. Jalan-jalan di kebun raya memerlukan energi yang ekstra. Sehari itu kami belum menjelajahi setengahnya. Kami hanya mengunjungi beberapa tempat saja. Misalnya Istana Presiden dan Danau Gunting. (*)

  • Hampir Tersesat di Gunung Ciremai

    PENUH drama. Ini kata yang pas untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Ciremai kali ini. Kami bertiga, saya dan dua teman kantor –Mud dan Cup– mendaki Gunung Ciremai via Linggarjati. Gunung ini memiliki tiga jalur resmi, yakni Linggarjati, Apuy, dan Palutungan. Nah, Linggarjati adalah jalur yang paling terjal. Anda yang menyukai tantangan dan ingin melatih fisik, jalur ini cocok sebagai pilihan. Drama itu dimulai dari Jakarta. Pagi itu, sekitar jam 2 dini hari pada 11 April 2016, kami masih bersantai di rumah salah satu teman tidak jauh dari Pasar Rebo. Kami memang berniat naik bus dari terminal bayangan Pasar Rebo. Biasanya bus ngetem lama di sana untuk menunggu penumpang. Sekitar jam 03 pagi kami sudah berada di terminal bayangan itu. Namun, saat itu sudah tidak ada bus yang berhenti. Saat bertanya kepada orang di sana, bus terakhir itu ternyata sudah jalan beberapa menit lalu. Di sini drama itu dimulai. Tidak ada ojek yang bisa mengejar bus itu. Kami harus berpikir cepat. Karena tidak ada lagi bus yang berangkat ke kota tujuan pagi itu. Sial-sial harus menunggu sampai siang. Dalam keadaan seperti itu ada sopir angkot yang datang bak pahlawan. Dia menawari kami naik dengan tarif sama. Dia pun ngebut untuk mengejar bus. Sampai-sampai dia melewatkan begitu saja saat ada penumpang yang mencegat di pinggir jalan. Dia terus melaju. Saat itu hanya kami bertiga di angkot. Setelah beberapa menit, bus yang kami cari terlihat di kejauhan. Sopir angkot semakin dalam menginjak gas. Kami pun sampai di belakang bus. Untung, saat itu bus tersebut sedang terjebak kemacetan. Thank you pak sopir angkot! Perjalanan dari Jakarta ke Kuningan menempuh waktu sekitar 4–5 jam tergantung arus lalu lintas, macet atau tidak. Sekitar jam 08 kami sudah masuk Kuningan. Kami pun turun di pertigaan Linggarjati. Untuk mencapai Base Camp Linggarjati dari sana, kami naik angkot dan dilanjutkan dengan naik ojek. Sampai di base camp , kami langsung mendaftar, menyerahkan KTP ketua kelompok, dan membayar retribusi Rp 50.000 per orang untuk tiga hari pendakian. Turunnya pendaki akan mendapatkan sertifikat pendakian. Kami memulai pendakian pagi itu juga setelah sarapan. Dari base camp , jalur yang terhampar masih berupa jalan aspal. Kami berjalan di aspal yang menanjak. Berat. Melewati ladang dan rumah-rumah penduduk. Kami pun sampai di Pos Cibunar. Di sini kita bisa melengkapi kekurangan logistik. Karena ada warung, toko aksesori. Lengkap dengan toilet dan pangkalan ojek. Nah, kalau tidak mau capek, Anda bisa naik ojek ke pos pertama di ketinggian 850 mdpl ini. Naik dari Cibunar, treknya berupa jalur berbatu yang menanjak. Masih ada sedikit bonusnya sih. Pendakian melewati hutan pinus. Setelah itu, jalur mulai terbuka. Jalur menanjak yang sempit kemudian tersaji hingga ke Pos Leuweung Datar. Pos yang berada di ketinggian 1.225 mdpl ini cukup untuk mendirikan 3–4 tenda. Kami menyempatkan istirahat sebentar di sini. Namun, di antara Pos Cibunar dan Leuweung Datar, masih ada satu warung. Terus naik ke atas, treknya masih sama. Tidak lama kemudian, kami tiba di Pos Kondang Amis. Sampai di sini, hari sudah sore. Gerimis juga mulai turun. Kami pun nge-camp semalam di pos ini. Pada 12 April pagi, setelah makan-makan dan packing tenda, kami melanjutkan pendakian menuju Pos Kuburan Kuda di ketinggian 1.450 mdpl. Jalurnya semakin sempit, rimbun, dan banyak akar-akaran. Karakter pos ini sama dengan Pos Kondang Amis. Cukup nyaman untuk mendirikan tenda. Tak lama beristirahat, kami melanjutkan langkah menuju Pos Pangalap dengan trek yang tak jauh berbeda. Begitu juga jalur menuju Tanjakan Seruni. Jalurnya semakin curam. Di jalur ini kami menemui Tanjakan Bin-Bin. Tanjakan Seruni berada di ketinggian 1.825 mdpl. Selepas Tanjakan Seruni, treknya semakin berat. Di depan sana ada tanjakan ekstrem yang menanti. Namanya tanjakan Bapa Tere. Saat itu tidak ada jalan lain selain harus naik melalui tanjakan itu. Untuk melalui tanjakan itu, kami harus memanjat dengan berpegang pada akar-akar pohon yang menjuntai. Di sini tidak ada area landai untuk mendirikan tenda. Di atasnya lagi, di Pos Batu Lingga, pendaki baru bisa menemukan area datar untuk mendirikan tenda. Area ini cukup untuk 3–4 tenda. Kami berhenti di pos ini dan mendirikan tenda. Kami sepakat nge-camp di Pos Batu Lingga di ketinggian 2.200 mdpl. Esok paginya baru nembak puncak. Jam 02 dini hari 13 April, kami mulai menuju puncak. Untuk menuju puncak, kami masih harus melalui Pos Sanggabuana 1 dan 2. Di sini pendaki juga bisa mendirikan tenda. Dari Sanggabuana 2 menuju Pos Pengasinan, treknya berupa tanah padat berbatu. Pepohonan semakin jarang sehingga pemandangan di sekitarnya mulai tampak terhampar. Pos Pengasinan berada di ketinggian 2.800 mdpl. Ini adalah pos terakhir sebelum mencapai puncak. Ini juga merupakan batas vegetasi. Dari pos ini, puncak Ciremai sudah bisa dilihat. Untuk sampai ke sana, kami menapaki jalur sempit dengan batuan terjal. Kami sampai di puncak sekitar jam 07 pagi. Total kami membutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk mencapai puncak dari Pos Batu Lingga. Gunung Ciremai memiliki ketinggian 3.078 mdpl. Ini adalah gunung tertinggi di Jawa Barat. Gunung ini juga terkenal dengan jalur yang berat, terutama via Linggarjati. Ditambah, di gunung ini tidak ada sumber air. Sekadar catatan, selain memiliki trek yang terjal, Ciremai juga mempunyai banyak cerita mistis dan mitos yang dipercaya oleh beberapa kalangan pendaki. Salah satunya adalah pantangan untuk mendirikan tenda dan bermalam di Pos 4 atau Pos Kuburan Kuda. Pos itu dipercaya angker sehingga pendaki yang kemalaman di jalan disarankan bermalam di pos sesudahnya atau sebelumnya. Gunung Ciremai memiliki dua kawah ganda di bagian puncak, yakni kawah barat dan kawah timur. Kawah barat berbentuk setengah lingkaran dan terpotong oleh kawah timur. Pada tepi bagian barat ini, terdapat bukit lava yang biasa disebut Sunan Cirebon. Inilah titik tertinggi gunung Ciremai. Masih pada bagian barat, ada satu lagi titik tertinggi kedua, yakni Pangeran Talaga. Menurut catatan yang ada di buku pendakian gunung Ciremai, kawah barat terbentuk pada 1698. Sementara kawah timur terbentuk pada 1924. Setelah dua sampai tiga jam berada di puncak, kami turun. Rencananya, kami langsung turun menuju Base Camp Linggarjati. Setelah membongkar tenda dan makan, kami baru turun dari Pos Batu Lingga sekitar jam 01 siang. Kami berjalan santai sehingga di Pos Kondang Amis sudah ketemu gelap. Kami berjalan sangat pelan karena kaki Cup terkilir. Dia berjalan terseok-seok. Namun, kami terus saja berjalan sampai gerimis turun di tengah malam. Tenaga kami terkuras. Logistik menipis. Kami terus berjalan, tapi pos yang kami tuju belum juga ketemu. Kami merasa seperti tersesat. Seperti berputar-putar saja di area yang sama. Pada batas tenaga yang tersisa, Cup ingin menyerah. Di situ drama selanjutnya terjadi. Ada perdebatan. Cup ingin mendirikan tenda dan nge-camp semalam lagi. Sedangkan kami ingin terus melanjutkan turun. Pertimbangannya, logistik sudah habis. Lokasinya juga tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda. Jadi, tetap turun adalah pilihan terbaik. Setelah perdebatan cukup menegangkan di bawah guyuran gerimis, kami pun berhasil meyakinkan Cup untuk terus berjalan. Pelan-pelan saja, asal terus bergerak. Jangan sampai kedinginan hingga rawan terkena hipo. Dengan tenaga yang tersisa, kami akhirnya berhasil sampai di base camp . Waktu itu hampir jam 09 malam. Sudah tidak ada ojek. Berkat pertolongan penjaga base camp , ada warga setempat yang mau mengantarkan kami. Tarifnya disamakan dengan ojek biasa. Kami bermalam di rumah nenek Mud yang juga di Kuningan dan kembali ke Jakarta esok paginya. Pendakian yang berkesan dengan bumbu-bumbu drama. Pengalaman yang cukup mengesalkan saat dijalani, tapi cukup menarik untuk diingat. (*) Kuningan, 11–13 April 2016

  • Merangkum Sejarah Panjang Kita di Museum Bank Mandiri

    CORAK bangunannya tampak sama dengan beberapa gedung di sampingnya. Bergaya neo-klasikal. Namun, begitu memasuki lobi, ada kemewahan yang menyambut. Dan tentu saja hawa dingin dari mesin pendingin ruangan. Cukup mengusir gerah di luar sana. Museum Bank Mandiri Jakarta tampak ramai siang itu. Museum Bank Mandiri hanya satu di antara sekian banyak museum sejarah di Jakarta. Museum BI berdiri kukuh di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat. Begitu memasuki lobi utama Museum Mandiri , terdapat kaca patri mozaik yang artistik. Kaca itu dibuat seniman Belanda bernama Ian Sihouten Frinsenhouf dengan total 1509 panel kaca patri. Di museum ini, kita bisa mendapat informasi tentang peran Bank Mandiri dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa Barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Mandiri pada tahun 1953. Ada pula informasi tentang kebijakan-kebijakan Bank Mandiri, yang meliputi latar belakang dan dampak kebijakannya bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Museum BI sudah bisa disebut sebagai museum modern. Beberapa informasi dikemas dan disajikan dengan teknologi modern dan multimedia. Seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama. Pengunjung bisa menikmati sejarah dalam bentuk audiovisual di ruangan yang mengusung konsep seperti teater mini. Menjelajahi setiap sudut ruangan museum ini seakan memasuki Indonesia di masa lalu. Selain mulimedia, museum ini menampilkan patung-patung yang menceritakan kegiatan perbankan pada zaman Belanda. Ada juga dermaga lama di bilik Batavia tempo doeloe . Lalu, khazanah numismatik, kursi koin, pintu baja, dan ruang numismatik. Karena namanya Museum BI, tentu di sini banyak koleksi uang dari zaman dulu. Museum ini tak ketinggalan memajang foto atau gambar para penjelajah asing yang singgah di Nusantara. Tak sekadar singgah, mereka juga memberikan pengaruh pada kolonisasi di Nusantara. Sebut saja Marcopolo (Italia, 1254–1324), Laksamana Cheng Ho (1371–1436), Afonso d’Alburquerque (Portugis, 1453–1515), Cornelis de Houtman (Belanda, 1565–1599), dan Sir Henry Middleton (Inggris, 1604). Nah, di tengah-tengah bangunan ini, terdapat taman atau tempat terbuka yang ditumbuhi beberapa pohon. Taman ini terlihat asri dan fotogenik. Namun sayang, tidak sembarang orang bisa memasuki kawasan itu. Diperlukan izin khusus, kata penjaga di museum tersebut. Namun, Anda tidak perlu kecewa. Sebab, di belakang gedung, terdapat taman yang bisa dikunjungi siapa saja. Di halaman belakang juga terdapat musala yang tak kalah bagus. Secara garis besar, di Museum BI ada tujuh ruang utama. Antara lain,  Ruang Playmotion untuk simulasi permainan menangkap bayangan koin yang jatuh untuk para pengunjung sebelum masuk.  Ruang teater  untuk menonton film sejarah kebijakan BI dari masa ke masa. Kemudian, Ruang sejarah untuk memampang sejarah BI peranannya dalam sejarah bangsa. Setiap cerita dirangkai secara detail dengan dilengkapi  film pendek, patung, dan barang barang yang dulu digunakan.  Ruang perenungan hijau  dulu digunakan sebagai tempat para pimpinan merumuskan berbagai kebijakan. Lalu, Ruang emas moneter merupakan tempat mas murni yang pada masanya pernah berfungsi sebagai penjamin uang yang beredar di Indonesia terseimpan. Di ruangan ini terdapat pula uang dari berbagai negara.  Ruang numismatik  berisi koleksi uang yang beredar di Nusantara mulai dari berbagai bentuk dan jenis uang dari zaman kerajaan Hindu Budha, kerajaan Islam, kolonial hingga uang pasca kemerdekaan dan uang mancanegara.  (*)

bottom of page