top of page

Asyik Bermain Ikon Lewat Karya-Karya Yuswantoro Adi

Updated: Oct 19, 2018



YUSWANTORO Adi hidup dari dan untuk dunia lukis. Melukis bagi dia adalah pekerjaan utama. Seniman kelahiran Semarang, 11 November 1966, itu banyak menjadikan anak-anak dan kritik sosial sebagai tema karya-karyanya.


Tema-tema itu juga masih begitu kental dalam karya-karyanya yang dipamerka di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, pada 10-22 November 2017, dengan tajuk ICONIC. Pameran tunggal Yuswantoro bekerja sama GNI itu mengeksposisi sekitar 20 karya, dan puluhan karya lukis anak-anak didik Yuswantoro. Ya, setiap hari Minggu, dia mengajar seni lukis untuk anak-anak di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).


Sebagaimana temanya, karya-karya Yuswantoro yang dipamerkan kali ini merupakan gambaran ulang dari tokoh-tokoh atau ikon yang sudah lekat dengan ingatan masyarakat. Uniknya, sosok-sosok tersebut digambar ulang dalam tubuh anak-anak. Misalnya saja sosok superhero Superman dan Sang Proklamator Bung Karno. Ada juga lukisan Perjamuan Kudus karya Leonardo Da Vinci yang dihadirkan Yuswantoro dengan sosok anak-anak.


Namun, ada sosok lain yang dibiarkan apa adanya. Misalnya, Adolf Hitler, komedian Jojon, dan Charlie Chaplin. Hal ini saya kira adalah kesengajaan dari Yuswantoro untuk menghadirkan keberagaman, agar tak monoton dalam dunia anak-anak. Atau juga simbol bahwa anak-anak pun akan tumbuh dewasa dan bebas memilih menjadi seperti apa; Hitler yang pemimpin sekaligus ikon antagonis dunia? Atau Jojon yang komedian?


Kritik paling tajam soal dunia anak dihadirkan Yuswantoro dalam sebuah lukisan besar. Di mana anak-anak bermain di atas gedung. Hal ini merupakan kritik seniman atas minimnya lahan terbuka untuk anak-anak berinteraksi di kota-kota besar, khususnya Jakarta.


Ikon-ikon yang menjadi napas ke-Indonesia-an tak ketinggalan. Yuswantoro menghadirkan lukisan peta Indonesia, Candi Borobudur, dan lambang Pancasila dalam puzzle kotak-kotak.


“Di sini Yuswantoro Adi berusaha untuk mempersoalkan, menanyakan ulang, atau justru menggiring publik agar medefinisikan ulang ikon yang sudah ada dan populer,” tulis situs GNI.


Pameran ini juga menyertakan karya yang sekan menjadi ciri khas lain dari Yuswantoro, yakni lembaran uang rupiah. Dengan karya berupa lembaran uang, dia pernah membuat gebrakan pada tahun 1998, saat reformasi mulai didengungkan secara perlahan-lahan.


Saat itu, Yuswantoro menggebrak lewat karyanya yang berupa lembaran uang Rp 50.000-an, dengan lubang pada gambar wajah Soeharto. Karya ini bermaksud membaca keadaan pada masa itu bahwa setiap orang bisa menjadi presiden.


Di GNI kali ini, Yuswantoro menghadirkan lembaran uang pecahan Rp 100 dengan wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada juga suvenir lembaran uang yang sama untuk setiap pengunjung yang datang. Ini mungkin sikap si pelukis terhadap rencana Bank Indonesia yang akan meredenominasi rupiah beberapa waktu lalu.


Selama berkecimpung di dunia lukis, Yuswantoro pernah meraih beberapa penghargaan. Antara lain, grand prize Winner Phillip Morris ASEAN Art Award 1997 di Manila, Philipina, lewat lukisan “Masterpieces of Indonesia”. Lalu, sketsa terbaik dan lukisan cat minyak terbaik ISI Yogyakarta tahun 1987, Juara II Lomba Karikatur Pariwisata dari Pemda DIY tahun 1990, dan Lima Besar Utama Lomba Lukis YSRI PMIAA 1997. (*)

11 views0 comments
bottom of page