top of page

Mengabadikan Keindahan Gunung Merbabu

ree

KAMI mendaki Gunung Merbabu dengan skuad yang sama saat mendaki Gunung Ciremai. Bertiga. Saya, Mud, dan Cup. Jalur yang kami pilih dalam pendakian kali ini adalah via Selo, Boyolali, Jawa Tengah.

Dari Jakarta ke Boyolali, kami memilih naik bus. Pada 22 Agustus siang, kami naik bus Rosalia Indah dari pool di Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dengan tujuan Terminal Tirtonadi, Solo, Jawa Tengah. Perjalanan kami tempuh sekitar 10–11 jam. Dari terminal Solo, kami masih harus naik bus lagi menuju Terminal Boyolali.


Kami sampai di Terminal Boyolali tengah malam. Sudah tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Ada tukang ojek yang menawari kami untuk pergi ke Base Camp Selo. Tarifnya kalau tidak salah lebih dari Rp 100 ribu. Namun, ojek bukan transport yang pas. Mahal juga.


Maka, kami tawar-menawar dengan sopir pikap yang juga menghampiri kami. Awalnya dia meminta Rp 100 ribu per orang. Karena saat itu hanya ada kami bertiga.


Setelah tawar-menawar, kami pun sepakat membayar Rp 75 ribu per orang. Jadilah kami tancap gas menuju Base Camp Selo dengan naik mobil bak terbuka. Cuma bertiga. Angin dingin menerpa badan selama perjalanan.


Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami sampai di homestay berupa rumah warga. Gratis. Kami hanya perlu memesan makanan atau kopi di sana. Saat itu sudah lepas tengah malam. Sekitar jam 3 dini hari.


Tapi, dalam pendakian kali tidak ada drama seperti di Ciremai dulu. Tanggal 23 Agustus pagi kami memulai pendakian setelah mendaftar di pos perizinan Selo. Dari homestay, kami masih harus berjalan sekitar 500 meter untuk menuju pos perizinan.


Kami pun melewati pos demi pos dengan trek sebagaimana umumnya gunung. Namun, menurut saya, trek Merbabu tidak seberat Linggarjati-nya Ciremai.


Saat beristirahat dan menyeduh kopi di Pos 1, gerimis tiba-tiba turun. Tidak terlalu deras. Jadi, kami tidak perlu membuka flysheet, apalagi sampai membongkar tenda. Kami cukup berteduh di antara rimbun pohon-pohon kecil di sana.


Tak lama setelah gerimis, dari kejauhan, muncul beberapa ekor monyet di kejauhan. Mereka hanya mengamati dari jauh. Tidak sampai mendekat.


Saat gerimis reda dan kopi sudah habis, kami melanjutkan pendakian ke pos selanjutnya. Gerimis tidak sampai membuat trek menjadi liat. Hanya sedikit basah sehingga jalan tak terlalu berdebu.


Kami terus berjalan dalam sepi. Hanya desau angin, tarikan napas, dan derap langkah kami yang terdengar. Diiringi derik serangga-serangga belantara dan kicau burung-burung. Gunung Merbabu tidak terlalu ramai pendaki kali ini.


Sesekali terdengar auman lutung abu dari kejauhan. Terutama saat melewati Pos 2. Alam Merbabu masih dihuni hewan eksotis yang terancam punah itu.


Kami pun tiba di Pos 3. Pos dengan area terbuka yang cukup luas. Di depan kami, sedikit ke arah kanan dari arah kedatangan kami, tanjakan dengan kemiringan ekstrem tersaji di depan mata.


Beberapa pendaki yang sedang nanjak di sana masih bisa terlihat dari sini. Kecil-kecil. Bergerak perlahan-lahan. Itu adalah trek yang harus kami lalui untuk mencapai Pos Sabana 1.


ree

Kami sempatkan untuk beristirahat dulu di Pos 3. Merilekskan napas. Mengumpulkan kembali tenaga yang terkuras. Dari posisi saya duduk, saya bisa menikmati kegagahan Merapi di samping sana. Puncaknya yang tandus selalu diselimuti awan.


Saya pernah ingin mendaki Merapi. Namun, saat ingin mendaki Merapi, tiba-tiba ia batuk. Meletus. Mengeluarkan wedus gembel dan dahaknya. Sampai sekarang keinginan itu belum muncul kembali. Cukuplah saat ini saya mengaguminya dari Merbabu.


Begitu tenaga sudah pulih, ada wacana untuk nge-camp di Pos 3. Tapi, mengingat hari belum terlalu sore, kami akhirnya memutuskan berjalan terus ke pos selanjutnya.


Apalagi, menurut saya, Pos 3 bukan area yang enak untuk mendirikan tenda. Areanya yang terbuka tanpa pepohonan membuat angin yang menerjang menjadi begitu kencang. Tenaga juga masih ada untuk menggapai Sabana 1. Kecuali tenaga sudah payah, boleh lah nge-camp di mana saja.


Kami akhirnya naik ke Sabana 1. Melewati tanjakan yang tadi. Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah. Sejenak beristirahat untuk mengatur napas setiap sepuluh langkah. Tidak harus dihitung juga. Tapi, saya rata-rata di angka itu.


Trek yang berat. Tapi, saat istirahat dan berbalik arah, ada keindahan yang terhampar di depan sana. Itu bisa cukup meneduhkan. Dan, percaya tidak percaya, pemandangan yang indah seperti itu seakan bisa nge-cas tenaga kembali dengan cepat.


Itulah seninya naik gunung. Capek, tapi terpuaskan dengan view-view menakjubkan yang tidak bisa kita saksikan jika berdiam diri saja di rumah.


’’Kalau mau melihat pemandangan yang indah, nggak perlu capek-capek mendaki gunung. Lihat saja fotonya di internet. Bisa lihat pemandangan-pemandangan indah di seluruh dunia.’’


Suka kesal nggak kalau ada orang yang bilang seperti itu? Kalau saya tidak.


Orang yang bilang seperti itu memang bisa melihat pemandangan indah yang diinginkan di internet. Di mana saja. Sambil tiduran juga bisa. Tapi, dia tidak bisa merasakan udara yang berembus di keindahan itu, tidak merasakan kehangatan sinar matahari di sana, tidak bisa merasakan dinginnya saat malam tiba, dan yang paling penting dia tidak bisa merasa menjadi bagian dari keindahan itu. Tidak menjadi kesatuan dengannya. Saat mendaki gunung atau traveling, kamu bisa merasakan itu semua.


Sampailah kami di Sabana 1. Sebelum gelap, tenda sudah berdiri. Di antara pohon-pohon kecil yang banyak tumbuh di pos ini. Sebenarnya masih ada Pos Sabana 2 di atas sana. Lebih dekat dengan puncak. Tapi, kali ini kami menyerah karena tenaga hanya tinggal sisa. Nge-camp di sini saja.


Untuk mengusir lelah dan lapar, kami merebus mi instan. Saya adalah tipe yang menjadikan mi sebagai menu wajib saat mendaki. Nggak perlu nasi. Dan belum lengkap kalau tidak ngopi. Kuseduhlah kopi hitam seperti biasa.


ree

Mendirikan tenda di antara rimbun pohon-pohon kecil melindungi kami dari terpaan angin malam di Sabana. Di dalam tenda, malam itu, kami tidur dengan nyenyak sampai pagi tiba.


Saya buka pintu tenda. Angin pun menampar wajah yang masih sembap. Angin nyelonong masuk ke dalam tenda. Udara pagi itu terasa begitu dingin.


Di bingkai lengkung pintu tenda, di depan sana, puncak Merapi tampak teduh berselimut awan putih. Langit biru bersih. Cuaca cerah pagi itu. Langsung saja saya tarik kompor. Bikin kopi untuk menghangatkan diri dan mi instan untuk menumpas perih di lambung.


Setelah sarapan, ngopi, dan beres-beres, kami bergegas naik ke puncak sekitar pukul 09 pagi. Kami sengaja tidak memburu sunrise. Tenda kami tinggal di Sabana 1.


Untuk mencapai puncak, kami harus melewati setidaknya dua pos lagi. Pos Sabana 2 dan Pos Watu Lumpang. Trek untuk mencapai dua pos itu tentu saja nanjak terus. Sampai ke puncak.


Dari Sabana 1, Sabana 2, dan Pos Watu Lumpang, banyak sekali bunga edelweiss di sisi kanan dan kiri jalan. Terutama di atas Sabana 2. Hanya saja, kali ini belum semua bunga mekar. Kebanyakan bunganya masih kecil-kecil.


Setelah sekitar 3 jam pendakian, kami sampai di puncak Merbabu. Namanya Puncak Kenteng Songo. Kenteng Songo berasal dari bahasa Jawa, kenteng (wadah seperti baskom) dan songo (sembilan). Di puncak sana memang ada sembilan batu berlubang yang bentuknya mirip dengan kenteng. Bisa menampung air. Konon, menurut cerita rakyat, di Merbabu terdapat sebuah kerajaan.


Menurut salah satu versi cerita masyarakat yang berkembang, pada zaman dulu (masa Mataram), kawasan Gunung Merbabu merupakan kerajaan yang pusat pemerintahannya berada di puncak Kenteng Songo. Sembilan batu berlubang itu adalah umpak atau batu fondasi tiang pendapa Istana Merbabu.


Salah satu tokoh kerajaan ini adalah Ratu Dewi Retno Asih. Kerajaan tersebut mempunyai dua kelompok pasukan, yaitu pasukan yang berseragam merah dan pasukan yang berseragam hijau. Konon siapa pun yang menyamai atau memakai pakaian berwarna merah akan diusir oleh pasukan merah. Karena itu, para pendaki disarankan tidak menggunakan baju berwarna merah.


Percaya tidak percaya, semua kembali kepada Anda masing-masing.


Dari atas sini, kita bisa melihat pos pemancar dengan antena tinggi seperti menembus langit. Pemandangan yang terhampar di depan mata tak terbantahkan keindahannya. Terlihat puncak-puncak lain Merbabu di kejauhan. Bergunung-gunung. Biru gelap. Seperti siluet dengan background langit biru.


Gunung Merbabu memang memiliki tujuh puncak. Watu Gubuk (2.729 mdpl), Watu Tulis/Pemancar (2.920 mdpl), Geger Sapi (2.987 mdpl), Syarif (3.142 mdpl), Ondo Rante (3.110 mdpl), Kenteng Songo (3.145 mdpl), dan Triangulasi (3.122 mdpl).


Itu dikenal juga dengan seven summit Merbabu. Semuanya bisa lebih muda dicapai melalui jalur Kopeng Thekelan. Merbabu sendiri memiliki lima jalur pendakian. Yaitu, Kopeng Thekelan, Wekas, Kopeng Cunthel, Selo, dan Suwanting. Selo adalah jalur favorit pendaki yang akan naik Merbabu.


Merbabu adalah gunung api yang secara administratif berada di Kabupaten Magelang di lereng barat dan Kabupaten Boyolali di lereng timur dan selatan, Kabupaten Semarang di lereng utara, Jawa Tengah.


ree

Gunung ini dikenal melalui naskah-naskah masa pra-Islam sebagai Gunung Damalung atau Gunung Pam(a)rihan. Di lerengnya, pernah terdapat pertapaan terkenal dan pernah disinggahi Bujangga Manik pada abad ke-15. Menurut etimologi, ’’merbabu’’ berasal dari gabungan kata ’’meru’’ (gunung) dan ’’abu’’ (abu). Nama ini baru muncul pada catatan-catatan Belanda.


Gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797. Puncak tertinggi gunung Merbabu berada di ketinggian 3.145 mdpl (Kenteng Songo).


Puas di puncak, kami pun turun. Semakin siang angin juga semakin bertiup kencang. Dinginnya tak tertahankan. Kami turun perlahan. Tidak tergesa-gesa. Karena trek turun juga menyajikan pemandangan yang menakjubkan. Jalur berkelok-kelok, berbukit-bukit.


Jalur menuju Sabana 2 dan Sabana 1 tampak sempurna dari atas sini. Ditambah puncak Merapi yang seperti melambai-lambai minta didaki. Menggoda.


Sampai di tenda, kami beristirahat dulu sebelum turun hari itu juga. Kami kemudian turun sekitar jam 01 siang dan sampai base camp sekitar jam 04 sore. Di sana kami mandi-mandi dulu, memesan nasi telur sayur lodeh. Perbaikan gizi.


Kami pulang dengan menyewa mobil base camp dengan pendaki lain. Menuju Stasiun Solo Jebres. Malam itu kami naik kereta kembali ke Jakarta. (*)


Jakarta–Boyolali, 22–25 Agustus 2016

Comments


bottom of page