Hampir Tersesat di Gunung Ciremai
- budiawanagus
- Apr 13, 2016
- 5 min read

PENUH drama. Ini kata yang pas untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Ciremai kali ini. Kami bertiga, saya dan dua teman kantor –Mud dan Cup– mendaki Gunung Ciremai via Linggarjati. Gunung ini memiliki tiga jalur resmi, yakni Linggarjati, Apuy, dan Palutungan. Nah, Linggarjati adalah jalur yang paling terjal. Anda yang menyukai tantangan dan ingin melatih fisik, jalur ini cocok sebagai pilihan.
Drama itu dimulai dari Jakarta. Pagi itu, sekitar jam 2 dini hari pada 11 April 2016, kami masih bersantai di rumah salah satu teman tidak jauh dari Pasar Rebo. Kami memang berniat naik bus dari terminal bayangan Pasar Rebo. Biasanya bus ngetem lama di sana untuk menunggu penumpang.
Sekitar jam 03 pagi kami sudah berada di terminal bayangan itu. Namun, saat itu sudah tidak ada bus yang berhenti. Saat bertanya kepada orang di sana, bus terakhir itu ternyata sudah jalan beberapa menit lalu.
Di sini drama itu dimulai. Tidak ada ojek yang bisa mengejar bus itu. Kami harus berpikir cepat. Karena tidak ada lagi bus yang berangkat ke kota tujuan pagi itu. Sial-sial harus menunggu sampai siang.
Dalam keadaan seperti itu ada sopir angkot yang datang bak pahlawan. Dia menawari kami naik dengan tarif sama. Dia pun ngebut untuk mengejar bus. Sampai-sampai dia melewatkan begitu saja saat ada penumpang yang mencegat di pinggir jalan. Dia terus melaju. Saat itu hanya kami bertiga di angkot.
Setelah beberapa menit, bus yang kami cari terlihat di kejauhan. Sopir angkot semakin dalam menginjak gas. Kami pun sampai di belakang bus. Untung, saat itu bus tersebut sedang terjebak kemacetan. Thank you pak sopir angkot!
Perjalanan dari Jakarta ke Kuningan menempuh waktu sekitar 4–5 jam tergantung arus lalu lintas, macet atau tidak. Sekitar jam 08 kami sudah masuk Kuningan. Kami pun turun di pertigaan Linggarjati. Untuk mencapai Base Camp Linggarjati dari sana, kami naik angkot dan dilanjutkan dengan naik ojek.
Sampai di base camp, kami langsung mendaftar, menyerahkan KTP ketua kelompok, dan membayar retribusi Rp 50.000 per orang untuk tiga hari pendakian. Turunnya pendaki akan mendapatkan sertifikat pendakian.
Kami memulai pendakian pagi itu juga setelah sarapan. Dari base camp, jalur yang terhampar masih berupa jalan aspal. Kami berjalan di aspal yang menanjak. Berat. Melewati ladang dan rumah-rumah penduduk.
Kami pun sampai di Pos Cibunar. Di sini kita bisa melengkapi kekurangan logistik. Karena ada warung, toko aksesori. Lengkap dengan toilet dan pangkalan ojek. Nah, kalau tidak mau capek, Anda bisa naik ojek ke pos pertama di ketinggian 850 mdpl ini.
Naik dari Cibunar, treknya berupa jalur berbatu yang menanjak. Masih ada sedikit bonusnya sih. Pendakian melewati hutan pinus. Setelah itu, jalur mulai terbuka. Jalur menanjak yang sempit kemudian tersaji hingga ke Pos Leuweung Datar.
Pos yang berada di ketinggian 1.225 mdpl ini cukup untuk mendirikan 3–4 tenda. Kami menyempatkan istirahat sebentar di sini. Namun, di antara Pos Cibunar dan Leuweung Datar, masih ada satu warung.

Terus naik ke atas, treknya masih sama. Tidak lama kemudian, kami tiba di Pos Kondang Amis. Sampai di sini, hari sudah sore. Gerimis juga mulai turun. Kami pun nge-camp semalam di pos ini.
Pada 12 April pagi, setelah makan-makan dan packing tenda, kami melanjutkan pendakian menuju Pos Kuburan Kuda di ketinggian 1.450 mdpl. Jalurnya semakin sempit, rimbun, dan banyak akar-akaran. Karakter pos ini sama dengan Pos Kondang Amis. Cukup nyaman untuk mendirikan tenda.
Tak lama beristirahat, kami melanjutkan langkah menuju Pos Pangalap dengan trek yang tak jauh berbeda. Begitu juga jalur menuju Tanjakan Seruni.
Jalurnya semakin curam. Di jalur ini kami menemui Tanjakan Bin-Bin. Tanjakan Seruni berada di ketinggian 1.825 mdpl.
Selepas Tanjakan Seruni, treknya semakin berat. Di depan sana ada tanjakan ekstrem yang menanti. Namanya tanjakan Bapa Tere. Saat itu tidak ada jalan lain selain harus naik melalui tanjakan itu. Untuk melalui tanjakan itu, kami harus memanjat dengan berpegang pada akar-akar pohon yang menjuntai. Di sini tidak ada area landai untuk mendirikan tenda.
Di atasnya lagi, di Pos Batu Lingga, pendaki baru bisa menemukan area datar untuk mendirikan tenda. Area ini cukup untuk 3–4 tenda.
Kami berhenti di pos ini dan mendirikan tenda. Kami sepakat nge-camp di Pos Batu Lingga di ketinggian 2.200 mdpl. Esok paginya baru nembak puncak.
Jam 02 dini hari 13 April, kami mulai menuju puncak. Untuk menuju puncak, kami masih harus melalui Pos Sanggabuana 1 dan 2. Di sini pendaki juga bisa mendirikan tenda. Dari Sanggabuana 2 menuju Pos Pengasinan, treknya berupa tanah padat berbatu. Pepohonan semakin jarang sehingga pemandangan di sekitarnya mulai tampak terhampar.
Pos Pengasinan berada di ketinggian 2.800 mdpl. Ini adalah pos terakhir sebelum mencapai puncak. Ini juga merupakan batas vegetasi.
Dari pos ini, puncak Ciremai sudah bisa dilihat. Untuk sampai ke sana, kami menapaki jalur sempit dengan batuan terjal. Kami sampai di puncak sekitar jam 07 pagi. Total kami membutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk mencapai puncak dari Pos Batu Lingga.
Gunung Ciremai memiliki ketinggian 3.078 mdpl. Ini adalah gunung tertinggi di Jawa Barat. Gunung ini juga terkenal dengan jalur yang berat, terutama via Linggarjati. Ditambah, di gunung ini tidak ada sumber air.
Sekadar catatan, selain memiliki trek yang terjal, Ciremai juga mempunyai banyak cerita mistis dan mitos yang dipercaya oleh beberapa kalangan pendaki. Salah satunya adalah pantangan untuk mendirikan tenda dan bermalam di Pos 4 atau Pos Kuburan Kuda. Pos itu dipercaya angker sehingga pendaki yang kemalaman di jalan disarankan bermalam di pos sesudahnya atau sebelumnya.
Gunung Ciremai memiliki dua kawah ganda di bagian puncak, yakni kawah barat dan kawah timur. Kawah barat berbentuk setengah lingkaran dan terpotong oleh kawah timur. Pada tepi bagian barat ini, terdapat bukit lava yang biasa disebut Sunan Cirebon. Inilah titik tertinggi gunung Ciremai. Masih pada bagian barat, ada satu lagi titik tertinggi kedua, yakni Pangeran Talaga.
Menurut catatan yang ada di buku pendakian gunung Ciremai, kawah barat terbentuk pada 1698. Sementara kawah timur terbentuk pada 1924.
Setelah dua sampai tiga jam berada di puncak, kami turun. Rencananya, kami langsung turun menuju Base Camp Linggarjati. Setelah membongkar tenda dan makan, kami baru turun dari Pos Batu Lingga sekitar jam 01 siang.

Kami berjalan santai sehingga di Pos Kondang Amis sudah ketemu gelap. Kami berjalan sangat pelan karena kaki Cup terkilir. Dia berjalan terseok-seok. Namun, kami terus saja berjalan sampai gerimis turun di tengah malam. Tenaga kami terkuras. Logistik menipis. Kami terus berjalan, tapi pos yang kami tuju belum juga ketemu.
Kami merasa seperti tersesat. Seperti berputar-putar saja di area yang sama. Pada batas tenaga yang tersisa, Cup ingin menyerah. Di situ drama selanjutnya terjadi. Ada perdebatan. Cup ingin mendirikan tenda dan nge-camp semalam lagi. Sedangkan kami ingin terus melanjutkan turun.
Pertimbangannya, logistik sudah habis. Lokasinya juga tidak memungkinkan untuk mendirikan tenda. Jadi, tetap turun adalah pilihan terbaik. Setelah perdebatan cukup menegangkan di bawah guyuran gerimis, kami pun berhasil meyakinkan Cup untuk terus berjalan. Pelan-pelan saja, asal terus bergerak. Jangan sampai kedinginan hingga rawan terkena hipo.
Dengan tenaga yang tersisa, kami akhirnya berhasil sampai di base camp. Waktu itu hampir jam 09 malam. Sudah tidak ada ojek. Berkat pertolongan penjaga base camp, ada warga setempat yang mau mengantarkan kami. Tarifnya disamakan dengan ojek biasa. Kami bermalam di rumah nenek Mud yang juga di Kuningan dan kembali ke Jakarta esok paginya.
Pendakian yang berkesan dengan bumbu-bumbu drama. Pengalaman yang cukup mengesalkan saat dijalani, tapi cukup menarik untuk diingat. (*)
Kuningan, 11–13 April 2016



Comments