top of page

Search Results

165 results found with an empty search

  • Museum Affandi, Mengunjungi Istana Sang Maestro di Jogjakarta

    MENGUNJUNGI Museum Affandi yang terletak di Jalan Raya Yogyakarta-Solo, atau tepatnya tepi barat Sungai Gajah Wong, memberi kesempatan bagi anda untuk menjejaki seluruh bagian berarti dari kehidupan Affandi. Anda bisa melihat karya-karya agung semasa sang maestro hidup, karya para pelukis lain yang ditampungnya, alat transportasi yang dipakainya dahulu, rumah yang ditinggali hingga sebuah sanggar yang kini dipakai untuk membina bakat melukis anak. Kompleks museum terdiri dari 3 buah galeri dengan galeri I sebagai tempat pembelian tiket dan permulaan tur. Galeri I yang dibuka secara pribadi oleh affandi sejak tahun 1962 dan diresmikan tahun 1974 ini memuat sejumlah lukisan Affandi dari awal berkarya hingga masa akhir hidupnya. Lukisan yang umumnya berupa lukisan sktesa dan karya reproduksi ini ditempatkan dalam 2 larik atas bawah dan memanjang memenuhi ruangan berbentuk lengkung. Masih di Galeri I, anda bisa melihat sejumlah barang berharga semasa Affandi hidup. Di ujung ruangan, anda bisa melihat mobil Colt Gallan tahun 1976 yang berwarna kuning kehijauan yang dimodifikasi sehingga menyerupai bentuk ikan, juga sebuah sepeda onthel kuno yang tampak mengkilap sebagai alat transportasi. Anda juga bisa melihat reproduksi patung karyanya berupa potret diri bersama putrinya, Kartika. Menuju Galeri II, anda bisa melihat sejumlah lukisan para pelukis, baik pemula maupun senior, yang ditampungnya dalam museum. Galeri yang diresmikan tahun 1988 ini terdiri dari dua lantai dengan lukisan yang dapat dilihat dari sudut pandang berbeda. Lantai pertama banyak berisi lukisan-lukisan yang bersifat abstrak, sementara lantai 2 memuat lukisan dengan corak realis namun memiliki ketegasan. Galeri III yang menjadi tujuan selanjutnya merupakan bangunan berbentuk garis melengkung dengan atap membentuk pelepah daun pisang. Bisa dikatakan, galeri berlantai 3 ini multifungsi, lantai pertama berfungsi sebagai ruang pameran sekaligus lokasi “Sanggar Gajah Wong” tempat bagi anak-anak untuk mengasah bakat melukis, lantai kedua sebagai ruang perawatan dan perbaikan lukisan, sementara lantai bawah tanah sebagai tempat menyimpan koleksi lukisan. Tak jauh dari Galeri III, terdapat sebuah menara yang bisa digunakan sebagai tempat melihat pemandangan. Anda bisa melihat panorama seluruh bagian museum, Sungai Gajahwong hingga hiruk pikuk jalan raya. Turun dan berjalan ke barat dari menara itu, anda bisa melihat rumah berarsitektur unik yang digunakan Affandi sebagai tempat tinggal bersama istri dan anak. Rumah tersebut dibangun dengan konsep rumah panggung dengan tiang penyangga utama berbahan beton dan tiang lain berbahan kayu. Atap rumah berbahan sirap yang berbentuk pelepah daun pisang dan bangunannya berbentuk lengkung. Lantai bawah rumah ini kini dipakai sebagai lokasi Kafe Loteng, tempat penjuualan makanan dan minuman bagi para pengunjung, sementara laintai atas rumah merupakan kamar pribadi Affandi. Di sebelah kiri rumah, terdapat sebuah gerobak yang kini berfungsi sebagai mushola. Gerobak tersebut merupakan salah satu elemen pelengkap kompleks rumah Affandi yang berfungsi sebagai tempat peristirahatan istri Affandi, Maryati. Semula, Maryati menginginkan adanya sebuah caravan yang banyak digunakan sebagai tempat tinggal berpindah bagi orang Amerika. Affandi menyetujui konsep bangunan itu, namun dengan wujud yang lebih meng-Indonesia, yaitu gerobak. Sebelum pulang, anda bisa singgah di rumah abadi sang maestro yang wafat 23 Mei 1990, berada di antara Galeri I dan II. Rumah abadi Affandi tersebut berdampingan dengan rumah abadi milik sang istri. Halaman rumah abadi tersebut dihiasi oleh rimbunan pohon mawar. Untuk berkunjung ke Museum Affandi, anda hanya perlu mengeluarkan biaya Rp 10.000,00 sebagai tiket masuk untuk wisatawan domestik dan Rp 20.000,00 untuk wisatawan mancanegara, serta tambahan Rp 10.000,00 sebagai biaya tambahan bila ingin memotret. (*) Naskah: Yunanto Wiji Utomo Copyright © 2007 YogYES.COM Museum Affandi Jl. Laksda Adisutjipto 167 Yogyakarta 55281 Phone/Fax: +62 274 562593 Jadwal Kunjungan: Hari Senin – Minggu Buka pukul : 10.00 – 16.00 Hari libur nasional: Tutup Biaya Masuk: Dewasa Rp. 10.000 Wisatawan Asing Rp. 20.000 Sumber: www.yogyes.com

  • Duo Galau Main ke Taman Sari Jogja

    TIDAK lama setelah lulus kuliah, saya ingin kembali ke Jogja. Sendirian. Kira-kira sudah setahun saya melewati masa kegalauan yang tak perlu saya ceritakan di sini apa penyebabnya. Saya hanya ingin jalan-jalan sendiri. Ke tempat yang agak jauh. Dan hati saya memilih untuk kembali ke Jogja. Namun, saat nongkrong bersama teman-teman semasa kuliah. Ada satu teman yang baru saja putus cinta. Galau lah dia. Karena paham betul bagaimana rasanya ditinggal cinta, saya pun menawarkan rencana perjalanan ke Jogja itu kepada teman saya ini. Awalnya dia menolak. Biaya untuk tiket kereta, makan, dan penginapan menjadi alasannya. Maklum lah. Baru lulus kuliah belum bisa mendapat pekerjaan yang oke. Lalu saya utarakan lah rencana saya selama di Jogja. Naik kereta ekonomi saja yang murah, makan di angkringan yang juga murah. Soal penginapan bagaimana? Nah, itu terus terang saya belum punya rencana akan tidur di mana. Hanya, yang saya percaya, tidur bisa ngemper di mana saja. Dan akhirnya kami tidur di gazebo di dekat Stasiun Tugu. Mandi di toilet umum di dekat situ juga. Cukup bayar Rp 5.000. Selama di Jogja, saya akhirnya menemani teman saya yang galau ini. Mau ke mana saja ayok. Saya antar. Meskipun kegalauan saya juga belum hilang sepenuhnya, saya dengan senang hati menghibur teman saya yang galau anyaran. Hehe... Saya antar di main ke Museum Affandi , pameran lukisan , dan ke Taman Sari. Total kami di Jogja selama tiga hari. (*)

  • Arcopodo Tak Pernah Pergi dari Semeru

    ”Di bawah rerimbun pohon cemara dua arca itu berdiri. Satu arca kepalanya hilang, seperti dipenggal … Jalur menuju Arcopodo itu memang seperti jalan rahasia yang dijaga alam dan para pemujanya.” Kompas, 21 januari 2012 TEKA-TEKI keberadaan arca kembar atau yang lebih dikenal dengan Arcopodo memang sering diperdebatkan oleh banyak pendaki. Ada yang mengatakan arca kembar itu masih ada dan keberadaannya tersebunyi. Namun, ada juga yang yakin bahwa arca pemujaan tertinggi di Pulau Jawa itu sudah hilang dari dekapan Semeru. Bagi saya kebenaran tentang keberadaan arca kembar itu masih berupa tanda tanya. Sudah dua kali saya melakukan pendakian gunung Semeru dan tak pernah menjumpai sosok arca kembar legendaris itu di pos Arcopodo. Memang pendakian menuju puncak Mahameru saya lakukan pada dini hari dan sampai di pos Arcopodo sekitar pukul tiga pagi sehingga keadaannya masih gelap. Tapi bukan gelaplah yang menjadi alasan tidak bisa dijumpainya dua arca kembar tersebut. Mengapa? karena keberadaan arca kembar itu bukan di pos Arcopodo yang banyak dikenal pendaki saat ini. Menurut sedikit cerita penjaga pos perizinan di Ranupane dan saya baca di banyak literatur, dua arca kembar itu tersembunyi di sebuah tempat di ketinggian 3.092 mdpl. Untuk mencapai lokasi tersebut tidak mudah. Dari pos Arcopodo (2.903 mdpl) yang dikenal saat ini, pendaki masih harus naik lagi menuju arah puncak sampai di batas vegetasi. Di batas itu pendaki harus berbelok ke arah timur dengan bentangan lembah bekas aliran lahar yang rapuh. Sekitar 20 menuju bawah terdapat jurang dalam seperti muara. Untuk itu pendaki harus dilengkapi peralatan secukupnya untuk menjejakkan kaki di tepi jurang agar tidak tergelincir. Setelah bisa melewati tantangan yang pertama, pendaki akan dihadapkan dengan tantangan berikutnya; lembah lainnya yang lebih curam. Berada pada kondisi semacam ini pendaki harus cepat berpikir untuk memutuskan lanjut atau kembali. Karena keragu-raguan hanya akan membahayakan nyawa pendaki dalam kondisi semacam ini. Dan keputusan terbaik adalah terus berjalan menyusuri punggung tipis tebing yang menjulur di bawah rerimbun pohon cemara. “Ini jalur orang tersesat. Korban biasanya hilang di sekitar sini ketika turun dari puncak. Dia berjalan menyimpang, menuruni lembah ini,” kata Ningot, anggota Search and Rescue (SAR) Lumajang ( Kompas, 21 Januari 2012). “Begitu sampai di lembah ini, pendaki yang kelelahan biasanya sudah putus asa dan sulit mencari jalan kembali. Padahal, di bawah jurang sangat curam, yang terkenal adalah Blank 75,” lanjut Ningot. Setelah melewati dua lembah lagi, pendaki baru bisa mencapai punggung tebing dan di lokasi itulah dua arca kembar berdiri di bawah rerimbun pohon cemara. Tempat dua arca kembar itu beratapkan seng yang sudah keropos dan lantainya terbuat dari keramik. Dari dulu, dua arca itu tak pernah dipindahkan kemana-mana dan masih menyetiai Semeru. Adapun yang dipindah adalah pos Arcopodo yang sekarang dilewati oleh para pendaki. Dulu jalur pendakian melewati dua arca ini, tapi kemudian dipindah. “Dulu jalan pendakian itu melewati dua arca itu. Sekitar tahun 1979, jalurnya berubah dan tak lagi melewatinya,” kata Sumarto (58), Pemangku Pura Mandaragiri di Senduro, Lumajang. Adapun alasan pemindahan, Sumarto tidak mau mengungkapkan alasannya. Yang pasti jalur menuju Arcopodo begitu tersembunyi, seperti jalur yang dijaga oleh para dewa. Arcopodo Bukan Sekadar Dongeng Konon awalnya Pulau Jawa adalah sebuah daratan yang megambang di lautan, terombang-ambing dan senantiasa berguncang. Para Dewa kemudian memutuskan untuk memaku Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa. Dewa Wisnu yang menjelma menjadi kura-kura raksasa dan Dewa Brahma yang menjelma menjadi ular raksasa bekerja sama untuk memindahkan Gunung Meru ke Pulau Jawa. Pertama, para Dewa meletakkan gunung di bagian barat Pulau Jawa. Karena ujung Pulau Jawa bagian timur terangkat, maka para Dewa memindahkan ke bagian timur. Dalam proses memindahkan gunung inilah serpihan gunung Meru tercecer dan menciptakan jajawan gunung di Pulau Jawa yang memanhang dari barat ke timur. Akan tetapi ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih tetap miring sehingga para Dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut. Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan. Sementara bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa. Dalam kepercayaan Hindu, gunung Meru dianggap sebagai rumah tempat bersemayam dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan Kayangan. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewata, Hyang, dan mahluk halus. Sejarah terciptanya gunung Semeru boleh saja dianggap sebagai keyakianan atau hanya sekadar dongeng semata. Namun, mengacu pada keyakinan masyarakat Hindu Jawa dan Bali tentang kesakralan Semeru, maka bukan hal yang mustahil jika terdapat arca kembar di ketinggian 3.092 di atas permukaan laut (mdpl) itu. Arca adalah benda yang sakral bagi masyarakat Hindu karena menjadi medium yang bisa menjadi penghubung antara dirinya dengan Sang Hyang (Tuhan). Maka keberadaan Arcopodo yang berdiri berdampingan di senyapnya rerimbun cemara itu bukanlah sekadar dongeng. Kebenaran itu juga bisa dibuktikan lewat dokumentasi foto dari para pendaki (atau yang memang sengaja mencari keberadaan arca kembar tersebut). Arca yang awalnya dianggap hanya sebagai dongeng itu “ditemukan” oleh mendiang Norman Edwin dan Herman O Lantang dari Mapala Universitas Indonesia pada tahun 1984. Dua tahun kemudian, Norman kembali mendatangi dua arca itu dan menuliskan temuannya di majalah Swara Alam, ”Arca ini sulit dikenali karena kepala dan separuh badannya hilang.” Sejak itu keberadaan kedua arca itu tak pernah lagi diketahui. Dalam tulisannya di buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi (2009), Herman O Lantang mencoba mencari dua arca itu pada pendakian tahun 1999, tapi ia gagal menemukannya. ”Di jalur menuju tempat arca itu, saya mendapati jurang pasir yang dalam dan sulit diseberangi. Ketika itu saya sampai jatuh ke dalam jurang sehingga saya memutuskan tidak mengunjungi arca itu.” Selain itu, ada pula dokumentasi terbaru dari Ekspedisi Cincin Api Kompas medio April 2012 dalam rangka menggali informasi mengenai pengaruh aktifitas vulkano-tektonik terhadap peradaban manusia. Namun, bagi para pendaki yang mencoba mencari dua arca di Pos Arcopodo yang saat ini sering dilalui para pendaki pasti akan kecele dan mengira kedua arca itu sudah hilang, atau percaya itu hanya berupa dongeng, karena memang bukan di situ tempatnya. Dua arca kembar itu tak pernah kemana-mana. Mereka masih berdiri berdampingan di dalam dekapan hutan senyap nan damai; menatap puncak Mahameru, puncak abadi para Dewa. (*)

  • Menziarahi Mereka yang Beristirahat dalam Dekapan Semeru

    ”Ukuran kesuksesan dalam mendaki gunung bukanlah ketika berhasil mencapai puncak, tetapi ketika berhasil kembali ke rumah dalam keadaan selamat.” PENGGALAN kalimat di atas sudah menjai pegangan para pendaki untuk selalu berhati-hati dalam setiap pendakian yang mereka lakukan. Bagi para pendaki yang melakukan pendakian ke gunung Semeru, mereka tidak hanya disuguhi keindahan panorama danau Ranu Kumbolo, hamparan Oro-oro Ombo, atau puncak Mahameru. Tapi mereka juga akan mendapati prasasti-prasasti mereka yang beristirahat dalam dekapan Semeru. Di tepi danau Ranu Kumbolo terdapat beberapa prasasti, setidaknya tiga prasasti dari keramik. Satu prasasti berukuran lebih besar dari dua prasasti lainnya. Prasasti itu berada lebih dekat dengan danau, dibatasi dengan pagar besi, dan sempat saya lihat terdapat semacam sesajen di sampingnya. Dua prasasti lainnya berada agak jauh dari danau. Satu prasasti keramik berwarna hitam berukuran 2×60 centimeter, satu prasasti lainnya berada tidak jauh dari situ berwarna putih. Salah satu penanda yang berada di Ranu Kumbolo tertulis: Dalam kenangan saudara kami Andika Listyono Putra, jejakmu tertinggal di sini, senyummu kubawa pergi. Juli 2009 Andika menjadi korban ganasnya alam Semeru pada Juli 2009 lalu. Sebelumnya, pada 2000 juga tercatat ada dua pendaki yang meninggal dunia. Pada 2001 satu pendaki hilang, serta pada 2005 satu orang pendaki meninggal dunia. Tidak sedikit pendaki yang menyempatkan diri menziarahi mereka yang telah beristirahat dengan tenang dan menyatu dengan Semeru. Mereka menyempatkan diri untuk mendoakan mereka atau sebagai refleksi diri untuk selalu berhati-hati dalam pendakian. Ukuran kesuksesan dalam mendaki gunung bukanlah ketika berhasil mencapai puncak, tapi ketika berhasil kembali ke rumah. Karena selain sampah, nyawa juga tidak boleh ditinggalkan di gunung. Ada banyak penyebab pendaki menjadi korban Semeru, terutama faktor alam dan kondisi pendaki. Menurut Kepala Resor Ranu Pane, Cahyo, rata-rata para pendaki yang meninggal karena terjatuh atau tersesat ketika mereka turun dari puncak. Foktor lelah membuat konsentrasi berkurang sedang jalur yang dilalui sangat curam. ( okezone.com , 16 Juni 2013) Menurut data di Pos Ranu Pane, sejak tahun 1996 – di mana Soe Hok Gie dan Idan Lubis meninggal dunia di puncak karena menghirup gas beracun – tercatat ada 28 pendaki yang meninggal dunia (3 orang tidak ditemukan/meninggal), serta ada 25 pendaki lainnya yang mengalami luka-luka/selamat. Data ini belum termasuk pendaki asal Gresik pada 6 Juni 2013 lalu yang terkena serangan jantung di Pos 1. Selain di Ranu Kumbolo, prasasti untuk mengenang mereka yang telah menyatu dengan Semeru banyak terdapat di Arcopodo, Kelik, dan batas vegetasi menuju puncak Mahameru. Bahkan, dulu prasati untuk mengormati tokoh pergerakan mahasiswa dan pencetus MAPALA FIB UI, Soe Hok-Gie dan Idhan Lubis yang meninggal tanggal 16 Desember 1969 ditempatkan di pos Arcopodo sebelum dipindahkan ke puncak Mahameru tahun 2002. “Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad kedua tersebut sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil G. Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih.” Dikutip dari buku: Soe Hok-Gie: Sekali Lagi (2009) Beruntung bagi saya masih sempat menziarahi mereka yang telah menyatu dengan Semeru, terutama prasasti Soe Hok-Gie dan Idhan Lubis di puncak Mahameru. Saya memulai pendakian tanggal 18 Oktober 2012 dari pos Ranu Pane dan sampai di puncak Mahameru tanggal 20 Oktober 2012. Di puncak tertinggi Pulau Jawa inilah tubuh Gie dan Idhan membujur kaku beralas pasir, berselimut dingin, peratapkan langit; pergi menuju keabadian. IN MEMORIAM SOE HOK GIE & IDHAN LUBIS Puncak MAHAMERU MAHAMERU Yang mencintai udara jernih Yang mencintai terbang burung-burung Yang mencintai keleluasaan & kebebasan Yang mencintai bumi Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung Mereka tengadah & berkata, kesana-lah Soe Hok Gie & Idhan Lubis pergi Kembali ke pangkuan bintang-bintang Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi Sementara saputangan menahan tangis Sementara Desember menabur gerimis 24 Desember 1969 Sanento Yuliman Sebelum menikmati keindahan alam dari puncak Mahameru, saya sempatkan sejenak mengirim seuntai doa untuk mereka yang abadi di puncak tertinggi; menyatu dengan Semeru. Memasuki bulan Desember 2012, saat keinginan untuk kembali menjejakkan kaki di pasir tertinggi di Pulau Jawa membuncah, tersiar kabar bahwa pihak Badan Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru akan melakukan pembersihan segala atribut yang tidak perlu di puncak Mahameru untuk kepentingan pelestarian. Tanggal 20 Desember 2012 saya melakukan pendakian lagi ke gunung Semeru untuk kedua kalinya. Saat mencapai puncak tanggal 21 Desember 2012, saya tak lagi menemukan prasasti Gie dan Idhan Lubis dan hanya mendapati lubang pasir bekas galian. Demi kelestarian Mahameru, benda yang boleh ada di puncak hanya berupa plakat bertuliskan MAHAMERU 3676 MDPL dan bendera Merah Putih yang terus berkibar di puncak tertinggi. Aku tidak pernah berniat menaklukan gunung! Mendaki gunung hanyalah bagian kecil dari pengabdian… … pengabdianku kepada Yang Maha Kuasa! Idhan Lubis, 10 Maret 1969 (*)

  • Stadhuis, Cikal Bakal Museum Fatahillah Jakarta

    STADHUIS dibangun tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Dalam bahasa Belanda, Stadhuis berarti Balai Kota. Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17, bergaya neoklasik, dengan tiga lantai bercat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin. Bangunan ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. ”Istana” ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua. Menurut catatan sejarah, gedung ini mulai dibangun sebagai gedung balai kota kedua pada tahun 1626 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen (balai kota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini digunakan sebagai ”Raad van Justitie” (dewan pengadilan). Pada tahun 1925-1942, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon. Seperti umumnya di Eropa, gedung balai kota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan stadhuisplein. Menurut sebuah lukisan uang yang dibuat oleh pegawai VOC Johannes Rach yang berasal dari Denmark, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuiplein. Awalnya, gedung ini hanya satu tingkat dan kemudian dibangun lagi. Karena tanah Jakarta sangat labil dan gedung berat, pada tahun 1648, gedung turun dari permukaan tanah sehingga kondisinya sangat buruk. Solusinya mudah, pemerintah Belanda tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi menaikkan lantai sekitar 2 kaki (56 cm). Menurut sebuah laporan, 5 sel di bawah gedung dibangun tahun 1649. Kemudian, Yayasan Oud Batavia memiliki rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia. Maka, pada tahun 1937 mereka mengajukan rencana itu dan kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co di sebelah timur Kali Besar, tepatnya di Jl Pintu Besar Utara No. 27 (kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum tahun 1939. Pada tahun 1952, gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I, lalu diubah kembali menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat. Pada masa kemerdekaan, museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 Museum Djakarta Lama diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta. Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan di lokasi tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka, dengan bukti sejarah itu, air mancur dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973, Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu Taman Fatahillah untuk mengenang panglima Fatahillah, pendiri kota Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Fatahillah pada tanggal 30 Maret 1974. Museum Fatahillah juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia. Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Fatahillah sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekadar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi harus bisa menjadi tempat bagi orang Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa, bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi. Untuk itu, Museum Fatahillah berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya, museum ini berusaha menggambarkan ”Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya”. Di tempat ini, pengunjung bisa menemukan objek-objek, antara lain, perjalanan sejarah Jakarta. Berdasar penggalian arkeologi, terdapat bukti bahwa permukiman pertama di Jakarta terdapat di tepi Sungai Ciliwung. Permukiman ini diduga berasal dari 2500 SM (Masa Neolothicum). Bukti tertulis pertama yang diketemukan adalah prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh Raja Tarumanegara pada abad ke-5. Prasasti merupakan bukti adanya kegiatan keagamaan pada masa itu. Pada masa berikutnya, sekitar abad ke-12, daerah ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda dengan pelabuhannya yang terkenal, Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada masa inilah diadakan perjanjian perdagangan antara pihak Portugis dengan raja Sunda. Pada abad ke-17, perdagangan dengan pihak-pihak asing makin meluas. Pelabuhan Sunda Kelapa berubah menjadi Jayakarta (1527) dan kemudian menjadi Batavia (1619). Tahun 1942 bangsa Jepang merebut kekuasaan dari tangan Belanda dan berkuasa di Indonesia sampai tahun 1945. Di Museum Fatahillah, pengunjung juga bisa melihat replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang M.H. Thamrin. Selain itu, ada berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Pengunjung juga bisa merasakan suasana ruang bawah tanah yang pada zaman penjajahan Belanda difungsikan sebagai penjara. Di kawasan bangunan itu juga diletakkan patung Dewa Hermes. Menurut mitologi Yunani, itu merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang. Patung itu tadinya ada di perempatan Harmoni. Ada pula meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Koleksi Museum Fatahillah Perbendaharaannya mencapai 23.500 buah yang berasal dari warisan Museum Jakarta Lama (Oud Batavia Museum), hasil upaya pengadaan Pemerintah DKI Jakarta dan sumbangan perorangan maupun institusi. Terdiri atas ragam bahan material baik yang sejenis maupun campuran, meliputi logam, batu, kayu, kaca, kristal, gerabah, keramik, porselen, kain, kulit, kertas, dan tulang. Di antara koleksi yang patut diketahui masyarakat adalah Meriam si Jagur, sketsel, patung Hermes, pedang eksekusi, lemari arsip, lukisan Gubernur Jendral VOC Hindia Belanda tahun 1602-1942, meja bulat berdiameter 2,25 meter tanpa sambungan, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti, dan senjata. Koleksi yang dipamerkan berjumlah lebih dari 500 buah, yang lainnya disimpan di storage (ruang penyimpanan). Umur koleksi ada yang mencapai lebih 1.500 tahun khususnya koleksi peralatan hidup masyarakat prasejarah seperti kapak batu, beliung persegi, kendi gerabah. Koleksi warisan Museum Jakarta Lama berasal dari abad ke-18 dan 19 seperti kursi, meja, lemari arsip, tempat tidur dan senjata. Secara berkala dilakukan rotasi sehingga semua koleksi dapat dinikmati pengunjung. Untuk memperkaya perbendaharaan koleksi museum membuka kesempatan kepada masyarakat perorangan maupun institusi meminjamkan atau menyumbangkan koleksinya kepada Museum Fatahillah. Tata Pamer Tetap Dengan mengikuti perkembangan dinamika masyarakat yang menghendaki perubahan agar tidak tenggelam dalam suasana yang statis dan membosankan, serta ditunjang dengan kebijakan yang tertuang dalam visi dan misi museum, mengenai penyelenggaraan museum yang berorientasi kepada kepentingan pelayanan masyarakat, maka tata pamer tetap Museum Fatahillah dilakukan berdasar kronologis sejarah Jakarta, dan Jakarta sebagai pusat pertemuan budaya dari berbagai kelompok suku bangsa, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Untuk menampilkan cerita berdasar kronologis sejarah Jakarta dalam bentuk display, diperlukan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan sejarah dan ditunjang secara grafis dengan menggunakan foto-foto, gambar-gambar dan sketsa, peta dan label penjelasan agar mudah dipahami dalam kaitannya dengan faktor sejarah dan latar belakang sejarah Jakarta. Sedangkan penyajian yang bernuansa budaya juga dikemas secara artistik dimana terlihat terjadinya proses interaksi budaya antarsuku bangsa. Penataannya disesuaikan dencan cara yang seefektif mungkin untuk menghayati budaya-budaya yang ada sehingga dapat mengundang partisipasi masyarakat. Penataan tata pamer tetap Museum Fatahillah dilakukan secara terencana, bertahap, skematis, dan artistik sehingga menimbulkan kenyamanan serta menambah wawasan bagi pengunjungnya. Aktivitas Sejak tahun 2001 sampai 2002, Museum Fatahillah menyelenggarakan Program Kesenian Nusantara setiap minggu ke-II dan ke-IV. Untuk tahun 2003, Museum Fatahillah memfokuskan kegiatan ini pada kesenian yang bernuansa Betawi yang dikaitkan dengan kegiatan wisata kampung tua setiap minggu ke-III setiap bulannya. Selain itu, sejak tahun 2001, Museum Fatahillah setiap tahunnya menyelenggarakan seminar mengenai keberadaan Museum Sejarah Jakarta baik berskala nasional maupun internasional. Seminar yang telah diselenggarakan, antara lain, seminar tentang keberadaan museum ditinjau dari berbagai aspek dan seminar internasional mengenai arsitektur gedung museum. Untuk merekonstruksi sejarah masa lampau, khususnya peristiwa pengadilan atas masyarakat yang dinyatakan bersalah, ditampilkan teater pengadilan dimana masyarakat dapat berimprovisasi tentang pelaksanaan pengadilan sekaligus memahami jiwa zaman pada abad ke-17. Aktivitas Yang Dapat Diikuti Pengunjung 1. Wisata Kampung Tua, minimal 20 Orang 2. Jelajah Malam Museum, minimal 20 Orang 3. Workshop Sketsa Gedung Tua, minimal 10 Orang 4. Nonton Bareng film-film Jadul, minimal 20 Orang 5. Pentas Seni ala Jakarta 6. Kunjungan ala tentara indonesia Fasilitas Perpustakaan: Perpustakaan Museum Fatahillah mempunyai koleksi buku 1200 judul. Bagi para pengunjung dapat memanfaatkan perpustakaan tersebut pada jam dan hari kerja museum. Buku-buku tersebut sebagian besar peninggalan masa kolonial, dalam berbagai bahasa. Di antaranya adalah bahasa Belanda, Melayu, Inggris, dan Arab. Yang tertua adalah Alkitab/Bible tahun 1702. Kantin Museum: Dengan suasana nyaman, kantin museum menawarkan makanan dan minuman khas Betawi. Souvenir Shop: Museum menyediakan cinderamata untuk kenang-kenangan para pengunjung yang dapat diperoleh di “souvenir shop” dengan harga terjangkau. Sinema Fatahillah: Menampilkan film-film dokumenter Zaman Batavia dan film populer dalam dan luar negeri. Musholla: Museum ini menyediakan musholla dengan perlengkapannya sehingga pengunjung tidak perlu khawatir kehilangan waktu salat. Ruang Pertemuan dan Pameran: Menyediakan ruangan yang representatif untuk kegiatan pertemuan, diskusi, seminar, dan pameran dengan daya tampung lebih dari 150 orang. Taman Dalam: Taman yang asri dengan luas 1000 meter lebih, serta dapat dimanfaatkan untuk gathering, resepsi pernikahan, maupun pentas seni. Museum ini terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat, dengan jarak tempuh sekitar satu jam dari tempat kos saya di Rawa Belong, Jakarta Barat. Waktu tempuh itu sudah dihitung dengan kemacetan di jalan pada pagi itu yang relatif sudah agak macet. Pagi yang cerah untuk jiwa yang merana, terjebak macet di cuaca yang panas. Tetapi, Museum Fatahillah sudah menjadi seperti air penghilang dahaga. Salam… (*) Jakarta

  • Kota Tua Jakarta yang Terus Berbenah

    PAGI ini, 4 Maret 2014, cuaca Jakarta begini cerah. Bahkan, sekitar pukul 09.00 udara sudah cukup panas. Padahal, belakangan ini Kota Metropolitan sering diguyur hujan. Memang hujan baru turun sekitar pukul 02.00 sampai pagi sekitar pukul 07.00, tetapi setelah ini cuaca berawan dan sedikit sejuk. Namun, pagi ini Jakarta menunjukkan wujud aslinya, panas dan tentu saja macet. Hampir tiga bulan menetap di kota ini, saya belum ”mengenal” Jakarta. Selama ini waktu yang saya habiskan hanya kerja-nongkrong-tidur-kerja-nongkrong-tidur lagi. Monoton memang. Tetapi, saya lebih menikmati hidup yang seperti ini. Ya, daripada harus berdesak-desakan di tengah kemacetan kota yang nauzubillah. Tetapi, lama kelamaan saya mulai jatuh cinta pada kota ini. Jadi, aku mulai belajar ”mengenalnya”. Kota Tua sebagai cagar budaya menjadi pilihan pertama. Untuk menuju lokasi ini memang tidak terlalu jauh, bisa dibilang dapat ditempuh selama satu jam (ini sudah dihining dengan jebakan-jebakan kemacetan) dari tempat kos. Sebagai warga pendatang, mendapati bangunan yang bukan gedung mewah perkantoran atau pusat perbelanjaan memang berkesan. Bangunan dengan arsitektur lama ini menjadi semacam oasis di tengah gurun. Selain memiliki arsitektur bernilai seni, kompleks bangunan ini juga memiliki sejarah yang tak kalah ”mewah”. Batavia Lama (Oud Batavia), begini kawasan ini dikenal. Sebuah wilayah kecil di belantara kota yang bertransformasi menjadi Kota Megapolitan. Memiliki luas area 1,3 kilometer persegi, kota kecil ini menjadi pusat perdagangan Benua Asia di sekitar abad ke-16. Ini dikarenakan letak wilayah ini strategis, yaini melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari, dan Roa Malaka). Karena ini, Jakarta Lama ini dijuluki sebagai “Permata Asia” dan “Ratu dari Timur” oleh pelayar Eropa karena juga memiliki sumber daya melimpah. Setiap kota besar hampir selalu mengalami pergolakan dalam perkembangannya, begini juga Batavia Lama. Pada tahun 1526, Kesultanan Demak mengutus Fatahillah untuk menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran. Wilayah ini kemudian dinamai Jayakarta, hanya seluas 15 hektar dengan tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tidak sampai di sini. Berselang setahun kemudian, Jan Pieterszoon Coen, komandan VOC, menghancurkan Jayakarta pada tahun 1619. Setelah penghancuran ini, muncullah nama Batavia yang terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung (saat ini Lapangan Fatahillah). ”Metamorfosis” ini terjadi setahun setelah penghancuran. Kemudian, nama baru ini diambil untuk menghormati leluhur bangsa Belanda, Batavieren. Nama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal suku ”Betawi”, yang terdiri atas etnis kreol, turunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia. Nama Batavia sendiri diambil dari kata ”Batavianen”, sebutan untuk penduduk Batavia. Seiring berjalannya tahun, wilayah Batavia semakin luas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Ini terjadi pada tahun 1635. Gaya arsitektur Belanda dipilih untuk membangun kota ini. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650, lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal yang memisahkan beberapa blok. Kanal-kanal dibuat karena muncul wabah tropis di dalam dinding kota akibat sanitasi buruk. Setelah epidemi tahun 1835 dan 1870, wilayah kota ini semakin meluas hingga wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Ini terjadi karena banyak orang ”mengungsi” akibat wabah tersebut. Kota yang sekaligus menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur ini kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Foto: 16 Juni 2015 Batavia masuk ke dalam babak baru ketika Jepang mulai mendudukinya tahun 1942. Tahun ini juga bisa dijadikan tonggak penting negara Indonesia, di mana Batavia diganti menjadi Jakarta, dan tetap menjadi ibu kota hingga kini. Pecinta sejarah dan bangunan tua mau tidak mau harus berterima kasih kepada gubernur pertama Jakarta, Ali Sadikin. Sebab, lewat dekritnya, Kota Tua resmi menjadi sinis warisan budaya pada tahun 1972. Dekrit ini memiliki misi ”suci”, yaini melindungi sejarah arsitektur kota. Ya, meskipun pada akhirnya generasi penerus menjadi perusak yang potensial. Atas nama pembangunan dan modernitas, beberapa bangunan warisan era kolonial Belanda dinimbangkan dan diganti dengan bangunan-bangunan baru, yang mungkin lebih ”komersial” serta ”mendesak dan tidak bisa dicegah”. Istana Daendels (sekarang Departemen Keuangan Nasional) berdiri gagah, dengan mengorbankan Benteng Batavia (antara tahun 1890–1910) yang mungkin dianggap tak bernilai lagi. Ya, meskipun beberapa material bangunan lama masih dimanfaatkan untuk pembangunan gedung baru. Selanjutnya, demi alasan memperlebar jalan, Gerbang Amsterdam (lokasinya di pertigaan Jalan Cengkeh, Jalan Tongkol dan Jalan Nelayan Timur) diratakan dengan tanah tahun 1950-an. Kemudian, karena dinilai menjadi biang kemacetan, Presiden Soekarno memerintahkan untuk menimbun jalur Trem Batavia dengan aspal. Beberapa bangunan lainnya yang tak terawat seperti hanya menunggu giliran untuk disingkirkan, sebut saja Museum Sejarah Jakarta (bekas Balai Kota Batavia, kantor dan kediaman Gubernur Jenderal VOC), Museum Bahari, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Hotel Omni Batavia. Meski begini, bukan berarti tak ada orang yang benar-benar tidak peduli terhadap cagar budaya tersebut. Walaupun sedikit, masih ada pihak yang ingin menjaga dan melestarikan warisan budaya yang tak ternilai harganya ini. Hal ini terlihat mulai 2007. Beberapa jalan di sekitar Lapangan Fatahillah seperti Jalan Pintu Besar dan Jalan Pos Kota, dinitup sebagai tahap pertama perbaikan. Tetapi, perbaikan memang tidak mudah. Material bangunan yang tua dan mungkin keropos memang rentan rusak. Karena ini, ketika kemarin saya berkunjung ke Kota Tua, beberapa unit bangunan sedang direnovasi. Jaring-jaring penahan konstruksi masih terpasang, pekerja juga masih sibuk memoles bangunan yang sudah keriput. Puluhan beton berbentuk bulat juga diletakkan di beberapa sudat Kota Tua, untuk menutup sebagian akses jalan untuk keperluan renovasi. Antusiasme warga terhadap bangunan cagar budaya juga bisa dibilang lumayan. Karena siang ini, meskipun siar matahari di langit Jakarta begini menyengat. Banyak rombongan yang berkunjung. Mulai dari rombongan siswa taman kanak-kanak, pelajar SMA, serta ibu-ibu dan bapak-bapak meramaikan tempat ini. Siang ini memang tidak terlalu ramai, karena memang tempat ini baru ramai dikunjungi wisatawan ketika hari sudah mulai sore, ketika panas tak begini menyengat, atau ketika hari libur. (*) Jakarta

  • Spesial, Kopi Joss dari Jogjakarta

    SAAT mengunjungi Yogyakarta, sempatkanlah mengunjungi Angkringan Lik Man. Ada kopi joss yang sangat terkenal di kalangan para traveler karena rasa dan cara pembuatannya yang khas. Berjalanlah ke utara dari arah Malioboro atau Stasiun Tugu hingga menemukan jalan kecil ke arah barat, kemudian berbelok. Di sana Anda akan menemukan Angkringan Lik Man yang berada di sebelah kiri jalan. Cirinya, ada dua buah bakul yang dihubungkan dengan bambu, anglo dengan arang yang membara, serta deretan gelas yang ditata. Angkringan Lik Man menyajikan banyak makanan dan minuman khas Yogyakarta. Harganya memang jauh lebih murah dari harga makanan dan minuman di restoran mewah. Namun, kualitasnya dijamin tidak kalah lezat dan nikmat. Apalagi suasannya yang sangat bersahabat, berbeda dengan suasana yang kaku di restoran. Minuman khas di Angkringan Lik Man dan menjadi favorit bagi traveler jika berkunjung ke Yogyakarta adalah kopi joss. Kopi joss dibuat dengan gula, kopi bubuk dan diseduh dengan air mendidih, lalu ditambahkan dengan arang panas. Saat arang panas dicelupkan, maka terdengarlah bunyi josss pada kopi Anda. Rasanya yang khas dan panas akan menemani Anda menikmati kota Yogyakarta di malam hari. Kopi joss telah menjadi minuman khas Angkringan lik Man dari tahun 1960-an. Kopi ini berkhasiat menghilangkan penyakit seperti kembung, mules, dan telah menjadi obat sakit perut. Bahkan ada beberapa tokoh yang datang ke Angkringan Lik Man untuk mencoba sendiri kopi joss, yaitu Emha Ainun Nadjib, Bondan ‘Maknyuss’ Winarno, bahkan Butet Kertarajasa. Dengan membawa uang Rp 10.000, sudah lebih dari cukup untuk menikmati sajian hangat dan berkhasiat dari kopi joss, mengisi perut dengan sego kucing, dan bercengkrama dengan teman baru. Tempat yang sempurna untuk menutup malam Anda di Yogyakarta. (travel.detik.com)

  • Menunggu Sunset di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta

    JIKA Anda punya misi untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Kota Jakarta, maka Pelabuhan Sunda Kelapa wajib masuk dalam daftar. Pelabuhan yang terletak di Ancol, Pademangan, Jakarta Tumur, ini menyimpan sejarah panjang sebelum hingga sesudah masa kolonialisme. Zaman dulu atau sekitar abad ke-12, Sunda Kelapa memiliki nama Pelabuhan Kalapa yang dikuasai Kerajaan Padjajaran (sekarang Bogor) dan menjadi lokasi perdagangan rempah dari berbagai penjuru dunia. Kemudian, pada masa masuknya Islam dan para penjajah Eropa, Kalapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara dan Eropa. Akhirnya, Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari 300 tahun. Mereka lalu mengganti nama pelabuhan Kalapa dan daerah sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama kuno Kalapa kembali digunakan sebagai nama resmi pelabuhan tua ini dalam bentuk "Sunda Kelapa". Pelabuhan Sunda Kelapa saat ini masih aktif digunakan untuk kapal-kapal kayu pengangkut barang kebutuhan pokok. Kapal-Kapal itu menghubungkan antar pulau di Indonesia. Keunikan serta sejarah panjang pelabuhan ini menjadi salah satu daya tarik wisata yang masih bisa dinikmati masyarakat. Kawasan ini berfungsi sebagai objek wisata sejarah sebagai daya tarik utamanya. Cocok dikunjungi bagi pencinta peninggalan sejarah masa lampau. Bahkan, Sunda Kelapa kerap ramai menjelang sore untuk melihat sunset. Saat sore juga banyak kapal yang bersandar sehingga bisa menjadi foreground objek sunset yang manis. Di sini, kita bisa menyewa kapal nelayan. Tarifnya sekitar Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Tarif tersebut masih bisa ditawar. Wisatawan akan diajak berkeliling untuk melihat sudut-sudut pelabuhan dengan segala aktivitasnya dari sudut pandang yang berbeda. Kamu juga akan diajak melihat lebih dekat mercusuar tua berwarna merah dan hijau peninggalan Belanda. Mengunjungi objek wisata ini juga bisa dengan berjalan kaki. Kita bisa mengamati kapal-kapal kayu di sana. Melihat kesibukan aktivitas bongkar muat barang. Jika beruntung, kita bisa berpapasan dengan pedagang kopi keliling yang mengendarai sepeda motor. Enak kan ngopi sore ditemani sunset Sunda Kelapa. (*)

  • Belajar Sejarah Surabaya di Museum Tugu Pahlawan

    TUGU Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Saat itu arek-arek Suroboyo berjuang melawan pasukan Sekutu bersama Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia. Tinggi monumen ini adalah 41,15 meter dan berbentuk lingga atau paku terbalik. Tubuh monumen berbentuk lengkungan-lengkungan (canalures) sebanyak 10 lengkungan dan terbagi atas 11 ruas. Tinggi, ruas, dan canalures mengandung makna tanggal 10, bulan 11, tahun 1945. Tanggal bersejarah Indonesia. Ada dua pendapat mengenai siapa yang menjadi pemrakarsa sekaligus arsitek monumen yang terletak di Jalan Pahlawan Surabaya ini. Menurut Gatot Barnowo, monumen ini diprakarsai oleh Doel Arnowo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Daerah Kota Besar Surabaya. Sedangkan menurut Ir. Soendjasmono, pemrakarsa monumen ini adalah Ir. Soekarno. Ide ini mendapat perhatian khusus dari Wali kota Surabaya Doel Arnowo. Monumen yang dibangun selama sepuluh bulan ini diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1952. Biaya pembangunan Tugu Pahlawan berasal dari sumbangan para dermawan, termasuk rakyat yang ikut menyumbangkan dana. Konstruksi dimulai pada 20 Februari 1952 dan selesai pada 3 Juni 1952. Di bawah tanah lahan Tugu Pahlawan sedalam 7 meter, terdapat sebuah museum untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang berjuang di Surabaya. Di museum ini juga terdapat foto-foto dokumentasi pembangunan Tugu Pahlawan. Museum ini diresmikan pada tanggal 19 Februari 2000 oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid. Pada tahun 1991-1996, dilakukan pembenahan kawasan Tugu Pahlawan dan Museum Perjuangan 10 November Surabaya yang dipimpin oleh arsitek Ir. Sugeng Gunadi, MLA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Monumen ini berada di tengah-tengah kota di Jalan Pahlawan, Surabaya. Tugu Pahlawan merupakan salah satu ikon Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. (*)

bottom of page