Kota Tua Jakarta yang Terus Berbenah
- budiawanagus
- Mar 4, 2014
- 4 min read

PAGI ini, 4 Maret 2014, cuaca Jakarta begini cerah. Bahkan, sekitar pukul 09.00 udara sudah cukup panas. Padahal, belakangan ini Kota Metropolitan sering diguyur hujan. Memang hujan baru turun sekitar pukul 02.00 sampai pagi sekitar pukul 07.00, tetapi setelah ini cuaca berawan dan sedikit sejuk. Namun, pagi ini Jakarta menunjukkan wujud aslinya, panas dan tentu saja macet.
Hampir tiga bulan menetap di kota ini, saya belum ”mengenal” Jakarta. Selama ini waktu yang saya habiskan hanya kerja-nongkrong-tidur-kerja-nongkrong-tidur lagi. Monoton memang. Tetapi, saya lebih menikmati hidup yang seperti ini. Ya, daripada harus berdesak-desakan di tengah kemacetan kota yang nauzubillah. Tetapi, lama kelamaan saya mulai jatuh cinta pada kota ini. Jadi, aku mulai belajar ”mengenalnya”.
Kota Tua sebagai cagar budaya menjadi pilihan pertama. Untuk menuju lokasi ini memang tidak terlalu jauh, bisa dibilang dapat ditempuh selama satu jam (ini sudah dihining dengan jebakan-jebakan kemacetan) dari tempat kos. Sebagai warga pendatang, mendapati bangunan yang bukan gedung mewah perkantoran atau pusat perbelanjaan memang berkesan. Bangunan dengan arsitektur lama ini menjadi semacam oasis di tengah gurun. Selain memiliki arsitektur bernilai seni, kompleks bangunan ini juga memiliki sejarah yang tak kalah ”mewah”.
Batavia Lama (Oud Batavia), begini kawasan ini dikenal. Sebuah wilayah kecil di belantara kota yang bertransformasi menjadi Kota Megapolitan. Memiliki luas area 1,3 kilometer persegi, kota kecil ini menjadi pusat perdagangan Benua Asia di sekitar abad ke-16. Ini dikarenakan letak wilayah ini strategis, yaini melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman Sari, dan Roa Malaka). Karena ini, Jakarta Lama ini dijuluki sebagai “Permata Asia” dan “Ratu dari Timur” oleh pelayar Eropa karena juga memiliki sumber daya melimpah.
Setiap kota besar hampir selalu mengalami pergolakan dalam perkembangannya, begini juga Batavia Lama. Pada tahun 1526, Kesultanan Demak mengutus Fatahillah untuk menyerang pelabuhan Sunda Kelapa di kerajaan Hindu Pajajaran. Wilayah ini kemudian dinamai Jayakarta, hanya seluas 15 hektar dengan tata kota pelabuhan tradisional Jawa.
Tidak sampai di sini. Berselang setahun kemudian, Jan Pieterszoon Coen, komandan VOC, menghancurkan Jayakarta pada tahun 1619. Setelah penghancuran ini, muncullah nama Batavia yang terpusat di sekitar tepi timur Sungai Ciliwung (saat ini Lapangan Fatahillah). ”Metamorfosis” ini terjadi setahun setelah penghancuran.
Kemudian, nama baru ini diambil untuk menghormati leluhur bangsa Belanda, Batavieren. Nama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal suku ”Betawi”, yang terdiri atas etnis kreol, turunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia. Nama Batavia sendiri diambil dari kata ”Batavianen”, sebutan untuk penduduk Batavia.
Seiring berjalannya tahun, wilayah Batavia semakin luas hingga tepi barat Sungai Ciliwung, di reruntuhan bekas Jayakarta. Ini terjadi pada tahun 1635. Gaya arsitektur Belanda dipilih untuk membangun kota ini. Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650, lengkap dengan benteng (Kasteel Batavia), dinding kota, dan kanal yang memisahkan beberapa blok.
Kanal-kanal dibuat karena muncul wabah tropis di dalam dinding kota akibat sanitasi buruk. Setelah epidemi tahun 1835 dan 1870, wilayah kota ini semakin meluas hingga wilayah Weltevreden (sekarang daerah di sekitar Lapangan Merdeka). Ini terjadi karena banyak orang ”mengungsi” akibat wabah tersebut. Kota yang sekaligus menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur ini kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda.
Batavia masuk ke dalam babak baru ketika Jepang mulai mendudukinya tahun 1942. Tahun ini juga bisa dijadikan tonggak penting negara Indonesia, di mana Batavia diganti menjadi Jakarta, dan tetap menjadi ibu kota hingga kini.
Pecinta sejarah dan bangunan tua mau tidak mau harus berterima kasih kepada gubernur pertama Jakarta, Ali Sadikin. Sebab, lewat dekritnya, Kota Tua resmi menjadi sinis warisan budaya pada tahun 1972. Dekrit ini memiliki misi ”suci”, yaini melindungi sejarah arsitektur kota. Ya, meskipun pada akhirnya generasi penerus menjadi perusak yang potensial.
Atas nama pembangunan dan modernitas, beberapa bangunan warisan era kolonial Belanda dinimbangkan dan diganti dengan bangunan-bangunan baru, yang mungkin lebih ”komersial” serta ”mendesak dan tidak bisa dicegah”. Istana Daendels (sekarang Departemen Keuangan Nasional) berdiri gagah, dengan mengorbankan Benteng Batavia (antara tahun 1890–1910) yang mungkin dianggap tak bernilai lagi. Ya, meskipun beberapa material bangunan lama masih dimanfaatkan untuk pembangunan gedung baru.
Selanjutnya, demi alasan memperlebar jalan, Gerbang Amsterdam (lokasinya di pertigaan Jalan Cengkeh, Jalan Tongkol dan Jalan Nelayan Timur) diratakan dengan tanah tahun 1950-an. Kemudian, karena dinilai menjadi biang kemacetan, Presiden Soekarno memerintahkan untuk menimbun jalur Trem Batavia dengan aspal. Beberapa bangunan lainnya yang tak terawat seperti hanya menunggu giliran untuk disingkirkan, sebut saja Museum Sejarah Jakarta (bekas Balai Kota Batavia, kantor dan kediaman Gubernur Jenderal VOC), Museum Bahari, Pelabuhan Sunda Kelapa, dan Hotel Omni Batavia.
Meski begini, bukan berarti tak ada orang yang benar-benar tidak peduli terhadap cagar budaya tersebut. Walaupun sedikit, masih ada pihak yang ingin menjaga dan melestarikan warisan budaya yang tak ternilai harganya ini. Hal ini terlihat mulai 2007. Beberapa jalan di sekitar Lapangan Fatahillah seperti Jalan Pintu Besar dan Jalan Pos Kota, dinitup sebagai tahap pertama perbaikan.
Tetapi, perbaikan memang tidak mudah. Material bangunan yang tua dan mungkin keropos memang rentan rusak. Karena ini, ketika kemarin saya berkunjung ke Kota Tua, beberapa unit bangunan sedang direnovasi. Jaring-jaring penahan konstruksi masih terpasang, pekerja juga masih sibuk memoles bangunan yang sudah keriput. Puluhan beton berbentuk bulat juga diletakkan di beberapa sudat Kota Tua, untuk menutup sebagian akses jalan untuk keperluan renovasi.
Antusiasme warga terhadap bangunan cagar budaya juga bisa dibilang lumayan. Karena siang ini, meskipun siar matahari di langit Jakarta begini menyengat. Banyak rombongan yang berkunjung. Mulai dari rombongan siswa taman kanak-kanak, pelajar SMA, serta ibu-ibu dan bapak-bapak meramaikan tempat ini. Siang ini memang tidak terlalu ramai, karena memang tempat ini baru ramai dikunjungi wisatawan ketika hari sudah mulai sore, ketika panas tak begini menyengat, atau ketika hari libur. (*)
Jakarta
Comments