top of page

Arcopodo Tak Pernah Pergi dari Semeru



”Di bawah rerimbun pohon cemara dua arca itu berdiri. Satu arca kepalanya hilang, seperti dipenggal … Jalur menuju Arcopodo itu memang seperti jalan rahasia yang dijaga alam dan para pemujanya.”


Kompas, 21 januari 2012


TEKA-TEKI keberadaan arca kembar atau yang lebih dikenal dengan Arcopodo memang sering diperdebatkan oleh banyak pendaki. Ada yang mengatakan arca kembar itu masih ada dan keberadaannya tersebunyi. Namun, ada juga yang yakin bahwa arca pemujaan tertinggi di Pulau Jawa itu sudah hilang dari dekapan Semeru.


Bagi saya kebenaran tentang keberadaan arca kembar itu masih berupa tanda tanya. Sudah dua kali saya melakukan pendakian gunung Semeru dan tak pernah menjumpai sosok arca kembar legendaris itu di pos Arcopodo. Memang pendakian menuju puncak Mahameru saya lakukan pada dini hari dan sampai di pos Arcopodo sekitar pukul tiga pagi sehingga keadaannya masih gelap. Tapi bukan gelaplah yang menjadi alasan tidak bisa dijumpainya dua arca kembar tersebut. Mengapa? karena keberadaan arca kembar itu bukan di pos Arcopodo yang banyak dikenal pendaki saat ini.


Menurut sedikit cerita penjaga pos perizinan di Ranupane dan saya baca di banyak literatur, dua arca kembar itu tersembunyi di sebuah tempat di ketinggian 3.092 mdpl. Untuk mencapai lokasi tersebut tidak mudah. Dari pos Arcopodo (2.903 mdpl) yang dikenal saat ini, pendaki masih harus naik lagi menuju arah puncak sampai di batas vegetasi. Di batas itu pendaki harus berbelok ke arah timur dengan bentangan lembah bekas aliran lahar yang rapuh. Sekitar 20 menuju bawah terdapat jurang dalam seperti muara. Untuk itu pendaki harus dilengkapi peralatan secukupnya untuk menjejakkan kaki di tepi jurang agar tidak tergelincir.


Setelah bisa melewati tantangan yang pertama, pendaki akan dihadapkan dengan tantangan berikutnya; lembah lainnya yang lebih curam. Berada pada kondisi semacam ini pendaki harus cepat berpikir untuk memutuskan lanjut atau kembali. Karena keragu-raguan hanya akan membahayakan nyawa pendaki dalam kondisi semacam ini. Dan keputusan terbaik adalah terus berjalan menyusuri punggung tipis tebing yang menjulur di bawah rerimbun pohon cemara.


“Ini jalur orang tersesat. Korban biasanya hilang di sekitar sini ketika turun dari puncak. Dia berjalan menyimpang, menuruni lembah ini,” kata Ningot, anggota Search and Rescue (SAR) Lumajang (Kompas, 21 Januari 2012). “Begitu sampai di lembah ini, pendaki yang kelelahan biasanya sudah putus asa dan sulit mencari jalan kembali. Padahal, di bawah jurang sangat curam, yang terkenal adalah Blank 75,” lanjut Ningot.


Setelah melewati dua lembah lagi, pendaki baru bisa mencapai punggung tebing dan di lokasi itulah dua arca kembar berdiri di bawah rerimbun pohon cemara. Tempat dua arca kembar itu beratapkan seng yang sudah keropos dan lantainya terbuat dari keramik. Dari dulu, dua arca itu tak pernah dipindahkan kemana-mana dan masih menyetiai Semeru.


Adapun yang dipindah adalah pos Arcopodo yang sekarang dilewati oleh para pendaki. Dulu jalur pendakian melewati dua arca ini, tapi kemudian dipindah. “Dulu jalan pendakian itu melewati dua arca itu. Sekitar tahun 1979, jalurnya berubah dan tak lagi melewatinya,” kata Sumarto (58), Pemangku Pura Mandaragiri di Senduro, Lumajang. Adapun alasan pemindahan, Sumarto tidak mau mengungkapkan alasannya. Yang pasti jalur menuju Arcopodo begitu tersembunyi, seperti jalur yang dijaga oleh para dewa.


Arcopodo Bukan Sekadar Dongeng


Konon awalnya Pulau Jawa adalah sebuah daratan yang megambang di lautan, terombang-ambing dan senantiasa berguncang. Para Dewa kemudian memutuskan untuk memaku Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa. Dewa Wisnu yang menjelma menjadi kura-kura raksasa dan Dewa Brahma yang menjelma menjadi ular raksasa bekerja sama untuk memindahkan Gunung Meru ke Pulau Jawa.


Pertama, para Dewa meletakkan gunung di bagian barat Pulau Jawa. Karena ujung Pulau Jawa bagian timur terangkat, maka para Dewa memindahkan ke bagian timur. Dalam proses memindahkan gunung inilah serpihan gunung Meru tercecer dan menciptakan jajawan gunung di Pulau Jawa yang memanhang dari barat ke timur. Akan tetapi ketika puncak Meru dipindahkan ke timur, pulau Jawa masih tetap miring sehingga para Dewa memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut.


Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan. Sementara bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa.


Dalam kepercayaan Hindu, gunung Meru dianggap sebagai rumah tempat bersemayam dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung di antara bumi (manusia) dan Kayangan. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewata, Hyang, dan mahluk halus.


Sejarah terciptanya gunung Semeru boleh saja dianggap sebagai keyakianan atau hanya sekadar dongeng semata. Namun, mengacu pada keyakinan masyarakat Hindu Jawa dan Bali tentang kesakralan Semeru, maka bukan hal yang mustahil jika terdapat arca kembar di ketinggian 3.092 di atas permukaan laut (mdpl) itu.


Arca adalah benda yang sakral bagi masyarakat Hindu karena menjadi medium yang bisa menjadi penghubung antara dirinya dengan Sang Hyang (Tuhan). Maka keberadaan Arcopodo yang berdiri berdampingan di senyapnya rerimbun cemara itu bukanlah sekadar dongeng. Kebenaran itu juga bisa dibuktikan lewat dokumentasi foto dari para pendaki (atau yang memang sengaja mencari keberadaan arca kembar tersebut).


Arca yang awalnya dianggap hanya sebagai dongeng itu “ditemukan” oleh mendiang Norman Edwin dan Herman O Lantang dari Mapala Universitas Indonesia pada tahun 1984. Dua tahun kemudian, Norman kembali mendatangi dua arca itu dan menuliskan temuannya di majalah Swara Alam, ”Arca ini sulit dikenali karena kepala dan separuh badannya hilang.”


Sejak itu keberadaan kedua arca itu tak pernah lagi diketahui. Dalam tulisannya di buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi (2009), Herman O Lantang mencoba mencari dua arca itu pada pendakian tahun 1999, tapi ia gagal menemukannya. ”Di jalur menuju tempat arca itu, saya mendapati jurang pasir yang dalam dan sulit diseberangi. Ketika itu saya sampai jatuh ke dalam jurang sehingga saya memutuskan tidak mengunjungi arca itu.”


Selain itu, ada pula dokumentasi terbaru dari Ekspedisi Cincin Api Kompas medio April 2012 dalam rangka menggali informasi mengenai pengaruh aktifitas vulkano-tektonik terhadap peradaban manusia. Namun, bagi para pendaki yang mencoba mencari dua arca di Pos Arcopodo yang saat ini sering dilalui para pendaki pasti akan kecele dan mengira kedua arca itu sudah hilang, atau percaya itu hanya berupa dongeng, karena memang bukan di situ tempatnya.


Dua arca kembar itu tak pernah kemana-mana. Mereka masih berdiri berdampingan di dalam dekapan hutan senyap nan damai; menatap puncak Mahameru, puncak abadi para Dewa. (*)

Comments


bottom of page