top of page

Stadhuis, Cikal Bakal Museum Fatahillah Jakarta

Updated: Oct 22, 2018



STADHUIS dibangun tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jendral Johan van Hoorn. Dalam bahasa Belanda, Stadhuis berarti Balai Kota. Arsitektur bangunannya bergaya abad ke-17, bergaya neoklasik, dengan tiga lantai bercat kuning tanah, kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua. Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.


Bangunan ini menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. ”Istana” ini memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi. Pekarangan dengan susunan konblok, dan sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.


Menurut catatan sejarah, gedung ini mulai dibangun sebagai gedung balai kota kedua pada tahun 1626 oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen (balai kota pertama dibangun pada tahun 1620 di dekat Kalibesar Timur). Selain digunakan sebagai stadhuis, gedung ini digunakan sebagai ”Raad van Justitie” (dewan pengadilan). Pada tahun 1925-1942, gedung ini dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan pada tahun 1942-1945 dipakai untuk kantor pengumpulan logistik Dai Nippon.


Seperti umumnya di Eropa, gedung balai kota dilengkapi dengan lapangan yang dinamakan stadhuisplein. Menurut sebuah lukisan uang yang dibuat oleh pegawai VOC Johannes Rach yang berasal dari Denmark, di tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan satu-satunya sumber air bagi masyarakat setempat. Air itu berasal dari Pancoran Glodok yang dihubungkan dengan pipa menuju stadhuiplein.


Awalnya, gedung ini hanya satu tingkat dan kemudian dibangun lagi. Karena tanah Jakarta sangat labil dan gedung berat, pada tahun 1648, gedung turun dari permukaan tanah sehingga kondisinya sangat buruk. Solusinya mudah, pemerintah Belanda tidak mengubah pondasi yang sudah ada, tetapi menaikkan lantai sekitar 2 kaki (56 cm). Menurut sebuah laporan, 5 sel di bawah gedung dibangun tahun 1649.


Kemudian, Yayasan Oud Batavia memiliki rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia. Maka, pada tahun 1937 mereka mengajukan rencana itu dan kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co di sebelah timur Kali Besar, tepatnya di Jl Pintu Besar Utara No. 27 (kini museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum tahun 1939.


Pada tahun 1952, gedung ini menjadi markas Komando Militer Kota (KMK) I, lalu diubah kembali menjadi KODIM 0503 Jakarta Barat. Pada masa kemerdekaan, museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 Museum Djakarta Lama diserahkan kepada Pemda DKI Jakarta.


Pada tahun 1972, diadakan penggalian terhadap lapangan di lokasi tersebut dan ditemukan pondasi air mancur lengkap dengan pipa-pipanya. Maka, dengan bukti sejarah itu, air mancur dapat dibangun kembali sesuai gambar Johannes Rach, lalu terciptalah air mancur di tengah Taman Fatahillah. Pada tahun 1973, Pemda DKI Jakarta memfungsikan kembali taman tersebut dengan memberi nama baru yaitu Taman Fatahillah untuk mengenang panglima Fatahillah, pendiri kota Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Fatahillah pada tanggal 30 Maret 1974. Museum Fatahillah juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia.


Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Fatahillah sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekadar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi harus bisa menjadi tempat bagi orang Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa, bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi.


Untuk itu, Museum Fatahillah berusaha menyediakan informasi mengenai perjalanan panjang sejarah kota Jakarta, sejak masa prasejarah hingga masa kini dalam bentuk yang lebih rekreatif. Selain itu, melalui tata pamernya, museum ini berusaha menggambarkan ”Jakarta Sebagai Pusat Pertemuan Budaya”.


Di tempat ini, pengunjung bisa menemukan objek-objek, antara lain, perjalanan sejarah Jakarta. Berdasar penggalian arkeologi, terdapat bukti bahwa permukiman pertama di Jakarta terdapat di tepi Sungai Ciliwung. Permukiman ini diduga berasal dari 2500 SM (Masa Neolothicum). Bukti tertulis pertama yang diketemukan adalah prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh Raja Tarumanegara pada abad ke-5. Prasasti merupakan bukti adanya kegiatan keagamaan pada masa itu. Pada masa berikutnya, sekitar abad ke-12, daerah ini berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda dengan pelabuhannya yang terkenal, Pelabuhan Sunda Kelapa.


Pada masa inilah diadakan perjanjian perdagangan antara pihak Portugis dengan raja Sunda. Pada abad ke-17, perdagangan dengan pihak-pihak asing makin meluas. Pelabuhan Sunda Kelapa berubah menjadi Jayakarta (1527) dan kemudian menjadi Batavia (1619). Tahun 1942 bangsa Jepang merebut kekuasaan dari tangan Belanda dan berkuasa di Indonesia sampai tahun 1945.


Di Museum Fatahillah, pengunjung juga bisa melihat replika peninggalan masa Tarumanegara dan Pajajaran, hasil penggalian arkeologi di Jakarta, mebel antik abad ke-17 sampai 19, yang merupakan perpaduan dari gaya Eropa, Republik Rakyat Cina, dan Indonesia. Juga ada keramik, gerabah, dan batu prasasti. Koleksi-koleksi ini terdapat di berbagai ruang, seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang M.H. Thamrin.


Selain itu, ada berbagai koleksi tentang kebudayaan Betawi, numismatik, dan becak. Pengunjung juga bisa merasakan suasana ruang bawah tanah yang pada zaman penjajahan Belanda difungsikan sebagai penjara. Di kawasan bangunan itu juga diletakkan patung Dewa Hermes. Menurut mitologi Yunani, itu merupakan dewa keberuntungan dan perlindungan bagi kaum pedagang. Patung itu tadinya ada di perempatan Harmoni. Ada pula meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis.


Koleksi Museum Fatahillah


Perbendaharaannya mencapai 23.500 buah yang berasal dari warisan Museum Jakarta Lama (Oud Batavia Museum), hasil upaya pengadaan Pemerintah DKI Jakarta dan sumbangan perorangan maupun institusi. Terdiri atas ragam bahan material baik yang sejenis maupun campuran, meliputi logam, batu, kayu, kaca, kristal, gerabah, keramik, porselen, kain, kulit, kertas, dan tulang. Di antara koleksi yang patut diketahui masyarakat adalah Meriam si Jagur, sketsel, patung Hermes, pedang eksekusi, lemari arsip, lukisan Gubernur Jendral VOC Hindia Belanda tahun 1602-1942, meja bulat berdiameter 2,25 meter tanpa sambungan, peralatan masyarakat prasejarah, prasasti, dan senjata.


Koleksi yang dipamerkan berjumlah lebih dari 500 buah, yang lainnya disimpan di storage (ruang penyimpanan). Umur koleksi ada yang mencapai lebih 1.500 tahun khususnya koleksi peralatan hidup masyarakat prasejarah seperti kapak batu, beliung persegi, kendi gerabah. Koleksi warisan Museum Jakarta Lama berasal dari abad ke-18 dan 19 seperti kursi, meja, lemari arsip, tempat tidur dan senjata. Secara berkala dilakukan rotasi sehingga semua koleksi dapat dinikmati pengunjung. Untuk memperkaya perbendaharaan koleksi museum membuka kesempatan kepada masyarakat perorangan maupun institusi meminjamkan atau menyumbangkan koleksinya kepada Museum Fatahillah.


Tata Pamer Tetap


Dengan mengikuti perkembangan dinamika masyarakat yang menghendaki perubahan agar tidak tenggelam dalam suasana yang statis dan membosankan, serta ditunjang dengan kebijakan yang tertuang dalam visi dan misi museum, mengenai penyelenggaraan museum yang berorientasi kepada kepentingan pelayanan masyarakat, maka tata pamer tetap Museum Fatahillah dilakukan berdasar kronologis sejarah Jakarta, dan Jakarta sebagai pusat pertemuan budaya dari berbagai kelompok suku bangsa, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Untuk menampilkan cerita berdasar kronologis sejarah Jakarta dalam bentuk display, diperlukan koleksi-koleksi yang berkaitan dengan sejarah dan ditunjang secara grafis dengan menggunakan foto-foto, gambar-gambar dan sketsa, peta dan label penjelasan agar mudah dipahami dalam kaitannya dengan faktor sejarah dan latar belakang sejarah Jakarta.


Sedangkan penyajian yang bernuansa budaya juga dikemas secara artistik dimana terlihat terjadinya proses interaksi budaya antarsuku bangsa. Penataannya disesuaikan dencan cara yang seefektif mungkin untuk menghayati budaya-budaya yang ada sehingga dapat mengundang partisipasi masyarakat. Penataan tata pamer tetap Museum Fatahillah dilakukan secara terencana, bertahap, skematis, dan artistik sehingga menimbulkan kenyamanan serta menambah wawasan bagi pengunjungnya.


Aktivitas


Sejak tahun 2001 sampai 2002, Museum Fatahillah menyelenggarakan Program Kesenian Nusantara setiap minggu ke-II dan ke-IV. Untuk tahun 2003, Museum Fatahillah memfokuskan kegiatan ini pada kesenian yang bernuansa Betawi yang dikaitkan dengan kegiatan wisata kampung tua setiap minggu ke-III setiap bulannya.


Selain itu, sejak tahun 2001, Museum Fatahillah setiap tahunnya menyelenggarakan seminar mengenai keberadaan Museum Sejarah Jakarta baik berskala nasional maupun internasional. Seminar yang telah diselenggarakan, antara lain, seminar tentang keberadaan museum ditinjau dari berbagai aspek dan seminar internasional mengenai arsitektur gedung museum.


Untuk merekonstruksi sejarah masa lampau, khususnya peristiwa pengadilan atas masyarakat yang dinyatakan bersalah, ditampilkan teater pengadilan dimana masyarakat dapat berimprovisasi tentang pelaksanaan pengadilan sekaligus memahami jiwa zaman pada abad ke-17.


Aktivitas Yang Dapat Diikuti Pengunjung

1. Wisata Kampung Tua, minimal 20 Orang 2. Jelajah Malam Museum, minimal 20 Orang 3. Workshop Sketsa Gedung Tua, minimal 10 Orang 4. Nonton Bareng film-film Jadul, minimal 20 Orang 5. Pentas Seni ala Jakarta 6. Kunjungan ala tentara indonesia


Fasilitas


Perpustakaan: Perpustakaan Museum Fatahillah mempunyai koleksi buku 1200 judul. Bagi para pengunjung dapat memanfaatkan perpustakaan tersebut pada jam dan hari kerja museum. Buku-buku tersebut sebagian besar peninggalan masa kolonial, dalam berbagai bahasa. Di antaranya adalah bahasa Belanda, Melayu, Inggris, dan Arab. Yang tertua adalah Alkitab/Bible tahun 1702.


Kantin Museum: Dengan suasana nyaman, kantin museum menawarkan makanan dan minuman khas Betawi.


Souvenir Shop: Museum menyediakan cinderamata untuk kenang-kenangan para pengunjung yang dapat diperoleh di “souvenir shop” dengan harga terjangkau.


Sinema Fatahillah: Menampilkan film-film dokumenter Zaman Batavia dan film populer dalam dan luar negeri.


Musholla: Museum ini menyediakan musholla dengan perlengkapannya sehingga pengunjung tidak perlu khawatir kehilangan waktu salat.


Ruang Pertemuan dan Pameran: Menyediakan ruangan yang representatif untuk kegiatan pertemuan, diskusi, seminar, dan pameran dengan daya tampung lebih dari 150 orang.


Taman Dalam: Taman yang asri dengan luas 1000 meter lebih, serta dapat dimanfaatkan untuk gathering, resepsi pernikahan, maupun pentas seni.


Museum ini terletak di Jalan Taman Fatahillah No. 2, Jakarta Barat, dengan jarak tempuh sekitar satu jam dari tempat kos saya di Rawa Belong, Jakarta Barat. Waktu tempuh itu sudah dihitung dengan kemacetan di jalan pada pagi itu yang relatif sudah agak macet. Pagi yang cerah untuk jiwa yang merana, terjebak macet di cuaca yang panas. Tetapi, Museum Fatahillah sudah menjadi seperti air penghilang dahaga. Salam… (*)


Jakarta

Comments


bottom of page