Search Results
165 results found with an empty search
- Semeru, Wajahmu Kini
ANTARA Desember 2012 sampai Agustus 2013, saya tiga kali mendaki Semeru. Antara bulan dan tahun itu juga, saya masih bisa merasakan dan melihat kealamian gunung tertinggi di Pulau Jawa ini. Ia seperti gadis dengan kecantikan alami tanpa make-up dan aksesori yang dipaksakan. Entahlah, pertama mendaki Semeru, saya merasa jatuh cinta kepadanya, seperti jatuh cinta kepada perempuan yang memesona, dengan tampil apa adanya. Sampai akhirnya saya harus bekerja di Jakarta. Meski begitu, kerinduan saya pada Semeru tetap menyala. Tepat 1,5 tahun tinggal di Jakarta, saya pun memutuskan untuk menjenguk Semeru lagi. Ada ekspektasi yang begitu besar saat saya menempuh perjalanan jauh ke perbatasan Malang-Lumajang, tempat ia menunggu dalam balutan kabut dan angin dingin yang selalu menjaganya dalam rimba. Menyusuri lekuk tubuhnya, selangkah demi selangkah, memberikan kebahagiaan tersendiri, rindu yang tertunaikan. Namun, ada hal yang mengganggu saat saya singgah di pos-pos Semeru. Kealamian Semeru sedikit demi sedikit dipaksa hilang demi kepentingan segelintir pihak. Semeru berada dalam ancaman komersialisasi. Alih-alih menjaga keindahan, kealamian, dan kebersihan Semeru, beberapa pihak –tidak terkecuali pendaki yang tidak bertanggung jawab– justru merusaknya. Pedagang-Pedagang Semeru Tak disangka, ternyata di Semeru banyak pedagang yang berjualan. Saya di sini tidak menyalahkan mereka sebagai sumber masalah menumpuknya sampah di Semeru. Sepengatahuan saya, mereka justru lebih bisa menjaga kebersihan Semeru daripada pendaki sendiri. Para pedagang yang memang seluruhnya adalah warga setempat, Ranupani, selalu membawa satu karung untuk tempat sampah. Di satu sisi, mereka tidak bisa disalahkan bila akhirnya berjualan di beberapa sudut Semeru. Mulai pos 1, 2, 3, 4, Ranu Kumbolo, Cemoro Kandang, Jambangan, Kali Mati, bahkan di dekat Arcopodo. Di antara mereka, ada porter yang bila sedang tidak menerima tamu (sebutan untuk pendaki yang memakai jasa mereka) akan mengisi waktu kosongnya dengan berjualan. Ada juga warga yang kesehariannya menjadi petani kemudian memanfaatkan kondisi itu dengan berjualan sebagai pekerjaan sampingan untuk sekadar menambah penghasilan. Untuk pedagang Semeru ini, saya sempat ngobrol panjang lebar dengan salah seorang pedagang yang biasa berjualan di Kali Mati. Nama beliau sengaja saya rahasiakan. Beliau bercerita tentang sejarahnya bisa sampai banyak pedagang di Semeru. Beliau tidak tahu persisnya kapan, tetapi seingat beliau adalah sekitar akhir 2014 atau awal 2015. Ada beberapa rombongan pendaki yang mengeluh kehabisan logistik ketika mendaki. Hal itu diketahui pihak TNBTS. Kemudian, pihak TNBTS mengadakan pertemuan dengan warga setempat untuk membicarakan masalah tersebut. Akhirnya, dibentuklah kelompok pedagang Semeru. Namun, mereka tidak memiliki nama resmi perkumpulan. Awalnya, saya pikir berdagang adalah inisiatif warga sendiri untuk mencari penghasilan tambahan. Namun, ketika saya bertanya lebih jauh, ternyata mereka dikoordinir oleh pihak TNBTS. Karena itulah, setiap pedagang akan mematok tarif yang sama untuk jenis makanan, minuman, atau rokok yang dijual. Contohnya, semangka atau gorengan. Satu potong gorengan atau satu iris semangka dihargai Rp 2.500. Untuk nasi bungkus, harganya Rp 15.000 dengan lauk satu telur dadar dengan sedikit mie goreng. Harga yang sama akan ditawarkan pedagang untuk jenis minuman seperti Aqua, Pocari Sweat, Ale-Ale, hingga rokok. Lalu, bagaimana sistem pembagian upahnya? Menurut beliau, setiap seminggu sekali, seluruh penghasilan pedagang Semeru akan dikumpulkan kepada pihak TNBTS, kemudian dibagi rata untuk semua pedagang. Pedagang dengan penjualan terbanyak akan mendapat pendapatan berupa bonus yang nominalnya dirahasiakan. Di satu sisi, mereka tentu sah-sah saja berjualan di wilayah mereka sendiri. Namun, di sisi lain, keberadaan mereka tentu menghilangkan kealamian Semeru sebagai wisata alam liar dan pendakian. Hanya, di sini saya tidak ingin menghakimi para pedagang Semeru itu benar atau salah. Yang pasti, banyak pendaki yang merasa terbantu dengan keberadaan mereka. Pendaki yang kehabisan logistik bisa benapas lega karena bisa membeli di sepanjang jalur pendakian. Saya pun bisa memaklumi usaha mereka berjualan di Semeru. Bahkan, saya merasa kagum kepada mereka. Berdasar cerita pedagang di Kali Mati yang saya temui tadi, setiap hari beliau harus memikul dagangannya yang bisa saja beratnya menyamai atau bahkan melebihi barang-barang bawaan para pendaki. Setiap hari beliau naik dari Ranupani sekitar pukul 5 pagi dan sampai di Kali Mati sekitar pukul 9 menjelang siang. Bila barang bawaan lebih berat, beliau biasanya baru sampai di Kali Mati pukul 10–11 siang. Beliau baru turun ke Ranupani sekitar pukul 2 siang, saat seluruh pendaki sudah turun dari Mahameru. Jika melihat perjuangan lelaki yang kira-kira sudah berusia hamper 50-an tahun itu, hati pendaki mana yang tidak tergugah –kecuali mereka yang skeptis. Jadi, menurut saya, harga seiris semangka atau satu biji gorengan Rp 2.500 tentu tidak ada apa-apanya, dibanding dengan perjuangan mereka. Satu hal lagi yang membuat saya malu, yaitu saat saya melihat beliau dengan senang memungut uang receh Rp 200 yang tercecer di sekitar lapak dagangannya. Beliau lalu tersenyum kepada saya dengan berkata, ’’200 rupiah juga uang, Mas. Rezeki.’’ Mungkin kita –atau bahkan saya sendiri– menganggap uang 200 rupiah tidak ada apa-apanya. Tapi, bagi mereka yang pandai bersyukur, sekecil apa pun rezeki yang didapat, mereka akan tersenyum. Begitu juga pedagang di Kali Mati tersebut. Saya mendapat pelajaran berharga (lagi) dari lelaki sederhana itu di belantara Semeru. Mereka yang tak jarang dipandang sebelah mata dan dianggap menghilangkan kealamian Semeru, namun di sisi lain keberadaan mereka juga dibutuhkan. Jadi, terserah saja bagaimana kita menyikapinya. Batas Pendirian Tenda di Ranu Kumbolo Satu hal yang paling mengecewakan saya saat sampai di Ranu Kumbolo adalah lokasi pendirian tenda di pinggir ranu. Pihak TNBTS ternyata memasang sekat berupa tali rafia di sepanjang bibir sungai untuk memberikan batasan tegas lokasi pendirian tenda. Pendaki dilarang mendirikan tenda di area sungai yang tidak ditumbuhi rumput. Saya sendiri selama mendaki Semeru tak pernah mendirikan tenda di area itu, tetapi sedikit ke atas di tanah yang ditumbuhi rumput. Mungkin sebelumnya banyak pendaki yang mendirikan tenda tepat di bibir sungai sehingga peraturan dan batas tersebut dipasang. Selain bentangan tali rafia di sepanjang bibir Ranu Kumbolo, di situ juga dipasangi papan pengumuman berwarna kuning dengan tulisan berwarna hitam: BATAS PENDIRIAN TENDA. Belum cukup dengan itu. Di selter Ranu Kumbolo ternyata ada petugas TNBTS yang bersiaga di sana. Mereka akan menegur setiap pendaki yang dirasa akan melanggar peraturan. Seperti jika ada pendaki yang mengambil air atau mencuci alat masak di sisi depan Ranu Kumbolo. Dengan TOA, mereka akan menginstruksi mereka untuk mengambil air atau mencuci peralatan masak di sisi kanan atau kiri ranu. Petugas juga akan memberikan peringatan keras bila ada pendaki yang berfoto dengan naik ke atas pokok-pokok pohon cemara yang tumbang dan menjorok ke ranu. Saya rasa peraturan-peraturan seperti itu tidak akan diberlakukan jika para pendaki bisa menjaga sikap masing-masing. Dengan begitu, pendaki lain yang memiliki persiapan matang untuk bertualang di alam bebas seperti Semeru dan tidak berkeinginan berbuat aneh-aneh di ranu tidak ikut dirugikan. Kini setiap pendaki seperti murid taman kanak-kanak yang terus dipantau guru dan dilarang ini itu. Lalu, ini salah siapa? Toilet-Toilet Jorok Pada awal pendakian saya tahun 2012, bertepatan dengan pemutaran film 5cm yang mengambil setting Semeru. Bekas keperluan syuting berupa toilet yang terbuat dari tripleks dan atap rerumputan di dekat selter Ranu Kumbolo masih berdiri. Saat itu, toilet tersebut sudah tidak digunakan lagi. Di situ terdapat WC jongkok dari porselen yang mampet dengan kotoran manusia yang kering, bercampur tisu basah, botol Aqua, dan sampah plastik lainnya. Baunya? Jangan ditanya lagi. Lalu, pada pendakian saya selanjutnya, yakni tahun 2013, toilet tersebut sudah dibongkar dan sudah lumayan bersih. Namun, saat saya kembali ke Semeru pada 28-28 Mei kemarin, ternyata dibangun toilet baru di tempat yang sama di mana toilet lama berdiri. Tapi, toilet itu kini dibangun menggunakan rangka besi dengan dinding seng bercat hijau. Bedanya, yang dipasang bukan WC jongkok dari porselen seperti dulu, tetapi berupa papan kayu yang diberi lubang, dan di bawahnya adalah tanah galian yang tentu saja lama-kelamaan akan penuh juga. Bukannya lebih baik, toilet seperti itu justru membuat kawasan Semeru menjadi semakin jorok. Kotoran bercampur tisu basah, botol Aqua, dan sampah lainnya berserakan di sana. Toilet seperti itu juga bisa ditemui di Kali Mati. Seandainya pendaki bisa lebih paham bagaimana bertualang di alam bebas, kondisi seperti itu mungkin tidak terjadi di Semeru. Bukankah lebih baik pendaki menggali lubang beberapa sentimeter untuk membuang kotoran, lalu menimbunnya lagi. Sehingga kealamian dan kebersihan Semeru tetap terjaga, tidak seperti sekarang. Lalu, siapa yang harus disalahkan? *** Saat ini, seperti itulah kondisi Semeru, cinta pertama saya. Ia kini seperti perempuan yang ringkih, belepotan, dan bersedih. Kecantikan alaminya perlahan-lahan pudar. Kabut putih tak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi. Udara dingin tak mampu melindungi lekuk tubuhnya lagi. Semeru, wajahmu kini. (*) 25–29 Mei 2015
- Main Remi di Air Terjun Cuban Rais
COBAN Rais terletak di dusun Dresel, desa Oro oro Ombo, Batu. Coban Rais memiliki tinggi 20 Meter dan terletak di ketinggian sekitar 1025 meter dari permukaan laut di lereng Gunung Panderman. Dulunya, coban Rais terkenal dengan nama Coban Sabrangan karena harus menyebrangi 14 sungai saat harus mencapai air terjun ini. Perjalanan menuju ke Coban Rais begitu asri dengan suasana khas pegunungan yang masih dingin dan sejuk. Jarak dari bumi perkemahan sekitar 3,5 Km berjalan kaki. Suasannya sekitar air terjun masih sepi dan belum ada perumahan. Pada beberapa meter perjalanan, jalan yang di tempuh akan semakin menyempit dan menanjak, bahkan di beberap area berbatasan langsung dengan tebing yang curam. Untuk mereka yang suka tantangan diharapkan untuk tetap berhati-hati, karena setelah sampai ke puncak air terjun pengalaman berharga akan membayar semua peluh dalam perjalanan. (*)
- Ubek-Ubek Mojokerto: Candi Brahu, Budha Tidur, dan Pendopo Trowulan
CANDI Brahu merupakan salah satu candi yang terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan, bekas ibu kota Majapahit. Lokasi persisnya ada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, atau sekitar 2 kilometer utara jalan rayaMojokerto—Jombang. Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan berketinggian 20 meter. Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan. Menurut buku Bagus Arnawa, kata Brahu berasal dari kata Wanaru atau Warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci seperti disebutkan dalam prasasti Alasantan, yang ditemukan tak jauh dari Candi Brahu. Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Anehnya dalam penelitian, tak ada satu pakar pun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal ini diverifikasi setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995. Mengutip buku Mengenal Peninggalan Majapahit di Daerah Trowulan oleh IG Bagus Arnawa, diduga di sekitar candi ini banyak terdapat candi-candi kecil. Sisa-sisanya yang sebagian sudah runtuh masih ada, seperti Candi Muteran, Candi Gedung, Candi Tengah, dan Candi Gentong. Saat penggalian dilakukan di sekitar candi, banyak ditemukan benda benda kuno, semacam alat-alat upacara keagamaan dari logam, perhiasan dari emas, arca, dan lain-lainnya. Patung Budha Tidur di Mojokerto Patung Budha tidur ( sleeping Budha ) menjadi salah satu tujuan wisata religi di Bejijong – Mojokerto. Patung ini dibuat pada 31 Desember tahun 1989. Memasuki komplek Maha vihara ini hati merasa teduh dan damai. Pepohonan rindang dan suasana yang rapi pada komplek Maha vihara ini membuat para pengunjung betah. Saya mengagumi kesahajaan dan kesucian para pemimpin umat Budha yang ada saat ini. Umat Budha dikenal sangat toleransi dengan berbagai agama di dunia. Di Indonesia sendiri ada banyak bukti betapa peradapan budaya dari agama Budha ini sangat tinggi sebagaimana ditemukan pada relief candi Borobudur. Memasuki tempat di mana patung Budha tidur, suasana begitu tenang. Saya bertemu dengan beberapa wisatawan asing yang sedang berfoto dekat patung. Ada keinginan untuk segera mengabadikan patung Budha tidur ini. Kesulitan untuk mendapat posisi yang pas agar dapat memotret seluruh tubuh Budha tidur ini. Patung ini berbahan fiber dengan rangka besi. Panjangnya 22 meter, lebar 6 meter dan tinggi 4, 5meter. Merupakan patung Budha tidur terbesar ke tiga di Asia setelah Bangkok, dan terakhir patung Budha tidur yang di Bandung ( Sumber Media Indonesia.com/2011) . Pemeliharaan patung ini dilakukan oleh para Bhiksu dan Bhiksuni. Saat pengambilan gambar dengan kamera saku beberapa kali gambar terpotong bagian kaki dan ujung kepala. Seharusnya waktu itu saya menggunakan fitur panorama untuk memotret. Untunglah dengan segenap usaha akhirnya berhasil mendapat gambar utuh ini. Mengapa posisi patung Budha ini tidur? Ternyata dari beberapa sumber disebutkan posisi tidur ini menggambarkan posisi Budha saat parinibanna. Dimana Sang Budha digambarkan seperti sang penguasa hutan yakni singa yang sedang tidur. Budha adalah penguasa segala mahkluk di bumi.Kemudian ada pula yang menyebutkan posisi ini adalah posisi meditasi sang Budha. Sumber lain menyebutkan posisi Budha tidur ini menggambarkan wafatnya sang Budha Gautama, dan kolam teratai berada di sekitar patung ini menggambarkan laut dimana abu sang Budha Gautama larung. Di sini adalah salah satu tempat beribadah umat Budha dalam lokasi patung Budha tidur. Agama Budha merupakan salah satu agama tertua di dunia. Pendopo Agung Pendopo Agung Mojokerto adalah sebuah bangunan khusus khas nuansa Mojopahit dan sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan kesenian, studi tour, lomba, tempat pertemuan dengan suasana yang teduh dan nyaman juga sebagai tempat untuk istirahat/rekreasi. Lokasinya berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Tempat tersebut diyakini sebagai pusat kerajaan Majapahit. Bagian bangunan asli yang masih tersisa dari Pendopo Agung hanya 26 buah umpak (batu penyangga tiang) saja, sedangkan bangunan Pendopo Agung yang sekarang berdiri merupakan bangunan baru. Di pendopo ini pula, diyakini Mahapatih Gajah Mada dahulu mengikrarkan Sumpah Palapa (Palapa kemudian dipakai sebagai nama satelit komunikasi pertama yang ‘menyatukan’ komunikasi di seluruh Indonesia). Di depan Pendopo Agung, di sebelah kiri, terdapat patung sang Mahapatih, dan di depan pendopo terdapat patung Raden Wijaya. (*)
- Mlipir Tipis-Tipis ke Air Terjun Coban Talun
DI Kota Wisata Batu sumber air sangat melimpah, ratusan sumber air tersebar di cekungan-cekungan lembah. Sumber air alami yang mengalir di pegunungan menjadi sungai yang bersih dan berkilauan. Salah satunya adalah air terjun Coban Talun yang terletak di desa Tulungrejo, kecamatan Bumiaji, Kota Wisata Batu. Air terjun ini akan lebih eksotis jika dilihat pada jarak yang cukup dekat dengan lokasi jatuhnya air dengan ketinggian sekitar 75 meter tersebut. Gemuruh suara benturan air dengan batu cadas di bawahnya menambah sensasi semburan air terjun yang terasa seakan mengguyur sekujur tubuh. Pemandangan di sekitar lokasi air terjun akan bertambah elok karena selain bisa menikmati gemuruh deburan air terjun, anda juga bisa menyaksikan banyak pelangi. Pemandangan pelangi aneka warna itu akan bisa disaksikan di setiap sudut lokasi air terjun. Untuk mencapai kawasan ini memang tidak mudah. Selain dituntut kehati-hatian, juga diperlukan tenaga ekstra. Pengunjung harus melewati aliran sungai dan menembus perbukitan yang tajam dan berkelok. Jalan setapak menuju lokasi amat sempit, licin dan curam. Sementara, di kiri kanan jalan setapak sepanjang 2km itu dikelilingi jurang. Namun begitu anda tiba di lokasi air terjun, rasa lelah akan segera berganti dengan rasa lega, senang, dan kagum akan keindahan pemandangan alam Coban Talun. (www.kotawisatabatu.com)
- Mencoba Mitos Beringin Kembar di Yogyakarta
BERLIBUR ke Yogyakarta, biasanya tempat wisata yang banyak dituju para pelancong adalah kawasan Malioboro. Tetapi pernahkah Anda menikmati suasana malam di alun-alun Yogyakarta? Keraton Yogyakarta memiliki dua alun-alun, masyarakat setempat mengenalnya sebagai Alun-alun Lor, terletak di halaman depan Keraton dan Alun-alun Kidul yang berada di sebelah selatan Keraton. Setiap malam minggu, kedua alun-alun ini biasanya ramai dikunjungi, baik warga setempat maupun wisatawan. Alun-alun Kidul biasanya lebih ramai pengunjung dibanding Alun-alun Lor. Barangkali karena di lapangan ini terdapat dua pohon beringin kembar yang telah lama menyimpan mitos. Sekilas memang tidak ada yang istimewa dari kedua pohon raksasa tersebut. Tetapi mitos yang telah lama berkembang di masyarakat Jogja inilah yang membuat penasaran banyak orang. Konon, jika seseorang berhasil melewati celah dari kedua pohon itu dengan mata tertutup, semua permintaannya akan terkabul. Bahkan jika sepasang kekasih berhasil melewati celah ini bersama-sama dengan mata tertutup, maka hubungannya pun akan langgeng. Beberapa orang berhasil melewati celah di antara kedua pohon ini pada kesempatan pertama, tetapi lebih banyak yang memerlukan usaha berkali-kali sebelum akhirnya bisa melewati celah kedua pohon beringin ini. Oleh masyarakat sekitar, permainan melewati celah beringin ini dinamakan “Masangin” (masuk di antara dua pohon beringin). Tidak sedikit mereka yang mencoba Masangin, justru berjalan menjauhi beringin, berputar arah, atau bahkan menabrak beton yang memagari beringin. Padahal celah di antara dua pohon beringin tersebut sangat lebar. Inilah yang membuat wisatawan semakin penasaran mencobanya, terlebih pada saat malam hari. Masyarakat mempercayai, bermain Masangin di waktu malam lebih menantang karena suasana atmosfer di bawah pohon beringin ini yang berbeda. Menurut cerita masyarakat setempat, dahulu kala pada masa kerajaan Sultan Hamengkubuwono I ada seorang putri yang cantik rupawan. Kecantikannya begitu terkenal, banyak pemuda yang jatuh hati dan ingin melamarnya. Namun tidaklah mudah untuk menaklukkan hati sang putri, ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu pemuda yang melamarnya harus dapat melewati celah pohon beringin kembar dengan mata tertutup. Konon, menurut Sultan orang yang dapat melewati celah beringin tersebut adalah seseorang yang mempunyai hati bersih dan tulus. Banyak yang mencoba, tetapi tidak ada yang berhasil, kecuali anak Prabu Siliwangi yang akhirnya menjadi suami sang putri. Selain itu, tempat ini pernah dijadikan sebagai pertahanan gaib untuk mengecoh pasukan Belanda yang ingin menyerang keraton agar mereka kehilangan arah. Kini, permainan Masangin ini dimanfaatkan sejumlah warga untuk menawarkan jasa sewa penutup mata. Jika tidak membawa kain sebagai penutup, pengunjung bisa menyewanya dengan membayar Rp 4.000. Percaya atau tidak, namun mitos tersebut layaknya usaha memperjuangkan cita-cita yang tak selalu berjalan mulus. Saat senja hingga tengah malam, di alun-alun ini juga diramaikan sepeda dan odong-odong hias. Kendaraan modifikasi dengan beraneka bentuk dan dihiasi lampu-lampu kecil berwarna-warni ini menjadi daya tarik tersendiri. Lelah bermain masangin, warga dapat bersantai mengayuh sepeda atau odong-odong mengelilingi alun-alun ini. (*)
- Menghirup Sejuknya Kawasan Wisata Baturaden, Jawa Tengah
KABUPATEN Banyumas punya objek wisata alam yang tak kalah indah dengan dataran tinggi Dieng. Namanya Baturaden, yang terletak persis di kaki Gunung Slamet. Udaranya sejuk, dan lanskapnya menawan. Angin sejuk langsung membelai kulit begitu tiba di Kawasan Wisata Baturaden, Jawa Tengah. Bukalah jendela mobil untuk menghirup udara segar, dan merekam indahnya lanskap hijau tanpa batas. Hanya 14 km dari Kota Purwokerto, kawasan ini berada di ketinggian 650 mdpl, persis di lereng Gunung Slamet. Udaranya cukup sejuk, dengan suhu 18-25 derajat Celcius. Panorama alam adalah suguhan utama di Baturaden. Hutan pinus seluas 200 hektar terbentang indah. Air terjun bersuara ganas, mengalir ke sungai yang meliuk cantik di lerengnya. Pemandian air panas alami tersedia untuk mengobati berbagai macam penyakit. Air Terjun Pancuran Tujuh adalah salah satu objek wisata favorit. Setelah itu, aliran airnya terpecah menjadi Pancuran Pitu kemudian pecah lagi menjadi Pancuran Telu. Deretan air terjun ini bisa Anda datangi dengan jarak 2,5 kilometer dari yang pertama sampai terakhir. Uniknya, ketiga air terjun ini berair hangat karena mengandung unsur belerang. Hutan pinus dan lanskap perbukitan menjadikan Baturaden lokasi cocok untuk trekking. Anda bisa ikut tur melintasi lanskap indah, serta melewati desa-desa setempat dengan penduduk yang ramah. Wisata satu ini adalah kegemaran para turis asal Eropa. Lokawisata Baturaden tersedia untuk rekreasi keluarga. Ini adalah taman rekreasi yang dilengkapi kolam renang, lengkap dengan beragam wahana. Di dalamnya ada pula taman bermain dengan komidi putar klasik. Anda bisa menghabiskan waktu dengan piknik di hamparan rumput nan hijau, serta bermain ditemani sejuknya angin. Untuk akomodasi, Baturaden punya lebih dari 70 hotel yang bisa dipilih sesuka hati. Ingin lebih dekat dengan alam? Tersedia Bumi Perkemahan Kaloka Widya Mandala yang pas untuk kemping dengan keluarga. Berkunjung Gratis Beruntung bagi saya bisa bisa mengunjungi wisata ini tanpa bayar alias gratis. Kunjungan wisata ini merupakan bagian dari acara Launching Kumpulan Cerpen “Lelaki yang Dibeli” tanggal 2-3 Mei 2011. Kumpulan cerpen ini merupakan hasil seleksi lomba cipta cerpen yang diselenggarakan oleh STAIN Purwokerto setahun sekali. (*)
- Melihat Tradisi Grebeg Maulud Jogjakarta
SEKATEN atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammads.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam. Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton. Grebeg Muludan Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka. Tumplak Wajik Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16:00 sore. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan , lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya. (*) Jogjakarta
- Pantai Slopeng, Si Cantik dari Madura
TIDAK hanya terkenal dengan sate, Madura juga memiliki alam yang indah. Pantai Slopeng merupakan objek wisata yang cantik di pulau ini. Pasirnya yang putih dan laut yang tenang, dapat mengisi akhir pekan Anda kali ini. Pantai ini terletak di bagian utara Pulau Madura dan berjarak 21 km dari Kota Sumenep. Selain pasirnya yang putih, pantai ini tidak terlalu ramai oleh pengunjung. Sehingga memiliki suasana yang tenang dan cocok untuk berakhir pekan. Pantai Slopeng memiliki hamparan pasir yang membentang sepanjang 6 km. Pasir-pasir putih tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk bersantai di tepian pantai. Uniknya, tidak hanya hamparan pasir putih, tetapi pasir putih di pantainya menggunung. Anda bisa bermain pasir sepuasnya di sini. Suasana tenang dan nyaman akan Anda dapatkan. Dengan lambaian pohon-pohon kelapa, nuansa pantai yang khas sangat terasa. Puas bersantai, saatnya bermain air. Air laut di Pantai Slopeng berwarna jernih dan bersih. Arus lautnya pun cukup tenang, jadi tak perlu takut diterpa arus yang kuat. Anda dapat menikmati lautan yang biru dengan pemandangan langit yang luas. Dengan tenangnya suasana, Anda akan betah berlama-lama menikmati pantainya. Pesona Pantai Slopeng akan bertambah saat senja tiba. Ada sunset yang berwarna keemasan menyinari hamparan pasir putihnya. Bayangan Anda akan terlihat jelas saat berdiri di pantainya dengan disinari cahaya sang senja yang tenggelam. Pemandangan ini harus diabadikan dalam kamera. Jika lapar, ada beberapa penjaja makanan di pinggir pantainya. Anda bisa memesan soto, sate, hingga air kelapa untuk mengobati rasa lapar. Ingat, jagalah selalu kebersihan di pantai ini. Akhir pekan kali ini, cobalah untuk mengunjungi Pantai Slopeng. Suasana yang tenang dibalut pantai cantik nan menawan, akan membuat liburan Anda menyenangkan. (*)
- Mengenang Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949
MONUMEN Serangan Umum 1 Maret berada di area sekitar Benteng Vredeburg yaitu tepat di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta. Monumen ini dibangun untuk memperingati serangan tentara Indonesia terhadap Belanda pada tanggal 1 Maret 1949. Ketika itu Negara Indonesia telah dianggap lumpuh dan tidak ada oleh Belanda. Untuk membuktikan bahwa Negara Indonesia masih ada maka dilakukan serangan besar-besaran. Serangan ini dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III. Dalam peperangan itu kota Yogyakarta saat itu berhasil diduduki oleh TNI selama 6 jam sampai dengan pukul 12.00, sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan berhasilnya Serangan Umum 1 Maret ini maka moril TNI semakin meningkat dan mampu mematahkan propaganda yang dilakukan Belanda. Saat ini Monumen Serangan Umum 1 Maret ini merupakan salah satu landmark dan cagar budaya provinsi DIY sebagai bangunan yang mengingatkan tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada masa lalu. Pada saat-saat tertentu terutama pada waktu hari besar Nasional misalnya hari Kemerdekaan atau hari Pahlawan, monumen ini sering digunakan sebagai tempat acara untuk memperingati hari besar tersebut. (*)
- Sepenggal Cerita yang Tertinggal di Pantai Delegan
JARAK lokasi Pantai Delegan sekitar 75 menit ke utara dari pusat kota Gresik, tepatnya berada di desa Delegan. Pantai Delegan yang terkadang disebut pasir putih oleh warga sekitar, merupakan satu-satunya tempat wisata kota Gresik yang telah lama ada dan konon ramai dikunjungi warga. Namun, setelah di lihat lebih detail lagi, ternyata sebagian besar yang mengunjunginya hanyalah warga sekitar Delegan dan beberapa orang dari pusat kota Gresik, dan sedikit orang dari kota tetangga. Seperti kota Surabaya atau Lamongan. Malah orang Surabaya dan Lamongan sendiri banyak yang kurang tahu tentang keberadaan tempat wisata ini. Memang Walikota Gresik tidak terlalu fokus untuk mempercantik pantai ini. Beberapa alasannya adalah jauhnya lokasi dari pusat kota. Namun sebenarnya hal itu bukan masalah yang jadi penghambat untuk pelestarian daerah ini. Karena jalan ke pantai Delegan ini searah dengan jalan ke Lamongan apabila dariSurabayadengan motor atau tanpa melalui jalan tol. Selain itu, warga sekitar juga kurang perhatian dalam mempercantik dan mempromosikan wisata cantik ini. Berkali-kali saya mengunjungi daerah ini, kecantikannya tak kalah dengan pantai-pantai terkenal diIndonesia, khususnya Jawa. Bila saya bandingkan dengan pantai pasir putih di selatan Jawa, atau pantai Ancol, pantai Delegan juga memiliki keindahan yang tak jauh beda. Hanya saja pantai Delegan lebih kecil, tak terorganisir dengan baik, sedikit turis, dan jauh dari pusat kota. Bu Sum misalnya. Pedagang Simping (hewan laut yang bercangkang putih bulat, sejenis kerang namun lebih lebar dan tipis) yang berdagang di dekat wisata pantai Delegan ini hampir tiap harinya hanya melayani warga-warga sekitar, dan jarang sekali mendapati pelanggan yang berasal dari luarkota. Bu Sum juga berkata bahwa rata-rata pengunjung wisata ini ada yang memang sengaja ingin mengunjungi dan beberapa diantaranya hanya singgah setelah rekreasi di goa Maharani, atau Wisata Bahari Lamongan. Sangat disayangkan apabila satu-satunya permata kota Gresik dijadikan cadangan atau alternatif dari rekreasi ke tempat-tempat wisata di daerah kota Lamongan. Padahal lahan yang tersedia cukup luas, potensi yang ada cukup tinggi, dan apabila dikelola dengan baik, kemungkinan untuk mendapatkan profit kota sangatlah tinggi pula. Namun yang lebih disayangkan lagi, beberapa remaja sekitar berkunjung ke wisata ini untuk berkencan dan melakukan hal-hal yang tidak umum di depan umum. Dimana hal tersebut seharusnya dihindari apabila menginginkan wisata pantai Delegan ini dikunjungi banyak orang dan ternama minimal di daerah Jawa Timur. (Sumber berita: berita.univpancasila.ac.id)
- Di Puncak Bogor Enaknya Ngopi
PUNCAK Bogor memang sudah dikenal luas di kalangan pecinta alam, pecinta kuliner, pecinta keindahan, pecinta jalan-jalan, dan juga pecinta seks. Bahkan, baru-baru ini Puncak dihebohkan oleh tersebarnya video porno. Tetapi, seks tak perlu dibicarakan panjang lebar, cukup lakukan! Kesampingkan dulu citra Puncak yang lekat dengan “villa” dan “mesum”. Tempat yang berlokasi di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur ini menjadi tempat pas untuk menyegarkan pikiran, terutama bagi orang-orang yang bosan dengan ingar-bingar kehidupan Jakarta. Udara dingin pegunungan dan kabut yang perlahan naik menyambut sore. Meskipun di lokasi ini banyak tempat wisata, sebut saja Perkebunan Teh Gunung Mas, Gantole (Paralayang), atau Taman Safari, saya hanya ingin singgah di kios kecil di pinggir kelokan dan memesan kopi hitam. Kios sederhana dengan harga kopi murah, tetapi berhadapan dengan pemandangan mewah. Ya, keindahan memang sesederhana itu. Kepenatan kota metropolitan lenyap seketika diganti dengan keeksotisan pemandangan hamparan kebun teh dan tanaman hijau lainnya. Panasnya kota diganti dengan kesejukan udara pegunungan. Polusi asap kenalpot metromini atau kopaja diganti dengan kabut tipis. Ya begitulah, setiap yang pergi pasti akan datang pengganti. Kopi pesanan telah datang; hitam, satu cangkir, dan panas. Sementara di hadapan sana, warna-warni atap-atap rumah warga, kendaraan yang meliuk-liuk kecil di kejauhan mengikuti rute jalan, hijau tetumbuhan, dan beberapa orang yang bermain paralayang menjadi kesederhanaan dengan cita rasa istimewa. Untuk menikmati ini saya harus menunggu lama. Entah tahun berapa, saat pertama kali saya ingin mengunjungi tempat ini. Yang jelas saat itu saya masih kuliah. Saat itu Puncak menjadi salah satu lokasi yang ingin aku datangi. Dan, setelah bertahun-tahun, akhirnya aku bisa ada di sini. Selamat ngopi, keindahan! (*) Puncak, Bogor
- Pagi-Pagi Nyasar ke Curug Cibeureum, Jawa Barat
SEBAGAIMANA pekerja sumpek lain yang pengen healing, kami pun begitu. Setelah menyelesaikan deadline , kami nongkrong di warmindo langganan di depan kantor, di seberang jalan, di Kebayoran Lama, seperti biasa. Ngobrol ngalor-ngidul, terceletuklah ajakan untuk melipir ke Puncak Bogor. Cari kesejukan. Hari itu sudah lewat tengah malam. Tujuan kami sederhana: ngopi saja di Cibodas. Di kaki Gunung Gede-Pangrango. Kami berenam dengan tiga sepeda motor membelah malam meninggalkan Jakarta yang mulai terkantuk menuju Cibodas. Belum tidur pun tak apa. Kami tiba di warung dekat loket pendakian Gunung Gede-Pangrango setelah perjalanan hampir tiga jam. Lelah dan rasa kantuk seketika tumpas setelah lambung saya dihajar dengan mie goreng dan kopi hitam. Kami asyik ngobrol dan bercengkrama hingga menjelang pagi. Lalu, muncul celetukan lagi: Naik ke Curug Cibeureum seru nih. Semua semangat menyambut. Jadilah kami menunggu pagi untuk menunggu loket buka. Tanpa tidur. Air Terjun Cibereum atau dalam bahasa sunda disebut Curug Cibeureum masih termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Curug ini berada di jalur pendakian via Cibodas. Lokasinya di bawah pos 1. Curug ini berada di ketinggian sekitar 1.700 mdpl. Curug Cibeureum berjarak sekitar 2,8 km atau satu jam dengan berjalan kaki dari gerbang masuk Taman Nasional. Kalau jalan santai tentu akan lebih lama lagi. Ini pengalaman pertama saya jalan-jalan ke Bogor sejak pindah ke Jakarta. Saat jiwa-jiwa random masih tertanam. Kemana aja ayuk asal gak mahal dan gak terlalu jauh. Gaskeun. (*)
- Pameran Seni Rupa ”Ya Bagus.” Tino Sidin di Jogjakarta
TAK dimungkiri bahwa Tino Sidin selama hidupnya telah terbayangkan oleh banyak orang sebagai guru gambar. Pembawaannya yang kebapakan dan gaya bicaranya yang santun memberi kesan akan hal itu. Wajahnya yang teduh dan ucapan-ucapannya yang sederhana mengingatkan bahwa ia rendah hati. Wajar bila kemudian orang banyak yang menyukainya. Sikap kebapakan dan keguruannya jelas membantu dalam melakukan pendekatan pada anak didik maupun anak-anak yang menonton acara-acaranya. Identitas personal semacam ini menjembatani dirinya untuk selalu dekat dengan anak-anak dan dunianya. Dekat, seperti halnya sepasang manusia yang membutuhkan. Kerendah-hatiannya menjadi instrumen bagi anak-anak untuk memasuki dunia seni lukis, dunia yang mungkin bagi sebagian dari mereka adalah khasanah yang rumit. Dunia seni lukis seolah-olah begitu mudah bagi mereka, karena cara-caranya. Lukisan atau gambar, bagi anak-anak, akhirnya menjadi sarang pemikiran yang tak berhenti hanya sebatas teknik, akan tetapi juga berisi pengalaman sosial yang tak mampu toreh dengan tinta berbentuk tulisan. Tino Sidin sampai kini tidak dinilai eksis sebagai pelukis, meskipun karya seni lukisnya ratusan jumlahnya. Hal ini mencuat karena berbagai aktivitasnya yang keruh akan kegiatan mendidik anak-anak melalui gambar dan buku. Padahal meskipun disebut pendidik atau guru, ia tak punya di sebuah sekolah formal, dan tidak memiliki gelar akademik yang linier. Aktivitas lebih pada sekolah seni non-formal. Banyaknya pertemuan antara dirinya dengan jutaan anak, baik dilakukan secara langsung (melalui kursus melukis yang dikelola atau sebagai guru tamu dan juri lomba-lomba lukis) maupun melalui televisi, membuat namanya disaksikan sebagai pengajar nggambar . Ia tidak punya sekolah, tetapi muridnya “jutaan”. Sampai-sampai kebiasaannya yang diucapkan, “Ya…Baguus!!!” menjadi penanda ketika mengingat namanya. Terkadang dilanjutkan dengan kata-kata, “Jangan takut-takut!” atau “Ya.. besok ngirim lagi ya!” menjadi undangan agar anak-anak menggambar lagi tanpa bosan. Ia dicintai anak-anak, karena baginya tidak ada gambar (anak-anak) yang jelek. Semua bagus. Inilah yang ditunggu setiap pukul 4 sore di TVRI pada dasawarsa 1970-1980an. Saya sendiri sebagai penonton yang kala itu masih duduk di SD (di Jember, Jawa Timur) merasakan bahwa sore hari itu–sehabis mandi–menjadi lebih riang dengan “datangnya” Pak Tino. Puluhan komik dan buku menggambar untuk anak-anak yang dihasilkan semakin membuat dirinya juga ternama dalam dunia perbukuan. Buku yang dihasilkan seperti Gembar Menggambar Bersama Pak Tino Sidin (Kanisius, 1975) dan Ayo Menggambar (Balai Pustaka) adalah “kitab suci” bagi para anak didiknya. Tentu saja buku ini ludes terjual dalam beberapa waktu saja. Buku enam jilid ini menjadi salah satu buku paling efektif dalam pola pengajaran menggambar untuk anak-anak. Belum lagi buku aplikasinya berupa buku cerita alias komik. Setidaknya Tino Sidin telah menghasilkan komik dewasa bertajuk Harimau Gadungan dan Kalau Ibuku Pilih Menantu . Komik anak-anak juga dihasilkan seperti Anjing , Bandung Lautan Api , Bawang Putih Bawang Merah , Ibu Pertiwi , Serial Pak Kumis , dan sebagainya. Di samping komik, juga ada buku cerita mewarna bertajuk Membaca, Mewarnai, Merakit . Banyaknya buku yang dihasilkan inilah membuat Tino kehabisan waktunya untuk mengingat dirinya sebagai seorang seniman. Sesungguhnya dari manakah kemampuan Tino Sidin dalam bidang menggambar atau melukis di dapatkan? Tebingtinggi – Yogyakarta Tino adalah anak kelahiran Tebingtinggi, sebuah kampung yang terletak di pantai timur Sumatera Utara. Tino yang lahir 1925 tentu saja tidak mungkin untuk membentuk dirinya sendiri di kampungnya yang jauh dari sekolah seni maupun komunitas seni. Oleh karena itu, ia lalu melakukan migrasi ke Jawa pada di tahun 1946 bersama rekannya, yakni Daoed Joesoef (mantan menteri pendidikan era Orde Baru) dan Nasjah Jamin (sastrawan dan pelukis). Perjalanannya ke Jawa berakhir di Yogyakarta. Pada saat revolusi tersebut, mereka menjadi bagian dalam berbagai aktivitas kesenian di Yogyakarta. Ia berteman dengan seluruh pelukis yang berdatangan ke Yogyakarta, mulai dari Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Sudarso, dan lain-lain. Selama masa tersebut ia banyak belajar mengasah bakat seninya. Bakat artistik dan estetiknya ini turut ditopang dengan masuk di perguruan Tamansiswa. Di Yogyakarta ia tinggal bersama seorang pejuang kemerdekaan dan pamong Tamansiswa, Bapak Ki Darmosugito. Di masa ini ia turut bergabung dengan Kementerian Pembangunan Pemuda dan Kesenian di Yogyakarta, bagian Poster. Ketika Agresi Militer terjadi di Yogyakarta, ia turut serta maju ke medan perang, salah satunya turut mendokumentasi dengan membuat sketsa perjuangan. Sesudah Belanda menguasai Yogya untuk beberapa saat, Tino bergerilya dan menjadi bagian dalam kesatuan Divisi Siliwangi, menyusup hingga ke daerah Jawa Barat. Baru pada tahun 1960, Tino mendaftar dan menjadi mahasiswa ASRI Yogyakarta. Ia mengakhiri pendidikannya pada tahun 1963. Pertemanannya dengan Presiden Sukarno juga menjadi salah satu hal yang penting diutarakan. Keduanya senang melukis, Sukarno sendiri senang mengoleksi lukisan. Pertemanan ini membantu mereka dalam perjuangan memajukan bangsa. Mereka tidak saja berteman karena lukisan, tetapi juga tujuan lain. Dalam kisah hubungan ini mereka saling bahu-membahu, salah satunya adalah ketika Tino Sidin diminta sebagai ahli kebatinan bagi Sukarno. Tino Sidin, bersama ahli kebatinan lain dalam hal ini membantu secara sukarela untuk melindungi dan membentengi diri Sukarno, ketika isu politik “Ganyang Malaysia” tahun 1964 memanas. Hubungan mereka juga termanifestasikan pada sebuah karya yang diberikan oleh Tino Sidin. Karya bertajuk Penggembala Kambing (lebih kurang bertarikh 1964-66) menjadi koleksi Presiden Sukarno. Meskipun karya ini tidak termasuk dalam buku koleksi Presiden Sukarno, namun karya ini kini menjadi bagian di Istana Cipanas. Pada pojok kanan atas lukisan tersebut terdapat teks yang ditera oleh Tino lebih kurang sebagai berikut: “Kepada yang kami cintai Presiden Sukarno”. Kini, melalui peran salah satu putrinya, Titik Sidin, Tino hendak ditampilkan sebagai sosok seorang yang aktif berkarya. Pameran ini jelas dilatari oleh keinginan untuk mengartikulasi peran, eksistensi dan sejauh mana ekspresi estetik Tino Sidin sebagai manusia yang terus-menerus mengeksplorasi keindahan melalui karya seni dua dimensional. Lukisan dan sketsa, tentu menjadi sarana utama dan paling esensial guna melihat sosok Tino Sidin sesungguhnya. Apakah kesederhanaan dan kerendah-hatian Tino juga menjadi tampak dalam sketsa-sketsa maupun lukisan-lukisannya? Sketsa: Lurus-Lengkung & Bersahaja Sketsa-sketsa Tino terdiri sekumpulan garis yang berukuran konstan. Garis-garis yang membentuknya ritmis, spontan, dan berpola teratur. Pada hampir semua sketsa hitam putih misalnya, garis yang dibuatnya satu ukuran dan diulang-ulang. Ungkapan saya berupa kata “diulang-ulang” bukan menunjukkan kesalahan dan menunjukkan minimnya teknik yang dimiliki, namun lebih karena pilihan teknik yang dilakukan Tino. Dengan modal garis yang sama dan dilahirkan dari satu macam alat tulis (pen, spidol, pensil), ia mampu melahirkan karakter benda. Garis itu bisa membentuk objek ( outline ), bisa pula mengisi “tubuh” objek (arsir). Objek seperti manusia, binatang, tumbuhan, laut, gunung, langit, hanya dikerjakan dengan goresan atau garis yang utuh dan satu jalur (meskipun sesekali sambung-menyambung). Adapun peran arsir adalah untuk mengisi ruang dan membentuk volume dan karakter benda. Kedua fungsi garis yang ada pada sketsa-sketsa ( outline dan arsir) Tino rupanya mampu mengejawantah apapun yang hendak digambarkan, sehingga tampak mudah dikerjakan. Selain Tino, kemampuan ini juga dimiliki oleh para pelukis lain seperti Ipe Ma’roef, Henk Ngantung, Fadjar Sidik, Widayat, Nyoman Gunarsa yang juga merupakan pelukis-pelukis ternama Indonesia. Kemampuan garis yang dilahirkan untuk membentuk objek maupun arsir dapat dilacak dari konsep berkaryanya. Menurutnya, pada Gemar Menggambar , ia menulis bahwa apapun yang hendak digambar, kuncinya hanya terdiri dari dua garis: garis lurus dan garis lengkung . Dengan kunci ini, siapa pun diyakininya akan mampu berkarya seni lukis. Ia tidak percaya pada bakat. “Sepengalaman saya membimbing anak-anak menggambar, tampaknya tidak ada satu anak pun yang tidak dapat menggambar,” ungkapnya. Kepercayaannya pada garis lurus dan lengkung sebanding dengan kepercayaannya pada menggambar dan menulis. Menggambar dan menulis ibarat sekeping mata uang. Recto-verso , kata orang Latin. Jika seseorang tidak bisa menulis, maka kemungkinannya tidak bisa menggambar. Jika bisa menggambar, kemungkinan ia bisa menulis. Begitu pula sebaliknya. Semua terjadi, karena pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan menorehkan garis lurus dan lengkung. Sketsa-sketsanya berangkat dari dasar-dasar semacam itu. Tema-tema sketsanya lebih variatif dibanding lukisan-lukisannya. Tema-tema sketsa yang dibuat antara lain: lanskap, kehidupan sehari-hari, potret figur, objek/benda mati dan benda hidup, dan kegiatan khusus. Lanskap yang pernah dikerjakan antara lain berupa pemandangan gunung/bukit (Kaliurang, Gunung Bentar Probolinggo, Borobudur), suasana kota (Wonosari, Alun-alun Kraton Yogyakarta, Bali, Jepang, Singapura, dan kota-kota lainnya), dan pantai (Parangtritis, Kukup-Baron Wonosari, Kamal Madura, Balikpapan, Palembang, Dermaga Surabaya, dan sebagainya). Tema kehidupan sehari-hari adalah sketsa yang menggambarkan aktivitas hidup sehari-hari seperti Polisi di Sidney (1984), Doa masuk Sendang Kasihan (1991), Melihat Orang Melukis (1977), Membaca Buku (tt), Pasar di Bangkalan (1976), Karapan Sapi (1976), Cuci Mobil (tt), dan sebagainya. Tema figur lebih pada potret satu maupun sekumpulan manusia yang direkam seperti Suharto di TVRI (tt), Tiga Saudara (1968), Kepala-Kepala Harapan (1990), Empat Kepala Main-Main (1968), Penambang Timah (1981), Tiga Gerakan (1977), Penjual Es Ketanggungan (tt), Kelompok Belajar (1990), Model di Ancol (1988), dan sebagainya. Adapun tema alam benda ( stillife ) yang dikerjakan seperti perahu dan bangunan ( Pintu Gerbang Gedung Agung ) banyak dikerjakan. Adapun tema binatang yang dikerjakan adalah Kepala Kuda (tt), Monyet (1985), dan Burung-burung Dara (1990). Tema kegiatan khusus diantaranya adalah kegiatan yang pernah diikutinya seperti pelantikan pengurus pramuka di Kaliurang, rekaman di TVRI ( Rekaman Ujang Kelompok PIA , 1970), dan beberapa lainnya. Ditinjau dari tema yang pernah dikerjakan, dapat diketahui bahwa fungsi sketsa bagi Tino adalah untuk melakukan pendokumentasian momentum, ruang dan waktu. Baginya perjalanan (baca: liburan dan berkeliling daerah) adalah “kerja” seni. Setiap saat ketika mengunjungi berbagai tempat dan aktivitas, ia berbekal garis lengkung dan lurusnya. Sketsa dengan demikian adalah sebentuk pilihan estetik atas berbagai hal yang ada dan terjadi di lapangan. Baginya, kebiasaan dan kehidupan sehari-hari misalnya, adalah hal yang indah, sehingga ia harus melakukan kerja sket. Ratusan sketsa telah dibuatnya selama hidup. Pergulatannya dalam melakukan kerja sketsa dilanjutkan pada bidang lain, diantaranya lukisan untuk ego dan idealisme individunya. Adapun manifestasi yang lain yakni pada komik serta buku belajar menggambar untuk anak-anak dan orang di luar dirinya. Lukisan: Fantasi, Rasa & Misteri Hidup Lukisan-lukisan Tino bagi saya adalah sebentuk pengejawantahan vitalitas hidupnya. Jelas sekali bedanya dengan fungsi sketsa-sketsanya. Beberapa hal membuktikannya: warna yang meriah, garis yang energik, dan komposisi yang akademistik. Jika dirasakan lebih lanjut, tema-temanya secara visual adalah kehangatan di bawah naungan alam tropis yang tengah semarak. Warna pada lukisan-lukisan Tino merupakan manifestasi dari alam yang disinari oleh matahari. Tidak ada satu pun lukisan yang dibuat atau menggambarkan kehidupan pada malam hari. Setiap objek atau subjek dilukiskan dengan warna yang dekat dengan realitas, tidak pekat dengan gelap. Tubuh manusia, binantang, tumbuhan, objek pendukung dilapis dengan warna mendekati aslinya. Rata-rata dalam setiap lukisan, ia mengolah warna secara harmonis. Harmonisasi ini diwujudkan dalam suasana yang riang. Pada satu lukisan ia menggunakan dimensi “warna panas/hangat” (berupa warna kuning, orange, merah) untuk menggambarkan aktivitas manusia yang sedang melakukan pertunjukan yang dinamis atau anak-anak yang tengah lepas bermain-main. Dimensi “warna hangat” ini juga dipakai untuk melukiskan suasana laut lepas yang panas maupun hamparan bukit yang luas ( Pulang dari Ladang , 1992). Di sisi lain, ia menggunakan dimensi “warna dingin” (warna hijau, biru, ungu) untuk menggambarkan fantasinya tentang kelembutan figur yang diam memangku boneka. Suasana yang sayub diantara rindangnya pepohonan dimanifestasikan pula dengan harmoni “warna dingin”. Di samping itu “warna dingin” ditampilkan pada lukisan kehidupan hutan yang terasa dingin dan angker ( Naik Becak , 1992). Jelas sekali bahwa ia menerapkan warna-warna pada lukisan untuk menggambarkan rasa (perasaan) ketika mengalami sesuatu. Dengan konsep semacam ini, Tino tidak atau bukan tengah melukis tentang sesuatu. Ia tidak sedang menjawab pertanyaan “Tengah melukis apa?” akan tetapi lebih menjawab pertanyaan “Tengah mengalami apa saat melukis?”. Oleh sebab itu, melalui warna, jelas terjabarkan bahwa Tino sedang mencatat perasaan dan suasana hati, daripada realitas yang tengah dihadapi. Anak-anak yang tengah bermain adalah objek yang mengalami rekonstruksi fungsi pikiran Tino. Ia tidak saja sebentuk objek tubuh-tubuh kecil yang mempresentasikan sikap kanak-kanak, akan tetapi untuk menandai sebuah sikap akan hadirnya keriangan suasana. Itulah sebabnya lukisan-lukisan Tino harus dihadirkan sebagai “lukisan dengan fantasi penuh rasa” dari egonya sebagai manusia. Secara umum dan secara visual, tema-tema yang dihadirkan oleh Tino dalam lukisan-lukisannya adalah kehidupan sehari-hari. Dalam klasifikasi tema ini sering pula disebut dengan Lukisan Genre ( Genre Painting ). Tema ini menyerap hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Tino sendiri mengambil tema khusus yakni kehidupan sehari-hari di desa (kampung hutan dan kampung nelayan), tidak atau bukan kehidupan di kota (seperti rumahnya di Yogyakarta). Tema-tema lukisan-lukisannya jelas lebih homogen dibandingkan dengan tema-tema pada sketsa-sketsanya yang heterogen. Pada lukisan, Tino hanya mengambil hal-hal pokok seperti pemandangan desa dan aktivitas hidup orang desa sebagai subjek kajiannya. Bisa jadi, pilihan topik lukisan-lukisannya merupakan fantasi atau bayangan romantismenya mengenai kampung masa kecilnya di Sumatera. Bila dilihat dari kacamata visual, asumsi ini mungkin terlalu jauh, namun dari aspek pengambilan topik, sangat berdekatan dengan desanya di Tebingtinggi, Sumatera Utara. Dalam konteks gaya visual, Tino sebagai perupa yang pernah mengenyam pendidikan di ASRI adalah penganut gaya Post-impressionisme. Tampak dalam banyak karya Tino, interpretasi atas alam yang diimajinasikan termanifestasi sealur dengan gaya lukisan salah satu tokoh Post-Impresionisme: Paul Gauguin. Gauguin adalah pelukis Eropa yang melakukan migrasi ke Hawaii. Ia secara intens melukis pada usia dewasa hingga meninggal di sana. Gauguin akhirnya menemukan dunia fantasinya yang sempurna yang melahirkan karya-karya cemerlang di sana. Meskipun secara geografis dan kisah hidup antara mereka sangat jauh berbeda, terdapat kedekatan gaya visual. Gaya visual yang bersifat post-impresionistik (ala Gauguin) ini lebih menitikberatkan pada konsep emosi dan misteri dalam lukisan. Berbeda dengan gaya visual post-impresionisme ala George Seurat dan Paul Cezanne yang lebih berkonsep pada analitis dan rasionalistik. Dengan gaya ini Tino Sidin menjadi lebih cair dan secara naluriah mampu mereduksi alam bawah sadar dan kemampuannya yang lain (misalnya dalam ilmu kebatinan) dapat direpresentasikan dalam lukisan. Jadilah lukisan-lukisan Tino Sidin memiliki aroma dan dimensi misteri alam yang dilihatnya. Asumsi ini semakin menguatkan bahwa hubungan antara perkara rasa, emosi dan misteri mampu diwadahi pada lukisan-lukisannya selama ini. Tino Sidin, meskipun bergaya ala Gauguin, telah memberi pelajaran berharga bahwa kerja kreatif melukis tidak serta-merta hanya sebagai wadah dan media untuk merekam alam sadar (fisik), akan tetapi juga alam bawah sadar (non-fisik). Coba cermati pada setiap lukisan, Tino hanya melukis objek-objek dan figur-figurnya secara garis besar. Ia meninggalkan detail. Lukisan-lukisannya secara visual lebih sederhana daripada lukisan Gauguin. Akan tetapi jangan lupa, bahwa sejatinya Tino tidak melukis realitas. Ia lebih melukis emosi, perasaan, melalui suasana yang dilihatnya. Tampak sekali bahwa lukisan Tino jauh lebih mengendapkan perasaannnya, daripada lukisan Gauguin yang lebih kaya warna. Dengan demikian lukisan Tino tampak sederhana, akan tetapi secara konseptual tak sesederhana sketsa-sketsanya. Inilah nilai lebih lukisan-lukisan Tino Sidin. Jika lukisan Tino Sidin kita anggap sebagai media ekspresi individu, maka peran lukisan berakhir sebagai “cermin sang perupa”. Jika cermin adalah jembatan untuk mengetahui isi hati yang paling dalam, maka dalam pikiran dan perasaan Tino Sidin tergambar jelas: di balik keriangan sebagai pendidik-“bapak sejuta anak”, ia adalah pribadi yang misterius. Di balik kesederhanaan garis, di balik objek dan warna-warna lukisan-lukisannya yang simpel, tergambar bahwa ia tengah mengandung perasaan dan kekuatan ego yang dalam. Bisa jadi, ia adalah pribadi yang kompleks. Lalu apa yang tengah dialami Tino Sidin, kala ia melukis? (*) Sumber: mikkesusanto.jogjanews.com












