top of page

Pameran Seni Rupa ”Ya Bagus.” Tino Sidin di Jogjakarta



TAK dimungkiri bahwa Tino Sidin selama hidupnya telah terbayangkan oleh banyak orang sebagai guru gambar. Pembawaannya yang kebapakan dan gaya bicaranya yang santun memberi kesan akan hal itu. Wajahnya yang teduh dan ucapan-ucapannya yang sederhana mengingatkan bahwa ia rendah hati. Wajar bila kemudian orang banyak yang menyukainya.


Sikap kebapakan dan keguruannya jelas membantu dalam melakukan pendekatan pada anak didik maupun anak-anak yang menonton acara-acaranya. Identitas personal semacam ini menjembatani dirinya untuk selalu dekat dengan anak-anak dan dunianya. Dekat, seperti halnya sepasang manusia yang membutuhkan.


Kerendah-hatiannya menjadi instrumen bagi anak-anak untuk memasuki dunia seni lukis, dunia yang mungkin bagi sebagian dari mereka adalah khasanah yang rumit. Dunia seni lukis seolah-olah begitu mudah bagi mereka, karena cara-caranya.


Lukisan atau gambar, bagi anak-anak, akhirnya menjadi sarang pemikiran yang tak berhenti hanya sebatas teknik, akan tetapi juga berisi pengalaman sosial yang tak mampu toreh dengan tinta berbentuk tulisan.


Tino Sidin sampai kini tidak dinilai eksis sebagai pelukis, meskipun karya seni lukisnya ratusan jumlahnya. Hal ini mencuat karena berbagai aktivitasnya yang keruh akan kegiatan mendidik anak-anak melalui gambar dan buku. Padahal meskipun disebut pendidik atau guru, ia tak punya di sebuah sekolah formal, dan tidak memiliki gelar akademik yang linier.


Aktivitas lebih pada sekolah seni non-formal. Banyaknya pertemuan antara dirinya dengan jutaan anak, baik dilakukan secara langsung (melalui kursus melukis yang dikelola atau sebagai guru tamu dan juri lomba-lomba lukis) maupun melalui televisi, membuat namanya disaksikan sebagai pengajar nggambar. Ia tidak punya sekolah, tetapi muridnya “jutaan”.


Sampai-sampai kebiasaannya yang diucapkan, “Ya…Baguus!!!” menjadi penanda ketika mengingat namanya. Terkadang dilanjutkan dengan kata-kata, “Jangan takut-takut!” atau “Ya.. besok ngirim lagi ya!” menjadi undangan agar anak-anak menggambar lagi tanpa bosan. Ia dicintai anak-anak, karena baginya tidak ada gambar (anak-anak) yang jelek.

Semua bagus. Inilah yang ditunggu setiap pukul 4 sore di TVRI pada dasawarsa 1970-1980an. Saya sendiri sebagai penonton yang kala itu masih duduk di SD (di Jember, Jawa Timur) merasakan bahwa sore hari itu–sehabis mandi–menjadi lebih riang dengan “datangnya” Pak Tino.


Puluhan komik dan buku menggambar untuk anak-anak yang dihasilkan semakin membuat dirinya juga ternama dalam dunia perbukuan. Buku yang dihasilkan seperti Gembar Menggambar Bersama Pak Tino Sidin(Kanisius, 1975) dan Ayo Menggambar (Balai Pustaka) adalah “kitab suci” bagi para anak didiknya. Tentu saja buku ini ludes terjual dalam beberapa waktu saja. Buku enam jilid ini menjadi salah satu buku paling efektif dalam pola pengajaran menggambar untuk anak-anak.


Belum lagi buku aplikasinya berupa buku cerita alias komik. Setidaknya Tino Sidin telah menghasilkan komik dewasa bertajuk Harimau Gadungan dan Kalau Ibuku Pilih Menantu. Komik anak-anak juga dihasilkan seperti Anjing, Bandung Lautan Api, Bawang Putih Bawang Merah, Ibu Pertiwi, Serial Pak Kumis, dan sebagainya.


Di samping komik, juga ada buku cerita mewarna bertajuk Membaca, Mewarnai, Merakit. Banyaknya buku yang dihasilkan inilah membuat Tino kehabisan waktunya untuk mengingat dirinya sebagai seorang seniman. Sesungguhnya dari manakah kemampuan Tino Sidin dalam bidang menggambar atau melukis di dapatkan?


Tebingtinggi – Yogyakarta


Tino adalah anak kelahiran Tebingtinggi, sebuah kampung yang terletak di pantai timur Sumatera Utara. Tino yang lahir 1925 tentu saja tidak mungkin untuk membentuk dirinya sendiri di kampungnya yang jauh dari sekolah seni maupun komunitas seni.


Oleh karena itu, ia lalu melakukan migrasi ke Jawa pada di tahun 1946 bersama rekannya, yakni Daoed Joesoef (mantan menteri pendidikan era Orde Baru) dan Nasjah Jamin (sastrawan dan pelukis). Perjalanannya ke Jawa berakhir di Yogyakarta. Pada saat revolusi tersebut, mereka menjadi bagian dalam berbagai aktivitas kesenian di Yogyakarta. Ia berteman dengan seluruh pelukis yang berdatangan ke Yogyakarta, mulai dari Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Sudarso, dan lain-lain.


Selama masa tersebut ia banyak belajar mengasah bakat seninya. Bakat artistik dan estetiknya ini turut ditopang dengan masuk di perguruan Tamansiswa. Di Yogyakarta ia tinggal bersama seorang pejuang kemerdekaan dan pamong Tamansiswa, Bapak Ki Darmosugito. Di masa ini ia turut bergabung dengan Kementerian Pembangunan Pemuda dan Kesenian di Yogyakarta, bagian Poster.


Ketika Agresi Militer terjadi di Yogyakarta, ia turut serta maju ke medan perang, salah satunya turut mendokumentasi dengan membuat sketsa perjuangan. Sesudah Belanda menguasai Yogya untuk beberapa saat, Tino bergerilya dan menjadi bagian dalam kesatuan Divisi Siliwangi, menyusup hingga ke daerah Jawa Barat. Baru pada tahun 1960, Tino mendaftar dan menjadi mahasiswa ASRI Yogyakarta. Ia mengakhiri pendidikannya pada tahun 1963.


Pertemanannya dengan Presiden Sukarno juga menjadi salah satu hal yang penting diutarakan. Keduanya senang melukis, Sukarno sendiri senang mengoleksi lukisan. Pertemanan ini membantu mereka dalam perjuangan memajukan bangsa.


Mereka tidak saja berteman karena lukisan, tetapi juga tujuan lain. Dalam kisah hubungan ini mereka saling bahu-membahu, salah satunya adalah ketika Tino Sidin diminta sebagai ahli kebatinan bagi Sukarno. Tino Sidin, bersama ahli kebatinan lain dalam hal ini membantu secara sukarela untuk melindungi dan membentengi diri Sukarno, ketika isu politik “Ganyang Malaysia” tahun 1964 memanas.


Hubungan mereka juga termanifestasikan pada sebuah karya yang diberikan oleh Tino Sidin. Karya bertajuk Penggembala Kambing (lebih kurang bertarikh 1964-66) menjadi koleksi Presiden Sukarno. Meskipun karya ini tidak termasuk dalam buku koleksi Presiden Sukarno, namun karya ini kini menjadi bagian di Istana Cipanas. Pada pojok kanan atas lukisan tersebut terdapat teks yang ditera oleh Tino lebih kurang sebagai berikut: “Kepada yang kami cintai Presiden Sukarno”.


Kini, melalui peran salah satu putrinya, Titik Sidin, Tino hendak ditampilkan sebagai sosok seorang yang aktif berkarya. Pameran ini jelas dilatari oleh keinginan untuk mengartikulasi peran, eksistensi dan sejauh mana ekspresi estetik Tino Sidin sebagai manusia yang terus-menerus mengeksplorasi keindahan melalui karya seni dua dimensional.


Lukisan dan sketsa, tentu menjadi sarana utama dan paling esensial guna melihat sosok Tino Sidin sesungguhnya. Apakah kesederhanaan dan kerendah-hatian Tino juga menjadi tampak dalam sketsa-sketsa maupun lukisan-lukisannya?


Sketsa: Lurus-Lengkung  & Bersahaja


Sketsa-sketsa Tino terdiri sekumpulan garis yang berukuran konstan. Garis-garis yang membentuknya ritmis, spontan, dan berpola teratur. Pada hampir semua sketsa hitam putih misalnya, garis yang dibuatnya satu ukuran dan diulang-ulang.


Ungkapan saya berupa kata “diulang-ulang” bukan menunjukkan kesalahan dan menunjukkan minimnya teknik yang dimiliki, namun lebih karena pilihan teknik yang dilakukan Tino. Dengan modal garis yang sama dan dilahirkan dari satu macam alat tulis (pen, spidol, pensil), ia mampu melahirkan karakter benda.


Garis itu bisa membentuk objek (outline), bisa pula mengisi “tubuh” objek (arsir). Objek seperti manusia, binatang, tumbuhan, laut, gunung, langit, hanya dikerjakan dengan goresan atau garis yang utuh dan satu jalur (meskipun sesekali sambung-menyambung). Adapun peran arsir adalah untuk mengisi ruang dan membentuk volume dan karakter benda.


Kedua fungsi garis yang ada pada sketsa-sketsa (outline dan arsir) Tino rupanya mampu mengejawantah apapun yang hendak digambarkan, sehingga tampak mudah dikerjakan. Selain Tino, kemampuan ini juga dimiliki oleh para pelukis lain seperti Ipe Ma’roef, Henk Ngantung, Fadjar Sidik, Widayat, Nyoman Gunarsa yang juga merupakan pelukis-pelukis ternama Indonesia.


Kemampuan garis yang dilahirkan untuk membentuk objek maupun arsir dapat dilacak dari konsep berkaryanya. Menurutnya, pada Gemar Menggambar, ia menulis bahwa apapun yang hendak digambar, kuncinya hanya terdiri dari dua garis: garis lurus dan garis lengkung. Dengan kunci ini, siapa pun diyakininya akan mampu berkarya seni lukis. Ia tidak percaya pada bakat. “Sepengalaman saya membimbing anak-anak menggambar, tampaknya tidak ada satu anak pun yang tidak dapat menggambar,” ungkapnya.


Kepercayaannya pada garis lurus dan lengkung sebanding dengan kepercayaannya pada menggambar dan menulis. Menggambar dan menulis ibarat sekeping mata uang. Recto-verso, kata orang Latin. Jika seseorang tidak bisa menulis, maka kemungkinannya tidak bisa menggambar. Jika bisa menggambar, kemungkinan ia bisa menulis. Begitu pula sebaliknya. Semua terjadi, karena pada dasarnya setiap anak memiliki kemampuan menorehkan garis lurus dan lengkung. Sketsa-sketsanya berangkat dari dasar-dasar semacam itu.


Tema-tema sketsanya lebih variatif dibanding lukisan-lukisannya. Tema-tema sketsa yang dibuat antara lain: lanskap, kehidupan sehari-hari, potret figur, objek/benda mati dan benda hidup, dan kegiatan khusus. Lanskap yang pernah dikerjakan antara lain berupa pemandangan gunung/bukit (Kaliurang, Gunung Bentar Probolinggo, Borobudur), suasana kota (Wonosari, Alun-alun Kraton Yogyakarta, Bali, Jepang, Singapura, dan kota-kota lainnya), dan pantai (Parangtritis, Kukup-Baron Wonosari, Kamal Madura, Balikpapan, Palembang, Dermaga Surabaya, dan sebagainya).


Tema kehidupan sehari-hari adalah sketsa yang menggambarkan aktivitas hidup sehari-hari seperti Polisi di Sidney (1984), Doa masuk Sendang Kasihan (1991), Melihat Orang Melukis (1977), Membaca Buku (tt), Pasar di Bangkalan (1976), Karapan Sapi (1976), Cuci Mobil (tt), dan sebagainya. Tema figur lebih pada potret satu maupun sekumpulan manusia yang direkam seperti Suharto di TVRI (tt), Tiga Saudara (1968), Kepala-Kepala Harapan (1990), Empat Kepala Main-Main (1968), Penambang Timah (1981), Tiga Gerakan (1977), Penjual Es Ketanggungan (tt), Kelompok Belajar (1990), Model di Ancol (1988), dan sebagainya.

Adapun tema alam benda (stillife) yang dikerjakan seperti perahu dan bangunan (Pintu Gerbang Gedung Agung) banyak dikerjakan.


Adapun tema binatang yang dikerjakan adalah Kepala Kuda (tt), Monyet (1985), dan Burung-burung Dara (1990). Tema kegiatan khusus diantaranya adalah kegiatan yang pernah diikutinya seperti pelantikan pengurus pramuka di Kaliurang, rekaman di TVRI (Rekaman Ujang Kelompok PIA, 1970), dan beberapa lainnya.

Ditinjau dari tema yang pernah dikerjakan, dapat diketahui bahwa fungsi sketsa bagi Tino adalah untuk melakukan pendokumentasian momentum, ruang dan waktu. Baginya perjalanan (baca: liburan dan berkeliling daerah) adalah “kerja” seni.


Setiap saat ketika mengunjungi berbagai tempat dan aktivitas,  ia berbekal garis lengkung dan lurusnya. Sketsa dengan demikian adalah sebentuk pilihan estetik atas berbagai hal yang ada dan terjadi di lapangan. Baginya, kebiasaan dan kehidupan sehari-hari misalnya, adalah hal yang indah, sehingga ia harus melakukan kerja sket. Ratusan sketsa telah dibuatnya selama hidup.


Pergulatannya dalam melakukan kerja sketsa dilanjutkan pada bidang lain, diantaranya lukisan untuk ego dan idealisme individunya. Adapun manifestasi yang lain yakni pada komik serta buku belajar menggambar untuk anak-anak dan orang di luar dirinya.


Lukisan: Fantasi, Rasa & Misteri Hidup


Lukisan-lukisan Tino bagi saya adalah sebentuk pengejawantahan vitalitas hidupnya. Jelas sekali bedanya dengan fungsi sketsa-sketsanya. Beberapa hal membuktikannya: warna yang meriah, garis yang energik, dan komposisi yang akademistik. Jika dirasakan lebih lanjut, tema-temanya secara visual adalah kehangatan di bawah naungan alam tropis yang tengah semarak.


Warna pada lukisan-lukisan Tino merupakan manifestasi dari alam yang disinari oleh matahari. Tidak ada satu pun lukisan yang dibuat atau menggambarkan kehidupan pada malam hari. Setiap objek atau subjek dilukiskan dengan warna yang dekat dengan realitas, tidak pekat dengan gelap. Tubuh manusia, binantang, tumbuhan, objek pendukung dilapis dengan warna mendekati aslinya.


Rata-rata dalam setiap lukisan, ia mengolah warna secara harmonis. Harmonisasi ini diwujudkan dalam suasana yang riang. Pada satu lukisan ia menggunakan dimensi “warna panas/hangat” (berupa warna kuning, orange, merah) untuk menggambarkan aktivitas manusia yang sedang melakukan pertunjukan yang dinamis atau anak-anak yang tengah lepas bermain-main. Dimensi “warna hangat” ini juga dipakai untuk melukiskan suasana laut lepas yang panas maupun hamparan bukit yang luas (Pulang dari Ladang, 1992).


Di sisi lain, ia menggunakan dimensi “warna dingin” (warna hijau, biru, ungu) untuk menggambarkan fantasinya tentang kelembutan figur yang diam memangku boneka. Suasana yang sayub diantara rindangnya pepohonan dimanifestasikan pula dengan harmoni “warna dingin”. Di samping itu “warna dingin” ditampilkan pada lukisan kehidupan hutan yang terasa dingin dan angker (Naik Becak, 1992).


Jelas sekali bahwa ia menerapkan warna-warna pada lukisan untuk menggambarkan rasa (perasaan) ketika mengalami sesuatu. Dengan konsep semacam ini, Tino tidak atau bukan tengah melukis tentang sesuatu. Ia tidak sedang menjawab pertanyaan “Tengah melukis apa?” akan tetapi lebih menjawab pertanyaan “Tengah mengalami apa saat melukis?”. Oleh sebab itu, melalui warna, jelas terjabarkan bahwa Tino sedang mencatat perasaan dan suasana hati, daripada realitas yang tengah dihadapi.


Anak-anak yang tengah bermain adalah objek yang mengalami rekonstruksi fungsi pikiran Tino. Ia tidak saja sebentuk objek tubuh-tubuh kecil yang mempresentasikan sikap kanak-kanak, akan tetapi untuk menandai sebuah sikap akan hadirnya keriangan suasana. Itulah sebabnya lukisan-lukisan Tino harus dihadirkan sebagai “lukisan dengan fantasi penuh rasa” dari egonya sebagai manusia.


Secara umum dan secara visual, tema-tema yang dihadirkan oleh Tino dalam lukisan-lukisannya adalah kehidupan sehari-hari. Dalam klasifikasi tema ini sering pula disebut dengan Lukisan Genre (Genre Painting). Tema ini menyerap hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Tino sendiri mengambil tema khusus yakni kehidupan sehari-hari di desa (kampung hutan dan kampung nelayan), tidak atau bukan kehidupan di kota (seperti rumahnya di Yogyakarta).


Tema-tema lukisan-lukisannya jelas lebih homogen dibandingkan dengan tema-tema pada sketsa-sketsanya yang heterogen. Pada lukisan, Tino hanya mengambil hal-hal pokok seperti pemandangan desa dan aktivitas hidup orang desa sebagai subjek kajiannya. Bisa jadi, pilihan topik lukisan-lukisannya merupakan fantasi atau bayangan romantismenya mengenai kampung masa kecilnya di Sumatera. Bila dilihat dari kacamata visual, asumsi ini mungkin terlalu jauh, namun dari aspek pengambilan topik, sangat berdekatan dengan desanya di Tebingtinggi, Sumatera Utara.


Dalam konteks gaya visual, Tino sebagai perupa yang pernah mengenyam pendidikan di ASRI adalah penganut gaya Post-impressionisme. Tampak dalam banyak karya Tino, interpretasi atas alam yang diimajinasikan termanifestasi sealur dengan gaya lukisan salah satu tokoh Post-Impresionisme: Paul Gauguin. Gauguin adalah pelukis Eropa yang melakukan migrasi ke Hawaii. Ia secara intens melukis pada usia dewasa hingga meninggal di sana. Gauguin akhirnya menemukan dunia fantasinya yang sempurna yang melahirkan karya-karya cemerlang di sana.


Meskipun secara geografis dan kisah hidup antara mereka sangat jauh berbeda, terdapat kedekatan gaya visual. Gaya visual yang bersifat post-impresionistik (ala Gauguin) ini lebih menitikberatkan pada konsep emosi dan misteri dalam lukisan. Berbeda dengan gaya visual post-impresionisme ala George Seurat dan Paul Cezanne yang lebih berkonsep pada analitis dan rasionalistik. Dengan gaya ini Tino Sidin menjadi lebih cair dan secara naluriah mampu mereduksi alam bawah sadar dan kemampuannya yang lain (misalnya dalam ilmu kebatinan) dapat direpresentasikan dalam lukisan.


Jadilah lukisan-lukisan Tino Sidin memiliki aroma dan dimensi misteri alam yang dilihatnya. Asumsi ini semakin menguatkan bahwa hubungan antara perkara rasa, emosi dan misteri mampu diwadahi pada lukisan-lukisannya selama ini. Tino Sidin, meskipun bergaya ala Gauguin, telah memberi pelajaran berharga bahwa kerja kreatif melukis tidak serta-merta hanya sebagai wadah dan media untuk merekam alam sadar (fisik), akan tetapi juga alam bawah sadar (non-fisik).


Coba cermati pada setiap lukisan, Tino hanya melukis objek-objek dan figur-figurnya secara garis besar. Ia meninggalkan detail. Lukisan-lukisannya secara visual lebih sederhana daripada lukisan Gauguin. Akan tetapi jangan lupa, bahwa sejatinya Tino tidak melukis realitas. Ia lebih melukis emosi, perasaan, melalui suasana yang dilihatnya.


Tampak sekali bahwa lukisan Tino jauh lebih mengendapkan perasaannnya, daripada lukisan Gauguin yang lebih kaya warna. Dengan demikian lukisan Tino tampak sederhana, akan tetapi secara konseptual tak sesederhana sketsa-sketsanya. Inilah nilai lebih lukisan-lukisan Tino Sidin.


Jika lukisan Tino Sidin kita anggap sebagai media ekspresi individu, maka peran lukisan berakhir sebagai “cermin sang perupa”. Jika cermin adalah jembatan untuk mengetahui isi hati yang paling dalam, maka dalam pikiran dan perasaan Tino Sidin tergambar jelas: di balik keriangan sebagai pendidik-“bapak sejuta anak”, ia adalah pribadi yang misterius.


Di balik kesederhanaan garis, di balik objek dan warna-warna lukisan-lukisannya yang simpel, tergambar bahwa ia tengah mengandung perasaan dan kekuatan ego yang dalam. Bisa jadi, ia adalah pribadi yang kompleks. Lalu apa yang tengah dialami Tino Sidin, kala ia melukis? (*)


Sumber: mikkesusanto.jogjanews.com

Comments


bottom of page