Pertama Kali Mendaki Gunung Semeru
- budiawanagus
- Oct 21, 2012
- 7 min read

MASIH di tahun 2012. Belum genap satu bulan setelah pendakian Gunung Welirang, saya berkesempatan untuk mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung Semeru.
Gunung Semeru memiliki ketinggian 3.676 mdpl sekaligus menjadi gunung berapi tertinggi nomor 3 di Indonesia setelah Gunung Kerinci (3.805 mdpl) dan Gunung Rinjani (3.726 mdpl). Semeru hanya memiliki satu jalur pendakian, yaitu melalui Desa Ranupani, Lumajang.
Untuk menuju Ranupani, dari arah Malang (Terminal Arjosari) pendaki bisa menggunakan angkutan umum jalur TA (Tumpang-Arjosari Rp 5.000) dan turun di pasar Tumpang. Di pasar Tumpang, pendaki bisa menggunakan hartop atau Jeep untuk menuju Desa Ranupani. Tarif kendaraan ini adalah Rp 450.000 per Jeep (September 2011). Satu Jeep bisa diisi 10–15 orang.
Jika isi dompet pendaki terbilang tipis dan ingin mencari transportasi yang murah, bisa naik truk. Tarif menggunakan truk Rp 30.000 per orang, tapi harus bersedia ditempatkan dengan pupuk kandang atau sayur. Dalam perjalanan dari Tumpang ke Ranupani, truk akan beberapa kali berhenti untuk menurunkan pupuk-pupuk tersebut. Truk berangkat dari Tumpang ke Ranupani sekitar jam 5.00 sampai jam 7.00 pagi.
Ranupani merupakan tempat untuk mengurus perizinan pendakian. Persyaratan yang diharuskan untuk mendaki adalah surat kesehatan (bisa disiapkan dari rumah atau minta di Puskesmas Tumpang/Rp 5.000). Karcis masuk TNBTS (Rp 2.500/orang), asuransi (Rp 2.000/orang), dan surat izin pendakian (Rp 5.000/kelompok). Ada juga syarat fotokopi KTP.
Pendaki bisa mengurus surat izin pendakian di Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di dekat Pasar Tumpang atau di Pos Ranupani. Pendaki mulai berjalan kaki mulai dari Ranupani.
Ranupani–Ranu Kumbolo
Setelah selesai mengurus surat perizinan, pendaki sudah bisa mulai melakukan pendakian dari Ranupani. Jarak antara Ranupani sampai Ranu Kumbolo sekitar 4 jam. Dalam perjalanan, pendaki akan melewati 4 pos pemberhentian. Namun, pos 4 sudah sangat dekat dengan Ranu Kumbolo sehingga para pendaki lebih memilih untuk langsung turun ke ranu daripada berhenti di pos 4.
Ranu Kumbolo adalah salah satu primadona Gunung Semeru. Ranu Kumbolo berada di ketinggian 2.400 mdpl, menjadi tempat peristirahatan dan berkemah bagi para pendaki. Setibanya di ranu, rasa lelah seolah impas dengan pesona yang akan Anda rasakan. Pemandangan di sekitar danau sangat meneduhkan mata. Perpaduan pohon cemara, semak-semak yang hijau, dan langit yang biru, menjadi refleksi tersendiri. Pesona Ranu Kumbolo akan mencuri hati Anda!
Ranu Kumbolo seolah oase yang menyegarkan. Perpaduan alam yang hijau dan segarnya pemandangan danau, dijamin bisa merilis segala penat dan lelah Anda. Ditambah suasana yang dingin dan sejuk, Ranu Kumbolo pantas disebut sebagai tempat yang sempurna untuk bersantai.

Tidak hanya itu, sunrise di Ranu Kumbolo akan menambah rasa kagum Anda. Panorama matahari terbitnya sangat cantik dan memesona. Warna cahaya mentari yang keemasan terpantul oleh permukaan danau.
Tidak ada yang membantah kecantikan sunrise di Ranu Kumbolo. Sunrise di Ranu Kumbolo akan menambah rasa kagum Anda pada ciptaan Tuhan yang Maha Indah.
Bagi pendaki yang nekat tidak membawa tenda (seperti saya dan tiga teman saya) bisa membawa sleeping bag saja dan bermalam di selter Ranu Kumbolo. Tapi, saran saya, lebih baik membawa tenda sendiri untuk jaga-jaga tidak kebagian tempat di selter. Saat saya naik, pendaki lain tidak banyak. Jadi, selter masih muat untuk bermalam.
Ranu Kumbolo–Kalimati
Setelah bersantai di Ranu Kumbolo, pendaki harus menyiapkan stamina ekstra lagi untuk melakukan pendakian selanjutnya menuju Kalimati (batas terakhir pendakian). Ujian pertama adalah tanjakan yang disebut dengan Tanjakan Cinta yang berada di sebelah barat danau Ranu Kumbolo. Kemiringannya sekitar 45 derajat.
Julukan Tanjakan Cinta bermula dari mitos yang akrab di kalangan pendaki. Menurut beberapa sumber, mitos itu lahir dari kisah tragedi dua sejoli yang sudah bertunangan saat mendaki tanjakan tersebut. Konon, waktu itu, si cowok melewati tanjakan tersebut lebih dulu. Sementara calon istrinya kepayahan naik tanjakan. Cowok tadi cuma melihat dari atas sambil foto-foto. Nahas, pendaki cewek tiba-tiba pingsan dan jatuh terguling ke bawah, kemudian tewas.
Karena itu, konon, bagi siapa saja yang berhasil menaiki Tanjakan Cinta tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, dipercaya kehidupan cintanya akan berakhir dengan bahagia. Yang percaya silakan dicoba, yang tidak percaya boleh mencoba juga. Terserah masing-masing.
Setelah berhasil melewati tanjakan cinta, pendaki akan disuguhi pemandangan yang luar biasa indah di Jambangan dan Oro-Oro Ombo. Padang rumput Jambangan berada di ketinggian 3.200 mdpl dengan tumbuhan seperti cemara, mentigi, dan bunga edelweiss.
Karena tempatnya datar alias tidak bergelombang, Jambangan menjadi tempat favorit para pendaki untuk beristirahat sambil menikmati udara sejuk. Di sini juga menjadi tempat ideal untuk mengabadikan Gunung Semeru dari kejauhan.
Sedangkan padang rumput di Oro-oro Ombo membentang seluas 100 hektare. Tempat ini berada di lembah yang dikelilingi bukit-bukit gundul dengan tipe ekosistem asli tumbuhan rumput. Lokasinya berada di bagian atas tebing yang mengelilingi Ranu Kumbolo.
Uniknya, padang rumput ini mirip sebuah mangkuk berisi hamparan rumput berwarna kekuning-kuningan. Pada waktu-waktu tertentu, di beberapa sudut Oro-Oro Ombo, air hujan menggenang. Di sini juga terdapat tanaman hama yang jika berbunga sangat indah. Ungu warnanya.
Nama Oro-Oro Ombo dalam bahasa Jawa memiliki arti padang rumput yang luas. Warga setempat dan para pendaki sepakat bahwa panorama Oro-Oro Ombo terindah kedua setelah puncak Semeru. Keindahan itu membuatnya menjadi tempat yang cocok untuk orang-orang yang ingin menenangkan pikiran.
Pohon pinus tumbuh subur di kawasan ini. Itu membuat pemandangannya tidak berbeda jauh dengan dataran sabana di Eropa. Ketika musim hujan, padang rumput ini tampak hijau dan menjadi waktu terindah di sepanjang musim di Indonesia. Titik-titik embun senantiasa berada di pucuk dedaunan. Menetes pelan dan memberikan nuansa eksotisme yang teramat sangat.
Sayangnya, pendakian ke puncak Semeru lebih baik dilakukan pada musim kemarau, yakni bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, dan September. Mendaki di musim hujan sangat berbahaya karena sering terjadi badai dan tanah longsor.
Setelah melewati keindahan Jambangan dan Oro-Oro Ombo, para pendaki bisa istirahat sejenak di Cemoro Kandang untuk kembali menikmati lanskap yang baru saja terlewati.
Setelah merasa stamina sudah terkumpul kembali, pendaki bisa melanjutkan pendakian melewati rimbun pepohonan cemara untuk menuju Kalimati. Sepanjang perjalanan akan ditemukan jalan yang cukup mendaki, tetapi tidak terlalu curam.
Setelah melakukan perjalanan jauh, rasa lelah akan sedikit terbayar ketika sudah mendekati Kalimati. Di sekitar perjalanan akan ditemukan ladang edelweiss. Namun, jika musim hujan/atau kebetulan sering hujan, bunga akan tampak tidak terlalu bagus. Sayangnya, ketika saya ke sana, beberapa kali turun hujan sehingga edelweiss-nya tidak terlalu bagus.
Dari sini sudah dekat Kalimati dan bisa dengan jelas melihat puncak Mahameru. Bagi pendaki yang tidak membawa tenda bisa bermalam di selter Kalimati. Di selter Kalimati terdapat lima ruangan. Jadi, jika Anda takut tidak kebagian tempat, lebih baik membawa tenda sendiri. Beruntung, kami mendaki saat tidak banyak pendaki.
Yang bawa tenda bisa mendirikannya di sebelah kanan selter di mana terdapat pohon cemara rindang yang bisa meminimalkan terpaan angin malam. Kalau mendirikan tenda di sebelah kiri selter, di situ merupakan hamparan pasir tanpa pepohonan. Angin bisa terasa kencang.
Di Pos Kalimati kami melihat pendaki dari Inggris. Esoknya kami bertemu dia juga di puncak. Dia mendaki Semeru seorang diri dengan ditemani porter. Di Kalimati, pendaki bisa bersantai lebih dulu dan mendirikan tenda. Namun, terkadang ada juga pendaki yang nge-camp lebih ke atas, di Pos Arcopodo. Tapi, menurut aturannya, batas pendakian adalah sampai Kalimati.
Setelah menikmati santapan makan sore/malam, pendaki disarankan untuk sesegera mungkin tidur untuk mengembalikan stamina. Sebab, kalau mau melihat sunrise di puncak Mahameru, pendaki harus bangun dini hari untuk memulai summit attack.

Kalimati–Arcopodo
Pagi itu udara di luar selter Kalimati begitu dingin. Udara menembus masuk ke dalam selter. Jam 2 dini hari kami sudah bangun. Kami harus bersiap untuk naik ke puncak. Dalam keadaan seperti itu, tidur kembali adalah pilihan surgawi. Enak betul.
Namun, kami sadar tujuan kami naik gunung. Menggapai puncak selagi sanggup. Kalau tidak sanggup, jangan dipaksakan. Karena itu, kami siap-siap. Setelah mengisi perut dan menyiapkan segala perbekalan secukupnya, kami mulai mendaki sekitar jam 3 pagi.
Dalam perjalanan menuju puncak, pendaki akan melewati Pos Arcopodo. Pos yang legendaris. Apa dan di manakah Arcopodo? Arcopodo adalah gabungan dua kosakata bahasa Jawa, archa (arca) dan padha (sama/kembar). Konon, di sana ada sepasang arca kembar. Berada di ketinggian 3.002 mdpl. Keberadaannya tersembunyi. Susah untuk menemukannya.
Arcopodo–Puncak Mahameru
Setelah batas vegetasi, yang terhampar menjulang ke atas adalah jalan pasir berbatu. Di samping kanan dan kiri adalah lereng yang curam. Di area itu, ada spot tengkorak bernama Blank 75. Tidak sedikit pendaki yang tersesat dan meninggal di sekitar area itu.
Di sinilah stamina dan konsentrasi pendaki benar-benar dikuras habis. Jalur pendakian berupa pasir dan batu serta lereng yang curam tidak jarang membuat nyali pendaki ciut kemudian memutuskan kembali turun sebelum mencapai puncak abadi para dewa. Keuntungan saya ketika mendaki adalah pasir yang sedikit padat karena malamnya turun hujan.
Tapi, usaha yang tak kenal putus asa akan terbayar ketika pendaki berhasil mencapai puncak. Kalian akan menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa dan tentu saja melihat pemandangan sekitar yang begitu amazing! Rasa lelah pun seakan hilang begitu saja ketika melihat lukisan alam yang mahasempurna.
Mahameru adalah sebutan terkenal puncak Gunung Semeru dengan ketinggian sekitar 3.676 mdpl. Itu menempatkannya sebagai gunung tertinggi di Pulau Jawa. Gunung Semeru termasuk salah satu gunung berapi yang masih aktif di Jawa Timur, terletak di antara wilayah Administrasi Kabupaten Malang dan Lumajang.
Saat berada di puncak, Anda perlu berhati-hati. Di sana ada kawah Jonggring Saloko yang masih rutin menyemburkan asap beracun. Karena itu, pendaki dilarang mendekati area kawah dan disarankan turun sebelum jam 12 siang.
Gie, IN MEMORIAM
Soe Hok Gie, seorang aktivis, penulis, dan pencinta alam. Dia tewas di puncak Mahameru karena (konon) menghirup asap beracun dari kawah Jonggring Saloko. Gie meninggal pada 16 Desember 1969, sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-27 tahun.
Intelectual abortus. Begitu dia dikenal. Seorang intelektual yang mati muda. Gie meninggalkan banyak cerita. Dia seorang mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, dia seorang pendiri Mapala UI, dia seorang penulis, seorang mahasiswa yang kritis dan juga seorang pendaki gunung.

INDONESIAN GREEN RANGER
MAHAMERU
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi
Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tengadah & berkata, kesana-lah
Soe Hok Gie & Idhan Lubis pergi Kembali ke pangkuan bintang-bintang
Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara Desember menabur gerimis
24 Desember 1969 Sanento Yuliman
Ketemu Fans Arsenal Asal Inggris
Ketika mencapai puncak, saya melihat ada bule yang terus mengamati saya ketika saya berfoto-foto dengan bendera dan syal Man United. Ngomong-ngomong, saya fans Man United lho.
Nah, di samping selter Kalimati, ada satu tenda. Itu adalah tenda milik bule tersebut. Ketika saya dekati dan saya tanya, dia mengaku berasal dari London dan mengaku fans Arsenal. Tanpa ba-bi-bu, langsung saja saya minta foto bareng. Hehe…
Oke, ini sedikit catatan pendakian kedua saya dan untuk pertama kalinya ke Semeru. Total jarak antara Ranupani–Puncak Mahameru adalah sekitar 17 kilometer. Tapi, jangan anggap sama dengan kilometer jalan biasa.
Ini adalah 17 kilometer yang sangat menakjubkan bagi saya. Sepanjang jarak itu, saya bisa menikmati sajian pemandangan dan panorama alam yang luar biasa. (*)
Lumajang, 17–21 Oktober 2012



Comments