Buka Puasa di Semeru, Sulitnya Mancing di Ranu Kumbolo
- budiawanagus
- Aug 1, 2013
- 7 min read

KECANTIKAN Ranu Kumbolo di Gunung Semeru (3.676 mdpl) memang bisa dengan mudah membuat para pendaki jatuh cinta. Tidak terkecuali saya. Sebelum ini, saya sudah mencapai puncak Mahameru dua kali dan hanya mampir sebentar di Ranu Kumbolo. Karena ada target muncak, Ranu Kumbolo hanya menjadi tempat persinggahan. Begitu singkat.
Karena itu, pada pendakian kali ini, saya hanya ingin menghabiskan tiga hari dua malam di Ranu Kumbolo. Dipuas-puasin menikmati keindahannya. Bulan ini juga merupakan bulan puasa. Jadi, saya ingin mencoba menikmati sensasi berbuka puasa di danau tertinggi di Jawa tersebut.
Ranu Kumbolo berada di atas ketinggian 2.400 mdpl. Luasnya sekitar 14 hektare. Danau ini dikelilingi bukit-bukit. Sebagaimana Tanjakan Cinta, Ranu Kumbolo juga memiliki legendanya sendiri.
Konon, ada suami dan istri sangat miskin bernama Marmoyo dan Sawitri. Ketika Sawitri hamil muda, dia sangat ingin makan ikan. Karena tidak punya cukup uang, sang suami memancing ikan di sungai. Setelah lama memancing, Marmoyo akhirnya berhasil menangkap ikan mas. Namun, itu ternyata ikan ajaib. Bisa berbicara dan sisiknya bisa berubah menjadi potongan emas.
Marmoyo memelihara ikan itu dan merahasiakannya dari istrinya. Dia kemudian pergi ke pasar untuk menjual potongan emas dan membeli minyak sawit untuk memasak. Karena kelaparan, Sawitri yang menemukan ikan di rumah langsung menggorengnya.
Sawitri pun mendapatkan kutukan sampai anak bersisik lahir bernama Kumbolo. Kumbolo terlahir sebagai bocah lelaki yang pintar berenang dan mampu menyelam cukup lama di air. Tapi, Kumbolo dianggap aneh dan terasing. Dia selalu diolok-olok teman-temannya.
Kemudian ada seekor kucing yang memberi tahu Kumbolo bahwa sisik di tubuhnya bisa hilang dengan mutiara pelangi di puncak gunung. Kumbolo akhirnya mengembara ke Gunung Semeru untuk menemukan mutiara itu.
Sesampainya di puncak gunung, Kumbolo berhasil menemukan mutiara itu. Namun, saat turun, Kumbolo dicegat tiga anak laki-laki nakal yang ingin merebut mutiara pelangi. Perdebatan yang sengit terjadi sampai mutiara jatuh dan runtuh. Ajaibnya tanah runtuh langsung memancarkan pegas besar. Dalam sekejap penyergapan tanah berubah menjadi danau dan ketiga bocah lelaki itu tenggelam di dalamnya.
Sementara Kumbolo berhasil keluar dari danau dan sisiknya menghilang dari tubuhnya. Artikel tentang legenda Ranu Kumbolo ini saya copy dari rentalsewamobilmalang.com.
30 Juli 2013
Setidaknya ada tiga hal besar yang membuat saya tetap nekat melakukan pendakian Semeru meskipun dalam keadaan berpuasa. Buka puasa, mancing, dan menyambut matahari pertama bulan Agustus di Ranu Kumbolo. Mungkin alasannya tidak sederhana yang dipikirkan karena bulan Agustus menjadi bulan yang spesial bagi saya. Jadi sudah seharusnya seperti inilah cara merayakannya.

Sebelum berangkat memang ada sedikit penolakan dari keluarga mengingat ini bulan puasa. Tapi, toh saya tetap memutuskan untuk berangkat. Bagi saya, puasa bukan halangan. Terbukti, selama pendakian, meskipun mengalami sedikit dehidrasi, kekuatan fisik saya tidak berkurang, tapi justru terasa lebih enteng dari biasanya. Namun, hal yang harus diperhatikan ketika melakukan pendakian dalam keadaan berpuasa adalah manajemen istirahat.
Hal lain yang membuat saya tetap nekat mendaki adalah ketepatan waktu. Bulan puasa membuat Ranu Kumbolo menjadi sepi dari pendaki. Memang ada beberapa pendaki lokal dan mancanegara yang tetap melakukan pendakian, tapi tidak seramai seperti hari biasa. Belum lagi setelah bulan puasa, yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus, tentu banyak pendaki yang berjubel ingin mengadakan upacara kemerdekaan di sana.
Benar saja, saat saya sampai di Ranu Kumbolo sekitar jam 5 sore, suasana begitu sepi dan tenang. Hanya ada tiga tenda pendaki di tepi danau. Langsung saja saya mendirikan tenda sambil menunggu waktu berbuka yang sebentar lagi tiba. Setelah perjalanan melelahkan dari Ranupani sekitar pukul 11 siang, akhirnya saya bisa melaksanakan buka puasa pertama di Ranu Kumbolo.
Karena hanya mendaki sampai Ranu Kumbolo, dari rumah saya membawa ’’kulkas’’. Perlengkapan satu dapur saya angkut semua. Mulai wajan ukuran sedang sampai cobek. Tidak lupa bawa bumbu-bumbu dapur untuk bikin sambal dan bawa ikan asin. Tak ketinggalan buah pir dan apel.
31 Juli 2013
Misi pertama berbuka puasa di Ranu Kumbolo berhasil. Keesokan harinya, tanggal 31 Juli 2013, waktunya menjalankan misi kedua: mancing! Alat pancing dan umpan cacing sudah saya siapkan dari rumah.
Pagi itu matahari bersinar sangat cerah. Membuat birunya air danau begitu cantik dengan kilatan cahaya. Mancing di Ranu Kumbolo memang terkenal sangat sulit. Beberapa porter yang saya tanyai dalam pendakian-pendakian sebelumnya juga mengamini hal tersebut. Sebagai penyuka kegiatan memancing, saya pun merasa penasaran dan ingin mencobanya sendiri.
Pancingan sudah siap, umpan sudah terpasang, siap pasang kuda-kuda untuk melempar umpan sejauh mungkin. Sempurna! Umpan jatuh di kejauhan. Senar sedikit saya gulung agar mudah diketahui kalau-kalau umpan sudah dimakan ikan. Saya memilih tidak menggunakan pelampung. Kalau ada ikan yang menyambar, senar pancing akan bergetar.
Tik-tok, tik-tok, tik-tok. Waktu seperti berjalan sangat lama. Selama itu pula tidak ada tanda-tanda umpan cukup menarik ikan nila, mujair, atau ikan mas penghuni danau. Menjadi pemancing memang harus sabar, apalagi amatiran seperti saya. Bahkan pemancing-pemancing profesional seperti dalam program televisi Mancing Mania pun tidak berhasil menaklukkan satu ikan pun di sini!
Saya tidak patah semangat. Umpan kembali saya tarik, ganti umpan lagi, lempar lagi. Umpan jatuh di kejauhan seperti yang saya harapkan. Tik-tok, tik-tok, tik-tok. Waktu terus berjalan sampai hari menjelang siang. Matahari bersinar semakin terik, bibir dan tenggorokan terasa begitu kering, dan masih belum ada tanda-tanda umpan menarik perhatian ikan.
Sampai waktu salat duhur datang, umpan yang saya lempar masih belum bisa menghasilkan apa-apa selain capek dan dahaga. Untuk mengusir rasa bosan dan memberi penyegaran pada semangat yang hampir tumpas, saya memutuskan mencoba menaiki Tanjakan Cinta. Berhasil. Setelah itu, saya menjenguk Oro-Oro Ombo sebentar.
Namun, saya merasa tidak memiliki kekuatan lagi untuk turun. Jadi, saya hanya bisa menikmati hamparan ungu seperti bunga lavender dari atas dan sesekali melirik pada puncak Mahameru yang mengintip malu-malu dari balik bukit.
Setelah puas menikmati hamparan Oro-Oro Ombo, saya tidak langsung turun. Saya lebih memilih beristirahat cukup lama di antara pohon-pohon cemara di atas Tanjakan Cinta. Dedaunan yang rimbun, angin sepoi, dan pemandangan yang cantik Ranu Kumbolo dari ketinggian membuat suasana menjadi damai dan tidur adalah pilihan yang tepat. Jadilah saya tidur beberapa menit dengan bersandar di antara dua pohon cemara besar. Setelah cukup lama berada di atas Tanjakan Cinta, saya memutuskan untuk turun.
'’Strike!’’
Kata itulah yang ada di pikiran saya ketika saya langsung menghampiri pancingan yang saya pasang dan saya tinggal cukup lama. Namun, itu hanya menjadi angan-angan semata. Umpan tak sedikit pun menarik perhatian ikan.

Sambil menggulung senar pancing, mata saya terus menatap hamparan permukaan danau yang berkilauan dan bergelombang kecil diterpa itu. Sinar matahari semakin menyengat. Semangat saya pun pupus. Tapi, umpan kembali saya lempar sebelum masuk ke tenda untuk tidur lagi sekitar pukul 12 siang.
Setelah cukup beristirahat dan tidur, sekitar pukul 2 siang, saya kembali bangun untuk mengumpulkan serpihan-serpihan semangat dan kembali menghunus kail pancing. Pancingan saya angkat, kembali pasang umpan, dan dengan semangat melemparkannya sejauh mungkin.
Umpan jatuh di tempat yang saya inginkan. Tik-tok, tik-tok, tik-tok. Waktu berjalan sangat lamban. Umpan lagi-lagi tak menarik bagi ikan. Di sela-sela memancing, saya isi waktu dengan menyusuri pinggir-pinggir danau. Waktu terus berjalan sampai mendekati waktu berbuka. Dan, tetap pancingan tanpa hasil. Saya menyerah. Tidak sama dengan di Danau Segara Anak Gunung Rinjani, Memancing di Ranu Kumbolo memang sulit minta ampun.
Sekitar pukul setengah 5 sore, saya mengakhiri ritual memancing dan segera menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Menu kali ini adalah nasi putih, sambal tomat, ikan asin, dan telur dadar. Sebagai takjil, dari rumah saya sudah menyiapkan satu buah apel. Satu buah apel itu kemudian saya belah menjadi empat bagian sesuai jumlah anggota kelompok pendakian kali ini.
Untuk minuman, saya memilih teh jahe agar lebih hangat di badan. Sebelum waktu berbuka datang, semua hidangan sudah siap. Alhamdulillah, saya bisa menikmati buka puasa kedua di tepi Ranu Kumbolo.
Malam Hari
Setelah selesai berbuka puasa dan istirahat sejenak, jadwal selanjutnya adalah makan-makan snack yang begitu melimpah dan menyalakan api unggun. Logistik telah disiapkan untuk dihajar ramai-ramai. Melihat begitu banyak snack, seperti ada perasaan ingin ’’balas dendam” yang menari-nari di lambung yang seharian tak terisi di kondisi terik matahari akhir bulan Juli.
Sekitar pukul 7 malam ranting-ranting dan batang kayu sudah siap untuk dijadikan api unggun. Bergabung juga kenalan dua pendaki dari Malang. Suasana menjadi begitu cair dan hangat. Kami berenam mengelilingi api unggun di tepi Ranu Kumbolo ditemani dingin dan taburan bintang di langit Semeru. Sesekali bintang jatuh membelah langit malam.
Dinginnya udara Ranu Kumbolo bisa sedikit dihangatkan api unggun dan cengkerama. Tawa terus saja pecah dengan cerita-cerita, kekonyolan-kekonyolan, dan celetukan-celetukan lucu. Bahkan, ketika api unggun tinggal bara yang menyala, kami tak langsung beranjak. Dalam kondisi seperti itu, udara dingin semakin terasa. Kami semakin merapatkan lingkaran, mendekat ke bara.
Kami mengakhiri acara makan-makan dan menghangatkan badan di dekat api unggun sekitar pukul 12 malam. Setelah menikmati mi instan dan sedikit camilan untuk pengganti sahur, saya dan kawan-kawan semua bergegas memasuki tenda untuk segera beristirahat. Tapi sayang, malam ini begitu dingin seperti malam sebelumnya hingga sleeping bag tidak banyak membantu. Saya menyambut Agustus dengan tidur yang tidak begitu nyenyak.
1 Agustus 2013
Sekitar pukul setengah 6 pagi saya bangun. Pintu tenda yang langsung menghadap ke danau saya buka lebar-lebar untuk menyambut sunrise pertama di bulan Agustus. Mendekati pukul 6 pagi, sedikit demi sedikit matahari pagi mengintip malu-malu di balik bukit. Warna emas berpendar di badan bukit dan permukaan danau. Selama itu pula saya tetap menikmati sunrise dari dalam tenda sampai matahari meninggi.
Setelah matahari sedikit meninggi, saya keluar tenda untuk menikmati pagi pertama di bulan Agustus di Ranu Kumbolo. Lalu, apa yang membuat saya terkejut adalah butiran-butiran es yang membekukan rerumputan. Baru kali ini saya melihat es di Ranu Kumbolo. Pantas saja semalam udara begitu dingin.

Lagi pula ini adalah hari terakhir saya di Ranu Kumbolo. Jadi, saya ingin menikmati hari pertama di bulan Agustus ini dengan baik. Udara yang dingin tapi sedikit hangat oleh sinar matahari membuat hati ini terasa berat meninggalkan tempat ini. Di atas sana, langit begitu cerah membiru.
Sekitar pukul 8 pagi, saya sudah bersiap untuk mem-packing barang-barang dan membereskan tenda. Sambil menunggu kawan lain siap-siap, saya kembali menghunus kail pancingan. Kali ini saya bukan hendak serius memancing, tapi hanya ingin sedikit bersenang-senang untuk menikmati Ranu Kumbolo sebelum turun.
Tidak seperti hari-hari kemarin, kali ini saya berhasil strike! Bukan satu, tapi triple strike! Tiga mata pancing dalam satu rangkaian berhasil mengait bibir ikan. Namun, bukan ikan nila, mujair, atau ikan mas yang berhasil saya angkat ke daratan, melainkan ikan asin!
Ya sudahlah. Setidaknya saya bisa merasakan sensasi strike di Ranu Kumbolo meskipun cuma ikan asin! Haha…
Setelah semua siap, sekitar pukul 10 kami mulai turun. Selamat tinggal Ranu Kumbolo. Sampai jumpa di lain hari. (*)
Lumajang, 30 Juli–01 Agustus 2013



Comments