Pendakian Gunung Rinjani
- budiawanagus
- Jun 12, 2013
- 12 min read

SETELAH tahun lalu dua kali menapakkan kaki di Gunung Semeru, tahun ini saya mbolang ke Lombok, Nusa Tenggara Barat, untuk menyapa Gunung Rinjani. Konon katanya, gunung dengan ketinggian 3.726 mdpl ini adalah gunung terindah di Asia Tenggara!
Barangkali itu ada benarnya. Sebab, saat naik Rinjani, saya bertemu dengan banyak orang dari luar negeri. Baik dari Asia maupun Eropa. Mantap.
Saya harus memulai tulisan ini dari Surabaya. Alih-alih menunggu pengumuman hasil interview kerja, saya justru naik gunung. Kami memilih transportasi yang murah. Ngeteng naik bus dan ojek. Surabaya-Lombok.
Saya dan dua teman lainnya, sebut saja Lin dan Bakh, memulai perjalanan dari Terminal Purabaya, Sidoarjo, tanggal 06 Juni 2013 pukul 12.13 WIB. Untuk menghemat biaya, kami memutuskan untuk membeli tiket bus ekonomi eceran.
Jadi, sistem eceran yang saya maksud seperti ini. Dari Purabaya, kami membayar tiket bus biasa (tanpa AC) tujuan Probolinggo seharga Rp 20.000. Di Probolinggo, kami kembali membayar tiket Rp 15.000 untuk menuju Jember. Di Jember, kami kemudian dioper ke bus lain menuju Banyuwangi dengan biaya Rp 18.000.
Nah, sistem tiket eceran juga dipakai untuk jaga-jaga apabila penumpang dioper dari satu bus ke bus lain. Jika sudah bayar penuh dan ternyata dioper, kita yang rugi karena harus bayar lagi.
Sampai Terminal Blambangan Banyuwangi, jam sudah menunjukkan pukul 22.06 WIB. Pada jam seperti itu sudah tidak ada angkutan umum yang beroperasi. Angkutan yang ada tinggal ojek dan taksi. Karena bertiga, naik taksi bisa lebih murah karena patungan.
Namun, kami tidak langsung memesan taksi. Uang yang tak seberapa harus dihemat. Agar bisa berpikir jernih, kami memutuskan untuk makan dulu di warung pinggir jalan sebelum meluncur ke Pelabuhan Ketapang.
Nah, di warung tersebut kami berkenalan dengan seseorang yang bersedia membantu kami mendapatkan tiket murah dari Ketapang langsung menuju Mataram. Dia mengaku kenal baik dengan petugas di Ketapang sehingga dia menjamin hal itu. Setelah makan, kami pun berangkat ke Ketapang menggunakan taksi dengan ongkos Rp 50.000 diisi empat orang. Satu orang lagi adalah orang yang menawarkan angkutan tadi itu.
Pukul 23.12 WIB kami sampai di Pelabuhan Ketapang. Di sana, kami bertemu sembilan pendaki lainnya (7 laki-laki dan 2 perempuan) dari Undip Semarang. Mereka kami ajak bergabung agar mendapatkan tiket bus murah menuju Terminal Mandalika, Mataram, Lombok.
Petugas awalnya meminta harga Rp 175.000. Tapi, setelah tawar-menawar, disetujui harga Rp 150.000 per orang (harga resminya Rp 220.000). Di luar itu, kami hanya perlu membayar tiket kapal Rp 6.000 saja untuk menyeberang ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali.
Setelah mendapat tiket murah, kami yang kini menjadi ber-12 tidak langsung berangkat karena harus menunggu bus yang belum datang. Sekitar pukul 01.09 WIB kami baru bisa memasuki kapal. Tepat pada pukul 02.15 WITA, kapal bersandar di Pelabuhan Gilimanuk, Bali, dan pukul 05.49 WITA bus memasuki Terminal Ubung, Denpasar.
Di Terminal Ubung, bus ngetem cukup lama. Hampir satu jam lebih berhenti, bus akhirnya berangkat dan sampai di Pelabuhan Padang Bai, Bali, pada pukul 08.09 WITA. Saat bus parkir di lambung kapal, kami semua turun dari bus dan naik ke dek kapal. Kapal berlayar menuju Pelabuhan Lembar, Lombok.

Sekitar empat jam lamanya kami berada di atas kapal. Waktu selama itu lebih banyak kami habiskan untuk istirahat atau tidur. Tepat pukul 13.30 WITA, kapal bersandar di Pelabuhan Lembar.
Kami bertiga yang sudah membayar tiket bus sampai Terminal Mataram harus turun di Lembar. Karena Lin sudah janjian dengan temannya yang sudah berada di Lombok untuk nyarter mobil pikap. Kami bertiga turun di pelabuhan, sementara sembilan orang lain dari Undip Semarang yang bersama kami ikut bus ke Mataram.
Tak disangka, awalnya biaya nyarter mobil yang kami pikir akan lebih murah ternyata lebih mahal. Mobilnya pun bukan pikap, melainkan mobil Kijang yang hanya diisi tujuh orang! Entah bagaimana ceritanya per anak kena Rp 100.000! Mau tidak mau kami ikut saja karena sudah telanjur turun dari bus.
Pukul 14.30 WITA, kami tidak langsung menuju ke pos pendakian, tetapi perlu mampir dulu ke Bandara Lombok untuk menjemput satu teman lainnya yang terbang dari Jakarta. Dari pukul 16.10-17:37 WITA, penantian kami belum berujung. Akhirnya ada kabar, pesawat LionAir dari Jakarta menuju Lombok mengalami delay.
Menerima kabar tersebut, kami langsung saja bertolak menuju base camp sebelum keesokan harinya mulai melakukan pendakian. Biar teman yang tadi naik mobil sendiri kalau tiba, entah jam berapa.
Sebelum ke base camp, kami lebih dulu belanja logistik tambahan di Pasar Pancor, Lombok Timur. Setelah selesai berbelanja, kami langsung menuju tempat istirahat dan sampai pukul 18.12 WITA.
Di sana kami (yang sudah berjumlah delapan orang karena satu orang yang dari Jakarta sudah tiba) sempat nonton bareng laga persahabatan antara Indonesia vs Belanda sebelum tidur.
Pendakian Hari Pertama (8 Juni 2013)
Untuk pendakian kali ini, kami memilih memulainya dari jalur Sembalun. Pagi pukul 05.39 WITA, kami bersiap-siap menuju Pos Rinjani Information Center (RIC) Sembalun. Sebelum berangkat, kami pesan nasi bungkus untuk sarapan dan makan siang. Harga per bungkusnya Rp 5.000. Bisa pilih lauk ayam atau telur. Tepat pukul 06.45 WIB, kami bergegas menuju RIC Sembalun.
Pukul 08.37 kami tiba di Pos RIC Sembalun untuk melakukan pendaftaran. Namun, saya sedikit heran karena ternyata perizinan di Sembalun tidak seberapa ketat (tidak harus menyerahkan fotokopi KTP maupun surat keterangan sehat dari dokter). Biaya tiket pun terbilang murah. Kami berdelapan hanya Rp 20.000.
Pukul 09.30 WITA, setelah sarapan dan beli satu bungkus lagi untuk bekal, kami memulai pendakian. Tidak lama setelah melangkahkan kaki menuju Pos I, kami disambut hamparan padang sabana hijau yang begitu indah. Bukit-bukit yang tampak manis dengan kabut tipis. Angin sepoi dan ketenangan alam Rinjani membuat perjalanan awal terasa begitu mendamaikan.
Tapi tak lama setelah itu, kami disambut trek yang berkelok-kelok, naik-turun dan melewati dua jembatan beton untuk sampai di Pos I. Kami tiba di Pos I pukul 12.10 WITA. Tidak perlu lama-lama beristirahat, pada pukul 12.32 WITA, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos II.
Sampai di Pos II, jam digital di pergelangan tangan menunjukkan pukul 13.13 WITA. Di Pos ini, terdapat sebuah jembatan beton yang di bawahnya mengalir sungai. Banyak pendaki bule yang beristirahat di sisi kanan dan kiri jembatan.
Dengan pohon yang rindang, pendaki bisa menikmati waktu istirahat dengan damai. Di sini juga terdapat sumber air bersih yang bisa langsung diminum. Di Pos II kami bergabung dengan kawan pendaki lainnya dari Patrapala (komunitas pencinta alam Pertamina Cilacap). Kami diberi makan, kopi, dan juga rokok. Jadi tak perlu bongkar keril. Hehe...
Kejadian lucu cenderung tragis dimulai dari pos ini. Bakh yang merupakan tipe pendaki lamban berinisiatif untuk berjalan lebih dulu menuju Pos III, dengan asumsi saya dan Lin akan segera menyusul. Kami berdua mengiyakan. Cukup lama setelah Bakh jalan, kami baru akan melanjutkan perjalanan. Namun, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Kira-kira pukul 14.00 WITA.

Kami berdua mencemaskan Bakh. Tapi, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Akhirnya, kami dan pendaki lainnya saling berbagi tempat untuk berteduh di gardu Pos II. Sambil menunggu hujan reda, kami sempatkan memasak dan berbagi kopi dan rokok.
Satu jam lebih kami berteduh dari hujan. Memasuki sekitar pukul 15.10 WITA, hujan mulai reda. Kami pun mulai melanjutkan perjalanan menuju Pos III. Sebelum sampai ke Pos III, masih ada pos ekstra/pos bayangan. Untuk menuju ke sana, trek yang kami lalui cukup terjal dan menanjak.
Tepat pukul 16.28 WITA, kami sampai di Pos III. Kami pun bertemu dengan Bakh yang sudah bertelanjang dada setelah kehujanan. Jaket, baju, dan celananya basah.
Ketika tas kerilnya saya angkat, beratnya juga semakin bertambah Nasibmu kawan. Hehe… Karena waktu sudah sore dan kondisi fisik yang sudah mulai melemah, kami memutuskan mendirikan tenda dan bermalam di Pos III.
Di Pos III ada sedikit hiburan dari sekawanan monyet yang bisa sedikit menghilangkan rasa lelah. Salah satu monyet dari kawanan itu (kemungkinan kepala sukunya) sepertinya sudah terbiasa akrab dengan pendaki. Ia berani mendekat dan meminta makanan kepada pendaki.
Dengan bermodal makanan ringan, kami bisa berdekatan dan membelai monyet liar itu. Setelah hari mulai malam, kami sempatkan makan malam terlebih dulu sebelum beristirahat untuk memulihkan tenaga.
Pendakian Hari Kedua (09 Juni 2013)
Pukul 08.00 WITA, kami sudah selesai makan. Sebelum berkemas, kami kembali memberi makanan kecil untuk monyet. Setelah membongkar tenda, packing, gosok gigi, dan buang air besar, pukul 10.00 WITA kami melanjutkan pendakian menuju Pos VI.
Nah, tanjakan menuju POS VI inilah ujian yang sesungguhnya sedang menunggu. Pada fase ini, kami dipertemukan dengan tujuh bukit penyesalan yang melegenda itu!
Kami harus melewati tanjakan dengan kemiringan yang ekstrem sebanyak tujuh bukit! Setelah melewati (mungkin) dua bukit, kami disambut pos bayangan (pukul 11.44 WITA) yang atapnya sudah rusak. Setelah tertatih-tatih, napas terputus-putus, kaki patah-patah, akhirnya kami sampai di plang Pos VI atau lebih dikenal dengan nama POS Plawangan Sembalun, tepat pukul 14.04 WITA.
Di sini kami sempatkan istirahat beberapa menit sebelum berjalan lagi agak ke atas menuju ground untuk mendirikan tenda. Pukul 15.23 WITA, kami sudah berada di tempat untuk membangun tenda, bergabung dengan pendaki dari Pertamina dan kawan-kawan dari Undip Semarang yang bertemu lagi di sana.
Kami menghabiskan waktu untuk istirahat, makan, ngobrol, dan bercanda dengan kawan-kawan pendaki lainnya. Tapi, jangan kaget kalau di pos ini kalian menemukan penjual minuman!
Ya, di pos ini ada yang menjual soft drink dan rokok. Tapi, jangan kaget lagi kalau harganya melambung tinggi. Di pos dengan ketinggian 2.700 mdpl ini, harga soft drink dan rokok juga ikut melambung tinggi. Harga 1 kaleng Pocari Sweat Rp 40.000, Coca-Cola Rp 30.000, Bintang Rp 70.000.
Baiklah, kalau tak ada uang –atau lebih tepatnya berhemat– tidak usah memaksakan diri untuk membeli.
Lebih baik kita seduh kopi atau teh bawaan. Atau kalau kehabisan air, tinggal turun sekitar 100 meter dari ground. Di situ ada sumber air bersih yang jauh lebih menyegarkan dan gratis. Setelah itu, tak perlu berpikir Pocari Sweat, Coca-Cola, atau Bintang lagi. Lebih baik istirahat supaya tenaga bisa cepat kembali terkumpul untuk menuju puncak Rinjani dini hari nanti.
Pendakian Hari Ketiga (10 Juni 2013)
Sesuai kesepakatan bersama, kami, kawan-kawan pendaki dari Pertamina dan dari Undip Semarang bangun pukul 01.22 WITA untuk bersiap menuju puncak. Langit terlihat cerah dengan taburan bintang. Kami sempat khawatir karena malamnya hujan turun. Tapi, sebelum tengah malam, hujan sudah reda. Berkat hujan yang sebentar itu, trek menuju puncak juga tidak terlalu berdebu.
Setelah mengisi perut secukupnya (bisa makan nasi, mi, atau agar-agar) kami checking perlengkapan. Setelah semua siap, kami tidak lupa memanjatkan doa bersama demi kelancaran dan keselamatan dalam pendakian menuju puncak kali ini. Sekitar pukul 02.03 WITA kami mulai perjalanan.
Dari Pos Plawangan menuju puncak didominasi trek terjal berpasir. Mirip trek ke puncak Semeru. Kami harus melewati jalan berkelok-kelok, mendaki bukit dan trek yang mudah longsor jika dipijak. Kondisi yang gelap dan dingin mengharuskan kami untuk tetap waspada dan konsentrasi agar tetap aman.
Sebelum benar-benar sampai puncak, tiba-tiba badai dan kabut menerjang sehingga cuaca menjadi sangat dingin. Angin kencang yang bertiup disertai kabut dingin sangat menguji mental dan ketahanan. Ada yang kemudian memutuskan turun sebelum sampai puncak. Tetapi banyak juga yang bisa menapakkan kakinya di puncak dengan ketinggian 3.726 mdpl.
Saya sendiri tiba puncak kurang lebih pada pukul 08.13 WITA, setelah berjuang dengan lelah dan dingin. Di puncak kami tidak bisa leluasa dan berlama-lama mengambil gambar karena angin semakin kencang dan kabut tak kunjung pergi.
Kabut membuat Danau Segara Anak di bawah sana tidak terlihat dari puncak. Sedikit terlihat, kemudian dengan cepat kembali menghilang di balik kabut. Tepat pukul 11.20 WITA saya memutuskan untuk turun. Jalan turun juga tidak semudah yang dibayangkan. Bisa dibilang turun dan mendaki memiliki penderitaannya sendiri-sendiri.
Butuh sekitar satu jam setengah bagi saya untuk sampai ke Pos Plawangan. Sampai di tenda, saya tidur sebentar sebelum kembali melakukan perjalanan. Setelah membongkar tenda dan selesai packing, tepat pukul 14.14 WITA kami turun menuju Danau Segara Anak.
Ternyata, untuk menuju danau tidak kalah menyiksa. Untuk turun kami harus menyusuri pinggir tebing curam dengan trek yang didominasi bebatuan. Setelah beberapa kali berhenti istirahat untuk menghimpun tenaga, kami akhirnya sampai di danau pukul 18.37 WITA.
Setelah menentukan tempat, di samping tenda kawan Pertamina, kami langsung mendirikan tenda, masak, makan, dan tidur.
Hari Kedua, Nge-Camp di Danau (11 Juni 2013)
Pukul 07.20 WITA saya terbangun. Sinar matahari sudah mulai hangat menerpa tenda. Ketika membuka pintu tenda, mata yang masih belum sempurna terbuka langsung disambut angin sejuk serta pemandangan Danau Segara Anak yang indah berselimut kabut tipis. Sebelum beraktivitas (memasak, makan, dll) kami menyempatkan diri untuk mandi.
Jangan takut kedinginan. Karena di sekitar danau ada sumber air panas. Letaknya tidak jauh dari camping ground. Sumber air panas yang bercampur dengan air terjun dari danau membuat air menjadi hangat.
Di sana kami bisa berendam sesuka hati, tapi juga harus tahu diri. Karena masih banyak pendaki lain yang juga ingin berendam, terlebih turis-turis mancanegara. Jadi tidak perlu kaget jika berendam bersama turis-turis yang hanya mengenakan bikini. Enjoy saja. Jarang-jarang kan di gunung bisa seperti itu.
Pukul 09.12 WITA kami selesai mandi dan berendam. Efek berendam di air hangat adalah rasa lelah bisa hilang dengan sendirinya, tapi juga kulit bisa menjadi kering karena habis kena dingin langsung kena panas. Tapi tak apa-apa lah, yang penting badan terasa segar kembali.
Selain dimanjakan dengan sumber air hangat, di camping ground ini juga menjadi surga bagi para pemancing. Di danau pagi itu sudah banyak yang mulai memancing. Saya sempat menyesal karena tidak bawa pancingan. Tapi untung saja porter dari kawan Pertamina punya pancing yang bisa dipinjam. Waktunya mancing.
Memancing di Danau Segara Anak sangat menyenangkan. Selain pemandangan yang menakjubkan, ikan-ikan di sini juga mudah dipancing. Cukup dengan umpan cacing yang bisa dicari di pinggir-pinggir danau, pemancing sudah bisa ’’memanen’’ ikan nila atau mujair. Atau jika beruntung, kalian bisa mendapatkan ikan mas atau orang setempat menyebutnya sebagai ikan kiper. Ikan yang didapat juga lumayan besar-besar sehingga pemancing akan merasa terpuaskan.
Cukup lama saya memancing. Setelah merasa sudah cukup, akhirnya saya mengakhiri kegiatan mancing-memancing ini. Saya sendiri mendapatkan tiga ikan nila berukuran besar dan dua berukuran kecil. Setelah mencari kayu bakar, ikan-ikan tersebut saya bakar. Nikmat.
Pukul 16.02 WITA kegiatan bakar-membakar dan santap-menyantap ikan bakar selesai sudah. Kegiatan berikutnya adalah kembali berendam di air hangat. Hehehe…
Setelah cukup lama berendam di air hangat, kami memutuskan kembali ke tenda setelah merasa udara menjadi semakin dingin. Beruntung bagi kami. Malam ini kami tidak perlu masak karena porter turis Singapura yang mendirikan tenda di sebelah tenda kami dengan baik hati menawari kami makan.
Sayur lodeh ikan tuna. Akhirnya makan enak di gunung!
Persiapan Turun Gunung (12 Juni 2013)
Kami bangun sekitar pukul 06.55 WITA dan lagi-lagi kami tak perlu masak karena porter yang semalam memberi kami makan kembali pagi ini. Saya pikir nasib kami memang beruntung pada pendakian kali ini.
Tapi, kami juga buntung. Sebagian logistik yang kami taruh di luar tenda hilang dicuri babi hutan! Ya, hati-hati karena di sekitar danau ini masih banyak babi hutan liar yang berkeliaran di malam hari.

Sekitar pukul 08.01 WITA kami sudah selesai makan. Selanjutnya yang akan kami lakukan adalah membongkar tenda dan packing barang-barang untuk persiapan turun gunung. Tepat pukul 09:08 WITA kami sudah melakukan perjalanan untuk turun gunung melalui jalur Senaru. Untuk keluar dari danau juga tidak mudah. Kami harus melewati trek menanjak melewati tebing curam yang rawan longsor.
Tanjakan trek di jalur ini lebih menyiksa dari trek-trek sebelumnya. Kami benar-benar berjalan di pinggir-pinggir tebing. Bahkan, di beberapa ruas tanjakan harus dipasang pagar dan tangga dari besi demi keamanan pendaki dan porter. Setelah tubuh bercucuran keringat, napas tersengal-sengal, dan tenaga hampir tumpas, sekitar pukul 12.15 WITA, kami sampai di Pos Plawangan Senaru.
Dari Pos ini kami bisa melihat pemandangan Danau Segara Anak dengan sangat jelas dan indah. Agar tidak menyesal, kami sempatkan sejenak untuk mengambil foto sambil istirahat sebelum melanjutkan turun gunung.
Ketika mendaki lewat jalur Sembalun, kami disambut padang sabana. Sedangkan saat turun melewati jalur Senaru, kami disambut rimbun hutan yang minim sinar matahari. Tapi, sebelum memasuki hutan, jalur turun terasa gersang karena minim pepohonan sebelum sampai di Pos III (sekitar pukul 13.53 WITA). Dari pos inilah jalur yang kami lewati mulai berubah rimbun pepohonan dan semak belukar.
Turun dari jalur ini memang lebih cepat daripada jalur Sembalun. Pada pukul 15.24 WITA kami sudah sampai di Pos II. Kami terus berjalan tanpa banyak berpikir tentang lelah karena kami ingin segera sampai. Meskipun kadang-kadang tengkuk terasa merinding ketika melewati rerimbun pepohonan yang cukup gelap. Tapi, saya tak peduli. Saya hanya ingin cepat turun!
Sekitar pukul 16.26 WITA kami sudah sampai di pos ekstra. Di pos ini kami mulai kehabisan air. Terpaksa jalan dari pos ekstra menuju Pos II tanpa air minum. Masing-masing pos berjarak antara 1-1,5 km. Sampai di Pos I jam sudah menunjukkan pukul 17.13 WITA dan kami masih tanpa air minum.
Berkat inisiatif Lin, akhirnya kami berjalan mengikuti rombongan pendaki yang menyewa jasa porter. Dengan begitu kami bisa mendapat setidaknya sedikit minuman dan makanan kecil dari mereka. Hehehe…
Saat kami sampai di plang pintu masuk jalur Senaru, jam sudah menunjuk pukul 17.51 WITA, tapi itu belum selesai. Setelah istirahat sejenak, kami masih harus berjalan sekitar 1,5 km lagi untuk benar-benar menyelesaikan turun gunung. Kami harus turun ke Rinjani Trek Center (RTC) Senaru. Pos perizinan dan pelaporan pendakian via Senaru.
Kami sampai di RTC Senaru pukul 18.35 WITA. Malam itu kami tidak langsung pulang, tapi menginap di RTC. Bukan satu malam, tapi dua malam!
Di sana kami mengenal Bapak Simalam, penjaga Pos RTC Senaru yang berbaik hati. Beliau memberi kami tempat untuk istirahat, memberi makan, kopi, rokok, dan mengajak wisata gratis ke air terjun Sindang Gila dan Tiu Kelep.
Kami juga diajak singgah ke rumah sederhana nan nyaman milik keluarganya di Desa Senaru. Sikap humoris yang beliau tunjukkan membuat kami cepat merasa nyaman dengan beliau.
Pulang ke Surabaya (14 Juni 2013)
Sekitar pukul 10.03 WITA saya, Lin, dan Paijo (kenalan di puncak) berpamitan untuk pulang ke Surabaya. Sementara Bakh malam harinya sudah meninggalkan RTC Senaru karena tergiur ikut berwisata ke Gili Trawangan dengan kawan Undip Semarang.
Dari RTC Senaru, kami harus naik ojek untuk sampai ke Bayan (ongkos ojek Rp 20.000). Dari Bayan, kami naik angkutan L300 menuju Terminal Mataram dengan ongkos Rp 30.000.
Sampai di Terminal Mataram sekitar pukul 13.45 WITA. Sebelum lanjut ke Pelabuhan Lembar, kami bertiga menyempatkan diri untuk mengisi perut di warung pinggir jalan. Di terminal ini kami berdua berpisah dengan Paijo yang akan menuju Mataram Kota. Tepat pukul 14.50 WITA kami berdua berangkat dengan angkutan umum menuju Pelabuhan Lembar dengan ongkos Rp 15.000.
Sekitar pukul 15.06 WITA kami berdua sampai di Pelabuhan Lembar. Setelah membeli kapal Rp 36.000, kami memasuki kapal dan siap berlayar menuju Pelabuhan Padang Bai. Sekitar pukul 20.16 WITA, kapal bersandar di Pelabuhan Padang Bai. Kami tidak langsung menuju Terminal Ubung. Kami sempatkan makan nasi goreng lebih dulu sebelum melakukan perjalanan panjang.
Setelah selesai makan dan tawar-menawar ongkos angkutan umum menuju Terminal Ubung, tepat pukul 21.22 WITA kami meluncur. Awalnya sopir minta Rp 50.000. Tapi, setelah kami pasang wajah memelas dan tahu kami pendaki, sang sopir yang berbadan tegap bertato akhirnya luluh dan memberi kami harga Rp 30.000 (penumpang lainnya tetap Rp 50.000).
Sekitar pukul 22.38 WITA kami sampai di Terminal Ubung. Sampai di sana, kami langsung membeli tiket bus AC Rp 50.000 menuju Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Sekitar pukul 23.00 WITA, kami berangkat dari Ubung menuju Ketapang. Sampai di Ketapang jam tangan sudah menunjukkan pukul 03.25 WIB.
Kami tidak buang-buang waktu lagi dan langsung nangkring di kursi bus Akas menuju Jember (Rp 30.000).
Di Terminal Jember, kami berpindah bus. Setelah sarapan ala kadarnya di bus yang baru kami naiki itu, kami langsung bergerak menuju Surabaya dengan ongkos Rp 28.000. Apes. Di daerah Lumajang terjadi kecelakaan sehingga perjalanan semakin lama, sampai-sampai sopir harus ngebut bukan main untuk mengejar jam setoran.
Dan akhirnya pukul 14.33 WIB kami sampai di Terminal Purabaya, Sidoarjo. Di sini, saya dan Lin berpisah. Lin langsung menuju kos-kosannya di Madura, sedangkan saya menuju Wonocolo. Oke, sampai jumpa di pendakian selanjutnya. (*)
Surabaya-Lombok, 08–12 Juni 2013



Comments