top of page

Mengintip Panorama Sindang Gila dan Tiu Kelep, Lombok



"KAPAN-kapan kalau ke Lombok lagi bawa uang yang banyak!” kata seorang kawan yang saya kenal saat pendakian Gunung Rinjani. Bawa uang banyak memang gampang, tapi pertanyaannya adalah uang siapa yang musti saya bawa?? Lagi pula keberadaan saya di Lombok semata-mata hanya untuk menengok singgasana Dewi Anjani. Kalaupun saya bisa mengintip panorama air terjun Sindang Gila dan Tiu Kelep itu bukan karena saya memiliki kelebihan uang, tapi bonus.


Saya dan kawan pendaki lainnya turun dari Rinjani tanggal 12 Juni 2013 sore. Saya tidak langsung pulang tapi bermalam di Rinjani Trek Center (RTC) Senaru yang saat itu dijaga oleh Pak Simalam, mantan guide-porter Gunung Rinjani. Keesokan paginya, ketika sedang menikmati kopi dan rokok A Mild yang beliau sajikan, tawaran untuk wisata gratis ke dua air terjun tersebut pun menghampiri. Saya dan dua kawan lainnya akhirnya menunda kepulangan dan tinggal sehari lagi di Lombok.


Bagi pengunjung yang berangkat dari Mataram, untuk mencapai lokasi air terjun Anda harus menempuh perjalanan 2 hingga 3 jam menuju Desa Senaru. Anda bisa naik angkutan dari terminal Mataram menuju Kecamatan Bayan dengan ongkos kurang lebih Rp 30.000. Setelah itu naik ojek menuju Desa Senaru dengan ongkos Rp 20.000. Tapi bagi saya yang berada di RTC Senaru hanya perlu waktu sekitar satu jam dengan berjalan kaki untuk mencapai dua air terjun tersebut.


Air terjun Sindang Gila dan Tiu Kelep masih berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Lebih tepatnya berada di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.


Untuk bisa menikmati air terjun ini pengunjung hanya perlu mengeluarkan uang Rp 10.000 untuk membeli tiket. Tapi saya dan dua kawan lainnya tidak perlu membayar berkat kebaikan hati Pak Simalam, penjaga Pos RTC Senaru, yang mengajak kami melewati “jalur rahasia” sehingga tidak perlu bayar tiket.


Air Terjun Sindang Gila


Lokasi air terjun Sindang Gila berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan air terjunnya sendiri memiliki ketinggian 31 meter. Air terjun ini terdiri dari dua tingkatan. Tingkatan pertama, air terjun keluar dari tebing dan jatuh ke sebuah kolam kecil sebelum mengalir lagi dan jatuh ke tempat yang lebih datar dan membentuk aliran sungai. Kontur sungai ini relatif datar sehingga banyak pengunjug lokal yang bisa merasakan dingin airnya dengan mandi atau hanya sekadar membasuh muka.


Di lokasi ini infrastrukturnya sudah cukup lengkap karena sudah dibangun toilet, mushola, kios penjual makanan dan minuman, dan juga tempat untuk bersantai (berugak) bersama kawan, pasangan, atau keluarga Anda. Akses untuk menuju kawasan ini juga sudah sangat mudah karena sudah dibuatkan tangga yang terbuat dari semen. Saat itu akses jalan menuju lokasi juga sedang dilakukan perbaikan sehingga nantinya diharapkan akan lebih memudahkan dan memberi kenyamanan kepada para pengunjung.


Menurut cerita rakyat yang berkembang, nama Sindang Gila diambil dari cerita penduduk setempat yang secara tidak sengaja menemukan air terjun ini saat memburu singa gila yang mengacau di sebuah kampung dan kemudian lari masuk ke hutan. Selain asal-usul nama, warga setempat juga mempercayai sebuah mitos yang menyatakan bahwa bagi siapa saja yang membasuh muka atau mandi di situ maka dia bisa menjadi satu tahun lebih muda.


Selain air terjun Sindang Gila, di lokasi ini terdapat dua air terjun lainnya, yaitu air terjun Tiu Kelep dan Betara Lejang. Kedua air terjun ini berada di atas lagi ke arah hulu. Namun, perjalanan saya kali ini hanya sampai pada Tiu Kelep. Air yang mengalir dan membentuk air terjun Tiu Kelep ini bersumber dari Danau Segara Anak yang berada di puncak Gunung Rinjani.


Air Terjun Tiu Kelep


Tidak seperti Sindang Gila, untuk mencapai air terjun Tiu Kelep jalur yang saya lalui sedikit lebih menantang. Dari Sindang Gila saya harus melalui jalan setapak cukup jauh. Melewati pinggiran aliran sungai dan naik melewati saluran irigasi yang juga difungsikan sebagai jembatan penyeberangan. Di tengah perjalanan saya menemui pintu air untuk mengatur aliran sungai. Sayang sekali, bangunan ini dipenuhi coretan tangan-tangan usil para pengunjung.


Untuk benar-benar mencapai Tiu Kelep, saya harus menyusuri badan sungai mengingat belum ada jalur resmi yang dibangun untuk mempermudah akses menuju air terjun tersebut. Bebatuan yang agak licin dan aliran sungai yang cukup deras mengisyaratkan saya untuk hati-hati agar tidak tergelincir. Tapi justru hal itulah yang membuat perjalanan menuju air menjadi semakin seru.


Ketika berada di hadapan air terjun Tiu Kelep, mata saya pun berbinar dan cenderung takjub akan keindahannya. Jika dibandingkan dengan Sindang Gila, air terjun Tiu Kelep lebih indah dan lebih tinggi dengan ketinggian 42 meter. Kapasitas air yang jatuh pun lebih banyak dan melebar seperti sebuah tirai putih yang menjuntai dari tebing-tebing hijau. Air dari Tiu Kepel inilah yang kemudian mengalir di pinggir tebing dan kemudian jatuh membentuk air terjun Sindang Gila.


Lokasinya yang sedikit tersembunyi dan dipenuhi dengan bebatuan besar membuat tempat ini menjadi lebih indah dan natural. Belum lagi tebing di sisi kanan dan kiri yang begitu hijau, gemuruh air jatuh, serta derik serangga-serangga hutan menciptakan sebuah harmoni yang hanya bisa disajikan oleh orkestra alam semesta.


Berbeda dengan Sindang Gila, di tempat ini pengunjung yang mendominasi adalah wisatawan mancanegara dengan guide-nya masing-masing. Seingat saya, pada saat itu wisatawan lokal hanya saya dan kedua kawan saya (dan juga Pak Simalam) yang ada di situ. Mereka pun (para turis asing) tidak mau melewatkan begitu saja keindahan Tiu Kelep dan ingin merasakan kesejukan airnya.


Kebanyakan dari mereka kemudian menanggalkan baju dan kemudian mandi di bawah air terjun dengan hanya mengenakan bikini. Kolam yang terbentuk di bawahnya cukup luas dan datar. Kedalamannya pun hanya sepinggang orang dewasa sehingga masih aman dipakai untuk mandi. Pada saat seperti itu terjadi pergolakan batin pada diri saya untuk memutuskan mandi atau tidak. Setelah merasakan udara yang cukup dingin (dan juga tidak bawa baju ganti), akhirnya saya memutuskan untuk tidak mandi.


Seperti Sindang Gila, air terjun Tiu Kelep juga memiliki mitosnya sendiri. Warga setempat mempercayai bahwa siapa pun yang mandi di sana bisa awet muda. Dalam bahasa sehari-hari Suku Sasak di Lombok, kata “Tiu” berarti ‘Kolam’, sedangkan “Kelep” berarti ‘Terbang’ sehingga dapat diambil terjemahan ‘kolam tempat buih-buih air beterbangan’. Pada saat-saat tertentu, butiran air yang beterbangan itu memunculkan pelangi di ujung air terjun.


Namun, sayang sekali fenomena alam nan indah di bayangan itu tidak bisa saya saksikan pada saat itu. Jadi saya nikmati saja bule-bule yang sedang asik mandi di bawah air terjun.

Sebelum kembali ke RTC Senaru, saya dan kawan-kawan menyempatkan diri kongkow sebentar di tengah-tengah aliran sungai yang memiliki dataran lebih tinggi. Kami duduk-duduk di atas batu dan kayu sambil menikmati camilan dan tentu saja tidak lupa rokoknya. Dari kongkow sebentar ini saya tahu bahwa nasib air di kawasan ini sedang dipertaruhkan!


“Berkali-kali datang permintaan untuk pengambilalihan air di sini oleh perusahaan tertentu. Mereka menjanjikan pengambilalihan ini demi kebaikan dan kesejahteraan bersama,” kata Pak Simalam memulai cerita. “Pemerintah kabupaten sudah menyetujui, tapi semuan warga di sini menolak.”


“Bayangkan saja kalau semua air di sini dikelola perusahaan. Tidak semua orang bebas memanfaatkan air dan tidak semua orang bisa mendapatkan penghasilan. Contohnya, jika perusahaan air itu jadi dibangun maka tidak semua orang di desa ini bisa bekerja di perusahaan tersebut, paling pekerjanya berasal dari luar Senaru, atau dari luar Lombok. Lalu kami harus bekerja apa kalau perusahaan itu sampai dibangun?”


Saya rasa itu hanya pertanyaan retoris dari Pak Simalam. Pertanyaan tanpa meminta jawaban. Saya pun hanya diam dan terus mendengarkan penuturan Pak Simalam.


“Kalau kondisinya masih seperti ini, air masih dikelola secara swadaya oleh masyarakat, kami semua bisa merasakan manfaatnya. Siapa saja bisa menjadi guide bagi turis-turis lokal maupun mancanegara sehingga memiliki penghasilan. Nah, ini tidak akan bisa kami lakukan kalau sampai air di sini dikuasai oleh perusahaan.”


Baiklah. Saya megamini apa yang dikatakan Pak Alam – yang juga mewakili suara semua warga di sini. Saya hanya bisa berdoa semoga mereka bisa mempertahankan ladang penghidupan mereka dari serobotan serigala-serigala liar yang hanya menginginkan keuntungan pribadi dengan eksploitasi yang berlebihan.


Setelah hampir setengah jam saya dan kawan-kawan kongkow di tengah sungai, saya dan kawan-kawan pun bergegas kembali ke Pos RTC Senaru. (*)


Lombok

Comments


bottom of page