top of page

Melepas Lelah di Berugak: Sedikit Mengenal Suku Sasak di Desa Senaru, Lombok Utara



AWALNYA, satu-satunya hal yang menarik bagi saya dari Pulau Lombok hanyalah Gunung Rinjani yang menjulang tinggi di antara gunung-gunung lain yang banyak tersebar di Pulau Seribu Masjid itu. Tapi setelah satu minggu berada di sana, saya mulai menemukan banyak hal yang menarik untuk dilihat selain panorama singgasana Dewi Anjani. Salah satunya adalah keberadaan warga Suku Sasak yang tinggal di kaki gunung Rinjani, tepatnya di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.


Sekilas perkenalan saya dengan Suku Sasak hanya melalui literatur atau dari buku-buku hasil penelitian. Sedangkan perkenalan saya secara langsung dengan salah satu warga Suku Sasak di Desa Senaru terjadi sesaat setelah saya turun dari Gunung Rinjani. Bapak Simalam, nama beliau. Beliau adalah penjaga pos Rinjani Trek Center (RTC) Senaru dan mantan guide-porter untuk pendaki Gunung Rinjani.


Tabiat beliau yang humoris membuat saya cepat merasa nyaman. Malam itu juga beliau mengizinkan saya dan dua kawan pendaki lainnya untuk bermalam di RTC Senaru, mengingat saat saya turun gunung jam sudah menunjukkan pukul 18:45 WITA. Rencananya, keesokan harinya saya akan langsung balik ke Surabaya.


Namun, pada keesokan harinya, sambil membuatkan kopi Nescafe untuk saya dan dua kawan lainnya, beliau menawarkan kepada saya untuk mengunjungi wisata air terjun di Senaru dengan gratis dan menyarankan pulang keesokan harinya saja. Kami pun mengiyakan.


Menjelang pukul 11:37 WITA kami mulai berjalan menjenguk kesejukan air terjun Sindang Gila dan Tiu Kelep tanpa bayar tiket masuk. Lokasinya tidak terlalu jauh, kira-kira hanya satu jam berjalan kaki dari pos RTC Senaru.


Bukan hanya itu, beliau juga yang mengeluarkan uang untuk membeli minuman, makanan kecil, dan tak lupa rokoknya. Sepanjang jalan beliau tetap besikap humoris yang bisa membuat saya lupa akan rasa lelah.


“Kalian hebat, naik ke Gunung Rinjani gak pakai guide-porter, tapi ke air terjun sini saja pake guide,” celetuk Pak Alam. Saya pun terkekeh sambil terus berjalan menuju air terjun, begitu juga dua kawan saya.


Akses jalan menuju air terjun Sindang Gila sedang dibangun saat itu. Di lokasi ini sudah tersedia fasilitas kamar mandi, tempat yang nyaman untuk istirahat, dan juga kios penjual makanan ringan dan minuman. Cukup banyak warga lokal maupun turis mancanegara yang berkunjung di sini. Air terjun Sindang Gila terletak di ketianggian kurang lebih 600 mdpl dan memiliki ketinggian 31 meter. Tidak jauh dari situ terdapat pula air terjun yang jauh lebih indah, Tiu Kelep.


Untuk mencapai lokasi air terjun Tiu Kelep cukup sulit mengingat pengunjung harus menyusuri anak sungai karena belum ada jalur resmi yang dibangun untuk mencapai lokasi tersebut. Namun, hal itu justru lebih indah karena kesan alaminya masih terjaga dari pembangunan dan menarik untuk dikunjungi.


Tiu Kelep memiliki keyinggian 42 meter dengan panorama memukau. Kanan dan kiri dari air terun ini masih berupa hutan dengan pepohonan rindang. Air yang jatuh juga masih bersih dan jernih, tampak seperti sebuah hamparan tirai putih. Air yang jernih dan bebatuan besar sepanjang sungai membuat saya tidak ingin lekas beranjak.


Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, saya sempatkan sejenak kongkow di tengah aliran sungai yang dangkal – di atas kayu dari pohon yang tumbang dan bebatuan – sambil menikmati makanan kecil dn air minum yang sudah di tangan. Tak lupa, saya sempatkan menikmati asap Marlboro di tengah gemericik aliran sungai. Maka nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan?


Melepas Lelah di Berugak


Menjelang sore hari saya kembali ke RTC Senaru untuk mandi. Setelah ini Pak Alam akan mengajak saya dan kawan-kawan untuk singgah di rumahnya. Menjelang pukul 17:50 WITA kami turun dari RTC Senaru menuju rumah Pak Alam. Jalan menuju rumah Pak Alam bisa dibilang belum tersentuh pembangunan. Hal itu cukup kontras dengan jalan menuju RTC Senaru yang sudah berupa aspal.


“Kami sebenarnya sudah meminta kepada pemerintah untuk membangun jalan. Tapi jawaban mereka ya hanya nanti dan naniti menunggu giliran. Akhirnya kami bangun secara swadaya,” jawab Pak Alam ketika salah satu kawan bertanya tentang jalan yang rusak ini.


Di daerah ini juga belum sepenuhnya dialiri listrik, untuk itu mereka yang rumahnya ingin dialiri listrik harus swadaya. Selain itu, saluran televisi juga tidak bisa dinikmati dengan cuma-cuma seperti di Surabaya. Mereka harus memasang antena parabola untuk bisa mendapatkan siaran televisi.


Untuk mencapai rumah Pak Alam saya harus melewati perkebunan yang banyak ditanami kopi dan coklat (kakau). Di Desa Senaru tidak seperti di desa-desa lain. Di sini satu desa terdiri dari petak-petak kawasan yang lebih kecil yang dibatasi oleh pagar melingkar yang terbuat dari kayu atau bamboo. Setiap petak kawasan dipisahkan oleh kebun. Satu petak kawasan terdiri dari satu keluarga yang bisa ditempati sekitar empat sampai lima rumah. Di setiap rumah terdapat satu bangunan yang terpisah dari rumah utama, namanya Berugak, semacam gubug kalau di Jawa.


Secara fisik, Berugak seperti rumah panggung dan biasanya berbentuk persegi atau persegi panjang dengan atap terbuat dari ilalang atau daun kelapa dan letaknya terpisah dari rumah utama. Lantai dari Berugak terbuat dari kayu atau bambu dengan empat tiang (sekepat) atau enam tiang (sekenam). Berugak sekepat atau sekenam tidak ada bedanya, hanya saja kalau salah dalam peletakannya maka akan mengakibatkan bala.


“Sebenarnya Berugak sekepat atau sekenam sama saja. Cuma, kalau salah meletakkannya maka salah satu dari keluarga kami akan terkena bala (penyakit),” terang Pak Alam ketika saya tanyakan perihal perbedaan Berugak sekepat dan sekenam.


Adapun fungsi Berugak bagi Suku Sasak adalah sebagai tempat berkumpulnya keluarga, baik itu untuk kegiatan makan, pertemuan-pertemuan, atau menerima tamu. Sebagai tamu, saya dan kawan-kawan pun dipersilahkan naik ke Berugak dan dijamu dengan makanan dan minuman khas. Suasana begitu hangat mengingat keluarga Pak Alam sangat permisif dan juga humoris.


Hampir di setiap rumah di Desa Senaru (atau di Lombok pada umumnya) memiliki Berugak. Selain memiliki hewan ternak (sapi atau kambing), Pak Alam juga memelihara anjing, seperti kebanyakan warga Senaru, baik sebagai hewan pemburu maupun hewan penjaga. Adapun anjing yang ada di rumah Pak Alam hanya menjadi anjing penjaga. Perihal kepercayaan, beliau mengaku sekeluarga beragama Islam. Sebelum mengenal Islam yang dibawa oleh sunan Prapen sekitar abad XVI setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, di Lombok mayoritas warganya memeluk agama Hindu.


Adanya akulturasi agama dan kebudayaan setempat (sebelum Hindu masuk, kepercayaan di Lombok adalah animisme dan dinamisme) memunculkan kepercayaan baru yang dikenal dengan Wetu Telu. Wetu Telu (Waktu Tiga) disebut sebagai waktu beribadah/shalat yang dilakukan sebanyak tiga kali dalam sehari. Menurut referensi, daerah yang masih banyak menganut ajaran ini adalah daerah Bayan, termasuk desa Senaru. Namun, ketika hal itu saya tanyakan kepada Pak Alam, beliau membantah bahwa Wetu Telu adalah waktu ibadah/shalat yang hanya dilaksanakan tiga kali dalam sehari.


“Dulu ada peneliti yang datang ke sini untuk menanyakan Wetu Telu,” kata Pak Alam mulai menjelaskan.


“Saya katakan kepada dia bahwa Wetu Telu itu bukan soal ibadah. Ada filosofi yang mendalam dalam Wetu Telu tersebut. Di sini Wetu Telu itu bukan shalat tiga kali, tapi Wetu Telu itu adalah Matahari, Air, dan Tanaman. Ketiga unsur tersebut adalah penting bagi kehidupan manusia. Dengan sinar matahari dan air yang cukup tanaman bisa tumbuh subur dan dari tanaman itulah kita hidup,” tukas beliau.


Penjelasan beliau saya terima dengan baik sebagai tambahan ilmu yang sangat berharga. Terlepas dari itu semua, keyakinan adalah hak individu dan tak ada seorang pun yang berhak memaksakannya. Merdeka!


Makanan dan Minuman Khas


Berada di Berugak, waktu sudah menunjukkan pukul 19:13 WITA. Perut kami masih penuh makanan karena sebelum pulang dari air terjun saya dan kawan-kawan sudah ditraktir makan oleh Pak Alam. Tapi mata kami kemudian terbelalak melihat satu bakul penuh nasi di keluarkan dari dalam rumah.


“Wah, kita makan lagi??? Sudah gak sanggup Pak Alam.”


“Sudah, terima saja. Ini rezeki untuk kalian. Ini adalah rezeki dari Yang Di Atas untuk kalian lewat saya. Coba bayangkan, kalian di puncak Rinjani tidak menemukan makanan sebanyak ini. Nah, di sini ada banyak makanan. Ya sudah, nikmati saja. Tidak baik menolak rezeki. Iya, kan?”


Sambil menarik napas panjang saya mengiyakan tanpa suara. Mengingat apa yang saya lalui di atas Rinjani, harusnya saya memang bersyukur masih bisa makan banyak. Setelah nasi, makanan lain yang keluar adalah tiga piring sayur nangka muda (atau kalau di Jawa disebut “tewel”) yang diberi taburan kelapa dan tiga piring sayur komak lebih. Sayur komak lebih, atau sering disebut sayur komak, terbuat dari kacang komak. Kacang komak ini dijadikan sebagai lauk dan bisa juga dijadikan camilan.


Setelah dipersilahkan, saya dan kawan-kawan langsung menyantap satu piring nasi dengan sayur nangka muda dan sayur komak yang ada di hadapan masing-masing. Makanan sederhana yang memiliki cita rasa berbeda dengan makanan yang biasa saya makan. Setelah perut kenyang, wisata kuliner kami belum selesai. Setelah piring-piring kosong dimasukkan (kecuali komak yang bisa dijadikan camilan) keluarlah minuman khas Lombok, Brem.


Brem adalah minuman beralkohol khas Lombok. Minuman ini biasanya disajikan untuk menyambut tamu yang datang dan disarankan untuk tidak menolaknya karena itu dianggap tidak sopan oleh tuan rumah. Brem juga biasanya dikonsumsi untuk upacara adat, entah untuk acara pernikahan atau sunatan. Jika tuan rumah yang memiliki hajat tidak menyediakan Brem maka keluarga itu akan menjadi bahan pembicaraan di desa.


Minuman ini dibuat dari bahan ketan yang diberi tambahan ragi tape dan didiamkan selama sekitar 3 minggu untuk proses fermentasi. Brem biasanya disimpan di lumbung padi atau dikubur di dalam tanah agar lebih enak karena suhu yang hangat. Semakin lama Brem disimpan, maka akan menghasilkan cita rasa yang berbeda dan lebih enak pastinya.


Brem di Lombok ada yang berwarna merah dan putih serta memiliki rasa manis dan pahit, tergantung ketan yang digunakan. Ada Brem yang memiliki rasa manis dan ada juga yang pahit. Adapun Brem yang saya nikmati kali ini memiliki rasa yang manis dan enak. Kacang komak yang gurih nan lembut di lidah semakin menambah nikmat perjamuan malam ini.


Di tengah menikmati Brem yang belum habis, dari dalam rumah nan sederhana dengan atap dari daun kelapa di samping Berugak, gadis kecil keluar dengan membawa empat gelas kopi sasak. Kopi sasak dari Lombok ini banyak dikenal oleh penikmat kopi sebagai kopi dengan cita rasa yang khas.


Aromanya pun harum dan mantap. Beruntung bagi saya bisa menikmati kopi sasak dan diminum di tempatnya langsung. Sebelum pulang ke Surabaya, beliau memberi saya satu kantong plastik kopi bubuk khas Lombok untuk di bawa pulang ke Jawa sebagai oleh-oleh.


Setelah kenyang, saya dan kawan-kawan masih bersantai di Berugak sambil ngobrol dan bergelak tawa. Awalnya saya dan kawan-kawan tidak diperbolehkan pulang ke Surabaya esok harinya dan disuruh tinggal satu hari lagi. Alasannya, di desa Senaru akan diadakan acara tari tradisional yang rutin diadakan setiap malam Jum’at, begitu menurut penuturan Pak Alam. Tapi dengan sangat menyesal kami harus tetap pulang keesokan harinya.


Kebersamaan yang singkat tapi sudah cukup meninggalkan kesan mendalam. Semoga di lain waktu bisa kembali bersandar di Pulau Dewi Anjani. (*)

Comentarios


bottom of page