Kamping Semalam di Gunung Bromo
- budiawanagus
- Mar 12, 2013
- 4 min read

SAAT kota terasa sumpek, tidur di gunung bisa menjadi alternatif untuk me-refresh pikiran dari kepenatan. Saya berdua bersama saudara pun meluncur ke Gunung Bromo. Setelah 2009, baru kali ini saya bisa kembali menyambangi Bromo.
Karena akan kamping, perbekalan yang kami bawa tentu sedikit lebih banyak daripada sekadar traveling biasa. Namun, karena belum punya perlengkapan outdoor, untuk tenda, nesting, dan kompor portable kami harus menyewa.
Seingat saya, tarif sewa tenda per hari kena Rp 25.000. Tarif peralatan yang lain saya lupa. Nah, saran saja, kalau Anda berniat naik gunung atau kamping outdoor dengan peralatan menyewa, coba cek dulu perlengkapannya saat masih berada di toko.
Jangan sampai Anda senasib dengan saya. Saat kamping, hujan turun tidak begitu deras. Namun, tenda yang kami sewa ternyata bocor. Terdapat beberapa lubang kecil di beberapa bagian layer tenda. Ditambah kami tidak membawa lakban untuk menambalnya.
Jadilah kami tidur meringkuk di sedikit area dalam tenda yang masih terselamatkan dari air. Tidak nyenyak memang, tapi itu masih lebih baik daripada tidur di luar tenda. Hehe…
Saya berdua dengan saudara meluncur dari Surabaya dengan mengendarai motor Supra X-125 keluaran 2005. Motor ini juga saya pakai saat merayakan pergantian tahun 2009 lalu. Masih tangguh sih untuk ke kaldera Bromo. Kalau ke penanjakan, ampun.
Bromo bisa dijangkau dari dua akses utama. Dari Probolinggo dan Pasuruan.
Jarak dari Kota Probolinggo ke Bromo sekitar 45 kilometer. Rutenya ditempuh menuju Ketapang, lalu menuju Sukapura. Di daerah ini, banyak penginapan untuk melepas lelah.
Dari Sukapura, perjalanan dilanjutkan menuju Ngadisari dan kemudian Cemoro Lawang. Tepat di bibir Kaldera. Perjalanan tersebut bisa ditempuh sekitar 1,5 jam.
Nah, untuk menuju kaldera Bromo dari Pasuruan, Anda perlu menuju Tosari lewat Pastepan dengan jarak tempuh sekitar 45 kilometer. Dalam perjalanan ini, Anda bisa menggunakan transportasi bus maupun angkot.

Dari Tosari, perjalanan dilanjutkan menuju Wonokitri dan bisa dilanjutkan dengan jalan kaki menuju Bromo (jarak tempuh sekitar 14 kilometer). Bisa juga dengan naik Jeep. Kalau mau lebih mudah, naik motor saja. Tapi, diharuskan naik motor selain motor matik. Tanjakan di Bromo bisa menyiksa motor matik.
Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut (mdpl). Secara administrasi, gunung api yang masih aktif ini berada di empat wilayah. Yakni, Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang.
Gunung yang selalu mengeluarkan asap dari kawahnya ini bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Ingat atau tahu film Pasir Berbisik yang dibintangi Dian Sastro dan Christine Hakim? Film itu mengambil setting di kaldera Bromo.
Gunung Bromo mempunyai kawah aktif. Selama abad XX, Bromo meletus tiga kali dengan interval waktu yang teratur, yaitu 30 tahun. Letusan terbesar terjadi pada tahun 1974.
Nama Bromo berasal dari bahasa Sanskerta: Brahma, salah satu Dewa Utama Hindu. Selain terkenal sebagai objek wisata, gunung ini dipercaya sebagai gunung suci bagi Suku Tengger, penduduk Bromo.
Setahun sekali, masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Kami waktu itu mendirikan tenda di samping tembok Pura Luhur Poten. Berada di bawah kaki kawah Gunung Bromo, pura ini menjadi tempat ibadah yang sakral bagi Suku Tengger yang yang beragama Hindu. Suku Tengger adalah masyarakat yang menghuni kawasan Taman Nasional Bromo.
Masyarakat setempat percaya bahwa Pura Luhur Poten menjadi kediaman Isa Sang Hyang Widhi Wasa yang merupakan perwujudan dari Dewa Brahma. Brahma adalah satu di antara tiga dewa besar dalam agama Hindu selain Siwa dan Wisnu.
Menurut sejarah, Pura Luhur Poten didirikan pada tahun 2000 di kawasan kaldera atau lautan pasir Bromo. Arsitekturnya merupakan percampuran budaya Jawa dan Bali. Keduanya memang sangat kental dengan nuansa agama Hindu.
Pura ini juga bisa menjadi objek wisata yang artistik bagi pengunjung. Namun, mengingat pura ini adalah tempat ibadah, pengunjuk hanya bisa menikmatinya dari luar pagar.

Malam pun berganti pagi. Matahari menyembul di antara barisan bukit Bromo. Kabut tipis tampak menyelimuti. Udara dingin yang memeluk tubuh perlahan bercampur dengan kehangatan.
Sungguh waktu yang pas untuk masak nasi dan menyeduh kopi. Setelah agak siang, kami bergegas menuju bibir kawah di atas sana. Kami perlu menaiki 250 anak tangga untuk menikmati keindahan di sekeliling Bromo.
Dari atas sini, segala yang tampak di bawah sana terlihat sangat kecil. Termasuk Pura Luhur Poten yang tampak kecil di tengah lautan pasir.
Setelah turun, kami mampir sejenak di penjual kopi di kaki gunung. Penjualnya perempuan tua. Ia berjualan sambil menikmati rokok. Ya, jangan heran kalau main ke sini dan melihat baik laki-laki maupun perempuan setempat merokok.
Di sini, kopi dan rokok seperti sudah menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan, baik laki-laki maupun perempuan.
Di sini pelancong juga bisa membeli bunga abadi edelweiss. Saat mendaki gunung, haram hukumnya memetik edelweiss. Tapi di Bromo berbeda. Anda bisa membeli bunga edelweiss sebanyak yang Anda suka. Harganya bervariasi.
Sebagian masyarakat Tengger memang sengaja membudidayakan bunga edelweiss sendiri untuk dijual kepada traveler. Jadi nggak perlu takut di-bully di media sosial kalau pamer foto bunga edelweiss dari Bromo. Halal.
Kami hanya nge-camp semalam di Bromo. Takut tenda bocor kalau hujan lagi. Hehe… (*)
Lumajang, 12 Maret 2013



Comments