Kali Pertama Kenal Gunung Bromo, Secuil Surga di Bumi Indonesia
- budiawanagus
- Jan 1, 2009
- 2 min read

SEBAGAI anak rumahan, saya hampir tidak pernah berkegiatan outdoor. Apalagi traveling. Kegiatan outdoor atau kamping pertama saya adalah saat ikut Pramuka waktu SMP. Berkemah dalam kegiatan jambore. Dulu saya tergabung dalam Hizbul Wathan (HW). Pramukanya anak-anak Muhammadiyah.
Saat kuliah pun sama saja. Saya jadi anak kos-kosan, mager nauzubillah. Hanya kamping saat ada kegiatan malam keakraban dalam menyambut mahasiswa baru.
Begitu memasuki akhir-akhir kuliah, saya baru tertarik traveling. Tujuan saya kala itu adalah Gunung Bromo. Motoran bersama teman-teman kuliah. Berangkat dari Surabaya.
Bromo bisa dijangkau dari dua akses utama. Dari Probolinggo dan Pasuruan. Jarak dari Kota Probolinggo ke Bromo sekitar 45 kilometer. Rutenya ditempuh menuju Ketapang, lalu menuju Sukapura. Di daerah ini, banyak penginapan untuk melepas lelah.
Dari Sukapura, perjalanan dilanjutkan menuju Ngadisari dan kemudian Cemoro Lawang. Tepat di bibir Kaldera. Perjalanan tersebut bisa ditempuh sekitar 1,5 jam.
Nah, untuk menuju kaldera Bromo dari Pasuruan, Anda perlu menuju Tosari lewat Pastepan dengan jarak tempuh sekitar 45 kilometer. Dalam perjalanan ini, Anda bisa menggunakan transportasi bus maupun angkot.

Dari Tosari, perjalanan dilanjutkan menuju Wonokitri dan bisa dilanjutkan dengan jalan kaki menuju Bromo (jarak tempuh sekitar 14 kilometer). Bisa juga dengan naik Jeep. Kalau mau lebih mudah, naik motor saja. Tapi, diharuskan naik motor selain motor matik. Tanjakan di Bromo bisa menyiksa motor matik.
Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut (mdpl). Secara administrasi, gunung api yang masih aktif ini berada di empat wilayah. Yakni, Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang.
Gunung yang selalu mengeluarkan asap dari kawahnya ini bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi. Ingat atau tahu film Pasir Berbisik yang dibintangi Dian Sastro dan Christine Hakim? Film itu mengambil setting di kaldera Bromo.
Gunung Bromo mempunyai kawah aktif. Selama abad XX, Bromo meletus tiga kali dengan interval waktu yang teratur, yaitu 30 tahun. Letusan terbesar terjadi pada tahun 1974.
Nama Bromo berasal dari bahasa Sanskerta: Brahma, salah satu Dewa Utama Hindu. Selain terkenal sebagai objek wisata, gunung ini dipercaya sebagai gunung suci bagi Suku Tengger, penduduk Bromo. Setahun sekali, masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di Pura Luhur Poten yang berada di bawah kaki Gunung Bromo dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo.

Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.
Saya dan kawan-kawan datang dan kamping semalam di sini untuk merayakan pergantian tahun. Dari tahun 2008 berganti ke tahun 2009. Warga setempat membuat acara kesenian dan pawai obor untuk menyambut pergantian tahun. Ada juga acara bakar-bakar hasil bumi seperti ubi, jagung, dan singkong.
Inilah awal mula perkenalan saya dengan gunung serta kamping di luar kepramukaan dan kegiatan kampus. Dari sini, di titik ini, perjalanan saya terus berlanjut. (*)
Lumajang, 31 Desember 2008–01 Januari 2009



Comments