JELAJAH JOGJA: Jalan Malioboro, Jalan Pengembaraan
- budiawanagus
- Feb 15, 2018
- 3 min read

SELAMA empat hari di Jogjakarta, kami punya misi kecil-kecilan: menjelajahi destinasi-destinasi wisata di DIY dan sekitarnya. Yang kami jelajahi adalah objek-objek wisata mainstream. Mulai candi-candi hingga bangunan bersejarah.
Dalam waktu tersebut, memang tidak semua bisa kami datangi. Tapi, ini adalah ikhtiar traveling kami untuk mencicil jelajah destinasi wisata Jogja.
Pada waktu-waktu ke depan, kami berencana menuntaskannya, tapi sifatnya santai saja. Toh, banyak tempat lain yang juga menunggu untuk dijamah.
Sejarah Jalan Malioboro
Jalan Malioboro merupakan salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta. Jalan ini membentang dari Tugu Yogyakarta hingga perempatan Kantor Pos Yogyakarta.
Secara keseluruhan, Jalan Malioboro terdiri atas Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo. Jalan ini merupakan poros garis imajiner Keraton Yogyakarta.
Pada tanggal 20 Desember 2013, pukul 10.30, Sri Sultan Hamengkubuwono X mengembalikan nama dua ruas jalan Malioboro ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi Jalan Margo Utomo dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi Jalan Margo Mulyo.
Ada beberapa objek bersejarah di kawasan tiga jalan ini. Yakni, Tugu Yogyakarta, Stasiun Tugu, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret.
Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja. Ini menjadikan Malioboro sebagai surga belanja. Banyak juga warung-warung lesehan saat malam hari. Kebanyakan menjual gudeg Jogja.
Sepanjang jalan ini juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan seperti bermain musik, melukis, happening art, pantomim, dan lain-lain.
Saat ini, Jalan Malioboro tampak lebih lebar karena tempat parkir di pinggir jalan sudah dipindahkan ke kawasan parkir Abu Bakar Ali. Sebab, ke depan, Malioboro akan menjadi semi jalur pedestrian.
Selama bertahun-tahun, Jalan Malioboro diberlakukan dua arah. Namun, pada tahun 1980-an, jalan ini menjadi satu jalur saja.
Menurut situs resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Keraton Yogyakarta.
Jalan ini hampir tidak pernah sepi dari wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Di sisi kanan dan kiri jalan yang dilengkapi area bebas dan kursi-kursi semakin membuat siapa saja betah berlama-lama bersantai di sana.
Arti Nama
Dalam bahasa Sanskerta, malioboro memiliki makna karangan bunga. Sebutan ini diyakini memiliki hubungan dengan masa lampau. Pada zaman dulu, saat keraton mengadakan acara besar, Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa malioboro berasal dari nama seorang kolonial Inggris bernama Marlborough yang pernah tinggal di sana pada 1811–1816 Masehi.
Di luar beragam versi yang menjelaskan makna Malioboro, satu yang pasti adalah keberadaan jalan ini tak lepas dari konsep Kota Yogyakarta yang ditata sesuai mata angin.
Buku Yogyakarta City of Philosophy yang diterbitkan Dinas Kebudayaan DIY juga menjelaskan makna etimologi Jalan Malioboro. Maliabara (Malioboro) disebutkan berasal dari kata malia yang berarti jadilah wali dan bara dari kata ngumbara (mengembara).
Jadi, makna Maliabara secara etimologis adalah Jadilah Wali yang Mengembara.
Nah, filosofi nama Malioboro ternyata berhubungan dengan jalan lain di Yogya. Yakni, Jalan Marga Utama dan Jalan Marga Mulya.
Sebelum Jalan Malioboro, dari arah utara ada Jalan Marga Utama. Jalan ini digambarkan sebagai tahap awal atau tahap pertama. Jalan Marga Utama berarti jalan keutamaan.
Setelah memilih jalan keutamaan (Marga Utama), manusia hendaklah mengikuti ajaran wali dengan mengembara (tahap kedua/Jalan Malioboro) untuk menerangi kehidupan umat manusia.
Tahap selanjutnya adalah Jalan Marga Mulya yang berada di sisi selatan Jalan Malioboro. Makna Jalan Marga Mulya adalah jalan kemuliaan.
Selain itu, tiga jalan tersebut memiliki kesamaan. Yakni, di sepanjang tepi jalan, ditanami pohon gayam dan asam jawa.
Pohon gayam memiliki makna ayom (mengayomi) dan pohon asam memiliki makna nengsemake (menawan). (*)
Jogja, 12-16 Februari 2018
コメント