Dieng dalam Dua Hari Dua Malam
- budiawanagus
- Mar 14, 2020
- 3 min read

TURUN dari Gunung Kembang, kami menyusun rencana dadakan. Tidak langsung balik ke Jakarta yang kami tinggal beberapa hari sudah ramai teror virus korona. Kami menanjak lagi. Tengah malam kami. Menuju Dataran Tinggi Dieng.
Sialnya sinyal internet lagi ngaco. Mobil kami disasarkan ke jalan buntu setelah beberapa menit meninggalkan base camp. Malam semakin hitam. Kami terhenti di tanah tanpa nama. Kesunyian malam seperti sebuah ancaman. Hanya kami. Sedang jauh di bawah sana kemerlip lampu kota melena.
Kami balik arah. Menuju rute base camp untuk menyusuri jalan pertama saat kami datang untuk mendaki gunung. Tapi, GPS mengarahkan kami melewati jalur yang lebih cepat. Kami ikuti saja.
Beberapa lama kemudian kami sedikit menyesal. Kami diarahkan melalui jalan sepi. Beberapa ratus meter di depan, jalur di GPS berwarna merah. Wah, di desa ada kemacetan juga. Pikir kami. Kami sedikit lega. Setidaknya ada keramaian yang menunggu di depan. Tengah malam.
Namun, itu ternyata bukan sinyal kemacetan. Tapi, jalur sedikit panjang melewati tanah kosong tanpa penerangan. Kami mulai cemas. Menyesal menghamba GPS. Tapi, mau bagaimana lagi. Kami baru pertama kali. Tidak ada yang tahu arah.
Setelah ratusan meter melaju, kami merasa lega. Di kejauhan, ada lampu perkampungan yang terlihat. Kami memasuki desa yang entah apa namanya. Dua desa kami lalui.
Di sebuah desa, saya melihat ada orang yang sedang melakukan siskamling menggunakan kentongan bambu. Saya terkesima. Masih ada siskamling yang menggunakan kentongan bambu di era seperti sekarang. Saya seperti digiring memasuki masa lalu. Di desa kelahiran.
Sebelum meninggalkan desa itu, lamat-lamat saya mendengar tabuhan gamelan dari kejauhan. Saya diam saja saat itu. Mungkin ada warga yang sedang punya hajatan.
Setelah memasuki jalan dengan tanah kosong, sorot lampu mobil tiba-tiba menangkap tiga orang yang muncul dari kegelapan. Saya sedikit merasa aman karena setidaknya masih ada aktivitas orang di tengah malam.
Setelah kurang dari 30 menit, kami sudah tembus ke jalan raya. Kami menuju Dieng dan bermalam di homestay. Setelah reservasi penginapan, kami istirahat. Saya pun bertanya kepada teman-teman apakah mendengarkan alunan gamelan di desa yang kami lalui tadi. Tak ada satu pun yang mendengar. Baiklah.
Kami menyewa homestay untuk dua malam dua hari. Daftar destinasi wisata yang patut dikunjungi di Dieng pun disusun. Esoknya kami hendak bertualang. Mengisi liburan dengan senang-senang.

Hari pertama di Dieng kami mengunjungi Candi Arjuna. Jaraknya hanya 5 menit jalan kaki dari penginapan. Tiketnya cukup terjangkau. Rp 15 ribu per orang sudah termasuk tiket masuk ke wisata lain, Kawah Sikidang. Namun, untuk menjangkau lokasi itu, kami harus naik mobil.
Sebelum Kawah Sikidang tutup jam 5 sore, kami sudah meninggalkan lokasi. Kami kembali ke penginapan untuk istirahat sebelum lanjut wisata malam.
Namun, di Dieng wisata malam belum menjadi tren. Sebelum jam 11 malam sudah banyak kafe dan warung makan yang tutup. Jadi, tidak banyak pilihan meskipun masih ada beberapa yang tetap buka.
Kami mencoba mencicipi Mie Ongklok khas Dieng. Makanan ini memiliki komposisi mie dan sayur dengan kuah sedikit kental plus sate ayam. Rasanya sedikit manis. Tidak cocok sebenarnya untuk lidah orang yang tidak terlalu suka dengan makan manis seperti saya. Tapi, manisnya masih bisa diterima.


Saat jam sudah menanda jam 11 malam, kami melanjutkan langkah untuk mencari tempat ngopi yang nyaman. Tapi, jam segitu sudah banyak yang tutup. Saat berjalan balik ke arah penginapan, kami menemukan kafe yang masih buka. Kami mampir.
Kafe itu sebenarnya sudah mau tutup. Tapi, mungkin karena wajah kami memelas, pemilik kafe bersedia buka lebih lama dan melayani pesanan kami. Di Dieng sudah cukup banyak kafe modern dengan peralatan yang mengikuti perkembangan zaman. Setelah puas ngopi, jam 12 malam kami kembali ke penginapan.
Esoknya, pagi-pagi, kami hendak pergi ke desa tertinggi di Pulau Jawa. Desa Sembungan. Kami akan nanjak lagi. Mendaki Bukit Sikunir untuk menikmati sunrise. Sampai di sana, wisatawan membeludak. Maklum karena saat itu weekend. Hari Minggu.
Dalam suasana seperti itu, saya sudah tidak terlalu berhasrat untuk memburu sunrise di puncak Sikunir. Saya dan istri berjalan santai saja. Matahari pun meletek jingga saat saya dan istri masih di tengah perjalanan menuju puncak bukit.
Kepalang tanggung, saya tetap naik ke bukit. Ramai. Matahari juga sudah cukup tinggi. Jingganya sudah hilang. Setelah foto-foto sebentar, kami turun. Kami sempatkan sarapan di kios makanan yang banyak berdiri di kaki Bukit Sikunir sebelum pindah ke destinasi selanjutnya.
Kami makan di warung dengan pemandangan Telaga Cebong yang tampak indah saat disaksikan dari atas bukit. Kabut naik dan turun di telaga.

Setelah kenyang, kami bergeser ke Dieng Plateau Theatre. Gratis. Sudah termasuk tiket masuk kawasan Dieng. Kami mencoba nonton video sejarah Dieng sekitar 25 menit.
Di dekat situ, sebenarnya primadona Dieng tersaji. Batu Ratapan Angin dengan view Telaga Warna di bawah sana. Itulah primadona Dieng. Tapi, karena kaki patah-patah setelah mendaki Kembang, rekan seperjalanan kesulitan untuk menuju Batu Ratapan Angin yang harus melalui beberapa anak tangga. Menanjak.
Oke lah. Setelah mampir sejenak di Dieng Plateau Theatre, kami kembali ke penginapan jam 10. Siap-siap check out jam 12 siang. Kami mampir ngopi sebentar di Kedai Dieng sebelum kembali ke Jakarta. (*)
Dieng, 14-15 Maret 2020
Comments