Dari Jakarta Menyambangi Semeru, Gagal Muncak
- budiawanagus
- May 29, 2015
- 7 min read

SAYA telah merencanakan perjalanan jauh. Dari sepetak kamar kos sempit di wilayah Jakarta Barat, pikiran saya bertualang ke wilayah perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Di situlah si gagah Mahameru berdiri kukuh. Puncaknya memanggil-manggil dalam angan. Maka, saya rencanakan perjalanan ini. Kembali ke puncak 3.676 mdpl. Gunung Semeru.
Tiga kali mendaki Semeru tidak membuat saya bosan untuk kembali menjenguk kabut dinginnya. Maka, tepat tanggal 25 Mei 2016, saya memesan tiket kereta tujuan Malang. Naik kereta Jayabaya dengan tiket seharga Rp 230.000. Kereta berangkat dari Stasiun Senen pada pukul 14.00 dan baru sampai di Stasiun Kota Malang Baru tanggal 26 Mei 2015 pukul 02.30 dini hari. Perjalanan kereta ekonomi Jakarta–Malang memakan waktu sekitar 14 jam.
Sampai di stasiun, saudara saya yang kuliah di Malang sudah menunggu di pintu keluar. Bersama dialah saya akan mendaki Semeru kali ini. Kami sempatkan makan nasi bungkus di depan stasiun. Di Jakarta, menu nasi bungkus di warung kopi seperti ini tidak bisa dijumpai.
Untuk menghangatkan badan di Kota Malang yang sedikit dingin pagi itu, saya memesan teh hangat. Tepat pukul 03.30, saya diajak menuju tempat kos saudara saya untuk bermalam. Esok paginya kami baru menuju Ranupani.
Tanggal 26 Mei 2015
Sekitar pukul 09.30, kami berangkat ke Ranupani menggunakan motor Satria. Motor memang menjadi transportasi paling murah daripada harus naik Jeep. Tapi, naik motor dengan nenteng dua keril besar melalui tanjakan berliku memang tidak mudah. Sangat menantang dan menguras tenaga.
Setelah melewati beberapa tikungan dan tanjakan, kami sampai di Desa Ranupani. Kami mencapainya dalam waktu satu setengah jam perjalanan. Di sana, banyak perubahan. Loket tiket yang dulu berada di samping musala kini dipindah ke tempat bekas mes tim SAR dekat Danau Ranupani. Di sana, ternyata ada aturan baru juga. Setiap pendaki yang ingin membeli tiket harus melalui tahap SIMAKSI dulu di gedung belakang loket tiket.
Di sana, setiap pendaki diberi pengarahan oleh relawan Semeru tentang tata tertib selama pendakian. Pendaki juga diimbau tidak membuang sampah sembarangan. Bahkan, secara tegas pihak TNBTS memberlakukan peraturan ketat soal sampah. Jika pendaki tidak membawa sampahnya turun, petugas akan memberlakukan dua sanksi. Pertama, pendaki naik kembali ke Gunung Semeru untuk mengambil sampahnya. Atau kedua, pendaki di-blacklist, tidak boleh lagi mendaki Semeru untuk selama-lamanya.
Dalam pengarahan tersebut, para pendaki juga diberi tahu soal adanya toilet-toilet yang didirikan di Ranu Kumbolo dan Kalimati. Selain itu, pihak TNBTS juga membuka jalur baru untuk menuju puncak Mahameru. Pendaki tidak diperbolehkan melewati jalur lama yang melewati Arcopodo. Jalur tersebut baru saja longsor sehingga demi keamanan pendaki dan recovery, jalur itu ditutup dan dibuat jalur baru.
Setelah mendengar pemaparan dari relawan, saya dan saudara saya baru bisa membeli tiket. Persyaratannya masih sama. Tiap pendaki harus menyertakan fotokopi KTP, surat keterangan sehat dari dokter, dan satu meterai 6.000 untuk satu kelompok. Namun, untuk harga tiket masuk ada perubahan. Dulu sekitar tahun 2013, tiket masuk Semeru hanya Rp 10 ribu untuk 3–4 hari. Namun, kini tarifnya berubah. Setiap pendaki dikenai Rp 17.500 per hari!

Setelah mengisi perut yang keroncongan di warung sekitar pos perizinan, kami baru mulai mendaki sekitar pukul 14.00. Seperti biasa, kami berjalan santai mulai plang selamat datang Semeru. Namun, hal yang mengagetkan saya terpampang di Pos 1. Apalagi kalau bukan penjual makanan.
Penjual di Pos 1 menawarkan macam-macam makanan dan minuman. Mulai semangka, gorengan, nasi bungkus, Aqua, Pocari Sweatt, Ale-Ale, hingga madu. Yang membuat saya ’’terkesima’’, pedagang tersebar mulai dari Pos 1, 2, 3, 4, Ranu Kumbol, Cemoro Kandang, Jambangan, hingga Kalimati!
Dalam cuaca panas Semeru yang membakar kulit dan mengeringkan kerongkongan, saya pun tergoda untuk sekadar mencicipi kesegaran semangka yang merona merah dengan cairan manis yang tersimpan di dalamnya. Saya beli dua iris untuk saya dan saudara saya. Dua iris semangka dihargai Rp 5 ribu.
Setelah dahaga terbunuh, kami melanjutkan perjalanan yang kemudian disambut hujan saat kami berada di Pos 2. Di sini, ada beberapa pedagang yang mau turun dengan sisa semangka yang masih banyak. Saya kemudian sedikit mengobrol dengan mereka soal pedagang-pedagang di Semeru sampai gerimis tak lagi turun.
Sebelum turun, pedagang laki-laki berusia sekitar 45-an tahun kemudian memberi saya satu plastik semangka yang masih segar. Dalam plastik tersebut, tidak kurang ada 20 iris semangka segar, meskipun ada beberapa yang mulai layu. Itu adalah sisa semangka yang tidak terjual. Ya, itu rezeki anak soleh dan ramah seperti saya. Hahaha…
Dalam setiap perjalanan, ketika berpapasan dengan pendaki lain yang mau naik, saya menawarkan semangka pemberian tadi. Alhamdulillah, semangka habis setelah melewati Pos 3. Kami terus berjalan dan sampai di Ranu Kumbolo tepat pukul 18.30. Lampu-lampu dalam tenda yang kurang lebih berjumlah 30-an menyala remang bagai kunang-kunang di kegelapan malam. Dingin menyerang semakin brutal waktu kami mendirikan tenda.
Setelah tenda siap, kami membongkar isi keril dan mulai memasak. Makanan wajib di gunung seperti mi instan pun kami masak. Lengkap dengan sarden dan tentu saja kopi hitam. Menu makan malam istimewa di pinggir Ranu Kumbolo yang memantulkan sinar gemintang yang menggantung di langit. Kabut dingin yang menyelimuti memang tidak bisa hanya diusir dengan kopi panas.

Setelah makan, saya sempatkan sedikit ngobrol dengan pendaki lain yang kenal di perjalanan. Kami ngobrol sana-sini di luar tenda dengan kabut yang semakin turun hingga dingin tak mampu kami lawan. Tepat pukul 20.30, saya memutuskan istirahat. Dinginnya udara Ranu Kumbolo membuat tidur tak nyenyak. Baiklah, mata harus tetap dipejamkan agar tubuh kembali fit untuk melanjutkan pendakian esok harinya.
Tanggal 27 Mei 2015
Saya sengaja memasang alarm pukul 05.12 untuk menyambut sunrise di Ranu Kumbolo. Dan memang saya bangun pada jam itu. Tapi, setelah menunggu lama, sunrise yang saya dambakan tak kunjung muncul. Ya, cuaca pagi itu berkabut sehingga wajah merona matahari pagi tak terlihat. Karena itu, saya memutuskan untuk tidur lagi dengan nyenyak dan baru bangun pada pukul 07.30.
Pagi itu, matahari sudah terik. Sinarnya menghangatkan kulit. Para pendaki sudah memulai kegiatan masing-masing. Ada yang berfoto-foto di pinggir danau, di atas pohon yang tumbang menjorok ke danau, ada yang mengambil air, ada yang mencuci nesting, ada yang memasak.
Saya dan saudara tentu juga tak ingin ketinggalan. Kami hunting spot-spot foto yang menarik dan indah. Setelah puas dan perut merasa lapar, kami kembali ke tenda untuk memasak mi instan dan roti bakar. Tepat pukul 10.00, kami mulai membongkar tenda dan packing untuk melanjutkan pendakian ke Kalimati.
Tanjakan Cinta dan Oro-Oro Ombo tetap menjadi primadona yang tidak bisa dilewatkan begitu saja oleh setiap pendaki. Kami pun mengabadikan momen-momen keindahan itu dengan kamera. Begitu juga saat kami berada di Jambangan. Di sini pemandangannya malah lebih indah. Karena kami bisa melihat puncak Semeru dengan jelas, yang beberapa menit sekali mengeluarkan asap putih. Kami berjalan santai dan baru sampai di Kalimati pada pukul 03.30.
Di Kalimati tak banyak aktivitas yang bisa kami lakukan. Kami hanya masak, mengambil air di Sumber Mani yang jaraknya sekitar 30 menit dari tenda. Untuk persiapan mendaki, sekitar pukul 18.00, kami bersiap istirahat setelah makan malam.
Tepat pukul 22.00, kami bangun untuk memasak mi instan lagi. Kami juga masak jelly. Setelah makan, kami menyiapkan air mineral dan snack untuk dibawa ke puncak Mahameru. Tepat pukul 23.30, saya, saudara, dan pendaki lain mulai mendaki lewat jalur baru. Busyet! Jalur baru ini ternyata sangat menyiksa karena didominasi jalur pasir berkerikil. Jalan seperti itu terus terhampar sampai puncak sehingga sangat menguras tenaga. Jalur itu jauh lebih berat daripada jalur lama yang melewati Arcopodo dengan jalur tanah padat.
Tanggal 28 Mei 2015
Pada pukul 05.45 pagi, tenaga saya hampir terkuras habis. Tepat pukul 06.22, tenaga saya sudah benar-benar habis. Angin di musim ekstrem membuat perut saya bergejolak. Ada sesuatu yang ingin dimuntahkan. Kaki tak lagi mau diajak melangkah. Saat itu saya sudah melewati spot cemoro tunggal.
Pilihannya hanya dua, bertahan di sana sambil menunggu tenaga pulih dengan terpaan angin dingin menusuk tulang. Atau turun dan meninggalkan puncak yang sudah berada di depan mata, tapi masih jauh dari langkah.
Apa dikata, saya memilih untuk turun. Saya tak mau ambil risiko dengan memaksakan diri menuju puncak sementara kondisi tubuh sudah benar-benar drop. Saya pun turun, sedikit berselancar di pasir berbatu Semeru.
Sampai di Kelik, saya pun tak sanggup menahan dingin. Dalam kesendirian di Kelik, di bawah tatapan Mahameru yang gagah, saya terkapar, makanan malam tadi keluar dengan rasa pahit di bibir. Jackpot!
Dengan tenaga yang tersisa, saya kembali turun ke tenda dan tidur sambil menunggu saudara saya yang melanjutkan pendakian sampai ke puncak Mahameru.
Meskipun tak sampai di puncak, saya merasa bersyukur. Saya tak bisa membayangkan bagaimana bila harus memaksakan diri ke puncak. Karena untuk turun ke tenda lewat jalur lama Arcopodo saja langkah saya terseok-seok.

Saya pun bersyukur di Kalimati, di dekat tenda, ada pedagang makanan. Jadi, setelah tidur sejenak, perut yang sudah kosong ini harus diisi. Dua gorengan dan dua iris semangka benar-benar nikmat. Sambil makan gorengan dan semangka, saya banyak mengobrol dengan bapak penjualnya. Banyak hal yang disampaikan sehingga saya yang awalnya menyesalkan banyaknya pedagang di Semeru menjadi memaklumi keadaan seperti itu.
Setelah saudara saya turun dan sejenak istirahat, kami makan nasi Rp 15 ribu per bungkus dengan lauk satu telur dadar dan sayur mi goreng. Kami harus memulihkan tenaga sebelum turun kembali ke Ranupani. Tepat pukul 12.00, kami mulai merobohkan tenda dan packing. Pada pukul 13.00, kami mulai turun dan sampai di Ranupani pukul 18.30.
Setelah sedikit istirahat dan makan kari ayam Rp 12.000 dan teh panas Rp 3.000, kami siap melapor turun Semeru dan menyerahkan sampah. Kami turun ke Tumpang pukul 20.00.
Sepanjang perjalanan, perasaan waswas sering menghampiri karena jalanan gelap dan sangat sepi kendaraan. Ya, kami terus menerobos gelap melewati jalan meliuk-liuk, naik dan turun, sampai akhirnya sampai di Tumpang, dan terus saja menuju kos saudara saya. Malam itu, saya tidur dengan tenang. Rindu saya pada Semeru telah tertunaikan, meski tak bisa mengecup puncaknya. Terima kasih, semesta.
Tanggal 29 Mei 2015
Untuk menghemat waktu karena harus masuk kerja pukul 17.00 hari itu juga, saya memutuskan naik pesawat dari Bandara Abdul Rahman Saleh, Malang. Harga tiket Rp 508.875 dengan jarak tempuh 1,5 jam menggunakan maskapai Sriwijaya Air. Tidak seperti LionAir yang sering saya naiki, maskapai Sriwijaya Air memberikan roti dan air mineral dalam kemasan gelas kepada para penumpang.
Pesawat takeoff pukul 12.45 dan sampai di Jakarta pukul 13.45, tepat 1,5 jam. Dengan memperhitungkan lalu lintas yang macet pada jam-jam itu, saya pulang ke kos dengan menerima tawaran calo ’’taksi pelat hitam’’ Avanza dari Bandara Soekarno-Hatta. Saya ’’hanya’’ mengeluarkan Rp 200.000 sudah termasuk tiket tiga gerbang tol untuk sampai ke Rawa Belong. Harga itu saya anggap murah karena biasanya saya harus membayar Rp 170.000 bila naik taksi, itu belum termasuk tiket tol, belum lagi kalau jalanan macet parah seperti waktu itu. Argo bisa naik tinggi.
Saya akhirnya sampai di kos sekitar pukul 16.30. Jadi, saya hanya punya waktu setengah jam untuk mandi, istirahat sejenak, dan bersiap masuk kerja. Selamat datang di realitas. Sampai jumpa pada perjalanan-perjalanan selanjutnya. Salam lestari. (*)
Jakarta–Lumajang, 25–29 Mei 2015



Comments