top of page

Taman Ayodhya, Rona Gadis Lugu Jakarta



”Kita pernah berbicara tentang Jakarta, kota dengan seribu wajah. Kita pun bersepakat, membicarakan Jakarta adalah membicarakan wajah-wajah sunyi. Tapi, jika kau lihat Jakarta sore itu, ia seperti gadis lugu tersipu malu.”

Jakarta, 27 Oktober 2013


MEMBICARAKAN Jakarta adalah membicarakan kota sunyi. Tak ada cericit burung atau deru angin, atau rintik hujan yang ritmis. Tak ada gemericik air sungai. Tak ada ranting yang bisa digetarkan angin. Yang ada hanya raksasa-raksasa berdiri tegak tak tergoyahkan. Dan, di kota ini waktu berjalan dengan gegas. Segalanya serba tak terdengar.


Di sini adalah kota yang tak akan membiarkan rumput atau bebunga tumbuh nyaman. Kupu-kupu pun tak bisa terbang dengan centil. Ini adalah kota batu. Jika kau keras, kau akan pecah. Jika kau lentur, kau akan mental. Dan jika kau lemah, kau akan hancur.


Namun, ibarat seorang gadis, sedikit demi sedikit Jakarta tumbuh menjadi kota yang indah. Ia kadang marah, tetapi tak jarang tersipu malu. Dan kutemukan sipu itu di Taman Ayodhya, istana Sri Baginda Prabu Dasarata, di sore itu. Ia bersolek dengan lampu-lampu taman kota dan gemericik air mancur. Ia taman surga, yang diturunkan di tengah Jakarta.


Terletak di Jalan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Taman Ayodhya memiliki oase kecil berupa danau seluas 1.500 meter persegi. Di sekitar danau ada jalan-jalan setapak dan bangku-bangku taman. Taman seluas 7.500 meter persegi yang diresmikan pada 2009 ini seperti miniatur taman nirwana.


Ayodhya adalah kota kuno di India, dulu ibu kota Awadh, di distrik Faizabad di Uttar Pradesh. Ayodhya juga muncul dalam kisah epik Ramayana sebagai ibu kota Kerajaan Kosala yang dilindungi oleh angkatan perang yang kuat. Kata Ayodhyā dalam Bahasa Sanskerta berarti “yang tidak akan kalah dalam peperangan”. Menurut Susastra Hindu, Kerajaan Kosala terletak di sebelah utara Sungai Gangga. Kerajaan tersebut merupakan kerajaan milik keturunan Ikswaku dari Dinasti Surya, putra Maharaja Manu, seorang Maharaja yang konon mendirikan kerajaan tersebut dan mewariskannya kepada keturunannya.


Taman Ayodhya digambarkan begitu indah, ketika musim hujan maupun musim kemarau: “Hayuning swargga tuwi masor, deningayodhyāpurā tiçaya, suka nityakāla menak, ring ṛēngṛēng towi ring lahru” (Keindahan surga benar-benar terkalahkan, oleh puri Ayodhya yang tiada bandingannya, di sana selalu dalam keadaan aman sentosa, pada waktu musim hujan maupun pada musim kemarau).


Keindahannya membuat cemburu surga. Ia memiliki batu-batuan mulia, emas perak beserta permata. Itu laksana gigi keraton Ayodhya yang putih, seolah-olah jika tersenyum, surga dapat dikalahkannya. Ada sebuah balai yang bertatakan permata, dikelilingi oleh taman yang sangat menakjubkan, tempat para gadis-gadis bercengkerama, bagai bidadari di gunung Mahameru. Permata manik-manik tak terbilang banyaknya, semua berkilauan terletak pada balai peninjauan, seperti sungai Gangga dari gunung Himawan, kelihatan berkilauan dan sungguh menakjubkan.


Ya, jika kau lihat Jakarta sore itu, di Taman Ayodhya, ia seperti gadis lugu tersipu malu. (*)


Jakarta

0 views0 comments
bottom of page