top of page

Sosok-Sosok Penyendiri di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta

Updated: Jun 26, 2020



UDARA sejuk langsung terasa ketika memasuki gedung dengan delapan tiang besar di teras depannya ini. Udara Jakarta di luar sana yang panas memang sudah bisa menciutkan semangat.


Tetapi, ketika memasuki ruang-ruang di galeri ini, semacam ada ”kesejukan batin” yang terasa. Karya-karya seni, mulai dari lukisan, seni instalasi, hingga keramik tepekur di tempatnya masing-masing.


Jika dilihat dari catatan sejarah, gedung ini dibangun tanggal 12 Januari 1870. Awalnya, gedung ini difungsikan sebagai Kantor Dewan Kehakiman Pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia) oleh Pemerintah Hindia-Belanda.


Saat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1944, tempat ini dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan selanjutnya dimanfaatkan untuk asrama militer TNI.


Gedung ini dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi pada 10 Januari 1972. Pada tahun 1973-1976, gedung tersebut digunakan untuk Kantor Wali Kota Jakarta Barat dan baru setelah itu diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto sebagai Balai Seni Rupa Jakarta tanggal 20 Agustus 1976.

Pada 1990 bangunan itu akhirnya digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta. Museum ini terletak di Jalan Pos Kota No 2, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.


Museum yang tepatnya berada di seberang Museum Fatahillah itu memajang keramik lokal dari berbagai daerah di tanah air, dari era Kerajaan Majapahit abad ke-14, dan dari berbagai negara di dunia.


Setelah menapaki tiga anak tangga dan lewat di antara tiang-tiang besar, pengunjung akan disambut dua patung setengah badan di sisi kiri dan kanan pintu masuk galeri. Patung di sisi kiri adalah patung dada S. Sudjojono, sementara di sisi kanan ada patung dada Raden Saleh Sjarif Bustaman.


Sindoedarsono Soedjojono (Kisaran, Sumatera Utara, Mei 1913–25 Maret, Jakarta, 1985) merupakan pelukis legendaris di Indonesia. Dengan diawali oleh Trisno Soemardjo, Sudjojono dijuluki sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern.


Julukan itu diberikan kepadanya karena Sudjojono adalah seniman pertama Indonesia yang memperkenalkan modernitas seni rupa Indonesia dengan konteks kondisi faktual bangsa Indonesia. Dia biasa menulis namanya dengan ”S. Sudjojono”.


Sementara Raden Saleh Sjarif Boestaman (1807 atau 1811–23 April 1880) adalah pelukis Indonesia beretnis Jawa yang mempionirkan seni modern Indonesia (saat itu Hindia Belanda). Lukisannya merupakan perpaduan Romantisisme yang sedang populer di Eropa saat itu dengan elemen-elemen yang menunjukkan latar belakang Jawa sang pelukis.


Di dinding depan bangunan itu juga ada prasasti peresmian gedung oleh Presiden Soeharto dan prasasti berisi sedikit keterangan tentang Balai Seni Rupa atas nama Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.

Untuk bisa menikmati karya-karya seni yang disimpan di galeri, pengunjung bisa memilih pintu di sebelah kiri, yaitu pintu masuk. Setelah masuk, pengunjung langsung berada di ruang 1. Di sana ada dena ruangan-ruangan yang ada di galeri. Di ruang 2 ada beberapa cat lukis. Pengunjung bisa menikmati lukisan ketika masuk ke ruang 3.


Menariknya, di ruang 3 ini ada tangga yang langsung menuju ke lantai dua, di sana terletak ruang 10 dan 11. Di lantai dua itu terpajang beberapa lukisan karya Raden Saleh di ruang 10, sedangkan di ruang 11 ada beberapa lukisan karya S. Sudjojono.


Setelah turun dan keluar dari ruang 3, pengunjung akan memasuki ruang 4. Di sana ada beberapa karya lukis dengan tema perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 oleh beberapa pelukis. Di ruang itu juga ada beberapa lukisan karya pelukis legendaris Affandi serta beberapa keramik.


Saat menelusuri seluruh ruangan, pengunjung akan dihidangkan beberapa sejarah seni lukis dari zaman awal kemunculannya hingga lukisan modern.


Selain lukisan, galeri itu juga memasang beberapa keramik dari beberapa daerah Indonesia dan seni kreatif kontemporer. Selain itu ada koleksi keramik dari mancanegara seperti keramik dari Tiongkok, Thailand, Vietnam, Jepang dan Eropa dari abad ke-16 sampai dengan awal abad ke-20.


Secara keseluruhan, museum ini menyajikan koleksi dari hasil karya seniman-seniman Indonesia sejak kurun waktu 1800-an hingga sekarang. Koleksi-koleksi itu kemudian dibagi menjadi beberapa ruangan berdasar periodisasi, yaitu:

• Ruang Masa Raden Saleh (karya-karya periode 1880 – 1890)

• Ruang Masa Hindia Jelita (karya-karya periode 1920-an)

• Ruang Persagi (karya-karya periode 1930-an)

• Ruang Masa Pendudukan Jepang (karya-karya periode 1942 – 1945)

• Ruang Pendirian Sanggar (karya-karya periode 1945 – 1950)

• Ruang Sekitar Kelahiran Akademis Realisme (karya-karya periode 1950-an)

• Ruang Seni Rupa Baru Indonesia (karya-karya periode 1960 – sekarang)


Setelah ”mengubek-ubek” isi galeri, pengunjung akan melewati ukiran patung-patung Totem Asmat dan lain-lain. Di sekitar patung-patung kayu itu, terdapat kursi-kursi yang bisa dijadikan tempat istirahat setelah lelah mengelilingi museum.


Selain itu, di sekitar museum, ada dua taman kecil yang asri. Hanya saja, karena tidak beratap, tidak ada orang yang istirahat di situ, karena siang itu udara Jakarta memang sedang panas-panasnya.

Meski begitu, pengunjung yang datang ke Balai Seni Rupa Jakarta ini bisa dihitung dengan jari. Maka, karya seni berupa lukisan, keramik, dan patung-patung ukiran itu menjadi sosok-sosok penyendiri yang terkurung dalam tempat bernama museum. Semoga mereka tidak kecewa. (*)


Jakarta, 5 Maret 2014

Comments


bottom of page