top of page

Situs Gunung Padang, Pusat Peradaban yang (Belum) Terungkap



ADA semacam siut tak terartikan saat kaki mulai menapaki satu per satu anak tangga ini. Pagi masih berderik, terlalu dini. Gelap. Sebuah perjalanan, menghadap Sang Prabu.


Alunan gamelan sayup-sayup terdengar, terbawa angin –dalam kepalaku. Berkelindan dengan helaan napas. Entah sudah berapa anak tangga saya lalui hingga mencapai bukit ini. Gunung Padang. Timbunan harta karun, Atlantis yang hilang, ’’eyang’’-nya Piramida di Mesir, konon.


Untuk mencapai Gunung Padang tidak terlalu sulit. Saya hanya perlu naik KRL Jakarta–Bogor. Setelah itu, saya melanjutkan perjalanan dengan KA Pangrango menuju Stasiun Lampegan di Cianjur. Bahkan, bagi Anda yang ekstrasibuk, perjalanan ini bisa ditempuh hanya dalam sehari semalam pergi-pulang.


Nah, di Stasiun Lampegan, jangan buru-buru naik. Di situ, ada terowongan bersejarah yang bagus untuk sekadar ber-selfie. Ini adalah terowongan pertama yang dibangun di Jawa Barat (1879–1882).


Setelah itu, saya baru naik ke Desa Karyamukti, Cianjur, pos perizinan Gunung Padang, menggunakan jasa ojek. Ojek bisa disebut transportasi satu-satunya (kecuali bawa kendaraan sendiri). Jarak sekitar setengah jam tidak akan terasa. Sebab, selama perjalanan, hamparan kebun teh akan menyambut. Harum.


Di sekitar Desa Karyamukti, sebenarnya ada beberapa objek wisata lain. Misalnya Curug Luhur, selain Curug Cikondang yang sudah kondang itu. Curug Luhur masih ’’perawan’’. Wajar karena letaknya tersembunyi di antara bukit dan rerimbun pepohonan. Aksesnya pun cukup sulit dan lama, tapi tidak akan mengecewakan. Pemandangannya kece. Cocok bagi Anda yang suka bertualang. Eksplorasi curug bisa Anda lakukan sebelum atau sesudah naik Gunung Padang.


Nah, untuk mencapai puncak Gunung Padang, wisatawan hanya dikenai tiket Rp 4.000. Terletak di ketinggian 885 mdpl, situs megalitikum yang konon tertua di dunia itu puluhan ribu tahun menyimpan kisahnya sendiri. Dikelilingi bukit-bukit, diselimuti kabut. Pagi itu, tubuh sedikit hangat ketika matahari menyembul di balik rimbun pepohonan. Menggeliat.


Selain susunan batu-batu andesit di Gunung Padang, ada beberapa yang tidak kalah menarik. Sebut saja batu musik, tapak kujang (senjata tradisional Jawa Barat), dan tapak maung (macan). Maung di sini ada yang mengartikan sebagai ma dan ung yang berarti manusia unggul.


Punden berundak ini tersusun atas lima teras yang memiliki filosofi masing-masing. Teras 1 adalah pintu masuk atau gerbang. Teras 2 merupakan tingkat jiwa sosial yang saling mengasihi, disimbolkan dengan Bukit Mahkuta Dunia. Teras 3 menjadi ’’strata” manusia unggul yang dilambangkan dengan tapak maung tadi. Kemudian, teras 4 merupakan bukit keinginan. Konon, siapa yang bisa mengangkat batu kanuragan di situ, keinginannya akan terkabul.


Nah, tingkat spiritualitas tertinggi adalah teras 5. Di sini, terdapat singgasana raja, Prabu Siliwangi‎. Singgasana ini pun tepat menghadap ke Gunung Gede, pusat kepercayaan warga setempat sebelum ada agama.


Bahkan, dalam kitab Musarar, Asmarandana bait 12, disebutkan bahwa Prabu Jayabaya pernah tetirah ke Gunung Padang melalui Ujung Galuh, membelah Laut Jawa, dan meneruskan lewat jalur darat. Sekembalinya ke Kediri, Prabu Jayabaya memerintahkan untuk membangun Goa Selomangleng. Sebuah ritus batin (?)


Ya, selain tumpukan dan susunan batu-batu yang artistik, mitos dan fakta yang ingin diungkap pihak terkait memang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi Gunung Padang. Termasuk saya.


Gunung Padang lebih ramai saat sore. Tapi, bagi Anda yang ingin mencari ketenangan sambil menikmati alam seperti saya, datanglah ketika pagi masih buta, menyeduh kopi, sambil menunggu matahari terbit. Merasakan kehangatan sinar matahari pertama di hari baru, di puncak peradaban. (*)

Comments


bottom of page