top of page

Pohon-Pohon Abadi Putu Wijaya



Pada 1974, Putu Wijaya melukis perahu-perahu yang tertambat di dermaga. Saat itulah dia ingin menjadi Vincent van Gogh atau Salvador Dali. Namun, ia menaiki perahu yang lain untuk berlayar, yang membawanya ke dunia lain; dunia kesusastraan.

LUKISAN cat minyak di atas kanvas 100 x 100 cm yang dia beri titel ”Jangan Sentuh Kami” itu ikut dipamerkan di antara lukisan-lukisan lainnya di ruang utama Bentara Budaya Jakarta, 3–12 April 2014. Pameran itu menjadi salah satu rangkaian acara untuk merayakan ulang tahun ke-70 Putu Wijaya pada 11 April. Selain itu, akan ada lomba baca puisi, monolog, peluncuran buku, serta lokakarya dan pementasan teater.


Selama ini I Gusti Ngurah Putu, atau lebih tenar dengan nama Putu Wijaya, memang dikenal sebagai penulis cerpen, novel, lakon, dan skrip film serta sinetron. Karya-karyanya pun sudah tidak terhitung. Bahkan, setiap orang yang mengikuti perkembangan sastra pasti sepakat bahwa karya-karya Putu, anatara lain, Sah, Telegram, Aduh akan menjadi karya abadi. Sebagai sastrawan, posisinya tidak tergoyahkan dan tak tergantikan.


Namun, kali ini Putu hadir sebagai ”bukan Putu”. Ia tidak menulis sehingga membuat pembacanya mengalami pergolakan batin. Ia juga tidak membawakan monolog di atas panggung teater yang membuat penonton terpukau. Tetapi, ia menghadirkan lukisan. Seperti dunia dalam Aduh (1973), ia seakan mengacuhkan nalar, irama, dan konsep mapan adalah yang tak mapan itu sendiri.


”Melukis, bagi Putu Wijaya, ibarat menata panggung teater, namun tidak dengan gerak, kata, dan cahaya. Lebih dengan bahasa visual lewat komposisi warna-warna primer menyengat mata, tarikan garis bergelora dan komposisi yang variatif,” kata Ipong Purnama Sidhi, kurator Bentara Budaya.


Ya, setelah pulang dari rumah sakit, Putu seperti hendak ”mengasingkan diri” di dunia warna dan kanvas. Dengan kaki dan tangan yang sulit digerakkan, sambil harus menjalani fisioterapi, ia ingin tetap berkarya. Dengan kekuatan pada tangan yang terbatas, ia ingin menziarahi kegemarannya di masa lalu, yaitu melukis.


Sebelum menekuni dunia sastra, Putu kuliah di Fakultas Hukum UGM, sambil nyambi kuliah di ASRI dan ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia). Minatnya pada seni lukis berbelok karena ia merasa kurikulum di ASRIterlalu membebani dengan pakem yang kolot.

”Daun dilukiskan warna hijau, padahal saya mau merah atau biru. Melukis secara akademis mungkin tidak cocok bagi saya,” kata Putu. ”Warna bagi saya bukan alat untuk mengkopi bentuk, tapi percikan emosi. Akibatnya, langit misalnya tak harus hanya biru,” katanya lagi.


Putu ingin bebas tanpa batas dalam berkarya. Ia punkemudian jatuh cinta pada sastra dan ingin menjadi Ernest Hemingway, Boris Pasternak, dan Samel Beckett.Dan, seperti nabi, ia menjadi manusia terpilih.


Pohon Abadi dalam Kenangan


Dalam pameran bertajuk ”Bertolak dari yang Ada” itu Putu menghadirkan lukisan-lukisan tanpa belati tersembunyi, sebagaimana prosa-prosanya. Dalam artian, ia tidak berusaha ”menusuk” siapa-siapa. Ia hadir dengan begitu saja. Ia juga tidak mau terpasung pada teknik-teknik atau pakem tertentu. Goresan kuas Putu adalah goresan yang kadang repetitif, tetapi tidak jarang saling tumpang tindih membentuk alam. Ia seakan melukis kesunyian alam (terutama pohon) tanpa kehadiran satu sosok manusia pun.


”Di luar dugaan, yang dia gambarkan bukanlah manusia, melainkan alam. Bukanlah keramaian kota, melainkan kesepian desa, bukanlah keriuhan pertarungan sosial, melainkan keheningan batin,” nilai Art Dealer Jais Darga.


Membaca tulisan-tulisan Putu memang penuh pergolakan batin dan intrik antarmanusia. Jadi, mengherankan ketika melihat lukisan-lukisannya yang begitu damai dan sepi. Itu mungkin terjadi karena Putu memang menginginkan kedamaian itu. Dia ingin mengisi waktunya, setelah keluar dari rumah sakit, dengan sesuatu yang mendamaikan. Dan, melukis ternyata bisa mendamaikannya.


Tentang itu, Putu menulis: ”Saya hanya bisa menulis menggunakan jempol di BB untuk mengisi tiga kolom tetap setiap minggu. Sisanya waktu kosong, yang kalau dibiarkan akan menelan saya. Saat itulah saya kembali ke kanvas. Melukis apa saja yang ada di ingatan dan sekitar saya. Waktu itulah pohon, air, gunung, bukit, matahari, dan bulan, serta semua yang dulu terlewati begitu saja, terasa sebagai karunia yang begitu indah dan sempurna.”


Lalu, mengapa pohon? Boleh saja Putu mengatakan lukisan alam (pohon) yang ia goreskan adalah luapan dari spontanitas. Namun, ada perasaan di bawah alam sadar yang bisa menuntun tangannya. Jika pada awal melukis ia memilih perahu dan dermaga sebagai objek, mengapa kini ia memilih pohon?


Tanpa disadari, Putu dulu menjadikan perahu sebagai simbol perjalanan. Dan samudra adalah hidup yang harus ia jalani. Meskipun pada akhirnya ia tidak menaiki kapal yang sama dalam berkarir, ia tentu telah mengalami pergolakan batin yang begitu panjang sehingga inilah waktunya mencari ketenangan. Itu kemudian ia temukan pada sosok pohon. Pohon bisa memberi kedamaian bagi para pejalan kaki yang telah lama menyusuri jalan-jalan berdebu, gersang, dan melelahkan. Putu sepertinya menyadari itu sehingga memilih pohon sebagai objek yang mendominasi lukisan-lukisannya.


Misalnya, sebuah lukisan di mana ada bulan dan matahari berteduh di bawah sebuah pohon besar. Jais Darga punya penilaian tentang itu. Dia mengatakan bahwa lukisan Putu adalah tanda. Putu menggambarkan sebatang pohon dengan latar belakang fajar menyingsing atau kemerahan matahari yang tengah dipanggil bumi. Hijau, merah, kuning. Pohon sebagai pelindung. Matahari sebagai lambang gerak semesta.


Tetapi, sebagai pelukis yang mengaku hanya menuruti kesenangan, Putu memiliki motif lain. ”Sebagaimana melukis fiksi, saya jepret alam, opini di balik peristiwa, kenangan, suasana dan apa saja yang terlintas di batin saya. Bukan hanya seperti yang terekam oleh mata, tetapi yang mewakili ekspresi saya,” ungkap pria kelahiran Bali, 11 April 1944 itu.


Ialah Putu Wijayah. Ia hanya ingin melakukan apa yang ingin ia lakukan, tanpa pakem dan tanpa pasung yang mengungkung kebebasan berekspresinya. Ia ingin menyatu dengan semesta dan bebas menjadi apa yang ia inginkan. ”I am still far from being what I want to be, but with God’s help I shall succeed,” kata Van Gogh.


Jakarta

1 view0 comments
bottom of page