top of page

Menikmati Kuliner dan Kesejukan Punclut, Bandung



MALAM ini udara Kota Bandung cukup dingin. Sudah sekitar satu jam saya berputar-putar dengan mengendarai motor; melihat-lihat Bandung secara dekat. Gedung Sate, Jalan Braga, Monumen Bandung Lautan Api, hingga Masjid Raya Bandung sudah saya lewati. Ya, hanya lewat. Tak ada keinginan untuk singgah. Kesan? Memang biasa saja, tetapi tetap ada perbedaan dengan kota-kota lainnya. Apa perbedaannya? Tak perlu saya jelaskan di sini.


Malam sudah mendekati dini hari saat perut mulai protes minta diisi. Padahal, baru saja sebungkus keripik dan kacang, serta segelas cappucino tandas. Namun, karena tempat tongkrongan tidak buka sampai 24 jam (karena Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menerapkan jam malam), akhirnya saya mencari tempat lain yang buka 24 jam. Nama Punclut yang lekat dengan “kuliner” kemudian muncul.  Karena menikmati makanan di tengah kota sudah bosan. Jadi, ketika nama daerah di dataran tinggi Bandung itu disebut, saya langsung bergairah. Mari!


Punclut (atau juga dikenal Puncak Ciumbuleuit Utara) merupakan dataran tertinggi yang paling dekat dari pusat Kota Bandung. Jaraknya sekitar 7 kilometer dari pusat kota, atau 3 kilometer dari kawasan belanja Cihampelas. Tempatnya yang indah dan tidak terlalu jauh membuat kawasan ini sering didatangi pengunjung, baik lokal maupun luar daerah. Kios-kios di sepanjang kanan dan kiri jalan di lokasi ini menawarkan beragam kuliner, pernak-pernik, dan peralatan rumah tangga lainnya.


Katanya, lokasi ini akan ramai dikunjungi orang pada hari Sabtu dan Minggu, terutama pada pagi hari. Mereka biasa ke sana untuk berolahraga, makan-makan, atau belanja keperluan rumah tangga. Namun, saya lebih tertarik ke sana pada malam menjelang dini hari. Meski begitu, tempat tersebut masih cukup ramai. Maklum, banyak kios makanan di sana yang buka 24 jam. Apalagi cuaca yang dingin dan sedikit berkabut membuat suasana menjadi sedikit asyik.


Dari tempat saya meninap, di daerah Gedung Sate Jl. Diponegoro, kemudian menuju Ir. H. Juanda (lebih dikenal dengan nama Dago) belok kiri (beloknya sebelum simpang Dago), lalu belok kanan menuju jalan Siliwangi lalu kiri dan lurus sampai di pertigaan belok kanan menuju Jl. Ciumbuleuit (kalo siang gak boleh belok kanan langsung, harus muter dulu ke Jl. Cihampelas belok kanan yang mau ke Setia Budhi tapi jangan diterusin ke Setia Budhi, belok kanan lagi ke Jl. Ciumbuleuit). Setelah itu lurus terus sampai ada bundaran belok kiri, lalu sedikit menikung ke kanan dan belok kanan lagi ke Punclut. Jalannya berupa tanjakan dengan jalan yang agak rusak. Tetapi, tetap aman selama berkendara dengan hati-hati.


Pada malam menjelang pagi itu gerimis sehingga saya tidak bisa terus menuju puncak bukit yang lebih indah. Motor parkir, memesan makanan, sedikit ngobrol, dan datanglah makanan yang sudah saya pesan. Menu makanan yang tidak bisa saya tinggalkan adalah ayam goreng. Jadilah ayam goreng, tempe dan tahu goreng, serta sate usus menjadi lauk andalan. Nasinya adalah nasi merah satu bakul, sambal cabai merah super pedas, dan yang pasti tak ketinggalan adalah lalapan. Selamat makan!


Sayangnya, karena memang sedang gerimis, pemandangan kota Bandung tidak terlihat begitu jelas dari sini. Air gerimis dan kabut tipis menjadi penghalangnya. Maka, saya pun menikmati makanan ini dengan ditemani gerimis dan dinginnya puncak Punclut; menikmati sisa keindahan di keterbatasan waktu karena esok pagi saya sudah harus kembali ke Jakarta.


Terima kasih Bandung. (*)


Punclut, Bandung

1 view0 comments
bottom of page