top of page

Christopher McCandless; Menolak Sistem, Memeluk Dunia dengan Caranya Sendiri



PADA 1 September tahun 2007 lalu sebuah film tentang petualang muda Into the Wild meledak di pasaran. Film yang disutradarai Sean Penn ini pun menyabet banyak penghargaan, termasuk 2 kategori Oscar, 7 penghargaan lainnya, dan masuk dalam 24 nominasi. Film yang dibintangi oleh Emile Hirsch ini bercerita tentang seorang pemuda dari keluarga kaya yang memilih berpetualang dan hidup bebas di alam liar Alaska.


Setelah lulus cum laude dari Emory University, mahasiswa cerdas yang juga atlit Christopher McCandless (kemudian mengubah namanya menjadi Alexander Supertramp) meninggalkan rumah dan menyumbangkan tabungannya sekitar $ 24.000 untuk yayasan amal. “I have had a happy life and thank the Lord. Goodbye and may God bless all!”


Sepanjang perjalanan menuju Alaska, McCandless bertemu dan menjalin persahabatan dengan banyak orang. Berbekal alat seadanya dan pengetahuan survival dan medan yang minim, McCandless menggantungkan hidup pada alam sepenuhnya, mengabaikan risiko apa pun, dan mencoba bertahan di tengah kebekuan dan kesunyian Alaska, dataran kejam yang tak kenal belas kasihan.


Selama di gurun Alaska, dia tinggal di sebuah bus Faibanks 142 peninggalan International Harvester tahun 1940-an. Setelah bertahan hidup di alam liar selama 113 hari, dia pun akhirnya meninggal karena keliru mengindetifikasi makanan dari tanaman lokal yang ternyata mengandung racun. Mayatnya ditemukan oleh pemburu beberapa minggu kemudian.


Sean Penn menunggu selama 10 tahun untuk mendapatkan izin dari keluarga McCandless untuk memproduksi film tentang anak mereka. Penn juga harus bersaing dengan banyak produser untuk memanangkan hak pembuatannya.. Penn berusaha membuat film dari buku Krakauer itu sejak pertama kali membacanya. “Sampulnya menggugah rasa ingin tahu saya jadi saya membelinya, pulang, dan langsung membacanya. Dua kali, ” kata Penn. “Saya mulai mencoba untuk mendapatkan hak sejak saat itu.” Akhirnya dia menulis skenario, menyutradarai, dan membantu memproduksi film sendiri, mengawal setiap langkah dari film tersebut. Sebagian besar film diambil di lokasi yang sebenarnya, Alaska.


Selain meninggalkan kesan mendalam bagi penikmat film petualangan, film yang didasarkan dari kisah nyata dari buku karya Jon Krakauer dengan judul yang sama ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan kritikus, penikmat film, dan penduduk Alaska pada khususnya. Lalu, apa yang sebenranya terjadi pada Christopher McCandless hingga dia seakan menjadi pahlawan yang dimitoskan? Bukankah menurut sebagian orang yang mengenal Alaska justru menganggap McCandless sebagai petualang muda yang bodoh?


BIOGRAFI SINGKAT CHRISTOPHER McCANDLESS


Christopher Johnson McCandless lahir di El Segundo, California pada tanggal 12 Februari 1968. Pada tahun 1976 keluarga mereka menetap di Annandale, Virginia, pinggiran Washington DC. Ayahnya, Walt McCandless, bekerja untuk NASA sebagai spesialis antena. Ibunya, Wilhelmina “Billie” Johnson, adalah sekretaris dan kemudian membantu Walt mendirikan dan menjalankan sebuah perusahaan konsultan yang sukses Annandale. Dia punya satu adik perempuan bernama Carine.


Chris dan Carine memiliki enam saudara tiri yang tinggal di California dari perkawinan pertama Walt. Walt belum bercerai dari istri pertamanya ketika Chris dan Carine lahir, namun Chris tidak mengetahui perselingkuhan ayahnya sampai perjalanan musim panas ke California Selatan pada tahun 1986. Hal itu menyebabkan Chris marah terhadap ayahnya, dan bisa dimungkinkan hal itulah yang menjadi faktor dalam pandangannya tentang masyarakat.


Sejak kecil McCandless dikenal sebagai anak dengan kemauan yang luar biasa keras dan kemudian digabungkan dengan idealisme teguh dan ketahanan fisik yang baik saat menginjak remaja. Di SMA, dia menjabat sebagai kapten tim lintas-negara, di mana dia mendesak rekan-rekan setimnya untuk mengobati spiritualitas mereka dengan berjalan “running against the forces of darkness….all the evil in the world, all the hatred”.

Dia lulus dari W.T. Woodson High School di Fairfax, Virginia pada 2 Juni 1986. Pada 10 Juni dia mulai melakukan perjalanan dan kembali ke universitas dua hari sebelum kelas awal dimulai. Dia lulus dari jurusan sejarah dan antropologi di Emory University tanggal 12 Mei 1990. Latar belakang kehidupannya yang kaya tapi tidak harmonis membuka matanya tentang apa yang dia sebut sebagai materialisme kosong masyarakat Amerika.


Secara pemikiran dia dipengaruhi oleh karya-karya Jack London, Leo Tolstoy dan Henry David Thoreau. Karena bacaannya itu pula dia bermimpi untuk meninggalkan masyarakat dan melakukan kontemplasi soliter seperti Thoreau. Pada bulan Mei 1990 McCandless menyumbangkan sisa uang $ 24.000 kepada Oxfam International, sebuah yayasan amal yang berjuang melawan kelaparan. Pada akhir Juni, dia memulai perjalanan dengan nama “Alexander” lalu menambahkan nama “Supertramp” (Krakauer kemudian mencatat itu ada hubungannya dengan penulis Wales, W. H. Davies dan  otobiografinya tahun 1908 yang berjudul The Autobiography of Super-Tramp).


Kebanyakan orang yang dia temui mengatakan McCandless orang yang cerdas dan suka membaca. Pada akhir musim panas, McCandless berjalan melewati Arizona, California dan South Dakota, di mana dia bekerja di sebuah ladang gandum di Carthage. Dia selamat dari banjir bandang, tapi dia meninggalkan mobilnya setelah memusnahkan plat nomornya. Pada tahun 1991, Alex mendayung kano menyusuri sungai terpencil yang membentang dari Sungai Colorado ke Teluk California. Dia juga menyeberangi perbatasan Meksiko.


Selama bertahun-tahun, McCandless memimpikan “Alaskan Odyssey”, hidup di padang gurun Alaska jauh dari peradaban dan “menemukan dirinya”. Pada bulan April tahun 1992, McCandless menumpang dari Enderlin, North Dakota, ke Fairbanks, Alaska. Dia terakhir terlihat hidup pada tanggal 28 April 1992 oleh Jim Gallien, penduduk lokal yang memberinya tumpangan dari Fairbanks ke bagian terdekat Stampede Trail. Gallien prihatin kepadanya yang membawa perbekalan minim, bahkan tak membawa kompas. Dia juga tidak memiliki pengalaman hidup di semak-semak Alaska. Gallien berulang kali mencoba membujuk Alex untuk menunda perjalanannya, dan bahkan menawarkan diri untuk mengantarnya ke Anchorage untuk membeli peralatan dan perlengkapan yang sesuai. Namun, dia menolak tawaran dan bantuan Gallien, kecuali sepasang sepatu karet, dua sandwich tuna dan sekantong keripik jagung.


“Ketika saya mengetahui dia tidak punya sepatu, saya mengatakan bahwa dia bisa menggunakan sepatu karet dan hanya perlu memanggil saya ketika dia keluar dari hutan, dan mengembalikannya kepada saya,” kata Gallien. “Dia mengatakan dia tidak ingin melihat siapa pun. Bahkan, dia memberiku arlojinya. Dia punya sisir. Dia memiliki sekitar 85 sen dalam perubahannya. Dan dia membuang semuanya di dasbor dalam truk. Membuang peta, tidak ingin tahu hari apa itu, waktu apa itu atau di mana ia berada,” lanjutnya.


Setelah melalui trek panjang tertutup salju Stampede Trail, McCandless menemukan sebuah bus tua di dekat tumbuhan dekat Denali National Park (sekitar 25 km sebelah barat dari Healy). Bus itu biasa digunakan tempat istirahat para pemburu. Di bus itu dia mulai hidup di alam liar. Di dalam tasnya dia memiliki 10 pound beras, senapan semi-otomatis Remington kaliber 22 LR, sebuah buku panduang tentang tanaman lokal, beberapa buku lain, dan beberapa peralatan berkemah. Dia menganggap dia bisa mencari makanan dari tumbuhan dan berburu binatang. Dia terus menulis untuk menggambarkan kemajuan fisik dan spiritualitas di alam liar.


Selama tiga puluh hari berikutnya atau lebih, Alex merebus landak, tupai, dan burung. Pada tanggal 9 Juni 1992 dia berhasil membunuh rusa, namun dia gagal mengawetkan daging dengan benar sehingga dalam beberapa hari daging dipenuhi belatung. Bukannya mengiris tipis dan mengawetkan daging dengan menjemurnya seperti disarankan oleh pemburu yang dia temui di South Dakota, dia malah menutupinya dengan ranting-ranting dan mengasapinya.


Pada hari ke-100 dia menulis bahwa dia: “Made it! But in the weakest condition of life. Death looms as serious threat. Have literally become trapped in the wild.”


Kehidupan alam liarnya selama 112 hari dicatat di buku harian. Tulisan ini meliputi perasaan gembira dan ketakutannya dengan perubahan nasib. Pada bulan Juli, setelah tinggal di bus selama tiga bulan, dia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu, tetapi jalurnya terputus oleh aliran Sungai Teklanika yang deras dan semakin tinggi daripada saat dia melewatinya pada bulan April. Tidak bisa menyeberang, akhirnya dia kembali ke bus dan total tinggal di sana selama 113 hari. “Bencana, hujan turun, sungai terlihat tidak mungkin,” tulisnya menjelang akhir. Dia menulis bahwa dia “kesepian, ketakutan.”

Pada tanggal 12 Agustus 1992, Alex menulis catatan tentang apa yang tampaknya menjadi kata-kata terakhirnya: “Beautiful Blueberries“. Dia merobek halaman terakhir dari memoar Louis L’Amour, Education of a Wandering Man, yang berisi kutipan dari sebuah puisi Robinson Jeffers berjudul “Wise Men in Their Bad Hours”:


Death’s a fierce meadowlark: but to die having made

Something more equal to centuries

Than muscle and bone, is mostly to shed weakness.

The mountains are dead stone, the people

Admire or hate their stature, their insolent quietness,

The mountains are not softened or troubled

And a few dead men’s thoughts have the same temper.


Di sisi lain dari halaman, Alex menambahkan, “I HAVE HAD A HAPPY LIFE AND THANK THE LORD. GOODBYE AND MAY GOD BLESS ALL!”


Pada beberapa saat selama waktu itu, mungkin juga sudah sangat mendekati kematiannya, McCandless memasang tanda SOS seruan kepada siapa pun yang lewat untuk membantunya karena dia “terluka” dan “terlalu lemah”. Catatan lengkapnya berbunyi: “Attention Possible Visitors. S.O.S. I need your help. I am injured, near death, and too weak to hike out. I am all alone, this is no joke. In the name of God, please remain to save me. I am out collecting berries close by and shall return this evening. Thank you, Chris McCandless. August?”


Pada tangga l 6 September 1992 mayatnya ditemukan di kantong tidurnya di dalam bus oleh Butch Killian, seorang pemburu lokal. Alex sudah meninggal sekitar dua minggu dan beratnya diperkirakan hanya 30 kg. Sebelumnya indikasi kematiannya disebabkan oleh tanaman beracun yang dia makan. Namun, menurut penelitian laboratorium tidak ditemukan racun dari tanaman yang masih tersimpan di tas McCandless. Penyebab utama kematiannya adalah karena kelaparan.


KONTROVERSI


Penyebab kematian McCandless menyisakan sejumlah kontroversi. Krakauer menyebut dua faktor yang mungkin menyebabkan kematian McCandless. Pertama, dia terkena fenomena yang dikenal sebagai risiko “rabbit starvation”, meninggal karena meningkatnya aktivitas, sementara tidak memiliki keahlian dalam berburu. Kedua, tanpa disadari dia memakan biji-bijian yang ternyata beracun (Hedysarum alpinum atau Hedysarum mackenzii) atau jamur beracun yang tumbuh daerah itu (Rhizoctonia leguminicola yang menghasilkan racun alkaloid swainsonine).


Namun, sebuah artikel dalam Men’s Journal menyatakan bahwa tes laboratorium menunjukkan tidak ada racun yang ditemukan dalam pasokan makanan McCandless. Dr Thomas Clausen, ketua departemen kimia dan biokimia di UAF mengatakan: “Aku meneliti tanaman secara terpisah. Tidak ada racun. Tidak ada alkaloid. Aku sendiri akan memakannya.”


Kacang kapri manis liar, yang disebut sebagai penyebab kematian McCandless dalam film Sean Penn, memiliki senyawa beracun, akan tetapi dalam semua analisis dan literatur medis modern tidak ditemukan keterangan spesies tanaman tersebut bisa meracuni manusia. Salah seorang wartawan mengatakan: “Dia tidak menemukan jalan keluar dari semak-semak, tidak bisa mendapatkan cukup makanan untuk bertahan hidup, dan mati kelaparan.”


Selanjutnya akademisi Ronald Hamilton mencoba menghubungkan asumsi keracunan McCandless dengan tahanan Yahudi di kamp konsentrasi Nazi di Vapniarca. Dia mengemukakan pendapat bahwa Chris McCandless meninggal disebabkan oleh keracunan ODAP dari Hedysarum Alpinum Seeds yang belum dijamah oleh penelitian sebelumnya karena mereka sedang mencari penjelasan tentang alkaloid bukan protein beracun. Tes berikutnya mengungkapkan bahwa ODAP memang ada dalam biji tersebut.


WARISAN BUDAYA DAN PEMIKIRAN McCANDLESS


Buku Krakauer memang membuat Christopher McCandless menjadi osok heroik bagi banyak orang. Pada tahun 2002, bus 142 pun menjadi tujuan wisatawan. Cerita McCandless versi film pun mencapai rating tinggi (81%) di basis data Rotten Tomatoes Film. Selain film dokumenter The Call of the Wild, cerita McCandless juga menginspirasi sebuah episode dari serial TV Millennium, album Cirque oleh Biosfer, dan lagu-lagu rakyat oleh penyanyi Ellis Paul, Eddie From Ohio, dan Harrod and Funck.


Fifteen years after an enigmatic 24-year-old walked Into the Wild, the site of his death has become a shrine. As Hollywood weighs in with a portrait of the young man as a saintlike visionary, has the truth been lost? Inside the strange life and tragic death of “Alexander Supertramp.” –Matthew Power


Lima belas tahun telah berlalu: 15 musim berbeda menyelimuti bus kuno berkarat di Stampede Trail, Alaska, masih termangu di padang gurun, hampir persis seperti saat McCandless meninggalkannya. Berada di jarak dua kilometer dari jalan terdekat, bus itu dinaungi oleh pohon alder dan cemara hitam yang tumbuh semakin tinggi di atas sebuah anak sungai. Mobil WWII antik hijau-putih milik International Harvester terlihat seperti artefak dari peradaban yang lenyap. Bus itu seperti menjadi kuil yang didatangi orang-orang dari seluruh dunia untuk berziarah dan memberi penghormatan kepada petualang muda yang mereka lihat sebagai pahlawan.


Kentang liar tumbuh di sekitar roda. Di sisi bus cat putih bertuliskan “Fairbanks 142” masih terbaca jelas setelah diselimuti berbagai musim. Ada juga satu lubang peluru di jendela, mungkin itu karena “penghuninya” sedang marah atau bosan. Selain itu, orang-orang yang sudah mengunjungi lokasi ini – entah karena menghormati atau takhayul – telah meninggalkan lokasi sebagian besar tidak tersentuh. Tulang dari rusa muda yang ditembak McCandless menambah aura seram dari tanah kuburan. Di dalam, dekat kompor minyak barel tua, celana jeans McCandless terlipat rapi di rak, bagian lutut ditambal dengan potongan-potongan selimut tentara tua, kursi ditambal dengan lakban.


Itu adalah kisah yang menakutkan dan menangkap imajinasi seluruh negara. Mengidolai pemikiran Leo Tolstoy, Jack London dan Thoreau, McCandless menamai dirinya sendiri sebagai “Alexander Supertramp,” memutus semua hubungan dengan keluarganya, memberikan sisa uangnya untuk amal, dan memulai pengembaraan yang membawanya ke Alaska, padang gurun mistik Amerika, tempat kosong di peta di mana dia bisa menguji batas akal dan daya tahan tubuhnya.


“Padang gurun Alaska adalah tempat yang baik untuk menguji diri sendiri. Gurun Alaska adalah tempat yang buruk untuk menemukan diri,” tulis Craig Medred di Anchorage Daily News.


Lima belas tahun sejak kematian, cerita tentangnya terus bergema sebagai dongeng Amerika, dan pahlawan yang seakan dimistiskan, mengaburkan garis antara memori hidup dan penciptaan legenda. Terjalin dengan tema abadi penemuan diri, risiko, dan hubungan yang kompleks dengan alam, teka-teki McCandless sekali lagi diperdebatkan, lebih lantang dari sebelumnya. Apakah kematiannya seperti tragedi Shakespeare atau kesalahan komedi gelap gulita? Apa dampak kisah tersebut terkait persepsi orang tentang Alaska? Dan mungkin yang paling menggoda: Apakah Krakauer, dan sekarang Penn, mendapatkan bagian penting dari cerita yang salah?


Untuk mencapai tempat di mana McCandless meninggal kita harus mengarungi dua sungai, Savage dan Teklanika, dan yang terakhir ini cukup sulit dilalui. “Kau tahu apa motto negara bagian Alaska? “Pegang bir dan lihat ini!” seru penduduk lokal pada sebuah jalur dengan trem manual untuk menyeberang, alat yang seharusnya bisa ditemukan oleh McCandless untuk menyelamatkan diri dari semak-semak pada bulan Juli 1992.


Kevin dan Rob Mark, dua bersaudara dari New Jersey yang melakukan perjalanan dua hari dan kembali setelah bermalam di bus. Mereka membaca buku Krakauer dan ingin melihat apakah mereka bisa mencapainya dengan berjalan kaki, untuk mendapatkan rasa yang dirasakan McCandless. “Ini adalah petualangan besar mencapai tempat di luar sana, tapi menyeberangi sungai itu menakutkan,” kata Rob. Mereka berdua hampir jatuh dan terseret arus deras  Sungai Teklanika.


Setahun lebih muda dari McCandless, Kevin memiliki sudut pandang yang jelas tentang kematiannya dan Alaska; sentimental dan romantis. Dia menunjuk ke sebuah kolam renang yang jelas dalam aliran air sungai berjarak 50 meter dari bus, di mana puluhan kaki panjang berjalan melawan arus. “Kau bisa melewatinya dengan bantuan cabang pohon cemara,” katanya. “Dan aku hanya tidak mengerti mengapa dia tidak menunggu air sedikit surut dan menyeberangi Teklanika. Atau berjalan ke hulu dan menemukan tempat dangkal ini. Atau menyalakan api sebagai sinyal pada kerikil di seberang sungai.”


“Cukup sulit untuk hidup di sini tanpa berusaha lebih keras,” kata Kevin yang merasa heran saat berada di dalam bus dan memang seperti berada dalam kemunduran peradaban dan mengatakan tidak sanggup hidup seperti itu, “Kami sulit menjadi pahlawan jika itu yang dibutuhkan –orang yang mati kelaparan di bus.”


Kesalahan Krakauer menggambarkan Alaska untuk meromantisasi cerita McCandless mendorong orang lain untuk mengikuti gaya hidup sang pahlawan. Bahkan sebelum film dirilis, telah banyak pihak yang menyalahkan Hollywood terkait tragedi yang dianggap tidak masuk akal tersebut. Dermot Cole, seorang kolumnis untuk Fairbanks Daily News-Miner, mengatakan, “Untuk menjual cerita, mereka telah membuatnya menjadi dongeng. Dia telah dimuliakan dalam ketidaksiapan menghadapi kematian. Anda tidak bisa datang ke Alaska dan melakukan itu.”


Butch Killian, salah satu pemburu rusa yang menemukan mayat McCandless di September 1992 tidak mengerti mengapa masalah itu menjadi sebuah cerita yang besar. Dia bilang dia tidak pernah membaca buku itu dan tidak tahu bahwa buku itu laris dan ribuan orang terbuai oleh kisah McCandless yang digambarkan Krakauer. “Saya tidak tahu apa masalahnya, tapi itu tidak akan bertahan. Jika dia seorang pahlawan, dia seorang pahlawan yang mati.” Killian tidak berpikir bahwa kunjungan ke situs bus itu akan memberikan banyak jawaban. “Begitu banyak orang telah meminta saya untuk membawa mereka ke tempat itu. Hal apa di dunia ini yang membuat Anda ingin kembali ke sana? Bukan apa-apa selain bus tua.”


Bus tua Fairbanks 142 telah menjadi sesuatu yang religius, menjadi seperti sebuah kuil yang banyak didatangi para pencari pemahaman: dari McCandless, padang gurun, dan dari diri mereka sendiri. Sebuah plakat peringatan McCandless dipasang di bus, yang membawa pesan dari keluarganya yang berakhir dengan kalimat “We commend his soul to the world”. Di dalam koper usang di atas meja terdapat setengah lusin notebook berserakan. Catatan pertama, dari Juli 1993, dengan tinta merah di atas kertas menguning karena usia, adalah catatan pribadi dari orang tuanya. Mereka mengunjungi situs itu dengan Jon Krakauer menggunakan helikopter. Krakauer juga meninggalkan catatan: “Chris – You memory will live on in you admires. – john”.


Notebook kumal itu juga dipenuhi ratusan catatan dari peziarah yang melakukan perjalanan sulit sejauh 22 mil ke alam liar untuk mencoba merasakan hubungan dengan semangat McCandless. Mereka datang dengan mobil salju, dogsled, sepeda gunung, dan sebagian besar dengan berjalan kaki, biasanya memerlukan dua hari untuk mendaki tanah berlumpur, wabah nyamuk dan mengarungi sungai beku. Mereka datang dari seluruh Amerika Serikat dan dari negara jauh seperti Bulgaria, Finlandia, dan Republik Ceko. Mereka datang karena tertarik dengan cerita heroik dan lanskap Alaska.


Bersama catatan seperti membentuk perpaduan kata, beberapa pertanyaan, beberapa memuji, semua berusaha memeras makna dari ceritanya, dan sebagai penyambung dengan kehidupan mereka sendiri:

I am 20 years old and feel a kinship with Chris This is God’s country and a beautiful place to leave this world We shouldn’t Romanticize or canonize him What went on here, at this bus, transcends the ordinary and mundane Chris was completely awake to life for the first time in many years I am crying Chris may have fucked up, but he fucked up brilliantly he found the serenity of the spirit that most die without pray for Chris’s critics There is something about Alaska that changes you You go your way — I’ll go your way too.


Baris terakhir itu, dari puisi Cohen Leonard, ditulis oleh Sean Penn, ketika dia mengunjungi bus pada bulan Agustus 2006.


Cerita McCandless sekan berkembang menjadi mitos dan seakan melupakan bahwa McCandless adalah manusia biasa dengan daging, tulang, dan darah yang sama, mungkin dia berbeda dalam idelisme. Westerberg, misalnya, mereka telah menjadi sahabat dalam waktu singkat. Dia mengenal McCandless lalu memberinya pekerjaan di ladang gandum di Carthage, South Dakota. Mereka menjadi teman baik sebelum dia berangkat ke Alaska. Westerberg juga yang membantu mengidentifikasi mayatnya. “Tentu sajal, iya,” katanya. “Semua bayangan berasal dari awan yang asli dan cerita tersebut menuju ke suatu titik. Aku yakin dia duduk di atas sana tersenyum. Dia suka menulis semua di buku harian. Jika dia tidak mendokumentasikan di sana maka tidak akan ada cerita.”


McCandless jelas percaya mitologi diri, dalam kekuatan bercerita dan penemuan diri. Seandainya dia hidup, mungkin dia akan memperoleh perspektif yang cukup untuk menceritakan kisah itu sendiri, daripada meninggalkannya untuk diketahui orang lain. Seperti itu, dia telah memasuki alam mitos, dan mitos itu dibentuk oleh orang-orang yang bisa memanfaatkannya.


Ini adalah tantangan yang secara diam-diam dipilih oleh ratusan orang di seluruh dunia, mereka semua menuju Alaska, mengejar mimpi yang ditulis di halaman best-seller dan sekarang ada di film berjudul “Into the Wild.” Dan, semua itu bemula dari sosok pemuda bernama McCandless yang mungkin juga terispirasi toko idolanya, Leo Tolstoy, yang membuat dia memilih hidup dan akhirnya meninggal di alam bebas.


Leo Tolstoy pernah menulis: “Aku ingin pergerakan dinamis, bukan kehidupan yang tenang. Aku mendambakan kegairahan, bahaya, dan kesempatan untuk mengorbankan diri bagi orang yang kucintai. Aku merasakan di dalam diriku, tumpukan energi sangat besar yang tidak menemukan penyaluran di dalam kehidupan kita yang tenang.” (“Family Happiness“)


KRITIK


Pada bulan Januari tahun 1993, Jon Krakauer menulis cerita tentang McCandless di majalah Outside. Sebuah artikel yang mengulas tentang kisah McCandless secara lengkap juga muncul dalam majalah The New Yorker edisi 8 Pebruari 1993. Terinspirasi dari rincian cerita McCandless di majalah Outside, Krakauer menulis dan menerbitkan buku berjudul Into the Wild pada tahun 1996. Buku itu kemudian diangkat menjadi film oleh Sean Penn pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, film dokumenter tentang McCandless, The Call of the Wild karya Ron Lamothe juga dirilis.


Sekarang rincian pengetahuan umum tentang keberangkatan dramatis McCandless dari budaya mainstream dan kematian traumatis di padang gurun Alaska karena minimnya makanan menghasilkan perdebatan sengit. Terlalu banyak diskusi yang menganalisis karakter sang tokoh, menggambarkan dia sebagai gelandangan muda yang naïf, bodoh, dan sombong – dan disebut hanya ikon yang dibuat-buat. Seorang komentator yang kontra mengatakan: “Seperti ketidaktahuan besar yang disengaja untuk menghormati alam dan bersikap berlawanan menunjukkan jenis arogansi yang sama yang mengakibatkan tumpahan Exxon Valdez – kasus lain tidak adanya persiapan –, lelaki yang terlalu percaya diri dan merasa kikuk di luar sana dan kacau karena kurangnya syarat kerendahan hati. McCandless merencanakan pertapaan dan sikap hidup soliter daripada mengurangi kesalahan.”


Medred, kolumnis Anchorage Daily News, percaya bahwa McCandless menderita skizofrenia dan membandingkan dia dengan Timothy Treadwell, pembuat film yang tidak stabil dan antusias terhadap beruang (bersama dengan pacarnya) dimana dia dibunuh dan dimakan oleh beruang grizzly di Katmai National Park di 2003. “McCandless tidak perlu padang gurun,” katanya. “Dia membutuhkan bantuan (pengobatan).”


Keegoisan dan kesedihan tentang bagaimana kisah ini berakhir pada kebodohan suci sedikit banyak berhasil mengalihkan beberapa aspek perbedaan pendapat tentang sikapnya yang pemberani dan keteguhan hati untuk mengasingkan diri dari masyarakatnya.


Setelah di Alaska, realitas kesepian dalam pencarian yang spartan McCandless menawarkan contoh buruk bagaimana hidup soliter sebagai penjelajah dan pemburu. Dari sudut pandang apa yang disebut “re-Wilding,” orang memiliki potensi untuk menghilangkan pelajaran warisan leluhur kita, dimana diajarkan keterampilan praktis dan taktis meliputi perencanaan untuk hari ini dan esok. Orang yang tetap mengkritik McCandless ditujukan kepada sikapnya yang menghindari cara hidup survival. Hal inilah yang membuat dia kalah hidup di alam liar.


Daripada terjebak dalam sistem materialsme kosong masyarakat, McCandless berontak dan lebih memilih  melakukan “perjalanan suci” bak biarawan. Namun, dari catatan harian ditumakan lewat ulasan Krakauer dalam bukunya bahwa McCandless sepertinya sudah siap kembali ke masyarakat lewat keinginannya untuk keluar dari kesepian di gurun Alaska: “Siap, mungkin, untuk membuang sedikit kebencian di hatinya, dan siap kembali ke peradaban, dia bermaksud untuk meninggalkan kehidupan gelandangan soliter, berhenti berjalan begitu keras dari keintiman, dan menjadi anggota dari komunitas manusia.”


Ada bukti tambahan bahwa McCandless ingin pergi dari semak-semak Alaska. Pada bulan Juli, satu bulan sebelum kematiannya, dia mencoba untuk keluar, namun kembali ke tempat semula karena tidak bisa menyeberangi Sungai Teklanika. Dia gagal mengantisipasi perubahan kadar air meninggi karena musim panas membuat pencairan salju meningkat.


Tapi seperti yang ditulis Krakauer  – dan juga dari tulisan sepanjang 9.000 kata dari Chip Brown pada Februari 1993 di New Yorker jelas – kalau saja McCandless mencari jalan lain sedikit agak jauh ke hilir dia akan menemukan trem manual yang membentang di atas sungai berjarak kurang dari satu mil dari tempat dia mencoba menyeberang, fakta itu yang dihilangkan dalam film.


Sherry Simpson, seorang pengunjung bus dengan temannya, menulis di Anchorage Press, menggambarkan bagaimana wisatawan meninggalkan komentar pujian kepada McCandless sebagai seorang yang berwawasan, seperti tokoh Thoreau: “Di antara teman-teman dan kenalan, kisah Christopher McCandless menjadi percakapan besar setelah makan malam. Sebagian besar saya setuju bahwa “dia ingin mati” di tempat itu karena saya tidak tahu bagaimana lagi mendamaikan apa yang kita ketahui dari penderitaannya. Sekarang saya menjelajah ke wilayah “bodoh” ini, membuat saya marah oleh aliansi singkat bahwa “dia hanyalah anak romantis yang mencari Amerika”. Sebagian saya bingung bagaimana dia muncul sebagai pahlawan.”


Usahanya memasuki daerah padang gurun seorang diri, tanpa perencanaan yang memadai, pengalaman, persiapan, atau persediaan, tanpa memberitahu siapa pun dan kurang peralatan komunikasi darurat, sangat bertentangan dengan prinsip hidup di alam bebas. Di mata banyak penggemar outdoor berpengalaman, persiapan seperti itu hampir pasti akan berakhir dalam kemalangan. Beberapa orang Alaska memiliki pandangan negatif dari buku dan film tentang McCandless yang sengaja “didramatisir”.


Kenyataan adalah McCandless tidak punya peta meskipun pada film dokumenter tahun 2007 The Call of the Wild, disajikan bukti bahwa McCandless memiliki peta. Namun jika benar dia memiliki peta, seharusnya dia tahu bahwa  ada trem yang dioperasikan dengan tangan yang bisa digunakan untuk menyeberangi sungai hanya berjarak  satu ¼ mil dari tempat dia sebelumnya gagal menyeberang. Ada juga kabin penuh persediaan darurat berjarak beberapa mil dari bus, meskipun beberapa dirusak vandalisme.


Pihak Alaska Park Ranger Peter Christian menulis: “Saya menyebutnya ‘Fenomena McCandless’. Rakyat, kebanyakan pemuda, datang ke Alaska untuk menantang diri memasuki daerah gurun dimana akses kenyamanan dan kemungkinan penyelamatan praktis tidak ada […] Bila Anda mempertimbangkan McCandless dari perspektif saya, Anda akan langsung melihat bahwa itu seharusnya tidak dilakukan, bahkan itu sangat berani, bodoh, tragis, dan tidak berpengalaman. Pertama, dia hanya sedikit belajar bagaimana benar-benar hidup di alam liar. Dia tiba di Stampede Trail bahkan tanpa peta. Jika dia [telah] memiliki peta dia bisa keluar dari kesulitannya […] Pada dasarnya, Chris McCandless bunuh diri.”


Judith Kleinfeld menulis dalam Anchorage Daily News bahwa “banyak orang Alaska marah atas kebodohannya. Mereka mengatakan Anda harus menjadi orang bodoh untuk mati kelaparan di musim panas dan berjarak 20 km dari kawasan jalan raya.”


Jon Krakauer membela McCandless, mengatakan apa yang disampaikan oleh kritikus sebagai sikap yang arogan. McCandless berusaha “menjadi yang pertama mengeksplorasi tempat kosong di peta.” Krakauer melanjutkan bahwa “Pada tahun 1992, bagaimanapun, tidak ada tempat yang lebih kosong di peta, di Alaska dan bukan di tempat lain. Tapi Chris, dengan logika anehnya, datang dengan solusi elegan untuk dilema ini: Dia hanya menyingkirkan peta. Dalam pikirannya sendiri, jika tidak ditempat lain, maka diperlukan adalah tetap bergerak.” Orang lain telah menunjukkan bahwa peta daerah (meskipun tampaknya tidak termasuk lokasi trem bertenaga tangan) ditemukan di antara barang-barang McCandless ini, dan membantah tuduhan bahwa dia sengaja membuang peta ini.


Pada akhirnya, setiap fenomena yang muncul akan selalu memiliki dua belah pihak yang saling berlawanan, yang mendukung dan yang tidak mendukung. Dari persiapan dan peralatan, di mata kritikusnya McCandless jelas digambarkan sebagai sosok petualang bodoh yang ingin mati di gurun Alaska. Sementara di mata pemujanya, semangat McCandless untuk menolak sistem masyarakat yang kacau dengan cara mencari jati diri di alam bebas patut diapresiasi. Terlepas dari pro dan kontra, Christopher McCandless dikenal sebagai pemuda yang cerdas secara akademis, memiliki idelisme yang kuat, dan ingin bebas berpetualang. McCandless menolak sistem dan memeluk dunia dengan caranya sendiri. (*)


Sumber:

66 views0 comments
bottom of page