top of page

SAMBANG MUSEUM #01 | Taman Prasasti, Museum Outdoor yang Artistik

Updated: Dec 29, 2019



HAMPIR semua museum artistik. Karena menyimpan beragam benda bersejarah yang mempunyai nilai seni tinggi. Selain sisi historis. Begitu juga Museum Taman Prasasti. Selain artistik, Museum Taman Prasasti menurut saya juga unik. Ini adalah satu-satunya museum outdoor yang pernah saya temui.


Museum yang berada di Jalan Tanah Abang No. 1, Jakarta Pusat, ini memiliki sejarah yang panjang. Lokasi ini awalnya adalah Pemakaman Umum Kebon Jahe Kober yang dibangun tahun 1795. Pada tanggal 9 Juli 1977, pemakaman Kebon Jahe Kober dijadikan museum dan dibuka untuk umum.


Pembukaan museum ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.



Taman Prasasti ditetapkan sebagai museum cagar budaya peninggalan masa kolonial Belanda. Museum ini memiliki koleksi prasasti nisan kuno serta miniatur makam khas dari 27 provinsi di Indonesia.


Melihat Lebih Dekat


Begitu tiba di museum ini, kita akan melihat bangunan putih dengan arsitektur khas kolonial Belanda. Dengan beberapa pilar penopang bangunan. Di samping kanan dan kiri, terdapat masing-masing satu meriam.


Di sisi kanan, ada plang besar bertulisan Museum Taman Prasasti. Di samping kiri pun ada plang dengan tulisan yang sama. Namun, tampilannya lebih artistik. Berupa tiga pilar besar berdiri kukuh dengan dua malaikat nangkring di atasnya.



Di masing-masing pilar itu, tertera satu kata. Yang bila dibaca utuh menjadi Museum Taman Prasasti. Dua plang nama memang mubazir, tapi ya sudahlah.


Masuk Museum


Setelah membeli tiket dan masuk museum, kita akan melihat sebuah lonceng kecil. Konon, dulu lonceng tersebut akan dibunyikan ketika ada jenazah yang datang untuk dikebumikan.


Berjalan sedikit lebih ke dalam, mata kita akan dimanjakan dengan rindang pepohonan. Serta puluhan prasasti dan makam yang berdiam di bawahnya.


Berjalan sedikit ke kiri dari pintu masuk, kita akan disambut patung perempuan yang tertelungkup. Namanya Patung Wanita Menangis. Konon katanya, perempuan itu mati bunuh diri. Karena tak kuasa menahan kesedihan lantaran laki-laki yang baru dinikahinya meninggal terkena malaria.



Di dekat patung wanita itu, ada bangunan seperti gazebo. Di situ terdapat dua peti mati. Keduanya adalah peti mati untuk membawa jenazah Bung Karno (sisi kanan) dan Bung Hatta (sisi kiri).


Dengan peti itu, jenazah Bung Karno dibawa dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) menuju persemayaman terakhir di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Sedangkan jenazah Bung Hatta dibawa dari Rumah Sakit dr. Tjitpto Mangunkusumo (RSCM) menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir. Beliau memang ingin dimakamkan di pemakaman umum biasa.


Sedikit bergeser ke kiri, ada makam yang tampak seperti bangunan rumah kecil. Namanya Rumah Bumi. Itu adalah makam keluarga A.J.W. Van Delden. Seorang juru tulis di Indonesia Timur dan pernah menjabat sebagai ketua perdagangan VOC.



Di samping Rumah Bumi, ada nisan yang tampak berbeda dengan nisan-nisan lain. Nisannya terbuat dari batu andesit. Itu adalah makam Olivia Mariamne Raffles, istri Thomas Stamford Raffles. Thomas Raffles adalah gubernur-letnan Hindia Belanda ke-39 (1811–11 Maret 1816).


Raffles juga dikenal sebagai pencetus Kebun Raya Bogor. Di sana, dibangun monumen peringatan untuk mengenang kematian Olivia Mariamne. Selain itu, nama Raffles juga dipakai sebagai nama bunga nasional Indonesia sebagai penghargaan. Rafflesia arnoldi.



Kini kita sedikit bergeser lagi. Ke sebuah gazebo yang menaungi tiga kereta antik. Itu adalah replika atau duplikasi kereta jenazah yang digunakan pada masa kolonial Belanda.


Di depan gazebo tersebut, ada monumen dengan tulisan Jepang. Bentuknya berupa batu bercat hitam. Tugu itu dibangun untuk mengenang tentara Jepang yang tewas dalam perang melawan sekutu.


Masuk Lebih Dalam


Setelah menjelajahi bagian pelataran, kita akan melewati jalan setapak yang terbuat dari paving block. Kita bakal dihadapkan pada persimpangan jalan. Ke kanan atau kiri. Jika ambil kanan, kita akan melihat bangunan seperti potongan tembok. Di sisi kiri jalan. Dengan ornamen yang cukup menyeramkan di atasnya. Tengkorak kepala tertusuk bilah besi.


Itu merupakan replika tembok peringatan yang dulunya berada di daerah Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat. Tembok tersebut dibangun untuk memperingati R. Bervelt. Orang Belanda keturunan Jerman yang bergabung dengan pejuang Indonesia untuk melawan Belanda.



Dia berencana melakukan pembunuhan masal saat malam tahun baru. Tapi diketahui pemerintah Belanda. Dia pun dihukum mati dengan ditarik empat kuda. Tembok kemudian dibangun di tempat Brevelt tewas untuk memberikan peringatan kepada pemberontak lain.


Berjalan lebih ke dalam lagi, kita bisa bertemu dengan patung laki-laki cokelat yang seperti membawa buku. Itu adalah prasasti makam Pater Henrikus van der Grinten atau yang disebut sebagai Pastor Batavia. Tingginya mencapai 5 meter.



Dia sempat menjadi pastor kepala di Gereja Katedral saat ini. Van der Grinten dikenal sebagai seorang pastor yang penuh cinta dari Batavia. Dia meninggal pada awal tahun 1864 karena terserang flu berat.


Berjalan lagi, sedikit lebih jauh, di antara pepohonan rindang, ada tugu yang menjulang tinggi. Warnanya lebih mencolok di antara prasasti lain. Hijau. Seperti katedral. Nisan prasasti itu dibuat untuk menghargai jasa Panglima Perang J.J. Pierrie. Dia dinilai sangat berjasa bagi pemerintah.


Tidak jauh dari nisan katedral tersebut, ada sebuah nisan batu besar yang mirip dengan candi. Itu adalah nisan seorang ahli sastra Jawa kuno bernama Dr. Jan Laurens Andries Brandes. Dia terkenal antara lain karena menemukan manuskrip Kakawin Nagarakretagama di Puri Cakranegara, Lombok, pada tahun 1894.



Brandes meninggal pada tahun 1905 saat masih menjabat sebagai ketua Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundige Onderzoek op Java en Madoera (Komisi Hindia Belanda untuk Penelitian Arkeologi di Jawa dan Madura). Komisi tersebut merupakan cikal bakal dari Dinas Purbakala dan Pusat Penelitian Arkeologi di Indonesia.


Masih banyak lagi orang penting, tokoh, atau pejabat yang nisan prasastinya disemayamkan di museum ini. Sebut saja prasasti Dr. H. F. Roll, kepala sekolah Dokter Jawa—kemudian berganti nama menjadi STOVIA, lalu berubah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Batu nisan Direktur Jenderal Finansial Hindia Belanda L. Launy.


Lalu, ada batu nisan Gerardus van Overstraten, gubernur VOC terakhir. Arsitek gereja Katedral Jakarta Pusat Marius Hulswit dan Panglima Perang Belanda J.H.R. Kohler. Dia tewas di Masjid Baiturrahman Aceh saat hendak menyerang Aceh. Jenazahnya sekarang dimakamkan di Aceh.


Ada pula tokoh Indonesia yang batu nisannya diletakkan di sana. Salah satunya selebritis pada 1930-an Misreboet.



Dan, ada satu lagi yang seakan menjadi ikon Museum Taman Prasasti, Soe Hok Gie. Prasasti aktivis sekaligus pencinta alam kelahiran Jakarta, 17 Desember 1942, itu hampir setiap tahun diziarahi. Gie meninggal di puncak Gunung Semeru pada 16 Desember 1969 dalam usia 26 tahun. Tepat sehari sebelum ulang tahunnya.


Saat Kebon Jahe Kober (sekarang Museum Taman Prasasti) direnovasi, makam Gie dibongkar. Sesuai kesepakatan antara keluarga dan teman-teman, sisa tulang-belulang Gie ditumbuk dan ditebar di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango. Itulah lokasi favorit Gie selama pendakiannya. (*)


Jakarta, 16 Desember 2019

34 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page