top of page

Bumi Manusia: Saat Sastra Pram Masuk Ruang Gelap Bioskop

Updated: Jan 6, 2020



DUA hari sebelum perayaan hari kemerdekaan Indonesia 74 tahun silam, sebuah film yang sudah sejak lama saya tunggu akhirnya premiere juga. Bumi Manusia. Film adaptasi dari novel dengan judul yang sama. Karya Pramoedya Ananta Toer.


Kalau dihitung dari tahun cetaknya (1980 oleh Hasta Mitra), novel Bumi Manusia (selanjutnya ditulis BM) sudah berusia 39 tahun.


Zaman kuliah dulu, sekitar tahun 2010, ada desas-desus bahwa BM akan diangkat ke layar lebar. Yang menggarap adalah sutradara jempolan Riri Riza dan produser kawakan Mira Lesmana. Bahkan, kabarnya mereka saat itu sudah survei di Surabaya. Tepatnya di Wonokromo dan Kranggan.


Ekspektasi saya waktu itu sangat tinggi. Novel favorit difilmkan sutradara dan produser yang juga favorit. Lengkap.


Namun, bulan berganti, tahun berlalu. Berita tentang kelanjutan penggarapan film BM tak lagi terdengar. Hingga saya lulus dan hijrah ke Jakarta.


Kabarnya, dalam rentang tahun-tahun itu, ada beberapa sutradara dan produser yang berniat menggarap film BM. Sebut saja Garin Nugroho, duet Riri Riza dan Mira Lesmana, serta Anggy Umbara. Namun, semuanya kandas tanpa ada kejelasan.


Saat saya sudah melupakan itu semua, tiba-tiba muncul trailer film BM. Digarap Hanung Bramantyo di bawah naungan Falcon. Awal Agustus 2019. Saya antusias ingin menonton. Tapi, tak berani berekspektasi terlalu tinggi.


Tanggal 15 Agustus, pada hari penayangan perdana, saya memprediksi akan banyak yang menonton film BM. Itu jika melihat artis yang memerankan tokoh Minke. Milenial banget. Sedang digandrungi cewek-cewek puber berkat perannya di film-film sebelumnya. Mungkin akan ada antrean panjang. Atau bahkan kehabisan tiket.


Karena itu, pagi-pagi istri saya sudah memesan tiket film BM via online. Pada jam pertama penayangan. Jam 11 siang. Karena film ini berdurasi sekitar 3 jam! Sementara sorenya saya harus kerja. Begitu sampai di bioskop, penonton sepi. Ya, mungkin karena masih pagi untuk ukuran jam penayangan bioskop. Atau sudah masuk ke ruang bioskop masing-masing.


Oke, istri langsung mencetak tiket mandiri di salah satu sudut lobi bioskop. Kami lalu berjalan menyusuri lorong terang Gandaria. Studio 5. Istri mengulurkan dua lembar tiket untuk disobek sebagian oleh penjaga pintu.


Kami memasuki ruang gelap bioskop studio 5 itu. Layar lebar saat itu sudah menampilkan bermacam-macam trailer film, iklan, dan imbauan atau larangan.


Deretan kursi di ruangan dengan cahaya remang itu kosong melompong. Sepenglihatan saya, penonton pada jam itu tidak lebih dari sepuluh orang. Hampir sama dengan jumlah petugas kebersihan yang nyelonong masuk saat credit title di akhir film belum tuntas.


Kami keluar dari studio 5 dengan membawa seabrek unek-unek.


Indonesia Kini Tidak Mengenal Pram (?)


Seperti biasa, setelah nonton film, saya akan mendiskusikannya dengan istri. Ringan-ringan saja. Untuk bahan obrolan. Bisa saat jalan keluar bioskop, saat makan, atau saat ngopi.


Saat itu kami sedikit mendiskusikan BM di warung soto Lamongan favorit kami. Di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tepat di depan gedung Indopos.


Kami sepakat, sebagai film adaptasi dari novel BM, karya Hanung itu tidak buruk-buruk amat. Sudah bisa menahan kami untuk tidak melenggang pergi di tengah-tengah pemutaran film.


Kami hanya terganggu pada beberapa hal.


Pertama, setting tempat. Film BM menyajikan setting tempat yang aneh untuk ukuran zaman itu dan properti yang cenderung ’’masih tampak baru’’. Masih terkesan mirip studio atau kawasan wisata dengan bangunan-bangunan terkesan tua. Tapi masih tampak baru dibangun. Tidak natural.


Misalnya, gapura di jalan masuk kawasan Wonokromo. Lebih mirip gapura yang baru direnovasi untuk menyambut 17-an.


Saya memaklumi. Menghadirkan setting tempat dalam novel dengan latar zaman kolonial jelas tidak mudah. Melawan imajinasi setiap pembaca novel BM tentang itu semua adalah pekerjaan yang rumit.


Kedua, pemilihan tokoh. Didapuknya Iqbaal "Dilan" sebagai Minke jelas mengecewakan bagi saya. Dalam imajinasi saya, sosok Minke dalam novel sangat tereduksi setelah melihat tokoh Minke dalam film. Begitu juga untuk tokoh-tokoh pendukung lain.


Kali ini saya juga maklum. Rumah produksi toh rumah bisnis juga. Idealisme dan bisnis harus berjalan beriringan. Mereka juga harus memikirkan market. Dan, pemilihan tokoh-tokoh di atas sudah pasti --lagi-lagi menurut saya-- didasarkan pada market. Pasar. Keuntungan.


Untuk penokohan, saya harus berterima kasih kepada Ine Febriyanti yang memerankan Nyai Ontosoroh. Dia --menurut saya-- bisa mendekati sosok dalam novel. Setidaknya dalam imajinasi saya. Bahkan, dia lebih mendekati karakter Nyai Ontosoroh daripada Happy Salma yang memerankah tokoh yang sama di beberapa panggung teater.


Lalu, pertanyaannya kemudian, ketika yang bermain dalam film itu adalah selebriti-selebriti muda yang tengah naik daun, kenapa film BM sangat sepi penonton?


Kemungkinan pertama, kami kepagian. Mungkin saya datang "terlalu pagi". Jam pertama pemutaran film. Jam 11 siang. Jam-jam di mana anak sekolah masih menunggu jam bubaran. Atau anak-anak kuliahan masih sibuk nongkrong. Dan pekerja kantoran lagi siap-siap cari makan siang. Mungkin.


Kedua, promosi. Apakah promosi kurang? Saya rasa tidak. Falcon adalah rumah prosuksi besar yang terkenal rajin promosi untuk film-film terbarunya.


Ketiga, tokoh sudah kehilangan pamor? Ini juga rasanya tidak mungkin. Apalagi pemeran Minke ini ambil bagian dalam beberapa iklan. Termasuk iklan aplikasi pendidikan yang bisa berdurasi sekitar 30 menit di hampir semua stasiun televisi tanah air. Dan hampir setiap hari.


Atau keempat, orang Indonesia tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer? Apalagi Bumia Manusia?

Ya, mungkin inilah masalahnya. Dengan fakta tingkat literasi bangsa kita yang terjerembap, saya yakin tidak banyak lagi anak muda yang suka membaca. Lebih-lebih sastra. Karya Pram pula. Berat.


Karya-karya Pram adalah milik generasi tua. Yang mungkin sudah memiliki imajinasinya masing-masing. Dan, mungkin, menonton film mereka tak punya minat. Takut merusak imajinasi yang selama ini dibangun terhadap novel BM. Takut kecewa.


Karya-karya Pram juga mungkin hanya milik mahasiswa sastra yang membacanya karena terpaksa. Demi tugas untuk mencari nilai. Buku tebal adalah musuh bersama (Haha). Jadi, kalau pada bukunya saja apatis, apalagi filmnya?


Anak-anak SMA ke bawah? BM jelas bukan makanan mereka. Maka, sekadar mendapuk ikon milenial semacam Iqbaal pun masih jauh dari kata berhasil.


BM bukan film percintaan dengan gombalan-gombalan ringan ala Dilan. Atau pacaran dengan berboncengan motor di bawah rintik hujan di tengah kota.


BM adalah kisah cinta pada masa penjajahan Belanda. Pun kisah perjuangan dan perlawanan terhadap kesadisan. Kisah yang menurut saya sangat jauh dari minat generasi muda saat ini. Kisah yang terlampau berat bagi mereka.


Atau kemungkinan terakhir? Misalnya, karena Pram bernaung di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan PKI?


Ah, rasanya tidak mungkin karena itu. Siapa Pram aja masih banyak yang tidak tahu. Apalagi latar belakang dan sejarahnya.


Apakah film ini akan sukses? Entahlah.


Yang pasti, saya --atau kami-- tidak terlalu kecewa pada film BM. Tidak buruk-buruk amat. Saya mengapresiasi sang sutradara yang dengan berani menghadirkan karya fenomenal Pram ke layar lebar. Dengan segala risikonya.


Ini belum seminggu sejak penayangan perdana film BM. Paling tidak ada waktu satu hingga dua minggu untuk menilai sukses tidaknya sebuah film. Semoga tulisan ini salah. (*)


Jakarta, 17 Agustus 2019

40 views0 comments
bottom of page