Wajah Sajak-sajak Chairil Anwar dalam Fotografi: Visualisasi Sajak dan Semangat Pembaharu Mahasiswa
- budiawanagus
- May 3, 2012
- 3 min read

JIKA kita berbicara tentang perjalanan sastra Indonesia dari masa ke masa, maka nama Chairil Anwar (CA) tidak bisa dikesampingkan, atau bisa dikatakan CA adalah sosok istimewa dalam sastra Indonesia. Dia telah menjadi ikon sastra Indonesia sampai-sampai bulan kematiannya – bulan April – dijadikan sebagai Bulan Sastra Indonesia.
Akan tetapi, bagaimana bisa CA begitu istimewa hingga majalah sastra Horison menganggap munculnya CA tak ubahnya seperti gumpalan energi dahsyat yang telah menghentakkan tenaga anyar pada ekspresi puisi kita, menggoncang estetikanya dan menggugah pemikiran seni?
Gebrakan yang dilakukan CA di antara kekakuan sastra atau perpuisian kita menjadi daya pembaharu yang terbukti sangat berpengaruh. Sebelum munculnya CA, perpuisian kita terkungkung dalam tradisi sastra lama pada masa Pujangga Baru (antara tahun 1933-zaman Jepang). Pada masa itu ada nama besar seperti Amir Hamzah, di mana puisi saat itu lebih menekankah pada aspek meliputi banyaknya baris, kata, suku kata, dan pola sajak.
Sebagaimana siklus zaman, ia akan selalu meminta “tumbal” untuk menandai metamorfosis, begitu pula zaman sastra kita. Ketika terjadi semacam kejenuhan terhadap kekakuan dalam berpuisi, CA muncul sebagai pemberontak yang mencoba menawarkan bentuk puisi yang lebih bebas dan ekspresif. Sang Binatang Jalang benar-benar ingin merdeka dari segala ikatan.
Nafas pemberontakan menjadi aroma yang menyengat pada sajak-sajak yang dia hidangkan kepada para penikmat sastra, baik itu dari segi baris, diksi, estetika, atau isi. Sajak-sajaknya kemudian lekat dengan nafas-nafas ledakan emosi, semangat perjuangan, dan juga cinta, dimana hal semacam itu jarang atau hampir tidak ada pada masa sebelumnya. CA – dilihat dari sudut pandang pada bentuk dan isi – adalah penyair yang telah benar-benar melakukan pembaruan secara revolusioner (Herman J. Waluyo, 1987:17).
Semangat pembaharu itu pula yang coba diangkat oleh mahasiswa-mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Airlangga Surabaya (Unair) dalam sebuah pameran foto dan karikatur bertajuk “Teriak dalam Bingkai Kebisuan”. Pameran tersebut merupakan salah satu acara dalam serangkaian acara besar Malam Chairil Anwar (MCA) yang rutin diselenggarakan satu tahun sekali di Jurusan Sastra Indonesia Unair untuk mengenang CA, yang kali ini mengambil tema “Kenanglah Karyaku Hingga Seribu Tahun Lagi”.
Bertempat di Auditorium Lt.II Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair, pengunjung akan disambut potongan-potongan semangat CA yang tertuang dalam seni fotografi dan karikatur pada sebuah galeri yang dipadukan dengan seni instalasi. Ruangan yang dikondisikan sedikit cahaya dengan tambahan penerangan dari lilin-lilin membuat suasana menjadi sendu.
Ditata dengan sedimikian rupa, foto-foto yang tergantung pada papan seakan ingin menyuarakan sajak-sajak cinta CA kepada perempuan-perempuannya. Ya, CA adalah revolusioner yang begitu mencintai klan Hawa. Perempuan-perempuan seperti Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini adalah cinta yang coba dikejar CA. Mereka abadi dalam sajak-sajaknya, termasuk Hapsah, Gadis Karawang yang dinikahinya.
Foto-foto yang dipajang dalam pameran kebanyakan mencoba memvisualisasikan sajak-sajak CA untuk perempuan-perempuannya, seperti sajak “Cintaku Jauh di Pulau” atau “Ajakan”. Menuangkan sajak-sajak CA dalam media fotografi menjadi nafas baru dalam penyelenggaraan pameran kali ini.
“Sebagaimana semangat Chairil Anwar sebagai pembaharu, kami ingin memberikan sesuatu yang baru dalam acara pameran Malam Chairil Anwar (MCA) tahun ini. Selama ini yang kita tahu sebatas pada baca atau musikalisasi puisi, maka dari itu kami ingin memberikan sesuatu yang baru, yaitu lewat seni fotografi dan karikatur,” ujar Nanda Alifya selaku panitia pelaksana pameran saat ditemui di Auditorium Lt.II FIB Unair, Rabu (2/5).
Dia melanjutkan bahwa pemilihan ide untuk memvisualisasikan sajak-sajak CA rupanya menarik bagi kalangan mahasiswa Sastra Indonesia, terbukti panitia telah menerima lebih dari 100 karya berupa foto maupun karikatur. Namun, setelah dilakukan seleksi hanya ada sekitar 36 foto maupun karikatur yang bisa dipajang untuk dipamerkan.
“Tentu saja tidak semua karya yang kami terima bisa nampang di pameran. Mereka harus melalui tahap seleksi yang didasarkan pada sejauh mana karya tersebut bisa merefleksikan sajak-sajak Chairil Anwar,” tambahnya.
Pada pameran yang baru dibuka hari ini cukup ramai didatangi pengunjung dari kalangan mahasiswa dan juga alumni. Rata-rata dari mereka mengatakan penasaran seperti apa memvisualisasikan sajak-sajak CA yang terhitung baru dalam acara MCA kali ini.
“Idenya menarik, mereka menawarkan sesuatu yang baru. Acara-acara seperti ini sangat positif dan sudah menjadi kebiasaan di fakultas ini dari dulu. Acara-acara seperti ini harus diatur sedemikian rupa dengan hal-hal baru sehingga menjadi menarik dan ditunggu-tunggu,” kata Ade Kurniawan, salah satu pengunjung pameran tersebut.
Sementara itu, ditanya mengenai sejauh mana foto-foto itu dapat mewakili luapan hati Chairil Anwar dalam sajak-sajaknya, Risky Andi Prananta, Mahasiswa Sastra Indonesia, mengungkapkan bahwa memang tidak semua foto bisa mewakili sajak-sajak Chairil Anwar, tetapi dia mengaku masih bisa menangkap semangat Chairil Anwar yang ada pada foto-foto tersebut.
Akhirnya, itulah mengapa CA menjadi begitu istimewa bagi dunia sastra kita. Dengan hidupnya yang singkat (26 Juli 1922-28 April 1949), dia telah memberikan warna baru dalam sejarah sastra Indonesia. Lelaki asal Medan itu telah menanamkan benih kebebasan dalam berekspresi, entah itu cinta kepada negara atau kepada perempuan pujaan hati. Dia adalah Binatang Jalang yang telah mati setelah menjadi berarti, dan semangatnya akan tetap hidup untuk seribu tahun lagi. (*)
Surabaya
ความคิดเห็น