Meniru Bob Marley
- budiawanagus
- Nov 6, 2013
- 11 min read

SEKELOMPOK remaja tanggung sedang berkumpul malam itu, di sebuah ruangan dengan lampu redup dan alunan musik reggae yang religius. Asap mengepul dari berbatang-batang rokok dan sedikit racikan marijuana yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah. Mulut mereka basah, entah sudah berapa teguk minuman beralkohol yang lolos ke lambung-lambung mereka. Malam merambat pelan, musik terus mengalun, rokok terus dihisap, dan minuman terus diteguk. Benar-benar malam yang sempurna untuk berbahagia.
Pada kesempatan lain, di kampus, di pusat perbelanjaan, di jalan, di mana saja tak jarang dijumpai pemuda-pemuda tanggung atau yang beranjak dewasa memiliki penampilan menarik dengan tatanan rambut unik; rambut gimbal atau dreadlock. Ada yang memang benar-benar gimbal tapi kebanyakan hanya gimbal-gimbalan. Kadang rambut mirip sumbu kompor itu dibiarkan mengembang atau ditutupi dengan kupluk besar berwarna merah-kuning-hijau. Penampilan yang cukup unik dan stylist, tampaknya.
Sementara itu, jauh di sebuah negara Afrika beberapa tahun yang lalu, Jamaika namanya, seorang blasteran dengan tubuh kurus, rambut gimbal dan gemar mengkonsumsi ganja sedang berteriak lantang tentang perdamaian di depan puluhan ribu orang, padahal beberapa hari sebelumnya dia mengalami percobaan pembunuhan dengan meninggalkan bekas luka tembak di tubuhnya. Bob Marley, dengan musik, pengaruh, dan keberaniannya mampu menciptakan perdamaian di negaranya (bahkan di negara lain) yang sedang bergejolak.
Terlahir Istimewa
Terlahir sebagai keturunan dari ibu bernama Cendella asli Jamaika dan ayah kapten Norval Sinclair Marley dari perusahaan Crown Lands milik pemerintah Inggris, masa kecil Bob memang tidak terlalu menyenangkan. Dia kerap menerima perlakuan rasial dari lingkungan sosialnya. Dia tidak bisa sepenuhnya menjadi bagian dari kulit putih tidak pula menjadi bagian dari kulit hitam. Tapi dia kemudian menetapkan hati menjadi bagian dari kulit hitam. Bob mengenang perlakuan itu dengan mengatakan:
"My father was white, and my mother black, you know. They call me half-caste, or whatever. Well, me don’t dip on nobody’s side. Me don’t dip on the black man’s side or white man’s side. Me dip on God’s side, the one whoe created me cause me to come from black and white, Who give me this talent.”
Meski begitu, Bob memang ditakdirkan terlahir istimewa. Pada tanggal 6 Februari 1945 terjadi fenomena meteor jatuh di langit Kingston, Jamaika. Orang setempat percaya fenomena tersebut menjadi pertanda bahwa akan lahir seorang tokoh besar. Dini hari sekitar pukul 2.30 seorang bocah laki-laki yang kemudian diberi nama Robert Nesta Marley lahir.
Pada tahun 1950 Cendella pindah ke Trench Town – Kingston. Marley mulai berinteraksi dengan geng-geng jalanan yang kemudian berlanjut menjadi gerombolan bernama “The Rudeboys”. Walaupun berperawakan kecil seperti ayahnya, tapi karena kekuatannya ia dijuluki “Tuff Gong”.
Setelah Marley drop out dari sekolahnya ia mulai tertarik dengan musik. Pada awal 1962 Bob Marley, Bunny Livingstone, Peter Mcintosh, Junior Braithwaite, Beverley Kelso dan Cherry Smith membentuk grup ska & rocksteady dengan nama “The Teenager” yang nantinya berubah menjadi The Wailing Rudeboys dan berganti lagi menjadi The Wailing Wailer dan akhirnya menjadi The Wailers.
Reggae dan Rastafari sebagai Jalan Hidup
Sebagai individu yang telah memantapkan hati menjadi bagian dari kulit hitam, reggae menjadi aliran musik yang diusung Bob. Pemilihan musik ini juga bukan tanpa alasan. Ada misi besar dalam musik ini, yaitu menyampaikan perdamaian mengingat pada mulanya musik reagge merupakan media untuk menyampaikan suara terkait permasalahan sosial, politik, dan masalah kemanusiaan secara universal pada masanya, seperti penderitaan buruh paksa (gheto dweller), perbudakan di Babylon, Haile Selassie dan harapan kembalinya Afrika. Sehingga pada awalnya, musik reggae dapat dikatakan sebagai musik bagi para pemberontak.
Jiwa-jiwa pemberontak memang tumbuh subur di benak Bob. Pengalaman masa kecil dengan perlakuan rasial serta permasalahan di lingkungannya yang kumuh di Kingston membentuk Bob seperti seorang “rasul” yang diutus Jah (Tuhan) ke bumi untuk menyebarkan ajaran perdamaian dengan sabda pada lagu-lagunya.
Selain sebagai musik pemberontak, reggae pada awal kemunculannya merupakan bentuk penyampaian pesan yang diungkapkan melalui lirik lagu yang terkait dengan tradisi para penganut keyakinan Rastafarian. Rastafarian berasal dari kata Ras Tafari, nama lain Haile Selasie I –bekas kaisar Ethiopia, yang secara simbolis diangkat sebagai Raja dari segala raja. Rastafarian sendiri menjadi agama baru yang muncul di Jamaika pada tahun 1930.
Gerakan ini pada mulanya dianut oleh kaum miskin Jamaika, buruh kulit hitam, dan petani.
Rastafarian adalah ekspresi dari kekecewaan penduduk miskin dan tidak ada orang lain yang mempedulikan nasib mereka. Mereka juga meyakini bahwa mereka memikul visi untuk melengkapi pandangan tentang bagaimana seharusnya jalan hidup orang Afrika. Mereka berusaha mengambil kembali kebudayaan mereka yang telah dicuri. Cara pandang hidup seperti itulah yang yang dianut Bob.
Adapun hal yang identik dari penganut rastafarian ini adalah warna merah-kuning-hijau, rambut gimbal (dreadlock), dan ganja. Sejumlah pakar Ethiopia menyatakan bahwa penggunaan warna merah, kuning/emas, dan hijau melambangkan Sabuk Perawan Maria. Gerakan ini telah menjamur ke berbagai dunia lewat imigrasi dan banyaknya minat terhadap musik reggae, kususnya musik yang dibawa Bob Marley yang telah dibaptis oleh Gereja Ortodoks Ethiopia sebelum ia meninggal dengan nama Berhane Selassie (Cahaya Tritunggal bagi para kaum Rastafarian).
Satu yang paling dikenal dari Rastafarian adalah ritual mengkonsumsi ganja. Penggunaan ganja atau cannabis dianggap menjadi bagian dari musik reggae. Efek yang ditimbulkan setelah mengkonsumsi ganja dirasa cocok dengan hentakan dan irama musik reggae. Bahkan ada anggapan bahwa penggunaan ganja adalah suatu ritual yang harus dilakukan oleh para penikmat musik reggae. Hal itu tentu tidak sesuai dengan ajaran kaum Rastafarian yang menjadikan ganja sebagai media ritual keagamaan dan bukan hanya sebagai pelengkap musik belaka. Bagi kaum Rastafarian, ganja digunakan untuk memperoleh kebijaksanaan dan menjadi bagian dari ritual keagamaan untuk mendekatkan diri mereka pada “Jah” (Tuhan). Dalam hal ini jelas Bob adalah Rastafarian yang menjadikan ganja sebagai media ritual, bukan reggae yang rasta.
Selain ganja, rambut gimbal atau dreadlock ini juga identik dengan musik reggae. Gaya rambut Bob ini sebenarnya sudah ada sejak 2500 SM. Seperti halnya ganja, dreadlock yang dicerminkan oleh Bob adalah bagian dari ajaran Rastafarian. Bagi rastafarian, rambut gimbal menjadi bagian dari sumpah dalam Injil Nazarene dan Leviticus yang melarang mereka untuk mencukur rambut (namun Rastafarian tidak harus gimbal, ada juga yang tidak). Selain itu, rambut gimbal juga berkembang menjadi lambang keabadian identitas yang akan selalu mengingatkan mereka pada “Jah” (Tuhan).
Namun, Marley yang tidak pernah memotong rambut gimbalnya pada suatu ketika akhirnya menyerah. Dia menggunduli kepalanya karena terserang kanker kulit yang menyebar ke otak, paru-paru, dan lambungnya. Penyakit itulah yang kemudian membunuhnya.
Rastafarian Gerakan Perdamaian
Sejatinya, Rastafarian adalah bentuk perlawanan terhadap rasialisme yang dialami oleh orang-orang kulit hitam, terutama di Jamaika pada tahun 1930-an. Pada waktu itu orang kulit hitam diletakkan pada tatanan sosial paling bawah, sementara orang kulit putih dengan kekristenannya berada pada posisi yang paling atas. Sebagai orang yang pernah mengalami perlakuan rasial, Bob Marley akhirnya menjadi penganut Rastafarian yang religius.
Dengan pahamnya itu, Bob gencar menyuarakan perdamaian ke penjuru dunia, lebih-lebih di negaranya sendiri Jamaika. Dalam film Marley (2012) yang disutradarai Kavin Macdonald ini digambarkan sangat jelas peran Bob sebagai musisi sekaligus aktivis perdamaian yang gigih dalam perjuangannya. Berkat andilnya, rakyat Jamaika yang terpecah akhirnya bisa bersatu.
Pada tahun 1976 di Kingston, Jamaika, tempat Bob tumbuh besar, terjadi perang politik yang menjurus pada perang sektarian antara Partai Rakyat Nasional (PNP) yang dituduh komunis dengan Partai Oposisi Jamaika (JLP) yang dituduh fasis. Kedua belah pihak saling serang dengan senjata api dan juga bom yang banyak memakan korban di kedua belah pihak. Di sini Bob berada di posisi sulit karena dia memiliki teman di kedua belah pihak. Tentang ketegangan itu Bob mengatakan: “Saat ada persaingan politis, ada perkelahian antara pemuda untuk kepentiangan politis. Aku muak dengan semua itu. Kulihat tak ada satu orang pun dari politisi itu yang membuat hal baik untuk rakyat. Hanya memecah belah dan menindas.”
Demi sebuah alasan kemanusiaan, Bob kemudian berencana mengadakan konser gratis di Kingston. Tapi hal itu menjadi sangat kontroversial karena waktu itu mendekati pemilu. Meskipun tidak tahu tentang pemilu tersebut, Bob tetap dituduh mendukung pemerintah berkuasa yang akan maju kembali dalam pemilu. Bob menjawab tuduhan itu: “Aku tidak pernah mendukung pemerintahan Michael Mantley (Perdana Menteri Jamaika, red). Tidak akan pernah,” terang Bob Marley. “Pemilu? Siapa pun yang menang tidak akan ada perubahan,” lanjutnya.
Mendekati pelaksanaan konser situasi semakin memanas. Ada isu yang menyebutkan bahwa Bob akan menjadi target pembunuhan saat konser. Ada kekhawatiran konser dibatalkan, tapi Bob Marley dengan The Wailers-nya tetap melakukan latihan setian malam di rumahnya 56 Hope Road. Di situlah kemudian terjadi penembakan di suatu malam oleh orang yang tidak dikenal. Beruntung tidak ada yang meninggal dan Bob hanya mengalami luka tembak ringan di lengan dan dadanya. Ada pihak yang ingin membatalkan konser dengan membunuh Bob dan anggota grupnya.
Tapi Bob tak gentar dengan teror tersebut. Meskipun telat lima jam dari jadwal awal, Bob Marley akhirnya muncul di antara sekitar 80.000 penggemar yang sudah lama menantikannya. Dengan ancaman pembunuhan, dia datang dengan kawalan polisi. Momen istimewa pun terjadi saat di atas panggung Bob Marley menunjukkan bekas luka di lengan dan dadanya yang kemudian diiringi suara gemuruh penonton. Dan dia pun menyanyi: “Almighty.Oh Lord, help us tonight.Cast away evil, the evil spell.Throw some water in the well. And smile in Jamaica. In jamaica yow…”
Setelah konser, sebuah pertanyaan dilontarkan oleh wartawan tentang penembakan yang mungkin dilakukan JLP karena dianggap dia mendukung PNP, atau bisa sebaliknya penembakan dilakukan PNP karena dianggap dia mendukung JLP, Bob Marley hanya menjawab: “Kupikir itu berasal dari setan (si jahat), Anda tahu. Tapi Tuhan melindungi kami.” Ketika ditanya kemungkinan terjadi penembakan lagi, Bob menjawab, “Apa yang terjadi, itulah yang harus terjadi.”
Setelah penembakan bukan takut Bob justru lebih memiliki keberanian dan tahun 1977 dia pergi ke London untuk menenangkan pikiran sejenak dan kembali fokus berkarya. Selama keberadaannya di London, di Jamaika terjadi kerusuhan politik yang semakin memanas di tahun 1978. Di antara kekacauan itu terlintas wacana untuk “memulangkan” Bob karena dirasa memiliki potensi mendamaikan dua kekuatan (JLP vs PNP) yang sedang berperang.
Pemerintah kemudian mengutus seseorang untuk mengajak Bob kembali ke Jamaika, tapi dia menolak karena itu dianggap sebagai gerakan politis. Setelah datang utusan kedua dan menjelaskan kekacauan yang terjadi Bob baru bersedia pulang. Sebuah konser perdamaian pun digagas dan Bob Marley adalah bintang utamanya. Tentang konser dan kembalinya Bob ke Jamaika di tengah krisis dan ancaman pembunuhan itu, seorang wartawan bertanya:
“Bob apa yang mebuatmu pulang ke Jamaika?”
Bob menjawab: “Bagiku, hidupku tidak penting. Yang penting adalah hidup orang lain. Hidupku hanya berharga jika aku bisa membantu orang banyak. Aku tidak ingin hidup hanya untuk diriku sendiri. Hidupku adalah untuk orang banyak, sebanyak apapun itu.”
Kedatangan Bob ke Jamaika disambut oleh puluhan ribu orang yang sudah menunggu di bandara Kingston. Konser pun dimulai dengan penonton dari partai yang bertentangan berbaur menjadi satu. “I wanna jam with you, I really wanna jam it with you. . I wanna jam with you, I really wanna jam it, I wanna jam with you…”
“Aku ingin memberi tahu sesuatu padamu. Untuk membuat segala sesuatu menjadi kenyataan kita harus bersatu. Dan dengan semangat yang paling tinggi, Kerajaan Yang Mulia, Kaisar Haile Selassie I, dari menulis sampai memimpin rakyat yang diperbudak di sini untuk berjabat tangan. Tunjukkan kepada rakyat bahwa kau mencintai mereka dengan benar. Tunjukkan kepada rakyat bahwa kau akan menjadi pemersatu. Tunjukkan bahwa kita akan baik-baik saja. Tunjukkan pada rakyat bahwa semuanya baik-baik saja.”
Bob terus menyanyi dan menggerakkan badannya dengan sangat religius diiringi musik reggae yang ritmis. Ini seperti sebuah pertunjukan spiritual, dan Bob terus bernyanyi…”Aku ingin katakan. Izinkan kami mengundang hadir ke atas panggung ini Mr. Michael Manley dan Mr. Edward Seaga. Aku hanya ingin berjabat tangan dan menunjukkan kepada semua orang bahwa kita akan baik-baik saja. Kita akan bersatu. Kita akan memperlakukan mereka dengan benar. Kita harus bersatu.”
Apa yang dilakukan Bob di luar rencana. Meminta dua pemimpin yang sedang bertikai naik ke atas panggung adalah sikap spontan dari Bob yang benar-benar menginginkan rakyat Jamaika bersatu. “Aku menunggu. Aku menunggu.” Bob terus bernyanyi, sedangkan dua nama yang diminta untuk naik sudah berada di atas panggung. “Oh Tuhan, Oh Tuhan, Keluarkan kami dari masalah ini. Aku berdoa…” Di hadapan sekitar 30.000 orang yang sebelumnya saling menyerang itu, Michael Manley dan Edward Seaga berjabat tangan begitu akrab, sementara Bob berada di tengah-tengah merangkul mereka berdua.
Bob kemudian mengangkat kedua tangan pemimpin yang masih saling berjabat tangan itu dan seakan bersabda dalam lagunya, “Cinta, kemakmuran, menyertai kita semua. Jah. Rastafari. Selassie.” Bob berhasil menyatukan rakyat Jamaika dari bermacam-macam perbedaan kasta dan warna kulit dengan musiknya.
Masih di tahun 1978, terjadi demonstrasi besar-besaran di Rhodesia, Zimbabwe yang menentang White Rule atau hukum kulit putih. (Pada tahun 1965, Rhodesia dinyatakan ilegal di mata dunia dan kulit hitam dilarang menjadi pemimpin oleh kulit putih). Bob pun menulis lagu berjudul “Zimbabwe”: “Natty mash in-a Zimbabwe. I ‘n’ I liberate Zimbabwe.” Lagu itu sampai ke telinga rakyat Zimbabwe dan kemudian menjadikan lagu kebangsaan mereka.
Ketika akhirnya Zimbabwe memperoleh kemerdekaan, mereka mengirim perwakilan ke Jamaika meminta Bob Marley tampil di Zimbabwe. Besarnya biaya untuk datang dan tampil ke Zimbabwe membuat rencana itu hampir gagal. Tetapi Bob tetap pergi menggunakan uang pribadinya untuk mengirim peralatannya dari London ke Zimbabwe.
Hampir semua pemimpin dunia hadir di perayaan kemerdekaan Zimbabwe itu dan Bob mengambil perannya. “Exodus. Oh, Lord. Movement of Jah people. Men and people will fight you down. When you see Jah light. Lett me tell you if you’re not wrong” Ini menjadi yang pertama bagi rakyat Zimbabwe, jadi 90.000 orang yang tidak bisa masuk akhirnya memaksa masuk ke stadion tempat diadakannya konser. Mereka yang tidak bisa masuk akhirnya merobohkan pagar pembatas. Kerusuhan terjadi yang diikuti dengan tembakan gas air mata dari pihak keamanan.
Suasana menjadi kacau. Penonton berhamburan keluar stadion untuk menghindar dari gas air mata yang bisa saja membunuh mereka. Mengetahui hal itu, para anggota grup Wailers turun dari panggung satu per satu. Tapi Bob tetap di atas panggung dengan memegang gitarnya dan terus menghentakkan badannya. Dia tidak pergi kemana-mana. Dia seperti sudah siap bersama rakyatnya dalam keadaan apapun. Mengetahui hal itu, anggota grup yang tadinya turun kembali ke panggung, dan saat itulah seorang anggota grup berkata: “Sekarang aku tahu siapa revolusioner yang sebenarnya.”
Bob terus bernyanyi: “Jah come to break oppression. Rule equality yeah. Wipe away transgression. Set the captives free now. Set the captives free now. Set the captives free yeah…” Dan konser itu diakhiri dengan teriakan lantang Bob: “Terima kasih banyak, Zimbabwe! Freedom!”
Bob telah berhasil menjadi pemersatu di negerinya Jamaika dan di negara kulit hitam lainnya yang terjajah kulit putih, Zimbabwe. Bob Marley memang “rasul” dari agama Rastafarian yang diutus Jah untuk menyerukan perdamaian di atas bumi ini. Dan akhirnya tugas Bob sebagai rasul bisa dikatakan selesai saat dia didiagnosa menderita kanker ganas yang kemudian membunuhnya pada tanggal 11 Mei 1981 di Miami, Amerika Serikat, dalam usia 36 tahun.
Dua dekade setelah dia meninggal, Imensitas (kebesaran) Bob Marley menempatkannya menjadi satu di antara figur-figur transenden terbesar sepanjang abad. Riak-riak yang dilakukannya menyebrang dari sungai musiknya kedalam samudera politik, etika, gaya filsfat, dan agama (Rastafaria). Bob Marley dimasukkan ke dalam Rock n Roll Hall of Fame pada tahun 1994. Majalah Time memilih lagu Bob Marley & The Wailers Exodus sebagai album terbersar pada abad ke-20. Pada tahun 2001 dia memenangkan Grammy Lifetime Achivement Award.
Meniru Bob Marley
Bob Marley telah menjadi sosok yang dikultuskan. Sosoknya sebagai musisi sekaligus revolusioner yang religius tidak akan pernah bisa disamai oleh siapapun. Bob Marley adalah Bob Marley. Generasi sesudahnya hanya bisa menjadi penganut, atau bahkan menjadi loyalis yang cenderung fanatis. Selebihnya, hanya akan muncul sebagai peniru-peniru dalam wilayah gaya hidup Bob dan bukan pada muatan filosofisnya.
Kelompok terakhir inilah yang kini sering terlihat. Awalnya mungkin seseorang megagumi sang tokoh, tapi eksekusinya cenderung dangkal dan hanya meniru gaya rambut dreadlock hanya karena ingin tampil modis dan esentrik. Sedangkan mengkonsumsi ganja bukan untuk ritual spiritual demi menemukan kebijaksanaan Jah (Tuhan), melainkan hanya untuk terlihat keren.
Bob tidak mementingkan penampilan sebagai hal yang staylist tetapi sesuatu yang religius. Dia tidak mementingkan dirinya lebih dari kepentingan orang lain. Dia tidak mementingkan kepemilikan harta karena setiap harta yang dia miliki adalah milik mereka yang membutuhkan juga. “Kepemilikan membuatmu kaya? Aku tidak memiliki kekayaan seperti itu. Kekayaanku adalah hidup, selamanya,” kata Bob Marley.
Bob Marley memang sudah menjadi semacam virus yang menyebarkan reggae ke seluruh dunia bersama elemen-elemen yang sudah menjadi bagian dari dirinya; Rastafarian, Cannabis, dan Dreadlock. Kisah hidup Bob Marley adalah sebuah arketipe, itulah kenapa karya-karyanya abadi dan terus bergema. Bob berbicara tentang represi politik, wawasan metafisik dan artistik, kesejahteraan dan apa saja yang mengusiknya. “No Women No Cry” masih akan terus mengahapus air mata dari wajah seorang janda, “Exodus” masih akan memunculkan ksatria, “Redemtion Song” masih akan menjadi tangisan emansipasi untuk melawan segala tirani, “Waiting in Vaint” akan tetap menggairahkan, dan “One Love” akan terus menjadi himne internasional bagi kesatuan kemanusiaan di dunia melampui batas-batas, melampui kepercayaan-kepercayaan, di mana tiap orang akan sadar dan mempelajarinya.
Pada akhirnya, jika yang diadopsi loyalis Bob Marley hanya pada pengertian yang dangkal pada gaya dreadlock, atribut merah-kuning-hijau, dan ganja sebagai (sekadar) pengiring musik reggae saja, maka bisa dikatakan hal itu hanya akan menghasilkan gerombolan peniru yang tidak bisa memahami filosofi dari yang mereka anut, kecuali hanya pada kesenangan belaka. Semoga saya keliru. (*)
Bogor-Jakarta
Commenti